Suara lirihnya terhenti. Saat Bu Marto mendengar derap langkah di luar kamar. Seakan membuat jantungnya berhenti berdetak.
"Diaaaa ...?" Suara Bu Marto terdengar berbisik.
Kini napasnya berhembus sangat cepat. Saat suara derap langkah itu tak lagi terdengar. Namun entah mengapa Bu Marto merasa bila sosoknya ada di dlama kamar ini. Hingga dia mulai merasakan saat selimut ada yang menarik perlahan. Hingga mulai terangkat, membuat ujung kakinya terasa dingin.
"Haaaahhh!" Hampir saja wanita paruh baya itu berteriak. Namun dia tutup dengan kedua tangan. Bu Marto membekap mulutnya sendiri.
Saat ini dia tak tahu lagi harus berbuat apa? Ketika tersadar. Bu Marto segera membaca surat dan doa yang dia hapal. Namun tetap saja lidahnya terasa kelu. Semua hapalan yang semula di luar kepala. Kini ambyar, bagai hilang tak berbekas.
"Ke-kenapa ... kamu mendatangiku, Bu Sapto?" Suara Bu Marto terdengar bergetar. Tanpa dia membuka selimutnya.
"Endi ... ku
Mendapat jawaban lirih itu. Membuat Dian penasaran. Dia langsung membantu agar Bu Marto bisa duduk lebih santai."Ada apa sih Bu sebenarnya?""D-dia, telah mengancam aku.""Dia siapa ini Bu"?""Bu Sapto! Bahkan dia juga mengancam aku. Bahwa aku sebentar lagi akan mati!""Maksud Ibu, Bu sapto mengancam?" ulang Harso, tampak raut wajahnya yang tegang.Wanita itu mengangguk lemah."D-dia berdiri di halaman depan rumah. Ta-tapi awalnya bukan Bu Sapto. Sosok wanita aneh yang berpakaian serba hitam.`Pas waktu aku datangi dan tepuk bahunya. Dia noleh ke aku. Dan--"Bu Marto geleng-geleng. Dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sembari tubuhnya bergidik. Membuat Harso dan Dian ikut merasa ngeri."Dan, apa Bu?" desak Dian pada Bu Marto untuk menceritakan semua."Wajah wanita itu tiba-tiba berubah menjadi wajah Bu Sapto. Make upnya tebal dengan gincu merah menyala. Mata yang membulat lebar, ada kayak beberapa tetes
Tiba-tiba ....Kriiing kriiing kriiing!Sontak membuat Harso terhenyak. Langsung dia melompat dan mengangkat telepon. Berharap jika Raisa yang akan menelepon dirinya."Assalamualaikum, Bapak?""Waalaikumsalam. Kamu Nak, Raisa?""Iya, Pak. Maaf baru sempat telepon dan kasih kabar. Hp Mas Delon rusak, Bapak catat nomer ini ya. Teleponnya Gus Hamaz.""Gus Hamaz?""Iya, Pak. Raisa ada di pesantren sekarang. Kalau pas di rumah aja Raisa ceritakan semuanya. Ini Pak, 0341 ...."Sembari mencari bolpen. Harso mencatat pada secarik kertas. Yang lau dia tempelkan di dinding."Ehhh, Raisa tunggu dulu. Bapak cuman mau kasih tau kamu. Kalau tadi malam Bu Hana baru saja meninggal.""Innalillahi Wainna Ilaihi Rojioun. Bu Hana pemandi jenazah Bu Sapto itu 'kan Pak?""IYa, Raisa. Makanya semalam Bapak itu gelisah. Kepikiran kamu terus. Tapi, kalau keadaan kamu baik-baik saja, ya udah
Tampak Dian terus memerhatikan jasad Bu Hana yang sudah ditutupi kain jarik. Yang siap akan diberangkatkan. Tiba-tiba, Dian menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Membuat Bu Marto keheranan."Ada apa?" bisik Bu Marto."Sa-saya melihat ... pocong Bu Hana di samping jasadnya, Bu.""Haaahhh? A-apa, Mbak Dian?" bisik Bu Marto, dengan merapat pada tubuh Dian."Saya melihat pocong Bu Hana, di samping jasadnya Bu," ulang Dian berbisik.Seketika Bu Marto membekap mulutnya sendiri. Sembari menatap tajam pada Dian yang juga mengarahkan pandangannya pada dirinya."Aku enggak berani melihat ke sana, Bu.""Jangan dilihat!"Tak lama, seorang wanita seumuran Dian mendekati mereka. Memberikan air mineral, seraya tersenyum."Silakan diminum, Bu. Mbak ...!""Makasih, Mbak. Anaknya Bu Hana?" tanya Bu Marto mulai mencari tahu."Benar sekali, Bu. Apa, Ibu kenal dengan Mama saya?"Bu Marto mengangguk."Si
Mereka berdua melihat ke arah video yang terhenti. "Lihat di bagian belakang Bu Hana!" "I-ini ...!" Tunjuk Bu Marto. "Iya, coba Mbak perhatikan dengan seksama. Apa itu?" Dian terus mengamati mereka berdua. Yang terlihat serius, melihat video Bu Hana. "Ini seperti sebuah bayangan?" Suara Bu Marto terdengar lirih. Dian pun mengangguk. "Coba Mbak dan Ibu lihat lebih jelas lagi. Bayangan apa itu?" Mereka berdua mengikuti apa yang dikatakan Dian. Saat keduanya mulai memperhatikan bayangan itu. Bu Marto sepertinya baru tersadar. Dia segera beringsut mundur dan menjauh dari ponsel yang masih dipegang anak Bu Hana. Napas Bu Marto tersengal-sengal. Raut wajahnya terlihat sangat tegang dan berubah pucat. Dia terus memerhatikan Bu Marto yang kini duduk di sampingnya. "A-ada apa, Bu?" tanya Dian gelisah dan khawatir. "Dia, Mbak. Yang semalam aku lihat. Sama persis dengan yang dalam video." "Ma-maksud Ibu apa
Tampaknya Dian sudah membaca terlebih dahulu."Jumat legi dan malam Suro?" Bisik Dian seraya menoleh pada Rini."Iya, Mbak. Tepat di hari-hari itu. Mama selalu kumat. Hampir tak bisa diajak bicara.""Terus ...?""Pernah waktu jumat legi, Mama kelojotan. Dia kayak kesakitan gitu, Mbak. Di atas kasur muter-muter enggak karuan. Kita serumah sampai kebingungan. Tak lama setelah itu, Mama biasanya langung muntah darah, Mbak."Dian hanya bisa menahan napas dan mengelus dada. Tak menyangka akan mendengar cerita Rini tentang Bu Hana. Seketika membuat kedua lutut Dian terasa lemas. Dia langsung duduk di sebelah Rini yang masih murung."Mbak pasti heran dengan cerita ini. Apalagi yang aku ceritakan itu hanya seujung kuku. Dari cerita yang sebenarnya.""Berarti masih banyak cerita yang lebih menyeramkan?"Rini mengangguk."Sangat banyak, Mbak. Pernah suatu malam. Mama terbangun dan jalan sendirian menuju ruang belakang. Untun
Dian dan Rini segera keluar kamar. Ketika keluarga dari adik Bu Hana sudah datang. Setelah melakukan sholat jenazah. Jasad Bu Hana segera dimakamkan.Tak lama, Dian pun berpamitan pulang pada Rini. Tampak Bu Marto lebih diam dari biasanya. Membuat Dian sampai keheranan melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah."Bu Marto sakit?"Wanita itu menggeleng."Kok diam aja?""Enggak apa-apa kok, Mbak Dian.""A-pa ... Ibu mikirin kejadian semalam?"Kembali Bu Marto diam lagi. Kali ini sengaja Dian membiarkan wanitaitu, larut dalam pikirannya. Hanya lima belas menit berlalu. Akhirnya mereka sampai di depan rumah Bu Marto.Tampak Dian langsung memasukkan motor ke halaman rumah. Lagi-lagi sikap Bu Marto masih dingin dan aneh. Membuat Dian terheran-heran. Lalu menepuk bahu wanita itu.Sontak Bu Marto berjingkat. Sampai deru napasnya terdengar keras. Bola matanya melotot ke arah Dian yang masih terhenyak melihat perubahan pada Bu Marto.
"Ehhh ... sosok Bu Sapto, sama sosok wanita yang berpakaian hitam. Yang sepertinya sekarang membuntuti, Bu Marto. "Haaaahhh?" Segera Raisa menutup teleponnya. Tampak dia sangat gelisah. Berjalan mondar mandir, kebingungan. Membuat Delon yang memerhatikan Raisa dari ujung ruang belakang. Menjadi bertanya-tanya. "Ada apa Raisa sampai seperti itu?" Dengan langkah lebar Delon mendatangi Raisa. Yang terlihat sangat tegang. Tangannya menepuk pelan bahu Raisa. Membuat gadis itu melompat dan menjerit. "Mas Delooon!" teriak Raisa benar-benar terkejut. "Maaf, Raisa. Tapi, kamu kelihatan aneh gitu?" "Bukan aneh Mas. Tapi aku beneran lagi bingung." "Memangnya kenapa?" Raisa mengajak Delon keluar rumah. Menuju taman yang berada di depan kamar mereka. "Jauhnya mau ngomong aja pakai ke sini." "Mas Delon aku khawatir sama Bu Marto." "Bu Marto, ada apa dengan dia?" "Aku cemas Mas. Soalnya Bu Marto
"Terakhir kita sampai pada Bu Marsinah yang pulang ke rumah ya?""Benar, Mas Hamaz. Dan ternyata si Mariman sudah menunggunya," lanjut Delon."Coba kalian lihat lagi gambar ini!" Hamaz menunjukkan sebuah gambar yang sama."Kenapa gambar-gambar ini sama dengan lembar pertama?" tanya Raisa heran."Itu juga pertanyaan aku, Sa. Apa mungkin meninggalnya Bu Marsinah bunuh diri? Atau dibunuh?"Tiba-tiba, pernyataan Delon membuat Hamaz dan Raisa terkesiap. Pemikiran itu ada benarnya. Karena dari awal dia menulis, dalam buku itu sudah ada gambar tentang seorang wanita yang mati dengan sebilah belati."A-pa aku salah bicara?" tanya Delon kebingungan. Karena Hamaz dan Raisa menatap tajam ke arahnya."Bukan salah Mas Delon. pemikiran yang benar aku rasa. Ada kemungkinan itu bisa terjadi. Lalu kenapa dia sudah menggambarkan semua itu sebelum kematiannya?""Mungkin Bu Marsinah sudah merasa sebelum semua terjadi, Mas Hamaz. Jadi seperti sudah