@Kediaman Marni
Dengan wajah berseri-seri, Marni keluar dari btn barunya. Rumah itu terlihat minimalis tapi nampak asri karena tangan cekatan Marni menanam beraneka bunga di depan halaman kecil perumahan itu.
"Ada sayur oyong, Bang?!" seru Marni semakin dekat dengan tukang sayur keliling yang sedang mangkal. Nampak ada beberapa ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja juga.
"Ada ni Bu Marni, sini sini! Kok tumben ya," sapa Bokir, penjual sayur keliling.
"Iya, Bang. Cuma saya sendiri sama bayi di rumah jadi alot makanan. Gak ada yang makan," jawab Marni tersenyum lalu memilih sayuran.
"Yuk Bu Marni, dipilih," ucap Bu Retno berbasa-basi. Rumahnya tepat di depan rumah Marni.
"Ini tetangga baru yang disebut Bu Yuni itu kah? Yang anaknya melakorin pacarnya Belinda, padahal dia kerja jadi pembantu di rumah Bu Yuni," cerocos Bu Sita
PLOT MUNDUR Aditya memarkir mobil Dareen lalu masuk kantor dengan wajah segar. Ia mengabaikan Belinda yang menyodorkan sebuah map. Aditya melewati gadis itu tanpa menolehnya. Bahkan dengan percaya diri, dia masuk ke ruang CEO meskipun ia dinyatakan kembali menjadi admin. Pada dasarnya, pekerjaannya seperti CEO meskipun gajinya sesuai gaji admin administrasi. Ayahnya tetap saja mengandalkannya. "Nanti cuci dulu mobilku baru balikin," celetuk Dareen yang baru juga sampai. Pemuda itu meletakkan kasar kunci mobil abangnya di atas meja Aditya. "Aku akan menjualnya karena sedang gila sekarang," jawab Aditya mulai menghidupkan komputer di ruangan itu. Dareen hanya mendecak. "Dia masuk kampus mana?" tanya Dareen tak sanggup menahan rasa penasarannya. "PAUD," jawab Aditya tegas. "Jurusan apa itu?" "Pendidikan Anak Usia Dini. Jadi guru TK. Dia bilang, mau memperbaiki karakter bangsa ini dengan memperbaiki karakter anak-anak kecil." Membuka mulut Dareen mendengar ucapan abangnya.
Aditya berteriak menatap ayah mertuanya yang sedang meringkut kesakitan. Aditya bergegas mendekati Tarno dan sudah siap dengan kepalan tangannya."Tahan emosimu, Bang! Jangan sampai kita kena kasus penganiayaan lebih berat lagi.""Laki-laki itu tak patut dipanggil ayah. Aku takkan membiarkan Dahlia ke sini lagi jika dia tidak di penjara!"Wiuu wiuuuw!Sirine ambulans membuat Aditya menghentikan langkahnya. Dareen langsung keluar dan masuk kembali dengan beberapa orang tenaga medis laki-laki."Jangan sentuh dia! Biar aku yang membawanya!" seru Aditya."Tapi kau sedang cidera, Bang!" cegah Dareen yang heran dengan sikap kakaknya.Aditya menggeleng."Dia istriku. Selama aku masih bernyawa, hanya aku yang boleh menyentuhnya."Ditahannya rasa sakit di punggungnya yan
Aditya langsung melepaskan dirinya dan kembali duduk. Merah merona wajahnya. Ia berharap di depannya ada pintu doraemon. Tak masalah detik itu juga dia masuk ke dunia bunian. Jantungnya berdetak-detak kencang."Mm-maaas, aku haus," lirih Dahlia."Ii-iiya. Se-se-sebentar," jawab Aditya gugup.'Ya Allah ... ya Allah ... Apa yang sudah aku lakukan barusan?! Jangan sampai wanita ini sadar aku sudah menciumnya. Ya Allah cabut saja nyawa ibu tiriku!' racau hati Aditya sembari tangannya yang gemetar menuangkan air dari botol mineral ke dalam gelas. Sekuat tenaga, Aditya membantu Dahlia minum. Ia sangat berjuang agar wajahnya tampak lebih tenang."Sudah?" tanya Aditya setelah setengah gelas yang Dahlia teguk.Gadis itu menggeleng. Aditya kembali menyodorkan gelas itu lagi. Dahlia kembali menggeleng. Kedua alis Aditya terangkat, heran.
@Kediaman Hadi PratamaSedangkan di sisi lain, Hadi yang menerima kabar penganiayaan Dahlia menjadi sangat gusar."Aku butuh kalian. Datanglah sekarang!" perintahnya."Siapa yang Papa suruh datang?" tanya Indri yang mendengar suaminya menelpon."Body guard. Aku mau keluar," jawab Hadi berjalan menuju lemari pakaiannya.Indri mengerutkan dahinya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya."Papa mau ke mana? Tumben-tumben pake jasa bodyguard.""Kantor polisi. Dahlia telah menerima kekerasan fisik dari ayahnya.""Bagus dong, Pa! Perempuan itu memang pantas mendapatkan hukumannya karena beraninya masuk ke dalam keluarga kita yang berkelas. Dia hanya seorang pembantu."Hadi Pratama sejenak berhenti dari kegiatannya memilih pakaian. Ia berbalik menghadap istrinya.
Setelah semalam tidur di sofa ruang perawatan, Aditya sekarang dihadapkan dengan handuk kecil dan sebaskom air hangat. "Silahkan, Pak. Jangan lupa, Ibu Dahlia dibantu makan ya. Supaya bisa semakin meningkat perkembangannya," ujar salah satu perawat. Setelah meletakkan makanan Dahlia di atas meja, perawat itu meninggalkan Aditya yang masih tercekat. "Kenapa bengong, Mas?" tanya Dahlia. "Ini kenapa harus aku yang melakukannya?! Kamu gak usahlah di lap-lap segala. Besok aja mandi pas sudah sembuh." Aditya menjauh dari baskom dan handuk di depannya. "Tapi aku gak nyaman kalau kulitku tak kena air, Mas." "Harusnya kamu gak mandi, tapi ganti sisik aja," ketus Aditya. "Ih memangnya aku ular. Ayolah, Mas. Aku risih banget sama bau keringatku sendiri dari kemarin siang ini." "I-iiya. Kamu gimana sih?! Aku gak mungkin kan lihat auratmu!" Jantung Aditya sudah tak karuan. Sejak semalam, suasana seperti sedang mengerjainya habis-habisan. "Boleh dong kamu lihat auratku. Kan aku is
"Jujur, aku tak menyangka, kau bisa jadi kakak iparku. Sejak terakhir aku berikan tas itu, kenapa kita jarang sekali bicara?" Dareen menoleh ke arah tas selempang yang dia berikan, nampak tergeletak di atas nakas. "Itu ... karena tidak ada yang perlu dibahas," jawab Dahlia mencoba kembali menyuap makanannya. "Kenapa tidak ada? Banyak hal yang bisa kita bicarakan. Salah satunya dengan menceritakan padaku, betapa sulitnya kamu mencoba meraih hati Abangku." Dahlia langsung melepaskan sendoknya menatap Dareen dengan tajam. "Jaga batasanmu, Dareen. Ada hal yang tak perlu kita bahas. Aku sangat berterima kasih padamu. Tapi tolonglah, jangan campuri rumah tanggaku." "Aku tidak sedang mencampuri. Aku sedang mengajakmu berdiskusi. Bagaimana jika kita menikmati hari bersama karena mungkin beberapa bulan lagi semua akan lebih sulit."
"Aku sudah terbiasa hidup menderita, Dareen. Jadi jangan khawatirkan aku. Akan sangat lucu, kalau aku dicerai Abangmu terus kamu menyambutku.""Aku tak masalah. Kamu spesies unik. Aku tertarik," ujar Dareen santai.Dahlia hanya tersenyum simpul, itupun tanpa menatap adik iparnya."Mungkin kita tak akan bisa bicara banyak. Intinya, jangan pernah merasa sendiri. Aku di belakangmu meskipun tertutup bayangan orang lain. Yakinlah, aku ada. Percayalah, Dahlia."Suara Dareen terdengar bergetar. Pemuda itu bisa merasakan darahnya berdesir hingga membuat kulitnya tiba-tiba terasa hangat. Dengan cepat, ia mengambil meja makan Dahlia lalu meletakkannya di atas nakas."Aku tinggal. Istirahatlah. Sumpek di sini. Aku mau rokok."Hentakan kaki Dareen yang menjauh membuat Dahlia sedikit lega."Benar sabda Nabi, ipar adalah maut,"
"Gimana keadaanmu? Jangan bergerak banyak-banyak. Istirahatlah," ujar Hadi Pratama pada Dahlia."Aku 100% baik setelah melihat Papa segar bugar begini!" seru Dahlia yang disambut decakan sinis dari ibu mertuanya.Dahlia tak peduli. Ia senang ketika ayah mertuanya tersenyum untuknya. Tiba-tiba Romlah mendekat."Neng ... syukurlah, Neng Dahlia sudah sehat. Oh ya, adek bayinya di kamarnya Neng.""Alhamdulillah. Terimakasih ya Mbok sudah banyak membantuku."(Suara deringan hp)Romlah yang baru saja menyalami Marni langsung menghambur meraih ponsel tuannya yang tak jauh dari posisi mereka. Ia lalu memberikannya pada Hadi."Masalah apa?! Baik. Aku akan ke kantor sekarang," ujar Hadi Pratama."Ikut Papa ke kantor, Dit. Sekarang.""Dua jam lagi mau maghrib, Pa," timpal