Setelah ragu, dia memaksa hati dan menumbuhkan keberanian diri untuk terus mengikuti. Walau Marsianh masih meraba-raba apa yang telah dilakukan Mariman.
"Aku tak pernah maafkan kalau memang kau melakukan perbuatan terkutuk itu, Mas! Aku harus bisa buktikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan aku ini salah?"
Sampai akhirnya Mariman terlihat berhenti di jalan yang mulai gelap. Jauh dari pencahayaan. Cukup lama Mariman berdiri di tempat itu. Membuat Marsinah heran dan rasa penasaran dalam dirinya semakin terbakar.
Marsinah semakin ingin tahu, apa yang sedang ditunggu suaminya di tempat itu?
Tiba-tiba saja dedauhan yang berada di dekat Mariman, mulai bergerak-gerak. Membuat suara yang bergemerisik. Lalu Marsinah melihat kawanan monyet yang mendatangi ke arah Mariman. Membawa satu helai daun segar.
Tampak Mariman memerhatikan daun itu lamat-lamat. Seketika raut wajahnya menjadi tegang. Sampai membuat giginya gemertak dengan rahang yang mengeras.
Marsinah berlari kecil menghampirinya. "Apakah perjanjian seperti ini bisa dibatalkan?" "Tergantung akad pertama mereka, Bu. Hanya saja kalau di hutan ini. Rata-rata perjanjian akan berlangsung sampai anak turun. Selama ada yang melanjutkan memeberi mereka tumbal." "Tumbal," bisik Marsinah. "Sudahlah, Bu. Mending sekarang Ibu pulang. Jangan pernah terpikir untuk melakukan pesugihan. Mari saya antar sampai ke ujung jalan." "Terima kasih, Pak. Bapak kok baik sekali sama saya." Lelaki itu hanya tersenyum. Sembari memerhatikan Marsinah yang terlihat sangat sedih. Bila mengingat apa yang telah dilakukan sang suami. "Ingat pesan saya ini, Bu! Jangan pernah makan ikan atau lauk apa pun dalam bentuk yang masih utuh! Jangan pernah makan suguhan yang tak biasanya. Dan satu lagi, perhatikan mimpi kita. Terkadang dari mimpi, bisa menjadi alarm untuk diri kita sendiri." "Terima kasih banyak lho, Pak. Saya benar-benar tak mengetahui
"Sebaiknya kita lanjutkan besok. Mas Delon dan Mbak Raisa beristirahat dulu saja. Kita semua sudah lelah," ujar Hamaz sembari menutup buku itu."Iya, Mas," sahut Delon. Begitu juga Raisa yang tak lagi memaksa. Dia hanya manggut-manggut.Terlihat seorang santri yang mengantar mereka ke kamar masing-masing. Raisa yang lelah langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Kedua mata yang berat tak mampu lagi untuk terbuka.Hanya dalam hitungan detik. Raisa langsung terlelap. Begitu juga dengan Delon yang tidur di kamar bersebelahan.Suasana rumah itu kembali sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik yang meramaikan malam ini. Suara dengkuran lembut Raisa terdengar. Seiring dengan suara pintu kamar yang terbuka perlahan. Yang sepertinya tak dikunci.Kriiiiiieeet!Seperti ada yang sengaja membuka pintu. Tapi entah siapa? Raisa sudah tak bisa mendengar atau merasakan apa pun. Kelelahan dan rasa kantuk yang teramat sangat mendera dirinya. Hingga terdengar derap
"Bukan aku yang gila, tapi Bapak yang sudah keblinger. Sudah tak punya akal sehat. Bapak yang sebabkan keadaan rumah tangga kita ini sekarang jadi enggak karuan. Bapak yang membuat kita jadi pemuja setan. Apalagi--" Wanita itu terdiam, dengan wajah yang tertunduk. Seperti tak sanggup ungkapkan semua. Seperti luruh sudah rasa yang ada untuk lelaki yang ada di hadapannya. "Lanjutkan bicara kamu!" bentak lelaki itu keras. Tak ada rasa ketakutan yang terpancar dari suara wanita itu. Dia tak bergeming sedikit pun. Dari rauit wajahnya, yang tersembunyi di balik rambut. Raisa bisa menebak kalau sang wanita tengah menatap tajam pada suaminya. "Apalagi Bapak bercinta dengan wanita itu!" teriaknya tanpa peduli bila ada yang mendengar. Plaaakkk! Tubuh wanita itu terhuyung. Tamparan keras sang suami membuatnya hampir terjatuh ke lantai. "Ka-kamu .. berani menampar aku? Sekian lama kita menjalin rumah tangga, baru kali ini kau menampar aku,
Seketika itu Raisa bagai tersadar. Matanya terbelalak. Saat melihat di hadapan dia Delon yang meringis kesakitan. Beberapa santri putra berlarian menuju arah kamar Delon yang terbuka lebar. Mereka pun terperangah melihat Delon yang terus merintih kesakitan."Haaahhh?"Raisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Membiarkan sapu yang dibawa terjatuh ke lantai."Ke-kenapa aku bisa ada di sini?" aTampak air mata Raisa berlinang. Dengan langkah gontai dia keluar kamar. Tak habis pikir dengan apa yang tadi tengah dilakukannya."Ke-kenapa Mas Delon yang aku pukuli? Aku seperti benar-benar melihat dengan jelas mereka."Raisa berjalan pelan menuju teras samping yang bersebelahan dengan kamar mereka. Taman yang terletak di tempat itu, langsung menembus pandangan ke arah gedung santri putra.Wajah Raisa terlihat lesu. Dia duduk di lantai dengan kedua tangan memegang dagu. Sembari berulang kali menggeleng. Perasaan bersalah telah menghunus relun
Teriakan Raisa semakin lama semakin kencang terdengar. Suara yang menegrikan dan terdengar sangat asing."Aaaarggghhh! Lepaskan aku dari sini. Panas ... panas ... panas!"Dari ruang tengah terlihat Hamaz berjalan cepat ke arah mereka. Dia membawa segelas air putih. Lalu memercikkan ke seluruh area kamar Raisa.Terlihat Raut wajah gadis itu memerah. Aoa yang dilakukan Hamaz dia tak mneyukainya. Tatap mata Raisa begitu tajam terus mengawasi gerak gerik Hamaz."Ambilkan botol sekarang!""Baik, Gus."Seorang santri berlari kencang. Tak lama, dia sudah berlari menuju kamar Raisa. Dia mengulurkan sebuah botol kaca seukuran botol obat."Kau mau keluar dan masuk sini. Atau aku hancurkan?" ucap Hamaz sangat tenang.Raisa hanya bisa menggeram, "eeeerghhh!"Dari arah luar. Delon ikut melihat ke arah Raisa. Yang benar-benar telah dirasuki oleh makhluk astral."Kau masih belum menjawab pertanyaanku?" ulang Hamaz."Eeeer
"Di mana dia tadi?"Delon masih berdiri terpaku di tengah taman. Melihat ke sekitar. Namun sosok wanita yang baru saja dia lihat telah menghilang. Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Delon. Saat dia menoleh. Seorang santri putra telah berdiri tak jauh darinya."Ada apa Mas Delon di tengah taman sendirian?""Ehhh, cuman cari udara segar aja kok.""Mari saya antar ke kamar, Mas.""I-iya, makasih."Sejenak Delon tak bisa tidur. Dia masih membayangkan sosok wanita serba berpakaian hitam yang terlihat olehnya."Siapa dia?" ujar Delon lirih."Ada apa Mas Delon kok kayaknya gelisah? Kayak ada yang lagi dipikirin."Dia hanya tersenyum. Lalu merebahkan tubuhnya."Enggak apa-apa."Dia berusaha untuk memejamkan mata. Sembari memikirkan Raisa yang semenjak kedatangan mereka ke Malang ini. Sudah beberapa kali kerasukan."Sepertinya mereka benar-benar tak mau aku dan Raisa datang. Tapi, ini kan aneh? Kenapa s
Suara itu masih terdengar lirih di kedua telinga Dian. Dengan menghembuskan napas perlahan. Jemari tangan Dian, bergetar hebat. Saat dia hendak menyibak korden jendela."Aku harus melihatnya!" Suara Dian terdnegar berbisik. Walau langkahnya ragu, akan tetapi Dian terus melangkah perlahan.Saat dia ingin mengintip. Tiba-tiba ....Dug dug dug!"Haaaahhh!"Seketika Dian melompat naik ke atas kasur. Dengan napas yang tersengal-sengal. Teriakannya sampai membuat Momoy terbangun. Bocah kecil itu mengucek kedua matanya. Lalu memandang heran pada Dian yang duduk dengan kedua lutut di tekuk."Mbak Dian, ada apa?""Huuussst! Diam aja," bisik Dian, dengan mengarahkan ujung telunjuknya ke bibir.Momoy menatap tajam dengan dahi yang berkerut."Pasti Mbak Dian takut sesuatu. Apa takut sama Bu Sapto?""Huuusssst! Momooy, diem!"Momoy pun menggeser tubuhnya mendekati Dian. Yang terlihat cemas dan gelisah. Terlihat da
Bu Marto menggamit lengan Dian. Agar sedikit merapat padanya. Membuat Dian keheranan. Baginya apa pun yang terjadi. Akan dia laporkan semua pada Harso."Bu Hana ini salah seorang pemandi jenazah Bu Sapto.""Apa? Pemandi jenazah?" Sahut Dian sembari menoleh pada Momoy."Iya. Raisa kan juga pemandi jenazah Bu Sapto. Dan ini sudah tiga orang pemandi jenazah Bu Sapto yang meninggal.""Meninggal? Memang ada berapa orang pemandi jenazahnya?"Tanpa menjawab, Bu Marto hanya mengangkat jemari tanagn. Dengan menunjukkan lima angka jari. "Ada lima orang?""Iya. Dan salah satunya Raisa.""Raisaaa ...?" Suara Dian bagai tercekat. Bu Marto hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Dian."Aku takut bila terjadi sesuatu hal pada Raisa," bisik Bu Marto."Memang meninggalnya Bu Hana karena apa?"Bu Marto kembali menggeleng."Yang jelas, kuku jempol tangannya hilang. Sama dengan kejadian Bu Martyo, sama Bu Tyas."