"Ada apaan sih heboh-heboh di bawah itu?" tanya Indri pada Romlah yang sedang membawakannya teh hijau hangat kesukaannya. Wanita itu sedang menikmati paginya dengan berselancar di media sosial memamerkan tas barunya.
"Tuan Besar beli kasur baru untuk Neng Dahlia, Nyonya," jawab Romlah"Kasur? Segitu sekali perhatiannya sama babu itu.""Mungkin karena Tuan kasihan lihat isi kamarnya hanya karpet tipis sebagai alas tidurnya Neng Dahlia."Indri melempar hp nya begitu saja di atas meja kaca. Pagi yang indah dan elegannya berubah menjadi sangat tak menyenangkan. "Aku membiarkan dia menempati kamar itu sudah lebih dari cukup, kenapa sampai membelikannya kasur segala. Aku harus bicara dengan Hadi sekarang juga!"Tiba-tiba dari atas balkon, matanya menangkap mobil anaknya sedang meluncur keluar dari gerbang. "Loh, sepagi ini Dareen keluar?""Den Muda diminta Tuan Besar u@Kediaman MarniDengan wajah berseri-seri, Marni keluar dari btn barunya. Rumah itu terlihat minimalis tapi nampak asri karena tangan cekatan Marni menanam beraneka bunga di depan halaman kecil perumahan itu."Ada sayur oyong, Bang?!" seru Marni semakin dekat dengan tukang sayur keliling yang sedang mangkal. Nampak ada beberapa ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja juga."Ada ni Bu Marni, sini sini! Kok tumben ya," sapa Bokir, penjual sayur keliling."Iya, Bang. Cuma saya sendiri sama bayi di rumah jadi alot makanan. Gak ada yang makan," jawab Marni tersenyum lalu memilih sayuran."Yuk Bu Marni, dipilih," ucap Bu Retno berbasa-basi. Rumahnya tepat di depan rumah Marni."Ini tetangga baru yang disebut Bu Yuni itu kah? Yang anaknya melakorin pacarnya Belinda, padahal dia kerja jadi pembantu di rumah Bu Yuni," cerocos Bu Sita
PLOT MUNDUR Aditya memarkir mobil Dareen lalu masuk kantor dengan wajah segar. Ia mengabaikan Belinda yang menyodorkan sebuah map. Aditya melewati gadis itu tanpa menolehnya. Bahkan dengan percaya diri, dia masuk ke ruang CEO meskipun ia dinyatakan kembali menjadi admin. Pada dasarnya, pekerjaannya seperti CEO meskipun gajinya sesuai gaji admin administrasi. Ayahnya tetap saja mengandalkannya. "Nanti cuci dulu mobilku baru balikin," celetuk Dareen yang baru juga sampai. Pemuda itu meletakkan kasar kunci mobil abangnya di atas meja Aditya. "Aku akan menjualnya karena sedang gila sekarang," jawab Aditya mulai menghidupkan komputer di ruangan itu. Dareen hanya mendecak. "Dia masuk kampus mana?" tanya Dareen tak sanggup menahan rasa penasarannya. "PAUD," jawab Aditya tegas. "Jurusan apa itu?" "Pendidikan Anak Usia Dini. Jadi guru TK. Dia bilang, mau memperbaiki karakter bangsa ini dengan memperbaiki karakter anak-anak kecil." Membuka mulut Dareen mendengar ucapan abangnya.
Aditya berteriak menatap ayah mertuanya yang sedang meringkut kesakitan. Aditya bergegas mendekati Tarno dan sudah siap dengan kepalan tangannya."Tahan emosimu, Bang! Jangan sampai kita kena kasus penganiayaan lebih berat lagi.""Laki-laki itu tak patut dipanggil ayah. Aku takkan membiarkan Dahlia ke sini lagi jika dia tidak di penjara!"Wiuu wiuuuw!Sirine ambulans membuat Aditya menghentikan langkahnya. Dareen langsung keluar dan masuk kembali dengan beberapa orang tenaga medis laki-laki."Jangan sentuh dia! Biar aku yang membawanya!" seru Aditya."Tapi kau sedang cidera, Bang!" cegah Dareen yang heran dengan sikap kakaknya.Aditya menggeleng."Dia istriku. Selama aku masih bernyawa, hanya aku yang boleh menyentuhnya."Ditahannya rasa sakit di punggungnya yan
Aditya langsung melepaskan dirinya dan kembali duduk. Merah merona wajahnya. Ia berharap di depannya ada pintu doraemon. Tak masalah detik itu juga dia masuk ke dunia bunian. Jantungnya berdetak-detak kencang."Mm-maaas, aku haus," lirih Dahlia."Ii-iiya. Se-se-sebentar," jawab Aditya gugup.'Ya Allah ... ya Allah ... Apa yang sudah aku lakukan barusan?! Jangan sampai wanita ini sadar aku sudah menciumnya. Ya Allah cabut saja nyawa ibu tiriku!' racau hati Aditya sembari tangannya yang gemetar menuangkan air dari botol mineral ke dalam gelas. Sekuat tenaga, Aditya membantu Dahlia minum. Ia sangat berjuang agar wajahnya tampak lebih tenang."Sudah?" tanya Aditya setelah setengah gelas yang Dahlia teguk.Gadis itu menggeleng. Aditya kembali menyodorkan gelas itu lagi. Dahlia kembali menggeleng. Kedua alis Aditya terangkat, heran.
@Kediaman Hadi PratamaSedangkan di sisi lain, Hadi yang menerima kabar penganiayaan Dahlia menjadi sangat gusar."Aku butuh kalian. Datanglah sekarang!" perintahnya."Siapa yang Papa suruh datang?" tanya Indri yang mendengar suaminya menelpon."Body guard. Aku mau keluar," jawab Hadi berjalan menuju lemari pakaiannya.Indri mengerutkan dahinya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya."Papa mau ke mana? Tumben-tumben pake jasa bodyguard.""Kantor polisi. Dahlia telah menerima kekerasan fisik dari ayahnya.""Bagus dong, Pa! Perempuan itu memang pantas mendapatkan hukumannya karena beraninya masuk ke dalam keluarga kita yang berkelas. Dia hanya seorang pembantu."Hadi Pratama sejenak berhenti dari kegiatannya memilih pakaian. Ia berbalik menghadap istrinya.
Setelah semalam tidur di sofa ruang perawatan, Aditya sekarang dihadapkan dengan handuk kecil dan sebaskom air hangat. "Silahkan, Pak. Jangan lupa, Ibu Dahlia dibantu makan ya. Supaya bisa semakin meningkat perkembangannya," ujar salah satu perawat. Setelah meletakkan makanan Dahlia di atas meja, perawat itu meninggalkan Aditya yang masih tercekat. "Kenapa bengong, Mas?" tanya Dahlia. "Ini kenapa harus aku yang melakukannya?! Kamu gak usahlah di lap-lap segala. Besok aja mandi pas sudah sembuh." Aditya menjauh dari baskom dan handuk di depannya. "Tapi aku gak nyaman kalau kulitku tak kena air, Mas." "Harusnya kamu gak mandi, tapi ganti sisik aja," ketus Aditya. "Ih memangnya aku ular. Ayolah, Mas. Aku risih banget sama bau keringatku sendiri dari kemarin siang ini." "I-iiya. Kamu gimana sih?! Aku gak mungkin kan lihat auratmu!" Jantung Aditya sudah tak karuan. Sejak semalam, suasana seperti sedang mengerjainya habis-habisan. "Boleh dong kamu lihat auratku. Kan aku is
"Jujur, aku tak menyangka, kau bisa jadi kakak iparku. Sejak terakhir aku berikan tas itu, kenapa kita jarang sekali bicara?" Dareen menoleh ke arah tas selempang yang dia berikan, nampak tergeletak di atas nakas. "Itu ... karena tidak ada yang perlu dibahas," jawab Dahlia mencoba kembali menyuap makanannya. "Kenapa tidak ada? Banyak hal yang bisa kita bicarakan. Salah satunya dengan menceritakan padaku, betapa sulitnya kamu mencoba meraih hati Abangku." Dahlia langsung melepaskan sendoknya menatap Dareen dengan tajam. "Jaga batasanmu, Dareen. Ada hal yang tak perlu kita bahas. Aku sangat berterima kasih padamu. Tapi tolonglah, jangan campuri rumah tanggaku." "Aku tidak sedang mencampuri. Aku sedang mengajakmu berdiskusi. Bagaimana jika kita menikmati hari bersama karena mungkin beberapa bulan lagi semua akan lebih sulit."
"Aku sudah terbiasa hidup menderita, Dareen. Jadi jangan khawatirkan aku. Akan sangat lucu, kalau aku dicerai Abangmu terus kamu menyambutku.""Aku tak masalah. Kamu spesies unik. Aku tertarik," ujar Dareen santai.Dahlia hanya tersenyum simpul, itupun tanpa menatap adik iparnya."Mungkin kita tak akan bisa bicara banyak. Intinya, jangan pernah merasa sendiri. Aku di belakangmu meskipun tertutup bayangan orang lain. Yakinlah, aku ada. Percayalah, Dahlia."Suara Dareen terdengar bergetar. Pemuda itu bisa merasakan darahnya berdesir hingga membuat kulitnya tiba-tiba terasa hangat. Dengan cepat, ia mengambil meja makan Dahlia lalu meletakkannya di atas nakas."Aku tinggal. Istirahatlah. Sumpek di sini. Aku mau rokok."Hentakan kaki Dareen yang menjauh membuat Dahlia sedikit lega."Benar sabda Nabi, ipar adalah maut,"
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata
"Katakan lagi. Aku ingin mendengarnya sekarang," ucap Aditya berkaca-kaca."Aku mencintaimu, Mas. Tak peduli siapa kamu. Apakah kamu CEO atau laki-laki biasa, aku tetap mencintaimu."Tubuh Dahlia kembali direngkuh Aditya. Dibiarkannya wanita itu mendengar detak jantungnya yang berdebar-debar."Kamu dengar, Dek?! Sekarang, setiap detakannya untuk mencintaimu. Selamanya.""Ehheeem!"Refleks Dahlia dan Aditya berlepas diri mendengar suara deheman. Seolah abai dengan apa yang dilihat dan didengarnya, Dareen menyerahkan kunci mobil pada abangnya."Hati-hati. Aku akan di sini menunggu petugas kepolisian."Dengan cepat, Dareen meninggalkan Aditya dan berpura-pura menjauh dari keduanya. Hatinya seperti ada yang meremas hebat. Cemburu? Mungkin itu kata yang paling tepat. Namun di dasar hatinya, ia bahagia, kakaknya sudah mengatak
Mandala mencabut beberapa pecahan kaca yang menempel di otot-ototnya. Seolah kulitnya kebal setebal baja sehingga sekedar pecahan kaca bukan hal yang membuatnya gentar. Aditya mendekat. Dareen mengangguk samar memberi isyarat agar dia saja yang maju. "Kali ini, biarkan aku bertarung tanpa bantuanmu, Bang," lirih Dareen mendecih. Tak berpikir panjang, Mandala berlari cepat dan menyerang Dareen. Ia menendang sisi kiri Dareen. Pemuda itu bisa menangkisnya meskipun hampir tersungkur. Namun gerakan Mandala juga cepat. Ia kembali menendang pinggang Dareen, tidak hanya sekali tapi tiga kali tanpa jeda. Dareen berusaha menepis dan menghindar namun sayang, ia sempurna terjungkal karena Mandala luar biasa keras seperti bongkahan beton. "Kamu mungkin kekar, tapi denganku, kau bukan apa-apa, Bocah," ucap Mandala jumawa. Sama sekali Mandala tak terlihat sebagai pimpinan perusahaan besar yang berwibawa. Rupanya laki-laki itu memiliki topeng yang luar biasa menipu. Bahkan tak ada orang ya
Kedua bola mata Darien menangkap sosok laki-laki berwajah sangar tanpa baju duduk di atas kayu yang bulat panjang. Di belakang punggung laki-laki itu, ada tubuh laki-laki juga yang sedang merunduk tertutupi kayu."Ada dua orang laki-laki. Salah satunya terlihat aneh. Di malam sedingin ini, dia membuka baju seperti terengah-engah. Apa mereka pemotong kayu illegal? Karena ada potongan kayu besar di sana," gumam Dareen sendirian."Harusnya mereka bersembunyi jika mereka adalah pelaku ilegal. Bisa jadi mereka mengira mobil ini, polisi hutan kan? Kau tau sendiri, jalur ini jarang dilewati kendaraan di malam hari," tambah Aditya terus melaju."Atau mereka begal? Kalau begal kenapa tak berusaha menghentikan kita?" gumam Dareen lagi."Sedang apa mereka? Selain yang duduk tadi, salah satunya sedang merunduk, memungut sesuatu? Atau ... menutupi sesuatu?!" lanjut Dareen mengalisis pemand