Rumah kediaman Delon
Di teras rumah belakang. Terdengar suara orang yang sedang berbincang serius. Ternyata Delon bersama Pak Karjo.
Delon menceritakan semua kejadian yang dia alami bersama Raisa. Kejadian yang menurut dia sangat tidak masuk akal. Sungguh di luar akal pikirannya.
"Jadi, Mas Delon belum bertemu keluarganya sama sekali?"
"Belum, Pak!"
"Hemmm. Tapi kira-kira tau di mana mereka tinggal sekarang?"
Delon menggeleng.
"Cuman kalau soal itu. Mudah lah aku carinya, Pak. Cuman aku ngeri juga bayangin kejadian tadi. Apalagi waktu teringat toples-toples itu."
Karjo terus memerhatikan yang diucapkan Delon. Sampai sebuah suara cukup keras. Sangat mengejutkan terdengar mereka berdua.
Bleeep!
"Suara apa itu, Pak?" Suara Delon penuh penekanan. Dia sepertinya tahu dari arah mana suara itu berasal.
"Suara pintu mobil, Mas. Sepertinya dari garasi."
"A-apa dia lagi?" ucap Delon t
Anak muda itu langsung mengulurkan tangannya."Ada apa Mas Delon?" tanya Nandar."Saya ini selalu dikejar sosok hantu seorang wanita yang bernama Bu Sapto, Pak. Sebenarnya saya sendiri enggak ada sangkut pautnya. Teman saya yang jadi pemandi jenazahnya. Yang saya heran. Kenapa sampai hantu itu, ikut menghantui dan menganggu?"Nandar mendengarkan dengan seksama. Sembari janggutnya manggut-manggut."Tunggu sebentar, Mas."Lelaki itu beranjak dari duduknya. Dia berjalan masuk. Pandangan Delon mengitari isi rumah sederhana itu. Sesekali dia melempar pandangannya ke arah tambak yang ada di depan rumah.Tak berapa lama. Terdengar suara langkah berjalan mendekati mereka. Nandar kembali muncul dengan membawa sebuah tempat kecil. Yang berisi garam.Dia meletakkan garam itu di tengah mereka. Lalu mengambil sejumput dan meletakkan di sebuah piring kecil. Jari telunjuk mengacak garam dengan arah yang memutar. Kedua mata Nandar terpejam rapat. Ses
"Bener juga yang Pak Nandar bilang. Selain itu ada lagi, Pak?"Lelaki itu mengeluarkan bungkusan dari kantong plastik hitam. Lalu menyerahkannya pada Delon."Bawa ini Mas Delon. Kalau sampean mau selidiki masalah ini. Misal sampean datang ke sebuah rumah, ya tebarkan di halamannya. Biar jalannya terang, enggak ditutupi oleh mereka ini. Para jin dan iblis yang berada di balik si dukun, Mas. Kalau di jalan atau semua tempat yang nanti mau Mas Delon tuju. Sebarkan aja.""Hanya di sebarkan saja, Pak?""Iya, Mas. Ini cuman garam kok. Saya beri doa. Semua kan dari Allah."Tampak Delon manggut-manggut. Lalu mereka berpamitan pulang. Dalam perjalanan Delon masih terngiang percakapannya dengan lelaki tadi."Pak Karjo masih ngantuk?""Udah enggak, Mas. Kapan rencana Mas Delon mau mencari tahu?""Besok pagi mau telpon Raisa dulu. Mungkin dia punya berita baru. Aku akan ajak dia.""Baik, Mas.""Semoga masalah ini segera kelar
Sesampai di rumah. Buru-buru Raisa hendak menelepon Delon. Belum sampai dia menyentuh gagang telepon.Kriiing kriiing kriiing!Telepon rumah berdering. Harso berjalan mendekat. Namun Raisa sudah menyambar terlebih dahulu."Assalamualaikum. Hallo!""Waalaikumsalam, Raisa.""Mas Delon ya?""Iya, Sa. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.""Sama, Mas. Aku juga.""Ya, udah aku ke sana pagi ini juga.""Ehhh, Mas Delon. Tungg--"Tut tut tut!"Lah kok sudah di tutup?"Harso menatap tajam pada Raisa. Dia sampai mengernyitkan dahi, keheranan. Lalu duduk di sebelah Raisa."Pak Delon?""Iya, Pak. Mau ke sini.""Hemmm, apa enggak ngantor dia," gumam Harso.Harso langsung pergi masuk kamar. Dia begegas untuk berganti pakaian. Sedangkan Raisa menyiapkan nasi pecel yang tadi baru saja dia beli."Bapak, Sarapan dulu ya?""Iya, Sa. Ingat, Bapak nanti
Delon masih terbelalak dengan kalimat yang terlontar dari Raisa."Ja-jadi ada yang meninggal lagi?""Iya, Mas. Dan, kuku jempolnya juga hilang.""Ta-tapi, meninggalnya karena apa?"Raisa menggeleng."Semua masih belum jelas, Mas. Tadi Bu Marto ingin ajak aku. Karena udah janjian sama Mas Delon, ya dia berangkat duluan.""Kalau gitu, habis ini kita langsung ke sana aja, Sa."Mobil mereka pun meluncur menuju rumah Bu Martyo. Tak seperti biasanya. Jalanan menuju desa sebelah sangat lengang."Kamu tau rumahnya, Sa?""Kita tanya aja, Mas. Aku juga enggak tau rumahnya."Telunjuk Raisa menunjuk ke arah depan. Mobil pun berhenti di pinggiran jalan. Bergegas Raisa turun dan mulai bertanya pada seorang warga yang duduk di depan rumahnya.Dari dalam mobil Delon memerhatikan wanita itu memberikan arahan pada Raisa. Gadis itu pun terlihat manggut-manggut. Sepertinya dia sudah mengerti arahan yang diberikan oleh sang wan
Raisa masih terngiang dengan permintaan wanita itu. Dia menyuruh Raisa untuk membaca buku Bu Martyo. Sampai Delon sedarai tak berani untuk bertanya. Saat melihat Raisa yang termenung dengan memegang buku itu."Kamu masih tak ingin membacanya juga?""A-pa Mas Delon ingin melihatnya?""Sini, sebelum kita carai rumah keluarga Bu Sapto."Tak ragu Raisa memberikan buku itu pada Delon. Dia langsung mengamati dengan seksama setiap coretan dalam lembarnya."Ini, seperti catatan yang dia alami, Sa. Aku bacakan ya?""Iya, Mas."Hari pertamaEntah kenapa? Malam ini sangat berbeda. Tak seperti biasanya kalau aku memandikan jenazah. Kali ini, jenazah Bu Sapto terus menghantui. Dia mencari kukunya yang hilang. Aku benar-benar ketakutan. Ini sangat aneh.Hari keduaMalam ini, aku benar-benar tak bisa tidur. Mataku selalu melihat sekelbat bayangan hitam. Yang selalu mempermainka
"Bener, Mas. Sebuah teka teki yang sulit. Mesti harus dipecahkan. Untuk mencari sumber permasalahan yang sebenarnya. Iya 'kan, Mas?""Dari sini lah, Sa. Kita harus mencari rumah keluarga Bu Sapto. Semalam orang yang aku datangi juga bilang kayak gitu.""Sama, Mas. Mbah Karsiyem juga bilang begitu."Delon mengernyitkan dahi."Siapa Mbah Karsiyem?""Dia juga korban tumbal, Mas. Entah kenapa dia menampakkan dirinya sama aku. Anaknya dulu juga korban tumbal Bu Sapto juga.""Haaahhh? Serius?"Raisa mengangguk. Lalu mengambil buku dari pangkuan Delon."Sekarang kita harus mulai dari mana, Mas?""Sepertinya kita harus kembali ke rumah Bu Sapto. Tapi bukan tanya sama Bu Aminah. Sama tetangga kiri kanannya aja kita tanya, Sa. Gimana?""Aku setuju, Mas."Mobil pun mulai bergerak meninggalkan rumah Bu Martyo. Menuju jalan ke rumah almarhum Bu Sapto. Sekian menit berlalu. Mobil sudah berhenti di depan rumah Bu Sa
"Ba-bagaimana bisa? Buku itu aku pegang bisa terlempar begitu saja. Ini benar-benar aneh."Pandangan matanya tak lepas dari buku catatan itu. Sampai panggilan Momoy mengejutkannya."Mbak Raisa cari apaan?""Enggak! Aku enggak cari apa-apa kok.""Lah itu!" ujar Momoy dengan menunjuk ke arah lantai.Bergegas Raisa mengambil buku milik Bu Martyo. Lalu mendekapnya dan berjalan menuju kamar."Emang itu bukunya siap, Mbak?""Udahlah, ganti baju sana. Kok pengen tau aja!""Masa tanya gitu aja enggak boleh?""Boleh, Moy. Tapi, jangan semua pertanyaan kamu, Mbak juga harus jawab. Ingat kamu ini masih kecil!"Dengan wajah masam dan bibir yang cemberut. Momoy pergi meninggalkan kamar Raisa. Terdengar Raisa menghela napas panjang. Dia merasa bersalah bersikap sedikit ketus dengan adiknya.Langkah Raisa keluar kamar menuju kamar sang Bapak. Dia berdiri di ambang pintu. Melihat pada adiknya yang masih terlihat marah.
Terlihat Satriya menyesap rokok yang ada di sela jari. Lalu napasnya berhembus kasar. Seolah ada sesuatu yang berat."Anak kamu ini, sudah ditandai oleh mereka.""Ditandai bagaimana?" tanya Harso terbelalak."Ya, ditandai sama dukunnya."Seketika itu juga Harso menarik lengan Satriya."Apa maksud dengan dukun? Bukannya si Bu sapto ini kan sudah emninggal. Enggak ada yang pergi ke dukunnya lagi. Iya 'kan?""Itu kan menurut sampean Mas Harso. Tapi, kenyataannya ini enggak begitu. Ikatan perjanjian ini tidak akan batal biar pun orangnya ini meninggal. Perjanjian ini akan terus berjalan dan terus mencari tumbalnya sendiri. Bahkan bisa lebih ngawur lagi.""Ngawur katamu?"Satriya mengangguk. Sembari terus menyesap rokoknya. Dia pun ikut memerhatikan Harso yang kebingungan."Pesugihan ini enggak main-main, Mas. Sangat bahaya dan menakutkan. Sampean tahu, ini akan berlaku sampai turun menurun. Dan pihak keluarga ini tak akan mi
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga