Gadis itu melihat, seseorang tidur di sebelahnya. Dengan tubuh miring menghadap Raisa. Rambut yang keriting menutupi sebagian wajah.
Raisa semakin merasa ketakutan.
"Ke-kenapa tiba-tiba ada orang di atas kasurKu? Mana sebelahan lagi."
"Raisaaaa ...."
Terdengar sosok itu seperti memanggil dirinya.
"Aaaaaargh!" Terdengar suara teriakan Raisa yang ditahan.
Terdengar suara yang mendengkus kasar. Yang kini, tengah menatap tajam pada Raisa. Kedua mata membulat lebar. Dengan bagian pupil, tertutup selaput putih menguning.
Layaknya mata seseorang yang menjemput kematiannya. Bagai mayat hidup, yang kini tatapan terus mengarah pada Raisa.
"Bu-Bu ... Sapto?!" Dengan mata yang melotot.
Napasnya semakin memburu. Detak jantung berdegup semakin keras.
"U-untuk apa Ibu ke sini?"
"Raisaaaa ...."
Sosok itu kembali memanggil dirinya. Membuat gadis itu semakin ketakutan. Bibirnya bergetar, dengan mulut yang terbuka lebar.
Masih di bantal yang sama, dia berhadapan dengan sosok Bu Sapto. Raisa bisa merasakan napas mereka yang saling beradu.
Wajah Raisa seketika berkerut. Dia menahan bau busuk bercampur anyir, yang kian menusuk hidungnya.
Jantungnya kini seakan berhenti memompa. Gadis itu, merasa tak bisa bergerak sama sekali. Hanya bibirnya yang masih bisa berucap samar.
Pandangan mata kian nanar dan berkaca-kaca.
“Pergi … kamu!” Suara Raisa terdengar lirih, dan serak.
Dia terus mengulangnya. Lalu, Raisa berusaha untuk membacakan ayat Qursy. Apa yang ada dalam pikirannya dan dia hapal. Semua dibaca.
Namun, sosok Bu Sapto masih tidur miring, di bantalnya.
“Ya, Allah beri kekuatan sama hamba ini. Badan hamba enggak bisa gerak sama sekali.”
Air mata mulai menetes. Wajahnya memerah, bagai udang rebus. Dengan rahang mengeras dan gigi gemertak.
“Endi kuku aku, Cah Ayu?” (Mana kuku aku)
“Haaaahhh!”
Raisa semakin terperangah. Dengan kedua mata yang terbelalak lebar.
Kembali sosok Bu Sapto, menanyakan kukunya.
“Endi kuku aku, Cah Ayu?”
Wajah Raisa serasa bergetar. Tak hanya wajah, tapi juga tubuhnya. Bulu di seluruh tubuhnya berdiri dan merinding. Sangat merinding. Tak pernah dalam hidupnya, Raisa merasakan ketakutan yang mencekam seperti ini.
Bahkan saat memandikan jenazah yang lain bersama emak haji. Tak ada yang aneh atau pun janggal yang dia rasakan. Seperti saat memandikan jenazah Bu Sapto.
Dan malam ini, raut wajah Bu Sapto masih bermake up sangat tebal, terus menatap Raisa yang pias. Sosok Bu Sapto yang berusia sekitar lima puluh tahun, terlihat sangat pucat pasi. Menghantui dirinya.
Merahnya gincu yang dipakai. Tak mampu menghilangkan wajah pucatnya. Alis yang terlukis seperti bulan sabit, terlihat coklat gelap. Dengan pipi merona kemerahan. Belum lagi eye shadow berwarna hijau, bercampur kebiruan. Masih belum juga mampu menghilangkan pucat di wajah Bu Sapto.
“Endi kuku aku …?” (Mana kuku-ku)
Suaranya makin lama makin parau. Seperti tercekat. Membuat Raisa menahan napasnya.
Gerakan dadanya naik turun dengan cepat. Hingga Raisa tak mampu lagi menghirup udara segar yang ada di sekitarnya. Semua yang ada terasa pengap.
Bibir Bu Sapto terus bergerak-gerak, berucap dalam samar.
"Maafkan saya, Bu! Saya benar-benar enggak sengaja."
Entah dari mana berasalnya angin yang bertiup kencang. Semakin membuat Raisa kedinginan.
"Eeeerghh!"
Sosok Bu Sapto terdengar merintih. Seperti orang yang saat ini sedang kesakitan.
“I-iya Bu, nanti saya kuburkan! Maafkan saya, Bu Sapto. Jangan ikuti dan hantui saya seperti ini! Saya bener-bener takut,” ujar Raisa sembari bersembunyi di bawah bantal.
Sampai sebuah ketukan di pintu kamar membuat Raisa tersentak.
Tok tok tok!
“Haaahhh!”
Raisa terperanjat saat mendengar ketukan di pintu kamar.
Sosok Bu Sapto menghilang seketika. Raisa masih terlihat sangat tegang. Saat dirinya tersadar, barulah Raisa berteriak kencang.
“Aaaarghhh! Bapaaaak …!”
Gadis itu langsung melompat dari ranjang. Buru-buru dia membuka kunci pintu. Namun, karena jari-jari tangan bergetar hebat. Semakin dia kesulitan memutar handle.
“Raisaaa! Kamu kenapa?” teriak Pak Harso.
Lelaki itu terlihat sangat cemas. Saat mendengar teriakan anak gadisnya, yang baru berumur dua puluh tahun itu.
“Bapak, tolong Raisa. Kuncinya enggak bisa kebuka. Badan Raisa lemes, Pak!”
Suara Raisa pun terdengar serak. Seperti kehabisan suara.
“Raisa! Dengarkan Bapak! Baca Basmallah, dan lakukan dengan tenang! Jangan panik!”
“Tapi, ada Bu Sapto, Pak.”
“Enggak ada! Itu hanya jin yang ingin menggoda kamu!” sahut sang Bapak.
“Bapak ini kok enggak percaya toh.”
Terdengar gadis itu terisak dan menangis sejadi-jadinya.
“Ikuti Bapak! Baca Basmallah dan surat tiga Qul sekarang!”
“I-iya … Pak!”
Dengan bersusah payah. Akhirnya Raisa bisa membuka kunci kamar.
Keringat dingin membasahi wajah, rambut, dan tubuhnya.
Saat pintu terbuka lebar. Dia langsung menghambur ke pelukan sang Bapak.
“Apa yang kamu lihat?”
“Bu Sapto, Pak!”
“Bu Sapto yang tadi siang kamu mandikan?”
Gadis itu mengangguk dengan cepat.
“Kok bisa?”
Lalu Raisa menggeleng. Dia sengaja menyembunyikan perihal kuku Bu Sapto yang tersangkut renda jilbabnya.
“Ada apa? Apa saat memandikan terjadi sesuatu?”
Lagi-lagi Raisa menggeleng.
“Enggak ada apa-apa, Pak.”
Terdengar panggilan Momoy, adik lelakinya. Mungkin dia terbangun karena terlalu berisik.
“Ada apa sih, Mbak?”
“Enggak ada apa-apa. Mbak Raisa cuman mimpi,” sahut Pak Harso.
Kemudian lelaki paruh baya itu, mengantar Raisa masuk ke dalam kamar.
“Momoy, tidur sama Mbak Raisa ya. Temani Mbak!” ujar sang Bapak.
Bocah sepuluh tahun itu mengangguk.
“Tapi Pak, Raisa masih takut.”
“Kok kamu seperti enggak percaya Allah toh?”
“Tapi, Raisa takut beneran!”
“Bapak akan tungguin sampai kamu tidur semua.”
“Raisa enggak mau bantal itu!”
Lantas dia melempar keluar.
“Besok Raisa buang ya, Pak?”
Harso hanya mengangguk
Hampir satu jam dia menemani kedua anaknya, di dalam kamar. Setelah semua terlelap. Harso pun beranjak dari tempat tidur Raisa. Sebelum pergi, Harso kembali melihat anak-anaknya.
Dia tersenyum lebar. Kemudian menggeleng pelan.
"A-apa benar dia menghantui gara-gara kuku itu?"
Saat dia hendak keluar kamar. Jendela kamar, serasa ada yang mengetuk lirih.
Tuk tuk tuk!
Dia berpaling. Harso mengurungkan niatnya keluar. Berjalan menuju jendela yang berada di sebelah lemari pakaian.
"Suara apa itu?"
Tangannya bergerak membuka korden. Jantungnya pun mulai berdegup kencang. Tak terlihat siapa pun di luar.
“Aneh? Aku seperti mendengar orang mengetuk jendela.”
Harso kembali menutup korden rapat. Belum sampai tiga langkah. Ketukan itu kembali terdengar. Membuat lelaki itu ragu untuk kembali melihat keluar jendela.
"Apa ada orang di luar? Enggak mungkin ahhh."
Dia memberanikan dirinya untuk melihat ke arah luar. Perlahan tangannya menyibak tirai korden.
"Sepi, enggak ada siapa-siapa. Kok aneh kayak gitu. Lah yang ngetuk jendela siapa?
Tuk tuk tuk!
“Haaaaahhh?”
Kembali lelaki itu tersentak. Dia benar-benar terkejut.
"Suara itu lagi? Siapa sebenarnya mereka? Aku enggak paham dengan keadaan aneh ini. Apa yang tadi maling?"
***
Tunggu part selanjutnya.
Pecinta horor, bisa baca GEISHAKU KARMILA.
Pecinta romance bisa baca ELEGI WANITA KEDUA, THE DUKE WILLIAM ( 9 ISTRI )
Harso terperanjat. Saat ketukan di jendela kamar depan kembali terdengar. “Aneh?” ucapnya berbisik. Langkahnya perlahan menuju jendela lagi. Kali ini, dia sengaja hanya mengintip. Dari sisi jendela sebelah kiri. “Enggak ada siapa-siapa!” gumamnya. Dia mengernyitkan dahi, dengan dagu yang berkerut-kerut. “Coba aku lihat keluar.” Bergegas langkahnya keluar kamar. Dia mengambil sebuah pentungan dari kayu, yang berada di balik lemari. “Kali aja maling,” bisiknya. Harso sudah berdiri, di balik jendela ruang tamu.Tangannya bergerak lambat. Menyibak korden secara perlahan. Sepintas Harso seperti melihat sebuah bayangan. Berdiri di depan pagar. Namun dia ragu. Pandangan matanya memicing. Seolah dia ingin memastikan. Apakah dia benar-benar sedang melihat sebuah bayangan berdiri di depan pagar. “Haaahhh! Benar, ternyata! Aku melihat seorang perempuan, berdiri di sana. Tapi, buat apa?”
"Coba bersihkan wajahmu dulu!”Gadis itu membersihkan wajahnya dengan cepat. Setelah selesai membersihkan. Raisa kembali melihat wajahnya di cermin.“Gimana?” tanya sang Bapak.Gadis itu hanya mengangguk.“Ya sudah, kalian tidur sekarang!”“Tapi, Pak. Momoy takut tidur sama Mbak,” rengek Momoy.“Emang aku ini hantu apa? Udah kamu tidur sama Bapak aja!”“Beneran kamu enggak apa-apa?”Raisa mengangguk dengan kuat. Harso bersama momoy meninggalkan kamar Raisa. Menuju kamarnya sendiri.Dalam hati dan pikiran Harso, masih bertanya-tanya tentang kejadian yang baru dialaminya.Dia pun mendesiskan sebuah nama, “Bu Sapto?”“Apa Pak?” sahut Momoy.“Tunggu sebentar di kamar.Tidur pakai selimut!”“Momoy takut, Pak,” rengek bocah kecil itu.“Hussst!Anak laki-laki dilarang tak
“Badan kamu sehat ‘kan?”Tampak kecemasan membayang di wajah Harso. Apalagi pekerjaannya sebagai sopir pribadi sering mengharuskan dirinya keluar kota.“Raisa sehat, Pak. Bapak berangkat aja. Nanti bosnya marah-marah lagi.”“Jaga adik kamu ya, Raisa. Jangan keluyuran malam-malam!”“Iya, Pak.”Setelah berpamitan, Harso masuk ke dalam mobil. Dia harus sampai jam enam pagi di rumah sang bos.“Assalamualaikum!” ucap Harso sembari melambaikan tangan pada anak-anaknya.“Waalaikumsalam!” jawab mereka berdua serempak.“Dadadaaa, Paaaak!” teriak Momoy, yang terus mengikuti laju mobil sang Bapak sampai menghilang.Tampak Raisa masih menunggu Momoy. Terdengar derap langkah adiknya berlari mendekat. Membuat napasnya tersengal-sengal.“Ayo masuk!”“Aku lapar, Mbak.”“Beli, apa bikin?”
Raisa masih berdiri di dekat Bu Tyas. Tubuh wanita itu, terkulai lemah. Saat dia memperhatikan dengan seksama. Dari ujung rambut hingga kaki. Tatap mata Raisa, tertuju pada tangan Bu Tyas yang berdarah.“Kenapa kukunya?” tanya Raisa berbisik.Kemudian, dia melihat di bagian kuku jempol kiri. Kukunya seperti terkelupas. Dengan darah yang terus menetes.Saat Raisa tersadar. Dia langsung berlari keluar rumah.“Kuku …?” bisiknya sambil berlari.Pandangannya melihat ke kanan dan kiri. Lalu mengarah pada rumah tetangga.Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki mengendarai motor. Raisa berlari kencang mengejar.“Paaak … Pak!”Motor itu langsung berhenti. Raisa berlari mendekat.“Pak, tolong saya!”“Memangnya ada apa?”“Tolong tetangga saya!”Dua orang lelaki itu terhenyak.“Lah RTnya ke mana Mbak?”
Mereka berdua mencari kuku itu di sekitaran mobil. Lelaki tampan itu, seperti melihat sesuatu di bawah ban mobilnya.“Ini, yang kamu cari?” Sembari enunjuk ke arah ban mobil.“Iya!” Raisa hampir berteriak. Rona kemerahan di pipinya menghiasi. Wajahnya yang kesal berubah senang. Dia pun menghampiri lelaki tampan itu.“Tolong mobil kamu majukan sedikit.”“Oke. Aku pinggirin sepeda kamu dulu!”Setelah itu, dia masuk ke dalam mobil. Hanya sekian detik. Mobil berpindah tempat. Raisa segera mengambil bungkusan plastik itu.“Syukur Alhamdulillah.”Saat melihat sepedanya. Raisa langsung berteriak.“Sepedakuuu! Gimana aku bisa pulang, dan ke kuburan?”Lelaki itu berjalan menghampiri Raisa. Wajahnya terlihat masam“Bukannya tadi aku sudah bilang Non. Sepeda aku perbaiki, atau kamu yang perbaiki. Nanti aku kasih duit.”Raisa berpaling,
“Ini kuburannya?”Raisa mengangguk.“Mas Delon tunggu di mobil aja.”“Aku ingin ikut kamu!”“Enggak usah! Tunggu aja di mobil!”Delon semakin heran melihat tingkah laku Raisa. Setelah Raisa berjalan cukup jauh. Dia pun turun dari mobil.“Aku ingin tau, apa yang sebenarnya dilakukan di kuburan? Anak Pak Harso ini, semakin aneh.”Delon pun mulai memasuki kuburan. Dari jauh dia bisa melihat Raisa yang sedang berjongkok, di depan sebuah makam. Terlihat dia seperti, sedang menggali tanah.“Apa yang dia lakukan? Ke-kenapa dia menggali tanah kuburan dengan tangannya? Ini sudah aneh sekali. Pak Harso apa main guna-guna, atau dukun ya?”Bersamaan dengan itu. Peluh mulai membasahi wajah dan tubuh Raisa. Berulang kali dia mengusap keringat yang menetes dari dahinya.Setelah membacakan sholawat, dan kalimat tauhid. Raisa memendam kuku Bu Sapto.&ld
“Da-darah?”Momoy mengangguk pelan. Lalu bocah kecil itu, menunjuk sesuatu.“Apa lagi?”“Mbak lihat sendiri ke atas lemari!”Perasaan Raisa semakin tidak tenang. Bulu kuduknya langusng berdiri, merinding. Belum pernah selama hidupnya, dia merasa merinding seperti ini.Momoy menggoyang jari-jari tangan kakaknya. Sembari menunjuk ke atas lemari.“I-iya, sebentar.”Lalu, Raisa naik ke atas kursi. Mencoba melihat apa yang ada di atas lemari.Deg!Sontak raut wajahnya memucat. Kedua matanya terbelalak, dengan mulut yang terbuka lebar.“Ke-kenapa … jadi ada di sini lagi?” Suara Raisa hampir berteriak.Membuat Delon yang semula duduk tenang di ruang tamu. Beranjak dari tempatnya. Dia berdiri di depan pintu kamar.Hidungnya terlihat bergerak-gerak.“Bau apa ini, Sa?”Tanpa menjawab, Momoy menunjuk ke atas lemari. Rai
Tampak dia mendahului berjalan keluar. Dengan cepat Delon mengikuti langkahnya.Lalu membuka pintu mobil. Diikuti oleh Raisa dan adiknya.“Raisa, jalannya ke mana ini?” tanya Delon.“Biar saya pandu, Mas.”“Makasih, Pak.”Mobil mulai melaju menuju pemakaman desa sebelah. Tak lama kemudian. Mobil sudah berhenti di depan pagar makam.“Ayo, kita turun!” ajak Pak Yasin.Mereka berjalan mengikutinya.“Mbak Raisa, di mana makamnya?”“Itu, Pak. Jalan lurus aja!”Tak lama mereka berjalan. Akhirnya sampai di makam Bu Sapto. Tampak Pak Yasin berjongkok.“Mana bekas Mbak Raisa menguburkan kuku tadi?”“Ini, Pak!”Kemudian, lelaki itu menggali bekas Raisa. Cukup lama dia menggali tanah dengan sebuah ranting pohon.“Apa Mbak Raisa menguburnya cukup dalam?”“Enggak kok, Pak. Saya me
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga