Karjo terdiam.
"Tadi sempat saya foto, Mas. Habis telepon saya kirim."
"Ya, udah Pak. Kirim sekarang fotonya!"
Segera Karjo menutup teleponnya. Tak lama terdengar bunyi pesan masuk. Hamaz dan Raisa yang melihat Delon, tertegun penasaran.
"Ada apa, Mas Delon?" tanya Raisa tak sabar.
"Bentar, Sa!"
Delon membuka foto yang baru saja dikirim oleh penjaga rumahnya. Dia melihat cermin itu seperti bertuliskan 'Jangan ikut campur!' Kemudian, Delon memperlihatkan pada Raisa dan Hamaz.
"Jangan ikut campur," desis Raisa.
"Sepertinya dia juga mengancam Mas Delon."
"Padahal dulu, sosok Bu Sapto ini malah minta bantuan untuk diputuskan ikatan pesugihannya. Kenapa sekarang dia maah mengancam?"
"Ini hanya tipu daya mereka, Mas Delon. Kita harus segera selesaikan semua akan lebih baik. Semoga saja Mbok Yumna mau bekerjasama dengan kita. Dia yang mengetahui sejarah tentang keluarga Bu Sapto. Serta rumah itu!"
Kedua gadis itu hanya terdiam. Lama-lama keduanya mengayunkan kedua tangan. Sembari tersenyum lebar. Lebih tepatnya menyeringai. Dan hanya dalam sekejap, kedua gadis itu sudah berada di balik jendela kamar."Raisaaa ... Raisaaa!""Aaaarghhhh!" Seketika dia menutup mulutnya. Tanpa bisa bergerak, Raisa hanya bisa tercengang melihat dua sosok itu.Namun, tak ada ketakutan. Mereka berdua seperti sedang bersedih. Saat memandang Raisa. Seperti ada yang ingin diungkapkan."Si-siapa kalian ini?""Raisaaa! Tolong ... tolong kami. Tolong ... tolong!"'Ke-kenapa mereka meminta tolong ke aku? Siapa mereka ini? Apa--'Raisa tak meneruskan kalimat dalam hatinya. Dia menolak pikirannya yang membisikkan dua buah nama. Nama yang selalu mengisi kehidupannya. Beberapa hari terakhir belakangan ini. Dua nama yang masih menjadi sebuah misteri."Haaahhh!"Raisa menghela napas panjang. Seraya menggel
"Kalau aku behenti, Pak. Mereka akan senang. Karena ini yang mereka inginkan.""Mereka siapa?" Suara Harso terkesan berat. Dia tak mengerti apa yang telah menimpa anak gadisnya ini. "Katakan, Sa! Siapa mereka ini?"Sulit bagi Raisa untuk langsung menceritakan semua. Dia hanya mengambil garis besarnya saja."Katakan, Sa! Siapa mereka ini?" desak Harso penasaran."Mereka adalah orang-orang yang masih meneruskan pesugihan itu Pak. Semenjak Bu Sapto meninggal, ternyata pesugihan itu masih terus berjalan. Dan ini enggak mungkin berjalan dengan sendirinya. Karena ikatan perjanjian itu, komunikasi manusia dengan makhluk alam ghoib."Mendengar celoteh Raisa, anak gadisnya. Yang kian memahami apa yang tengah terjadi. Membuat Harso tertegun dalam waktu sekian detik. Tatap matanya tak beralih sedikit pun dari Raisa."Kalau kamu enggak menghancurkan ikatan pesugihan itu?""Bapak pasti dengar 'kan? Tentang orang-orang yang sering mengalami kecelak
Setelah kepergian Delon. Raisa menceritakan kejadian tadi malam di luar jendelanya. Tentang dua gadis yang meminta pertolongan padanya."Apa menurut Mas Hamaz itu mereka?""Mariyati dan Marsinah?""I-iya, Mas.""Hemmm ... bisa saja Mbak Raisa.""Yang aku masih penasaran. Siapa sosok wanita semalam yang aku lihat itu, Mas? Dia terlihat seperti manusia menurut aku.""Bagaimana kalau kita ke sana duluan, Mbak Raisa? Aku ingin tahu rumah Bu Sapto terlebih dahulu.""Bisa juga kalau gitu, Mas. Tunggu Raisa mandi dulu kalau gitu."Bergegas Raisa menyambar handuk dan menuju kamar mandi. Satu jam berselang. Raisa sudah bersiap hendak berangkat bersama Hamaz."Mas Delon ini kunci motornya.""Iya, Mbak. berarti ke arah jalan semalam?""Lewat sana juga bisa, tapi mending lewat jalan besar aja, Mas.""Oke."Motor pun mulai melaju menuju ke desa sebelah. Hanya berjarak tiga kilometer. Mereka pun akhirnya sa
Raisa dan Hamaz memandang wanita itu dengan terperangah."Itu apa cuman Ibu yang dengar dan lihat?""Enggak, Mbak Raisa. Ada orang-orang tertentu yang juga lihat. Biar pun enggak semuanya bisa lihat.""Kalau Ibu sendiri, apa yang biasanya didenger sama dilihat?""Kadang tuh ya. Kalau saya lagi lihat TV, orang rumah yang lain pada tidur. Saya tuh suka intip dari jendela. Maksud hati intip pintu pagar saya, apa udah ketutup. Ehhh ... yang kelihatan malah rumah seberang. Pintu rumahnya sama jendela itu kebuka lebar. Seperti ada orang di dalamnya. Trus, saya juga pernah lihat ada orang duduk di kursi teras depan. Sambil badannya itu, ayun-ayun terus.""Macam duduk di kursi goyang, Bu?""Nah! Betul, Mbak Raisa. Kayak itu, tapi misal kita lagi noleh atau kedip. Kita lihat lagi udah enggak ada.""Bukannya dulu pas saya ke sini itu. Ada pelayan Bu Sapto? Yang wanita sudah tua kalau enggak salah namanya Bu Aminah.""Nah, orang-orang sin
"Mas Hamaz, kamu lihat seperti ada seorang wanita di dalam enggak? Di belakang jendela yang tadi kainnya tersingkap.""I-iya, Mbak. Aku juga enggak tau, siapa wanita itu. Tapi, dia kelihatan masih muda Mbak. Mungkin seumuran Mbak Raisa."Keduanya saling berpandangan dengan mata yang berserobok."Jangan bilang, Mas! Jangan ... bilang, kalau itu salah satu dari mereka!""Aku juga enggak tahu Mbak Raisa. Hanya sepintas saja. Cuman sosok itu berbeda, dari yang mengintip di samping rumah.""Berbeda? Mas Hamaz yakin?""Sangat yakin."Saat mereka masih sibuk memperhatikan rumah Bu Sapto. Ponsel Hamaz berbunyi."Dari Mas Delon, Mbak. Bentar ya."Segera Hamaz menjawab telepon Delon."Ya, Mas Delon. Ada apa?""Barusan Mbok Yumna kasih kabar lewat sms, Mas. Katanya dia mau berangkat bareng kita, untuk ke rumah Bu Sapto. Jadi aku jemput dia dulu. Ini aku sama Pak Karjo udah berangkat langsung dari kantor ke rumahny
Raisa teringat saat ke rumah Bu Sapto waktu itu. Memang benar, saat itu dia melihat Bu Aminah sedang menyapu halaman samping rumah sebelah kanan."Kok aneh ya, Pak?" gumam Raisa penuh tanya."Iya, Mbak. Memang Mbak ini orang mana?""Saya dari desa sebelah, Pak.""Jangan lama-lama duduk di sini, Mbak. Banyak hal aneh di luar akal yang berasal dari rumah itu.""Iya, Pak. Makasih."Setelah Raisa menghabiskan dua porsi bakso. Tinggallah dia sendiri duduk di pinggiran selokan seberang rumah Bu Sapto. Suasana siang ini tak terlalu terik. Terlihat mendung mulai bergelayut."Sepertinya mau hujan nih. Apa aku susul saja ya Mas Hamaz?"Raisa pun mulai beranjak dari tempat dia duduk. Saat dia mulai berjalan hendak menyusul Hamaz. Sekilas pandangan matanya melihat sosok Bu Aminah yang sudah berada di samping rumah."Bu Aminah? Dia udah ada di tempat itu?"Buru-buru Raisa menelepon Hamaz."Assalamualaikum, Mas."
Saat Hamaz hendak mengajak Raisa kembali untuk mengambil motor. Keduanya mendengar suara derap langkah seseorang berjalan di dalam rumah. Seperti sandal kayu yang diseret, beradu dengan lantai."Mas Hamaz dengar suara itu?""Iya, Mbak. Sepertinya dari dalam rumah. Apa Bu Aminah ya?""Mungkin kita harus masuk ke dalam Mas?""Sebaiknya tunggu Mas Delon dulu Mbak Raisa.""Baiklah kalau gitu. Tapi, kayak ada yang lihatin kita dari tadi Mas. Enggak tau siapa?""Abaikan Mbak Raisa! Jangan mudah terpancing. Kayaknya ada yang sengaja membuat kita ada di sini. Dengan cara memperlihatkan sosok Bu Aminah sama Mbak Raisa tadi."Raisa mulai mengusap tengkuknya berulang-ulang."Terus kita tetep nunggu Mas Delon sama Mbak Yumna, Mas?""Iya, Mbak! Kita sudah di sini jadi jangan gegabah."Bersamaan dengan itu, terdengar dering ponsel Hamaz."Hallo, iya Mas.""Motornya udah jadi, Mas.""Oke, Mas. Aku ambi
"Bu Aminah! Bu Aminah di mana?" teriak Raisa.Lalu dia tertarik melihat pecahan gelas di lantai."Pasti dapurnya enggak jauh dari sini."Dia terus berjalan menyusuri rumah besar dan luas itu. Hingga langkahnya terhenti saat berada di ruang paling belakang. Saat melihat ke sekitar ruangan itu. Dia tertuju pada sebuah ruangan, yang hanya diberi penyekat terali besi."Ini kayaknya dapur. Tapi, di mana Bu Aminah?"Saat pandangan matanya berpendar. Raisa memutuskan untuk memasuki ruangan dapur yang cukup luas. Tak ada tanda-tanda bahwa ada orang datang ke sini. Jemari tangan Raisa mengusap lembut meja dapur tempat perabotan yang penuh debu."Hemmm, banyak sarang laba-laba juga di sini. Aneh juga. Kalau benar Bu Aminah tinggal di sini dan mau buatkan aku teh hangat. Setidaknya tempat ini bersih. Mana? Tabung LPG pun kosong."Raisa masih tertegun di tempat itu. Dia terus mengamati satu persatu bagian. Membuak semua laci yang dipenuhi k