"Coba bersihkan wajahmu dulu!”
Gadis itu membersihkan wajahnya dengan cepat. Setelah selesai membersihkan. Raisa kembali melihat wajahnya di cermin.
“Gimana?” tanya sang Bapak.
Gadis itu hanya mengangguk.
“Ya sudah, kalian tidur sekarang!”
“Tapi, Pak. Momoy takut tidur sama Mbak,” rengek Momoy.
“Emang aku ini hantu apa? Udah kamu tidur sama Bapak aja!”
“Beneran kamu enggak apa-apa?”
Raisa mengangguk dengan kuat. Harso bersama momoy meninggalkan kamar Raisa. Menuju kamarnya sendiri.
Dalam hati dan pikiran Harso, masih bertanya-tanya tentang kejadian yang baru dialaminya.
Dia pun mendesiskan sebuah nama, “Bu Sapto?”
“Apa Pak?” sahut Momoy.
“Tunggu sebentar di kamar.Tidur pakai selimut!”
“Momoy takut, Pak,” rengek bocah kecil itu.
“Hussst!Anak laki-laki dilarang takut!”
Harso pun kembali keluar kamar, dan menutup pintu rapat. Dia berjalan menuju kamar Raisa.
Tok tok tok!
“Raisa, ini Bapak!”
“Bentar.”
Setelah membuka pintu. Harso langsung masuk dan duduk di pinggiran ranjang. Dia melihat ke arah anak gadisnya.
“Ada apa, Pak?”
“Bukannya tadi mayat yang kamu mandikan namanya Bu Sapto?”
Raisa hanya menjawab dengan anggukan.
“Wanita umurnya udah paruh baya gitu?”
Kembali Raisa menjawab dengan mengangguk. Dia mulai melihat aneh pada bapaknya.
"Kenapa Pak?"
Lelaki itu menggeleng. Raisa memandang aneh bapaknya. Dia seperti sedang berpikir keras. Entah apa?
Sampai dahinya berkerut-kerut. Sesekali dia megusap wajahnya dengan kasar.
“Apa kalian memandikan dan mengkafani dengan benar?”
Raut wajah Raisa sudah mulai gelisah.Terlihat kecemasan dalam pancaran bola matanya.
“Su-sudah, Pak. Sebenarnya ada apa sih Pak?"
"Hemmm ...."
Harso tak menjawab pertanyaan anak gadisnya. Dia memilih diam dan mengajukan pertanyaan yang lain.
“Tapi, kenapa tadi Bapak ditemui wanita itu?”
Seketika Raisa terbelalak. Mulutnya terperangah dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Maksud Bapak?”
Lalu Harso menggeleng.
“Lupakan yang baru saja Bapak bilang tadi. Sekarang tidurlah!”
"Bapak! Tunggu dulu. Ada apa?" Raisa terus mendesak Harso untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Sudahlah Raisa. Tidurlah!"
Lelaki itu pun pergi keluar kamar. Meninggalkan Raisa dalam kerisauannya. Tampak Raisa bersandar di pintu kamar. Sembari berpikir keras.
“Apa Bapak harus aku kasih tau ya? Tapi, nanti aku malah disalahkan.”
Terlihat Raisa berjalan mondar mandir di dalam kamar.
“Besok aku harus temui Bu Marto.Dia pasti lebih tau aku harus gimana?”
Lalu pandangan matanya beralih pada bungkusan plastik bening, yang berada di atas lemari.
Seketika Raisa bergidik. Jantungnya berdetak sangat kencang.
Sontak dia naik ke atas ranjang, dan menarik selimut. Raisa duduk meringkuk di sudut kamar.
Dia meraba, dan mengusap wajahnya berulangkali.
“Kalau bukan Momoy yang melakukan tadi, lalu siapa? Masa aku ngelindur?”
Raisa mengarah pada cermin, di meja riasnya.P erlahan dia merangkak, dan menoleh pada cermin yang mengarah ke ranjang.
Seketika napasnya bagai terhenti. Dia melihat sosok wanita duduk di pinggiran ranjang. Tatapan mata yang tajam, dan membulat. Mengarah pada Raisa.
“Haaaahhh!”
Lalu dia menarik tubuhnya. Kembali meringkuk di sudut ranjang. Dia melihat pada pinggiran ranjang, yang tak terlihat siapa pun juga.
“Sepertinya, semua ini gara-gara kuku itu. Aku besok akan ajak Bu Marto untuk menguburkannya!” Suara Raisa berbisik.
Dan ….
Buuugh!
Ada sesuatu yang terjatuh dari atas lemari. Suaranya terdengar sesuatu yang berat. Saat Raisa mencoba melongok. Bungkusan plastik berisi kuku Bu Sapto yang terjatuh.
Sontak Raisa terkejut. Dia terperanjat. Bagaimana bisa hanya kuku jempol bisa menimbulkan bunyi sesuatu yang berat?
Rasa penasaran membuat gadis itu, merambat perlahan. Menuju pinggiran kasur. Kedua matanya mencoba mencari di mana bungkusan plastik itu.
“Di mana plastik itu? Kok enggak ada?”
Raisa menurunkan kepalanya, hingga hampir menyentuh lantai. Membuat seluruh rambut yang hitam panjang menjuntai. Dia bermaksud mencari di kolong ranjang berkaki kayu. Pandangan mata Raisa, tanpa berkedip sedikit pun.
“Kayaknya di kolong ini juga enggak ada. Lalu, di mana? Enggak mungkin hilang ‘kan?” gerutu Raisa kesal.
Dia pun mengabaikan rasa takut yang tadi sempat mencekam hati, dan pikirannya. Tak menemukan bungkusan yang berisi kuku Bu Sapto. Raisa menarik kepalanya.
Perlahan dia menjejakkan ujung-ujung jari kakinya di lantai. Lalu membungkuk, hingga menundukkan wajahnya. Pipi Raisa sampai menempel di lantai yang dingin.
Lalu dia bergerak dengan merangkak. Mengitari seputar ranjang. Hingga tanpa disadari, kepala Raisa membentur dinding kamar.
“Aduuuh!”
Sepintas dia mengusap pelan, kepalanya yang sakit.
“Kok enggak ada? Aneh banget sih?”
Kembali Raisa menundukkan kepala, dengan menempelkan pipi kiri di lantai. Sorot mata yang tajam, langsung mengarah ke suluruh kolong. Sampai tatap matanya menangkap sesuatu yang bergerak dan bersinar.
“Raisaaa ….”
“Aaaaaaarghhh!”
Gadis itu berteriak. Sampai membuat dirinya terbangun. Gelagapan.
“Di-di mana aku?”
Saat pandangan matanya berpendar.Barulah dia sadar masih berada di atas kasur.
“Alhamdulillah, aku cuman mimpi. Ta-tapi—“
Dia melirik atas lemari. Lalu bernapas lega. Tarikan napasnya kembali teratur dan normal.
“Syukur Alhamdulillah kuku itu masih ada. Kalau sampai hilang beneran. Bisa nangis jungkir balik dah.”
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara adzan Shubuh. Bergegas Raisa keluar kamar.
Tok tok tok!
“Bapak! Udah Shubuh!” teriak Raisa.
“Iyaaa …!”
Setelah selesai sholat Shubuh. Raisa kembali masuk kamar. Dia meraih bungkusan plastik. Lalu mulai memperhatikan kuku Bu Sapto.
Deg!
Seketika jantungnya berdegup sangat kencang. Lebih cepat dari pada saat dia berlari dikejar anjing, Babah Lee.
“Ke-kenapa, kuku ini bisa berubah menjadi hitam?”
Spontan Raisa melempar bungkus plastik itu. Napasnya langsung tersengal-sengal. Pandangannya menjadi nanar seketika. Hingga sebuah tepukan lembut, membuat Raisa melompat tinggi.
“Aaaaaaahhhh!”
Dia berteriak sekencang-kencangnya, dengan mata yang terpejam.
“Raisa … Raisa! Ini Bapak!” sentak Harso, kebingungan.
Gadis itu terperanjat. Lalu langsung berbalik. Dan menoleh ke arah Harso.
"Bapak?"
“Iya, kamu kira siapa? Kenapa kamu kok bisa takut seperti ini?”
Gadis manis itu hanya menggeleng. Sorot matanya nanar, terlihat masih memancarkan ketakutan yang mencekam lubuk hati.
“Kamu kenapa Raisa? Kok badan kamu sampai gemetaran begini?” ulang Harso.
“Enggak apa-apa kok, Pak.”
"Yakin kamu baik-baik aja?"
Gadis itu mengangguk.
“Bapak berangkat pagi. Mungkin pulang malam, atau besok. Soalnya sama bos Bapak, pergi keluar kota. Nanti, Bapak telpon kamu.”
Raisa mengangguk.
“Tapi, Bapak usahakan pulang malam ini!”
Tampak kegamangan melanda Raisa saat ini. Mendengar bapaknya akan pergi keluar kota.
“Insyaallah. Kalau pun Bapak enggak pulang, biar Tante Mirna aku suruh tidur sini temani kalian.”
“Enggak suka sama Tante Mirna!”
Tiba-tiba, Momo menyembul dari balik pintu.Terlihat dia bersungut-sungut.
“Pokoknya, aku enggak suka sama Tante Mirna. Biar aja nanti malam aku sama Mbak Raisa aja. Kita enggak takut kok!” tegas Momoy.
Kalimat itu, membuat Raisa terbalalak. Dia tak berani untuk bersuara sama sekali. Kuku yang menghitam itu, membuat lidahnya kelu.
Kedua lutut pun terasa lemas.Seakan tak bisa berjalan cepat. Degup jantung Raisa masih berdetak sangat kencang. Berulang kali Raisa mengusap tengkuknya, yang terasa dingin.
“Kalian apa enggak ada yang antar Bapak, keluar?”
Momoy menarik pergelangan tangan kakaknya. Mengajak berjalan hingga ke teras.
“Ayo, Mbak! Antarin Bapak sampai halaman.”
Seketika itu dia baru tersadar.Tampak Raisa pun gelagapan.
“Ehhh … ayok!” sahutnya pada Momoy.
Mereka berdua membuntuti langkah sang bapak.
“Raisa, di dalam laci lemari belakang ada uang seratus ribu.Buat kalian, kalau mau beli makanan.”
“Aku maunya makanan masakan Ibu, Pak!”
“Hussst! Jangan bicara begitu Momoy!” sentak Raisa.
“Aku tuh, cuman kangen sama masakan Ibu. Masa enggak boleh?”
Harso langsung menghampiri kedua anaknya. Lalu memeluk hangat. Mencium pipi, dan rambut mereka.
“Hari minggu, kita bikin masakan seperti Ibu ya?”
“Tapi, enggak mau sama Tante Mirna!”
Harso pun mengangguk. Lalu mengusap rambut Raisa lembut. Memperhatikan anak gadisnya, yang terlihat sedikit aneh.
“Kamu, baik-baik aja ‘kan Raisa?”
“Baik kok, Pak.”
“Badan kamu sehat ‘kan?”
***
“Badan kamu sehat ‘kan?”Tampak kecemasan membayang di wajah Harso. Apalagi pekerjaannya sebagai sopir pribadi sering mengharuskan dirinya keluar kota.“Raisa sehat, Pak. Bapak berangkat aja. Nanti bosnya marah-marah lagi.”“Jaga adik kamu ya, Raisa. Jangan keluyuran malam-malam!”“Iya, Pak.”Setelah berpamitan, Harso masuk ke dalam mobil. Dia harus sampai jam enam pagi di rumah sang bos.“Assalamualaikum!” ucap Harso sembari melambaikan tangan pada anak-anaknya.“Waalaikumsalam!” jawab mereka berdua serempak.“Dadadaaa, Paaaak!” teriak Momoy, yang terus mengikuti laju mobil sang Bapak sampai menghilang.Tampak Raisa masih menunggu Momoy. Terdengar derap langkah adiknya berlari mendekat. Membuat napasnya tersengal-sengal.“Ayo masuk!”“Aku lapar, Mbak.”“Beli, apa bikin?”
Raisa masih berdiri di dekat Bu Tyas. Tubuh wanita itu, terkulai lemah. Saat dia memperhatikan dengan seksama. Dari ujung rambut hingga kaki. Tatap mata Raisa, tertuju pada tangan Bu Tyas yang berdarah.“Kenapa kukunya?” tanya Raisa berbisik.Kemudian, dia melihat di bagian kuku jempol kiri. Kukunya seperti terkelupas. Dengan darah yang terus menetes.Saat Raisa tersadar. Dia langsung berlari keluar rumah.“Kuku …?” bisiknya sambil berlari.Pandangannya melihat ke kanan dan kiri. Lalu mengarah pada rumah tetangga.Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki mengendarai motor. Raisa berlari kencang mengejar.“Paaak … Pak!”Motor itu langsung berhenti. Raisa berlari mendekat.“Pak, tolong saya!”“Memangnya ada apa?”“Tolong tetangga saya!”Dua orang lelaki itu terhenyak.“Lah RTnya ke mana Mbak?”
Mereka berdua mencari kuku itu di sekitaran mobil. Lelaki tampan itu, seperti melihat sesuatu di bawah ban mobilnya.“Ini, yang kamu cari?” Sembari enunjuk ke arah ban mobil.“Iya!” Raisa hampir berteriak. Rona kemerahan di pipinya menghiasi. Wajahnya yang kesal berubah senang. Dia pun menghampiri lelaki tampan itu.“Tolong mobil kamu majukan sedikit.”“Oke. Aku pinggirin sepeda kamu dulu!”Setelah itu, dia masuk ke dalam mobil. Hanya sekian detik. Mobil berpindah tempat. Raisa segera mengambil bungkusan plastik itu.“Syukur Alhamdulillah.”Saat melihat sepedanya. Raisa langsung berteriak.“Sepedakuuu! Gimana aku bisa pulang, dan ke kuburan?”Lelaki itu berjalan menghampiri Raisa. Wajahnya terlihat masam“Bukannya tadi aku sudah bilang Non. Sepeda aku perbaiki, atau kamu yang perbaiki. Nanti aku kasih duit.”Raisa berpaling,
“Ini kuburannya?”Raisa mengangguk.“Mas Delon tunggu di mobil aja.”“Aku ingin ikut kamu!”“Enggak usah! Tunggu aja di mobil!”Delon semakin heran melihat tingkah laku Raisa. Setelah Raisa berjalan cukup jauh. Dia pun turun dari mobil.“Aku ingin tau, apa yang sebenarnya dilakukan di kuburan? Anak Pak Harso ini, semakin aneh.”Delon pun mulai memasuki kuburan. Dari jauh dia bisa melihat Raisa yang sedang berjongkok, di depan sebuah makam. Terlihat dia seperti, sedang menggali tanah.“Apa yang dia lakukan? Ke-kenapa dia menggali tanah kuburan dengan tangannya? Ini sudah aneh sekali. Pak Harso apa main guna-guna, atau dukun ya?”Bersamaan dengan itu. Peluh mulai membasahi wajah dan tubuh Raisa. Berulang kali dia mengusap keringat yang menetes dari dahinya.Setelah membacakan sholawat, dan kalimat tauhid. Raisa memendam kuku Bu Sapto.&ld
“Da-darah?”Momoy mengangguk pelan. Lalu bocah kecil itu, menunjuk sesuatu.“Apa lagi?”“Mbak lihat sendiri ke atas lemari!”Perasaan Raisa semakin tidak tenang. Bulu kuduknya langusng berdiri, merinding. Belum pernah selama hidupnya, dia merasa merinding seperti ini.Momoy menggoyang jari-jari tangan kakaknya. Sembari menunjuk ke atas lemari.“I-iya, sebentar.”Lalu, Raisa naik ke atas kursi. Mencoba melihat apa yang ada di atas lemari.Deg!Sontak raut wajahnya memucat. Kedua matanya terbelalak, dengan mulut yang terbuka lebar.“Ke-kenapa … jadi ada di sini lagi?” Suara Raisa hampir berteriak.Membuat Delon yang semula duduk tenang di ruang tamu. Beranjak dari tempatnya. Dia berdiri di depan pintu kamar.Hidungnya terlihat bergerak-gerak.“Bau apa ini, Sa?”Tanpa menjawab, Momoy menunjuk ke atas lemari. Rai
Tampak dia mendahului berjalan keluar. Dengan cepat Delon mengikuti langkahnya.Lalu membuka pintu mobil. Diikuti oleh Raisa dan adiknya.“Raisa, jalannya ke mana ini?” tanya Delon.“Biar saya pandu, Mas.”“Makasih, Pak.”Mobil mulai melaju menuju pemakaman desa sebelah. Tak lama kemudian. Mobil sudah berhenti di depan pagar makam.“Ayo, kita turun!” ajak Pak Yasin.Mereka berjalan mengikutinya.“Mbak Raisa, di mana makamnya?”“Itu, Pak. Jalan lurus aja!”Tak lama mereka berjalan. Akhirnya sampai di makam Bu Sapto. Tampak Pak Yasin berjongkok.“Mana bekas Mbak Raisa menguburkan kuku tadi?”“Ini, Pak!”Kemudian, lelaki itu menggali bekas Raisa. Cukup lama dia menggali tanah dengan sebuah ranting pohon.“Apa Mbak Raisa menguburnya cukup dalam?”“Enggak kok, Pak. Saya me
Mereka semakin kebingungan. Raisa pun sudah tak bisa berpikir lagi. Kemudian, Momoy yang kelelahan terbatuk-batuk.“Mbak, berhenti dulu. Perutku sakit!”“Iya, Moy.”Napas ke-duanya sampai terdengar ngos-ngosan. Lalu spontan mereka menoleh ke belakang. Seseorang yang tadi seolah mengikuti, sudah tak terlihat.“Haaahhh!”Terdengar napas lega pada keduanya. Mereka pun membalikkan badan, untuk melanjutkan jalan pulang.Tapi ….Seorang wanita sudah berdiri tepat di hadapan Raisa, dan Momoy. Hanya berjarak sejengkal. Sesaat mereka hanya bisa terbelalak. Dengan mulut yang terperangah.“Raisaaa … mana kuku-ku?”“Haaaaarghhh!”Sontak keduanya berbalik arah, dan berlari kencang.“Lari, Moy!”Mereka terus berlari. Hingga tubuh mereka membentur seorang laki-laki yang berdiri di tengah jalan. Sampai Momoy jatuh terguling, dan me
Raisa semakin menekuk wajahnya. Dia tak sanggup untuk berkata-kata lagi.“Sebaiknya besok, kita ke rumah keluarga Bu Sapto. Bagaimana?”“I-iya, Bu. Tolong temani saya! Saya takut, apalagi kalau Bapak pulang, dan tau cerita ini.”“Bapak kamu luar kota lagi?”Raisa hanya mengangguk.“Ya sudah. Ibu tinggal pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kamu kan bisa telpon Ibu?”“Tapi HP Raisa masih rusak Bu.”“Pake telpon rumah. Masih nyalakan?”“Masih.”“Aku pulang dulu! Besok kita temui keluarganya.”Gadis itu mengangguk berulang-ulang. Lalu mengantar Bu Marto sampai pagar.“Jangan lupa ditutup pagarnya.”“Iya, Bu!”Setelah Bu Marto meninggalkan dirinya. Raisa bergegas mengunci pagar, dan masuk rumah.Dia masih bergidik mendengar cerita tetangganya itu.“Haaahhh!”
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga