"Di mana dia tadi?"
Delon masih berdiri terpaku di tengah taman. Melihat ke sekitar. Namun sosok wanita yang baru saja dia lihat telah menghilang. Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Delon. Saat dia menoleh. Seorang santri putra telah berdiri tak jauh darinya.
"Ada apa Mas Delon di tengah taman sendirian?"
"Ehhh, cuman cari udara segar aja kok."
"Mari saya antar ke kamar, Mas."
"I-iya, makasih."
Sejenak Delon tak bisa tidur. Dia masih membayangkan sosok wanita serba berpakaian hitam yang terlihat olehnya.
"Siapa dia?" ujar Delon lirih.
"Ada apa Mas Delon kok kayaknya gelisah? Kayak ada yang lagi dipikirin."
Dia hanya tersenyum. Lalu merebahkan tubuhnya.
"Enggak apa-apa."
Dia berusaha untuk memejamkan mata. Sembari memikirkan Raisa yang semenjak kedatangan mereka ke Malang ini. Sudah beberapa kali kerasukan.
"Sepertinya mereka benar-benar tak mau aku dan Raisa datang. Tapi, ini kan aneh? Kenapa s
Suara itu masih terdengar lirih di kedua telinga Dian. Dengan menghembuskan napas perlahan. Jemari tangan Dian, bergetar hebat. Saat dia hendak menyibak korden jendela."Aku harus melihatnya!" Suara Dian terdnegar berbisik. Walau langkahnya ragu, akan tetapi Dian terus melangkah perlahan.Saat dia ingin mengintip. Tiba-tiba ....Dug dug dug!"Haaaahhh!"Seketika Dian melompat naik ke atas kasur. Dengan napas yang tersengal-sengal. Teriakannya sampai membuat Momoy terbangun. Bocah kecil itu mengucek kedua matanya. Lalu memandang heran pada Dian yang duduk dengan kedua lutut di tekuk."Mbak Dian, ada apa?""Huuussst! Diam aja," bisik Dian, dengan mengarahkan ujung telunjuknya ke bibir.Momoy menatap tajam dengan dahi yang berkerut."Pasti Mbak Dian takut sesuatu. Apa takut sama Bu Sapto?""Huuusssst! Momooy, diem!"Momoy pun menggeser tubuhnya mendekati Dian. Yang terlihat cemas dan gelisah. Terlihat da
Bu Marto menggamit lengan Dian. Agar sedikit merapat padanya. Membuat Dian keheranan. Baginya apa pun yang terjadi. Akan dia laporkan semua pada Harso."Bu Hana ini salah seorang pemandi jenazah Bu Sapto.""Apa? Pemandi jenazah?" Sahut Dian sembari menoleh pada Momoy."Iya. Raisa kan juga pemandi jenazah Bu Sapto. Dan ini sudah tiga orang pemandi jenazah Bu Sapto yang meninggal.""Meninggal? Memang ada berapa orang pemandi jenazahnya?"Tanpa menjawab, Bu Marto hanya mengangkat jemari tanagn. Dengan menunjukkan lima angka jari. "Ada lima orang?""Iya. Dan salah satunya Raisa.""Raisaaa ...?" Suara Dian bagai tercekat. Bu Marto hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Dian."Aku takut bila terjadi sesuatu hal pada Raisa," bisik Bu Marto."Memang meninggalnya Bu Hana karena apa?"Bu Marto kembali menggeleng."Yang jelas, kuku jempol tangannya hilang. Sama dengan kejadian Bu Martyo, sama Bu Tyas."
Lelaki itu menggeleng. Harso terlihat kebingungan. Selama ini kalau ada apa-apa, dia selalu menghubungi Delon."Aku enggak tahu. Apa yang terjadi sama mereka? Kok bisa HP Delon enggak bisa dihubungi?""Mungkin mereka sibuk. Lalu kelelahan dan capek buanget. Terus langsung tidur.""Entah, Mbak Dian. Aku juga bingung. Tolong besok pagi kamu ikut sama Bu Marto melayat ke rumah Bu Hana. Cari tau semua tentang kematian wanita ini. Paham ya Mbak?""Sangat paham, Pak. Besok pagi setelah Momoy sekolah, saya akan ikut Bu Marto.""Sekarang kalian tidurlah!""Ta-tapi, saya mau bilang ke Bu Marto dulu Pak. Takut besok ditinggal."Harso mengangguk. Buru-buru langkah Dian keluar rumah. Dia mmbuka pagar yang sudah tertutup rapat. Suasana di sekitar rumah mereka terlihat sepi dan sunyi. Bahkan hembusan angin malam tak terasa olehnya."Tiga rumah dari sini," bisik Dian.Langkahnya berhenti di depan sebuah rumah tanpa pagar. Sejenak
Terdengar dia menghela napas panjang dan dalam. Seolah ingin semua segera berakhir. "Raisa ... semoga diri kamu baik-baik saja. Apalagi, satu persatu para pemandi jenazah Bu Sapto meninggal. Kamu harus bisa kalahkan semua ini, Sa." Bersamaan dengan selesainya ucapan wanita itu. Terdengar suara pintu yang terbuka perlahan. Kriiiiet! Seketika matanya terbelalak. "Su-suara pintu mana itu? Perasan Andi enggak pulang malam ini. Tidur di rumah temannya." Buru-buru Bu Marto turun dari ranjang. Perlahan dia membuka piuntu kamar. Lalu melongok keluar. Melihat ke arah kiri dan kanan. Tak terlihat siapa pun juga. "Hemmm ... aneh? Enggak ada pintu yang kebuka. Apa di rumah sebelah kali ya?" Tak lama, Bu Marto menutup pintu kamar. Dan berjalan menuju ranjang lalu duduk di pinggiran. Masih dengan perasaan yang aneh. Sesaat dia terdiam dan kembali mendengar suara derit pintu yang terbuka. Spontan kepalanya bergerak menoleh ke
Suara lirihnya terhenti. Saat Bu Marto mendengar derap langkah di luar kamar. Seakan membuat jantungnya berhenti berdetak."Diaaaa ...?" Suara Bu Marto terdengar berbisik.Kini napasnya berhembus sangat cepat. Saat suara derap langkah itu tak lagi terdengar. Namun entah mengapa Bu Marto merasa bila sosoknya ada di dlama kamar ini. Hingga dia mulai merasakan saat selimut ada yang menarik perlahan. Hingga mulai terangkat, membuat ujung kakinya terasa dingin."Haaaahhh!" Hampir saja wanita paruh baya itu berteriak. Namun dia tutup dengan kedua tangan. Bu Marto membekap mulutnya sendiri.Saat ini dia tak tahu lagi harus berbuat apa? Ketika tersadar. Bu Marto segera membaca surat dan doa yang dia hapal. Namun tetap saja lidahnya terasa kelu. Semua hapalan yang semula di luar kepala. Kini ambyar, bagai hilang tak berbekas."Ke-kenapa ... kamu mendatangiku, Bu Sapto?" Suara Bu Marto terdengar bergetar. Tanpa dia membuka selimutnya."Endi ... ku
Mendapat jawaban lirih itu. Membuat Dian penasaran. Dia langsung membantu agar Bu Marto bisa duduk lebih santai."Ada apa sih Bu sebenarnya?""D-dia, telah mengancam aku.""Dia siapa ini Bu"?""Bu Sapto! Bahkan dia juga mengancam aku. Bahwa aku sebentar lagi akan mati!""Maksud Ibu, Bu sapto mengancam?" ulang Harso, tampak raut wajahnya yang tegang.Wanita itu mengangguk lemah."D-dia berdiri di halaman depan rumah. Ta-tapi awalnya bukan Bu Sapto. Sosok wanita aneh yang berpakaian serba hitam.`Pas waktu aku datangi dan tepuk bahunya. Dia noleh ke aku. Dan--"Bu Marto geleng-geleng. Dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sembari tubuhnya bergidik. Membuat Harso dan Dian ikut merasa ngeri."Dan, apa Bu?" desak Dian pada Bu Marto untuk menceritakan semua."Wajah wanita itu tiba-tiba berubah menjadi wajah Bu Sapto. Make upnya tebal dengan gincu merah menyala. Mata yang membulat lebar, ada kayak beberapa tetes
Tiba-tiba ....Kriiing kriiing kriiing!Sontak membuat Harso terhenyak. Langsung dia melompat dan mengangkat telepon. Berharap jika Raisa yang akan menelepon dirinya."Assalamualaikum, Bapak?""Waalaikumsalam. Kamu Nak, Raisa?""Iya, Pak. Maaf baru sempat telepon dan kasih kabar. Hp Mas Delon rusak, Bapak catat nomer ini ya. Teleponnya Gus Hamaz.""Gus Hamaz?""Iya, Pak. Raisa ada di pesantren sekarang. Kalau pas di rumah aja Raisa ceritakan semuanya. Ini Pak, 0341 ...."Sembari mencari bolpen. Harso mencatat pada secarik kertas. Yang lau dia tempelkan di dinding."Ehhh, Raisa tunggu dulu. Bapak cuman mau kasih tau kamu. Kalau tadi malam Bu Hana baru saja meninggal.""Innalillahi Wainna Ilaihi Rojioun. Bu Hana pemandi jenazah Bu Sapto itu 'kan Pak?""IYa, Raisa. Makanya semalam Bapak itu gelisah. Kepikiran kamu terus. Tapi, kalau keadaan kamu baik-baik saja, ya udah
Tampak Dian terus memerhatikan jasad Bu Hana yang sudah ditutupi kain jarik. Yang siap akan diberangkatkan. Tiba-tiba, Dian menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Membuat Bu Marto keheranan."Ada apa?" bisik Bu Marto."Sa-saya melihat ... pocong Bu Hana di samping jasadnya, Bu.""Haaahhh? A-apa, Mbak Dian?" bisik Bu Marto, dengan merapat pada tubuh Dian."Saya melihat pocong Bu Hana, di samping jasadnya Bu," ulang Dian berbisik.Seketika Bu Marto membekap mulutnya sendiri. Sembari menatap tajam pada Dian yang juga mengarahkan pandangannya pada dirinya."Aku enggak berani melihat ke sana, Bu.""Jangan dilihat!"Tak lama, seorang wanita seumuran Dian mendekati mereka. Memberikan air mineral, seraya tersenyum."Silakan diminum, Bu. Mbak ...!""Makasih, Mbak. Anaknya Bu Hana?" tanya Bu Marto mulai mencari tahu."Benar sekali, Bu. Apa, Ibu kenal dengan Mama saya?"Bu Marto mengangguk."Si
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga