Lelaki itu seperti tidak terkejut sama sekali.
"Apa kejadian ini sering terjadi?"
"Sangat sering."
"Haaahhh! Sering?" ulang Riyani semakin terperanjat.
"Iya, entahlah? Mungkin sepertinya ada yang mencari tumbal. Dan memasangnya di jalan ini."
Seketika Riyani terperangah. Saat mendnegar kata tumbal.
"Ta-tapi, siapa Pak yang kira-kira memakai tumbal ini?"
"Sayangnya kita juga enggak ada yang tau, Bu. Banyak juga warga yang menanykan pada orang pintar. Mereka enggak mampu menembus kemampuan dukun orang itu. Ada juga yang bilang. Kalau pemiliknya meninggal baru ketahuan."
"Wahhh, kok bisa begitu Pak. Jahat sekali ini!"
"Memang, Bu. Katanya ada yang bilang. Sisa anggota badan yang tercecer, memang sengaja diambil dan disimpan. Untuk persembahan dan bukti tumbal yang sudah diserahkan."
"Haaaahhh!"
Riyani semakin ternganga. Begitu juga dengan Harso sampai tak bisa berkata-kata lagi.
"Memangnya itu tumbal un
"Lalu sekarang enaknya gimana, Mbak? Aku sama Raisa dihantui Darsih terus Mbak.""Aku akan cari caranya, Yan. Aku akan balas perbuatan orang itu sama anakku! Kita lihat saja, Yan. Akan aku balaskan semuanya!" seru Karsiyem dengan pandangan mata yang kosong.Suaranya terdengar hingga balik pintu. Membuat Harso terlihat sangat tegang. Dan kata-kata itu bagai terpatri dalam kepalanya hingga kini.Saat dia menceritakan itu semua. Tersirat dalam bola matanya kegelisahan. Lalu menatap pada Raisa. Yang terbengong dengan cerita sang bapak."Ja-jadi Mbah Karsiyem itu teman Emak Haji?""Iya, Raisa. Hubungan mereka sangat dekat.""Lalu, Pak. Apakah Mbah Karsiyem bisa menemukan bola mata itu?"Harso menggeleng."Tapi, sepertinya Mbah Karsiyem tau siapa pelakunya. Hanya saja dia tak pernah cerita. Enggak tau juga kalau ke Emak.""Lalu, Pak?""Sejak kejadian itu. Mbah Karsiyem jarang keluar rumah, Sa. Dia jadi sangat tertutup s
Rumah kediaman DelonDi teras rumah belakang. Terdengar suara orang yang sedang berbincang serius. Ternyata Delon bersama Pak Karjo.Delon menceritakan semua kejadian yang dia alami bersama Raisa. Kejadian yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Sungguh di luar akal pikirannya."Jadi, Mas Delon belum bertemu keluarganya sama sekali?""Belum, Pak!""Hemmm. Tapi kira-kira tau di mana mereka tinggal sekarang?"Delon menggeleng."Cuman kalau soal itu. Mudah lah aku carinya, Pak. Cuman aku ngeri juga bayangin kejadian tadi. Apalagi waktu teringat toples-toples itu."Karjo terus memerhatikan yang diucapkan Delon. Sampai sebuah suara cukup keras. Sangat mengejutkan terdengar mereka berdua.Bleeep!"Suara apa itu, Pak?" Suara Delon penuh penekanan. Dia sepertinya tahu dari arah mana suara itu berasal."Suara pintu mobil, Mas. Sepertinya dari garasi.""A-apa dia lagi?" ucap Delon t
Anak muda itu langsung mengulurkan tangannya."Ada apa Mas Delon?" tanya Nandar."Saya ini selalu dikejar sosok hantu seorang wanita yang bernama Bu Sapto, Pak. Sebenarnya saya sendiri enggak ada sangkut pautnya. Teman saya yang jadi pemandi jenazahnya. Yang saya heran. Kenapa sampai hantu itu, ikut menghantui dan menganggu?"Nandar mendengarkan dengan seksama. Sembari janggutnya manggut-manggut."Tunggu sebentar, Mas."Lelaki itu beranjak dari duduknya. Dia berjalan masuk. Pandangan Delon mengitari isi rumah sederhana itu. Sesekali dia melempar pandangannya ke arah tambak yang ada di depan rumah.Tak berapa lama. Terdengar suara langkah berjalan mendekati mereka. Nandar kembali muncul dengan membawa sebuah tempat kecil. Yang berisi garam.Dia meletakkan garam itu di tengah mereka. Lalu mengambil sejumput dan meletakkan di sebuah piring kecil. Jari telunjuk mengacak garam dengan arah yang memutar. Kedua mata Nandar terpejam rapat. Ses
"Bener juga yang Pak Nandar bilang. Selain itu ada lagi, Pak?"Lelaki itu mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik hitam. Lalu menyerahkannya pada Delon."Bawa ini Mas Delon. Kalau sampean mau selidiki masalah ini. Misal sampean datang ke sebuah rumah, ya tebarkan di halamannya. Biar jalannya terang, enggak ditutupi oleh mereka ini. Para jin dan iblis yang berada di balik si dukun, Mas. Kalau di jalan atau semua tempat yang nanti mau Mas Delon tuju. Sebarkan aja.""Hanya di sebarkan saja, Pak?""Iya, Mas. Ini cuman garam kok. Saya beri doa. Semua kan dari Allah."Tampak Delon manggut-manggut. Lalu mereka berpamitan pulang. Dalam perjalanan Delon masih terngiang percakapannya dengan lelaki tadi."Pak Karjo masih ngantuk?""Udah enggak, Mas. Kapan rencana Mas Delon mau mencari tahu?""Besok pagi mau telpon Raisa dulu. Mungkin dia punya berita baru. Aku akan ajak dia.""Baik, Mas.""Semoga masalah ini segera kelar
Sesampai di rumah. Buru-buru Raisa hendak menelepon Delon. Belum sampai dia menyentuh gagang telepon.Kriiing kriiing kriiing!Telepon rumah berdering. Harso berjalan mendekat. Namun Raisa sudah menyambar terlebih dahulu."Assalamualaikum. Hallo!""Waalaikumsalam, Raisa.""Mas Delon ya?""Iya, Sa. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.""Sama, Mas. Aku juga.""Ya, udah aku ke sana pagi ini juga.""Ehhh, Mas Delon. Tungg--"Tut tut tut!"Lah kok sudah di tutup?"Harso menatap tajam pada Raisa. Dia sampai mengernyitkan dahi, keheranan. Lalu duduk di sebelah Raisa."Pak Delon?""Iya, Pak. Mau ke sini.""Hemmm, apa enggak ngantor dia," gumam Harso.Harso langsung pergi masuk kamar. Dia begegas untuk berganti pakaian. Sedangkan Raisa menyiapkan nasi pecel yang tadi baru saja dia beli."Bapak, Sarapan dulu ya?""Iya, Sa. Ingat, Bapak nanti
Delon masih terbelalak dengan kalimat yang terlontar dari Raisa."Ja-jadi ada yang meninggal lagi?""Iya, Mas. Dan, kuku jempolnya juga hilang.""Ta-tapi, meninggalnya karena apa?"Raisa menggeleng."Semua masih belum jelas, Mas. Tadi Bu Marto ingin ajak aku. Karena udah janjian sama Mas Delon, ya dia berangkat duluan.""Kalau gitu, habis ini kita langsung ke sana aja, Sa."Mobil mereka pun meluncur menuju rumah Bu Martyo. Tak seperti biasanya. Jalanan menuju desa sebelah sangat lengang."Kamu tau rumahnya, Sa?""Kita tanya aja, Mas. Aku juga enggak tau rumahnya."Telunjuk Raisa menunjuk ke arah depan. Mobil pun berhenti di pinggiran jalan. Bergegas Raisa turun dan mulai bertanya pada seorang warga yang duduk di depan rumahnya.Dari dalam mobil Delon memerhatikan wanita itu memberikan arahan pada Raisa. Gadis itu pun terlihat manggut-manggut. Sepertinya dia sudah mengerti arahan yang diberikan oleh sang wan
Raisa masih terngiang dengan permintaan wanita itu. Dia menyuruh Raisa untuk membaca buku Bu Martyo. Sampai Delon sedarai tak berani untuk bertanya. Saat melihat Raisa yang termenung dengan memegang buku itu."Kamu masih tak ingin membacanya juga?""A-pa Mas Delon ingin melihatnya?""Sini, sebelum kita carai rumah keluarga Bu Sapto."Tak ragu Raisa memberikan buku itu pada Delon. Dia langsung mengamati dengan seksama setiap coretan dalam lembarnya."Ini, seperti catatan yang dia alami, Sa. Aku bacakan ya?""Iya, Mas."Hari pertamaEntah kenapa? Malam ini sangat berbeda. Tak seperti biasanya kalau aku memandikan jenazah. Kali ini, jenazah Bu Sapto terus menghantui. Dia mencari kukunya yang hilang. Aku benar-benar ketakutan. Ini sangat aneh.Hari keduaMalam ini, aku benar-benar tak bisa tidur. Mataku selalu melihat sekelbat bayangan hitam. Yang selalu mempermainka
"Bener, Mas. Sebuah teka teki yang sulit. Mesti harus dipecahkan. Untuk mencari sumber permasalahan yang sebenarnya. Iya 'kan, Mas?""Dari sini lah, Sa. Kita harus mencari rumah keluarga Bu Sapto. Semalam orang yang aku datangi juga bilang kayak gitu.""Sama, Mas. Mbah Karsiyem juga bilang begitu."Delon mengernyitkan dahi."Siapa Mbah Karsiyem?""Dia juga korban tumbal, Mas. Entah kenapa dia menampakkan dirinya sama aku. Anaknya dulu juga korban tumbal Bu Sapto juga.""Haaahhh? Serius?"Raisa mengangguk. Lalu mengambil buku dari pangkuan Delon."Sekarang kita harus mulai dari mana, Mas?""Sepertinya kita harus kembali ke rumah Bu Sapto. Tapi bukan tanya sama Bu Aminah. Sama tetangga kiri kanannya aja kita tanya, Sa. Gimana?""Aku setuju, Mas."Mobil pun mulai bergerak meninggalkan rumah Bu Martyo. Menuju jalan ke rumah almarhum Bu Sapto. Sekian menit berlalu. Mobil sudah berhenti di depan rumah Bu Sa