"Ayo turun, Mah." Pikiran yang tiba-tiba blank, diselingi nyali menciut, membuatku tak terlalu menanggapi ajakan Abram.
Entah kenapa pandanganku tak bisa teralih dari dua dokter itu. Meski hati tak ingin melakukannya, tapi netra seakan enggan berpaling. Sudah mencoba menyisihkan perhatian ke tempat lain atau menutup mata sekalian, tetap saja sosok mereka bak magnet. Ada ngilu yang seakan menusuk benda lunak bernama hati dalam dada menyaksikan keakraban keduanya. Perih!Huft, silakan kalian mencapku apa, lebay, kurang tahu diri, atau apalah, tersebab telah menghianati tujuan awal. Tapi sungguh, rasa ini muncul dengan sendirinya. Bila ingin diibaratkan, cinta ini bagai Jailangkung, yang datang tanpa diundang, tapi anehnya, ogah pergi walau sudah diantar, bahkan sudah diusir tapi masih bertahan. Betapa tak tahu malu! Sebagian orang melabeliku arogan, tak tahu terima kasih, pun serakah. Tapi tahukah kalian? Dialah lelaki pertama kali menyentuh kulit dan hatiku. Dia yang mengenalkan arti merindu, mengharap, serta mengukir kebahagiaan di usia senja kedua orang tuaku.Apa alasan diri untuk tak menyiram benih-benih cinta di hati? Jika keluarga yang kukasihi dibuatnya sumringah? Bahkan hampir seluruh keluarga besarku berbangga? Ah, sudahlah. Entah sampai kapan kusimpan rasa yang mulai membunuh secara perlahan ini. Mas Rian berjalan penuh kharisma. Tampak sangat rupawan dalam balutan kemeja warna biru, dipadu dengan celana hitam berbahan kain halus, yang berukuran tidak terlalu longgar pun tak terlalu ketat. Itu favoritnya, banyak warna sama dari berbagai model dan bahan di lemarinya.Padahal, pakai apa saja tetap pas, bahkan dengan bervariasi warna malah akan menambah poin ketampanannya. Lihatlah! Bahkan tentang warna saja dia tak bisa berpindah, apalagi soal cinta. Bagaimana dia bisa move on ke lain hati? Hiks ...Saat ini, tak sadar tangan mencengkeram stir mobil untuk meredam nyeri di dada, tapi tetap saja dia begitu memesona di pandanganku.Tolong, adakah yang bisa menyadarkanku dari gelapnya kebucinan yang hakiki ini? Sedangkan Dokter Juwita tak jauh beda. Cantik, anggun, nan elegant. Bodi semampai dengan rambut lurus tergerai dihembus angin, membuatku semakin kerdil memosisikan diri. Jangankan untuk menyaingi kesempurnaan fisik dan pekerjaannya, mengambil hati lelaki yang telah dihempasnya saja, pun diri tak akan pernah mampu. Buktinya! Enam tahun pernikahan terjalin, aku hanya tetap jadi alat penyeimbang kewarasan Mas Rian sahaja. Siapa, sih, aku? Wanita yang berhenti kuliah di semester tiga karena kekurangan biaya. Wanita penjaga toko kue, yang merangkap menjual barang-barang online apa saja lagi viral, asal bisa menghasilkan pundi-pundi halal.Dibanding dengan dokter Juwita, aku seperti Upik Abu yang khusus membawa sandal Sang Ratu. Betapa kontras, kan? Sangat jujur kuakui, Mas Rian dan wanita tercintanya itu sangat serasi, sepadan, dan sederajat. Tapi entah .., meski sudah tahu dan koreksi diri berulang, rasa cinta yang terlanjur subur di kalbu, sungguh tak mampu kutepis. Siapa yang harus disalahkan? "Ayo turun, Mah." Suara Abram menyadarkanku dari terpakuan. Kedua alis bocah jelang lima tahun itu terangkat melihatku yang buru-buru menghapus bening di pipi. Ah, bagaimana aku tak selalu terpedaya, jika putranya mewarisi kesempurnaan wajahnya. Meski usia Abram masih bocah, dia sangat peka dengan situasi, apalagi dengan mamahnya yang hampir selalu bersama dua puluh empat jam. "Mamah nangis karena hanya Tante Juwita saja yang diajak papah? Aku juga sedih, Mah. Padahal kemarin Abram minta diikutkan Mamah waktu papa dan tante ngajakin." Kalimat Abram membuat pernafasanku kian sesak. Jadi dugaanku mereka pergi bulan madu semakin mengerucut. Siapa yang tahu rencana mereka? Bisa saja di sana akan meresmikan kesejatian cinta dua sejoli yang sempat terputus, lalu berbulan ...?Arght, aku benci dengan rasa ini! Aku benci air tanda kelemahan yang keluar dari mata tanpa bisa diajak berkompromi.Bukan bulan madu saja yang sekarang membuntukan otak, penjelasan Abram membuatku semakin yakin, kalau kemarin-kemarin mereka mengajak Malaikat kecil itu, memang untuk membuatku sendiri. Benar-benar akan ditinggalkan sendiri.Duh ...Ada yang patah tapi bukan ranting.Ada yang merembes tapi bukan darah.Sebegitu sakitnya mencintai dalam pengabaian? Sebegitu perihnya berharap dalam ketidak perdulian?Namun, tak mampu untuk melangkah pergi menjauh. Ya, Rabb ...Beri hamba stok sabar lebih dan jagalah kewarasan ini agar tetap stabil."Kenapa Abram nggak ikut?" tanyaku setelah jeda lama, pun setelah menetralisir hati agar tenang.Sementara kedua sejoli itu tak terlihat lagi di parkiran. "Abram hanya mau bersama Mamah saja, selamanya!" jawab Abram tegas sambil menghapus tanda kelemahanku dengan kedua tangan mungilnya, lalu memeluk leherku erat. Sebenarnya pertanyaan ini tak perlu kulontarkan ke Malaikat kecil yang dititip Allah lewat rahimku. Namun, dengan selalu mendengar jawabannya yang menenangkan, sungguh membuat aku sangat dihargai. Ya, penghargaan tulus yang tak pernah kudapat dari papanya Rasa sakit yang tadi memenuhi pori-pori, langsung terganti dengan kehangatan yang mendamaikan. Andai papamu memiliki rasa seperti dirimu, Nak? Gulana ini tak perlu menekan dada."Jadi? Kita tetap turun ngantar papa atau gimana? tanyaku berusaha menarik senyum mencairkan suasana. Cukuplah mamahnya yang menderita, tak ingin melarutkan Malaikat titipan Allah itu ke dalam pusaran sesak yang tak bertepi.Abram tak langsung menjawab, mimiknya terlihat sangat lucu saat berfikir. Aku tahu kebimbangan mendera otaknya yang masih sangat kecil. Dalam kedinian, dia sudah peka situasi. "Ayo kita lets go antar papa." Aku sadar betul, kalimat yang meluncur di bibir ini sangat bertentangan keinginan. Namun, tetap berusaha berfikir logis, biar bagaimanapun ayah dan anak tetap saling terikat dalam segala hal. Ya, tentu beda dengan istri yang tak diharap, bisa saja hanya pelengkap penderita dalam sebuah kalimat. Bukankah istri hanya orang lain yang kebetulan dihalalkan untuk memberi keturunan dan ditanggung jawabi? Mengingat sikap Mas Rian selama ini, rasa ngilu seketika berdobel-dobel, memikirkan lelaki bergelar suami itu, memiliki prinsip demikian."Mamah nggak apa-apa, kok, suwer!" Aku menaikkann jari telunjuk dan tengah, sebagai pelengkap kata tidak apa-apaku tadi.Terkadang kita meminta anak untuk selalu jujur, tapi tak diberi teladan yang baik.Dan tekadang pula demi kebahagiaan dan kenyamanan seseorang, apalagi itu jelas keluarga, kita mengesampingkan luka. Aku rasa berada di dua posisi itu. "Nanti kita telpon papa aja kalau sampai di rumah," jawab Abram ceria, lalu menaikkan jari seperti yang kulakukan tadi saat mencari keseriusan di netra bening nan polosnya. Lagi-lagi yang kutemui, rasa tulus yang tak dibuat-buat. Aku yakin pergolakan batinnya telah menemukan solusi."Kalau begitu, sambil nunggu waktu Duhur, sekalian kita tungguin pesawat yang ditumpangi papa lewat, ya, Sayang?!" usulku saat mendengar pengumuman pengeras suara, pesawat sebentar lagi landas.Abram mengangguk, lalu melanjutkan aktifitas makan cemilannya yang sempat teertunda. Sepuluh menit kemudian, mesin burung besi itu menderu.'"Selamat jalan, Mas! Semoga dalam bahagiamu di sana, engkau tak pernah lupa, ada dua keping hati di sini, yang selalu menanti kabar dan kepulanganmu," lirihku pesimis, sambil mendongak ke atas, menatap pesawat yang membawa Mas Rian dan wanita terkasihnya semakin mengecil.***Setelah berganti baju, makan, dan melaksanakan salat Duhur, Abram melanjutkan jadwal tidur siangnya.Diri ini memang tidak berpendidikan tinggi. Namun, penanaman soal ibadah, aku terapkan kepada Abram sejak dini. Begitu didikan ibu-bapak pada anak-anaknya, yang kuturunkan pada Abram. Ya, mungkin hanya nilai itulah yang menjadi satu-satunya warisan dari mamahnya kelak, sebab wanita tak berharta dan tak berijazah ini memang sejatinya tak memiliki apa-apa. Bukan! Bukan soal sok alim atau kecanduan bahasa liberalisnya. Berusaha menjalankan ibadah di kala suka dan duka, di kala kekurangan atau berlebih, adalah bentuk terima kasih ke pada Sang Khalik, atas banyaknya nikmat yang dicurahkan secara gratis.Coba bayangkan andai oksigen yang kita hirup setiap saat, Allah minta bayarannya? Semua perangkat tubuh yang masih berfungsi Allah tagih sewanya? Maka selayak, lah, kita meyakini dan menjalankan perintahNya, walau belum bisa sempurna, pun dalam kondisi yang kadang tak bersahabat dengan ha
Gegas aku membasuh wajah dengan punggung tangan saat mendengar langkah kecil Abram. Seberat apapun masalah yang kuhadapi, akan berusaha terlihat baik-baik di depan Malaikat kecil itu. Karena sejatinya, hanya dia penguat sekaligus harta yang kupunya satu-satunya. Selalu saja dada begitu sesak, ketika memikir Mas Rian akan pergi dan menyertakan Abram bersamanya. Apa kira-kira diri mampu menolak? Kuyakin tak bisa. Toh, faktanya, wanita fakir harta dan pendidikan ini, tak punya alasan untuk diberi amanah meski menanggung jawabi darah daging sendiri. Hiks ...."Kok papa belum nelpon, sih, Mah?" Abram bergelayut manja dengan suara khas orang bangun tidur. Tuh, kan? Bagaimana harus menjelaskan tentang informasi papanya yang tak bisa menghubungi seperti dulu.Sepertinya benar kata sebagian orang, kalau seorang istri, harus belajar menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Mungkin, hal beginilah yang menjadi pertimbangan. Saat hubungan suci dua insan yang berbeda, harus kandas di tengah j
Jika mencintai dan menunggu hati seseorang yang telah berjodoh, dengan mengesampingkan luka dan batas kesabaran, masih salah? Lalu dI mana letak kebenaran cinta dan penantian itu yang sesungguhnya? -----"Papa, kok, belum nelpon, Mah?" tanya Abram dengan wajah berkabut. Andai anak itu manja kupastikan dia telah merajuk atau paling tidak menangis diam-diam di kamarnya, bisa juga di balik pintu. Sepekan sudah Mas Rian tak memberi kabar, hal ini sudah sangat luar biasa bagi Abram yang telah terbiasa berkomunikasi papanya setiap hari, bahkan biasa dua kali sehari. Ah, seperti minum obat saja. Sekarang? Papa yang banyak menyembuhkan orang itu, kini lupa, ada darah daging yang mendung pelupuknya menunggu kabar. Lupakah dokter itu, jika rindu bisa menimbulkan penyakit? Ataukah buncahan bahagianya di sana? Tak ingat lagi apa-apa?Aku tahu pasti, Malaikat kecil itu nelangsa memendam rindu, karena hati ini merasakan hal sama."Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Nanti bakal nelpon, kok," jawabk
Terlihat Abram terpaku, matanya fokus ke mobil sporty warna merah gelap bermerek pajero yang terpakir cantik di garasi, lalu sedetik kemudian menatapku penuh tanya."Papa?" tanyanya. Aku mengangguk "Kok, Mamah nggak turun?" tanya Abram lagi menautkan alis. Sebelum menjawab, aku menarik napas pelan, kemudian membuangnya gelisah. Sangat gelisah. "Abram saja duluan, mamah beresin barang-barang di mobil sebentar," kilahku sambil mengeluarkan perlengkapan pribadi dari tempat penyimpanan di depan tempat duduk Abram sekarang.Aku rasa tidak berbohong, hanya sedang menetralkan hati dan kesiapanku untuk berhadapan dengan kenyataan. Ya, aku takut menyaksikan dua sejoli itu ...?"Kita sama-sama, Mah," ujar Abram masih dalam posisi semula. Kenapa juga anak ini bersikap begitu? Bukannya dulu paling heboh jika menyambut papanya? Apa dia merasakan apa yang kurasakan? Ataukah rindunya telah tersulap jadi kecewa?Sengaia memperlambat pergerakan, selain menunggu irama jantung normal dan persendian r
"Mobinya rusak, Mah?" Pertanyaan Abram tak langsung kutanggapi. Anak itu pasti heran melihatku hanya memegang stir lama tapi tak memutar kunci kontak.Tubuhku benar-benar seperti tak bisa difungsikan. Jangankan menginjak gas, memutar stir, apalagi untuk fokus ke jalanan, menstarter mobil saja tak mampu. Percakapan dua sejoli yang baru saja melewati gendang telinga, membuat otak dan perangkat-perangkat tubuh lainnya seketika vakum. Aku rasa inilah yang disebut syok.Entah kenapa tubuh bereaksi terlalu. Sedang enam tahun silam, hal ini sudah terprediksi dari alam bawah sadar pun sebaliknya. Mungkinkah itu disebabkan oleh rasa berlebih yang begitu dalam mengharap? Atau memang cinta telah mengakar kuat di tubuh?Sepertinya aku harus percaya pada pendapat sebagain orang, kalau mencintai lebih tanpa berbalas meski pada pasangan halal, bisa mengundang penyakit, atau bahasa kasarnya, sama dengan bunuh diri. Entah, walau tahu, tapi rasa ini sungguh tak mampu kutepis."Mamah ...." Sentuhan ta
“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu. Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkanny
"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? Ya, Rabb ....Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.Lelaki berp
"Abram masuk, cuci tangan dan kaki, lalu bergantian pakaian, ya?!" pintaku pada bocah penurut itu usai mencium punggung tangan papanya. Meski seakan ada konflik tak terlihat yang merusak suasana. Aku pikir hubungan anak dan papa, akan cepat stabil seperti dulu. Aku? Tak ingin memikirnya, yang penting darah dagingku bahagia. "Maaf, Mas. Saya belum menyediakan pakaian Abram," ujarku sopan, mengingat titahnya di telepon.Lelaki itu bergeming, ketika aku menyodorkan tangan hendak takzim seperti biasa.Diri sudah paham kalau sekarang dia tak menyambutnya, kulitku memang tak ada apa-apa dibanding istri tercintanya di sana. Ah, lagi-lagi sesak datang tak undang bila mengingat kedudukan yang tak pernah dihargai. "Aku ingin akhiri hubungan ini. Carilah lelaki yang lebih bisa membahagiakanmu," ucapnya tanpa ekspresi, pun tanpa sedikit ada niat meraih tanganku yang masih menggantung di udara menunggu uluran tangannya. Aku mundur bersandar di dinding memahami makna pernyataan tajam itu, tiba-
"Cepatan dong, Tari. Ntar Abram ngambek." Mas Langit menarikku menuju mobil. Ini hari penerimaan hadiah Abram ikut lomba hafalan surah-surah pendek. Tentu saja lelaki dingin tapi sudah hangat itu paling senang, karena dialah pembimbingnya di rumah. "Dikit lagi, Mas. Tinggal warnain bibir aja, kok," protesku tetap melangkah.Tak lama berselang, Mas Langit segera melajukan kendaraan sambil berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya setelah kami duduk dan menutup pintu mobil. Dia memang seperti itu kalau menyangkut masalah Abram. Kadang aku menganggap sikapnya terlalu berlebihan, itukan sama saja membiasakan anak terlalu bergantung."Mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya saja, Tari. Tapi harus disertai dengan tanggung jawab, jujur, optimis, dan contoh dari orang terdekatnya," ujar Mas Langit seakan tahu isi hatiku dan entah keberapa sekian kali dia mengulang kalimat semacam ini. Ah, sudahlah ... Aku tak ingin mendebatkan perbedaan prinsip. Apalagi dia tidak sekedar bicar
Entah kenapa aku tak merasa kram dalam posisi berjongkok sambil kedua tangan menutup wajah. Untung tak ada Abram. Tidak bisa membayangkan andai anak itu melihat aku sebegitu terpuruk seperti sekarang, atau mengetahui ayahnya pergi lagi. Mungkin ....Mamah dan anak ini akan menangis bersama di sini."Apa kamu nggak malu diliatin?" Suara yang tiba-tiba sangat merdu terdengar diantara bisik-bisik. Aku tahu sedari tadi orang-orang memperhatikan, tapi diri tak perduli. Sedih ini harus segera dituntaskan.Cepat aku mengangkat wajah lalu berkali-kali mengusap mata untuk memastikan penglihatan.Ya, lelaki pembuat gulana itu berdiri di sana, betul, bukan mimpi atau halusinasi. Sementara Anggi di belakang tersenyum sambil menyeka sudut netranya. Sejak kepergian suami adik dan kedua orang tuanya, lelaki itu bertanggung jawab penuh sebagai kakak, jadi wajarlah memaksa Anggi ikut bila pindah kota seperti yang dilakukan sekarang. Dari pembicaraan Mbak Rima dan Anggi tadi pagi itulah, aku tahu peremp
Gegas aku turun dari mobil bermaksud mendahului Mas Langit. Seketika terlintas keinginan kuat untuk mencegah pamitnya ke Emak. Aku akan meminta dengan segala cara agar tak jujur ke wanita terbaikku itu. Meski dengan berbagai alasan dan kedustaan, biarlah diri yang dzolim ini menanggug semua dosanya, asalkan malaikat tak bersayapku tetap bahagia. Aku rasa semua anak akan melakukan sama jika berada di posisiku.Sepertinya niatku telah terlambat. Suara tangisan Emak terdengar saat aku memasuki pintu utama. Secepat itu lelaki dingin mengutarakan maksudnya, hingga tak melihat kondisi Emak yang masih dalam pemulihan. Benar-benar tak berperasaan! Emosi dan sedih, entah yang mana kudahulukan sekarang.Dengan menyeret kaki aki memasuki kamar Emak, suasana hatiku benar-benar down sekarang. Akulah satu-satunya anak yang menjadi penyebab utama kepergian kedua orang tuanya. Menyadari itu, tungkai seketika tak bisa menahan bobot tubuh."Ke sini, Nduk." Gontai aku mendekat ke beliau. Mas Langit meng
Setelah salat Subuh, Abram telah siap dengan jaket, biasanya pagi-pagi sekali Mas Langit sudah datang menjenguk Emak lantas membawa Abram jalan-jalan dan sepulangnya membawa aneka makanan yang masih hangat. Tiga hari lalu Emak diijinkan pulang dan sekarang sedang proses pemulihan di rumah."Kok, lama, ya, Mah," keluh Abram mulai tak sabar. Ufuk timur mulai terang, menandakan pagi telah menjelang. Tak biasanya Mas Langit datang terlambat."Coba cek ke rumahnya, Tari. Katanya dia gak bermalam di sini karena lagi pembenahan barang," kata Emak yang tampaknya menunggu seperti Abram. Lelaki itu memang tipe pembuat rindu."Emak dan Abram mau makan apa, biar aku bikinin," tawarku hendak ke dapur. Melihat sikap dinginnya ke aku menciptkan canggung dan malu yang teramat bila harus nyusul ke rumahnya. Kecuali kalau dia sendiri yang datang.Emak dan Abram tak ada jawaban. Itu menandakan mereka tak menyetujui saranku. Huft ... Sungguh dilema diri ini. Haruskah memaksa Mas Langit tetap bertahan d
Ruang ICUAku mengenggam erat tangan Emak yang terbaring tak berdaya. Banyak alat medis tidak kutahu nama dan fungsi tepasang di tubuh rentanya.Mataku pasti sangat bengkak sekarang, hanya menangis yang mampu kukakukan, hampir dua belas jam berlalu, tapi beliau belum siuman. Dadanya saja terlihat naik turun menandakan masih ada ruh di jasad, itupun sangat lemah dibanding biasanya.Ya, Tuhan ... Cobaan apa lagi ini? "Sudah tahu penyebab Emak pinsang?" tanyaku ke Gilang, dia yang menemani Emak. Adikku itu baru saja kutugaskan mencari informasi di hajatan tetangga yang kemarin Emak datangi."A-anu, Mbak," jawab gilang gagap. Tuh, tak salah lagi, di sana sumbernya. "Apa orang membicarakanku?" ujarku to the point. Aku pikir tak perlu lagi berbasa-basi. Situasinya darurat."I-iya, Mbak." Aku mengangguk cepat agar Gilang bercerita tanpa sungkan. "Ada yang melihat Mas Langit di kota seberang. Dan tetangga menyimpulkan Mbak sekarang menjanda lagi," lanjut Gilang menatapku sedih. Inilah yang
"Pintu rumah selalu terbuka lebar, jika Mas ingin menjumpai Abram." Selesai berucap, aku segera bergegas ke luar. Sementara Abram masih menunggu papanya bereaksi. Dokter itu masih setia menekuri lantai saat aku melaluinya.Sebelum mencapai ambang, aku sempatkan melihat ke belakang. Mas Rian menarik putranya dalam pelukan, lama sekali, sambil menangis lirih. Ya, perpisahan memang menyakitkan. Namun, bertahan dalam gerogotan luka yang tak pernah hilang, sama saja bunuh diri secara perlahan.[Kupinta maafmu dari prilaku dosa, salah, dan khilaf selama hidup bersamaku, Mas. Meski hubungan kita telah usai, tak ada niat sama sekali untuk menjauhkanmu dengan Abram ke depannya. Tetaplah jadi papa yang terbaik, pun suami yang bertanggung jawab. Semoga kita semua dalam lindungan Allah sampai maut memanggil]Tak memungkiri, air mata jatuh jua mengiring pesan singkatku. Baru kali aku sempat dan sepenuh hati meluangkan waktu menulis kata maaf dan perpisahan setelah hampir setahun jatuh talak. Seras
Dengan was-was aku membuka kaca. Tampak lelaki berpostur tinggi memakai celana hitam, dipadu hodi, dan masker warna sama, membungkuk hendak mengetuk lagi. Matanya merah diterpa cahaya pagi. Rasa takut membuatku menatapnya sekilas lalu mencermati banpers mobil yang rusak. Sepertinya aku menabrak kendaraan kelas penjahat. Aduh ... Kira-kira dia mau damai saja dengan ganti rugi, ya? Tapi, apa isi kantongku cukup memperbaiki mobil tajir itu? Lagi, lagi, bantu hambaMu yang lemah ini ya, Rabb .... "Papa?" ujar Abram membuatku menyipit lantas memperhatikan seksama dari atas ke bawah. Semoga penglihatan Abram tak salah Ya, Tuhan. Plisss ....Benar! Dia Mas Rian! Ngapain berpakaian begitu? Kayak mafia di film-film saja. Hampir-hampir aku jantungan dibuatnya."Kamu bikin aku jadi begini?" ujarnya dengan sorot tajam. Hah? Sepertinya dokter itu benar-benar butuh terapi jiwa. Sudah berpenampilan aneh, sekarang menuduh orang lain penyebanya. Tapi ngomong-ngomong kenapa aku tak ingat sama sekali m
"Apa maksud, Mas," tanyaku tersulut."Aku pikir kamu sudah tahu jawabannya," kata Mas Rian santai."Oh, begitu. Baik. Semoga kalian sukses," kataku menghapus bening yang tiba-tiba membasahi. Entah kenapa bila menyangkut Mas Langit, air mata ini gampang sekali jatuh. Padahal, aku sudah memprediksi mereka akan sampai ke sana. Bukankah dari awal tujuan Mas Rian memang hanya menjadikan Mas Langit muhallil? Dan ajaibnya, lelaki yang paham agama itu mau saja? Sudahlah .... Hati ini akan mengikhlaskan semuanya. Bahkan tak akan datang ke pengadilan untuk mempercepat proses perpisahan resmi itu."Aku harap kita hanya berkomunikasi sebatas Abram saja. Karena kita tidak tahu cara kerja syetan." Selesai berucap, aku menuju ke kamar dan menutup rapat pintunya. Meski telah berucap ikhlas, tak apa kan meluapkan rasa dengan menyendiri?Aku keluar saat mendengar ketukan bersamaan suara Abram memanggil. Alhamdulillah, Mas Rian sudah tak terlihat lagi. Tampak Abram telah rapi sambil menjinjing tas r
"Tidak apa-apa, Ti. Aku akan baik-baik saja," ujarku menatap lantai lalu melangkah gontai. Tuti yang menyadari keadaanku mengawasi dari bawah. Seluruh persendian seperti kehilangan fungsi setelah membaca surat berwarna putih. Ya, isi sama, panggilan sama, dan mungkin pengantarnya juga sama. Cuma ajuan yang berbeda. Bukan cuma kehilangan yang jadi prioritas sekarang, tapi pandangan masyarakat? Perasaan Emak? Dan apa kata orang-orang di pengadilan jika melihatku? Tidak cukup setahun digugat kasus yang sama? Ah, aku butuh peraduan untuk menangis. Andai doraemon ada di dunia nyata, aku ingin meminjam laci ajaibnya untuk berpindah ke bumi lain. Sepertinya otakku mulai tak waras.'Oke! Andai kamu hanya bertamu. Setidak, pamitlah sebelum pulang, Mas. Berkunjung ke rumah orang saja, ada adabnya, kan? Apalagi ini menyangkut hal besar yaitu pernikahan yang dipertanggung jawabkan kelak ikrarnya di depan Allah. Tidakkah dirimu menyakitiku terlalu dalam dengan kepergianmu tanpa pamit, tanpa sepat