Drrttt…Drrt…Drrtt…
Suara ponselku berbunyi. Setiap berada di kantor, aku memang sengaja menggunakan getar untuk notif panggilan dan lainnya. Aku melirik ponselku yang kutaruh disebelah computer. Nama “MAMA” terpampang jelas di layar ponsel. “Tumben mama telfon di jam kerja”, batinku. Segera aku angkat ponselku dan kugeser tombol hijau di layar.
“Halo Ma, Mama kenapa? “, tanyaku cemas. Mendapat telfon dari mama dijam seperti ini membuatku berfikir yang tidak-tidak.
“Halo Firza, kamu nanti pulang jam berapa?“, suara mama dari seberang.
“Mama kenapa? Mama baik-baik saja? Vertigo Mama kambuh lagi kah? Atau Mama masuk angin. Si siti masih di rumah kan Ma? Minta tolong Ssti buat kerokin sama bikinin teh panas ya Ma. Bentar lagi aku pulang. Mama sih sukanya begadang. Udah dibilangin kalau nonton drakor itu siang aja. Tapi Mama pagi, siang, sore, malam, tengah malam, sepertiga malam, sampe subuh masih aja nonton drakor. Masuk angin kan.”, omelku di telfon.
Eh tetapi mama kok tiba-tiba diam, enggak ada suaranya. Jangan-jangan mama..
“Mama.. Mama..“, teriakku. Aku sangat cemas fikiranku memikirkan hal yang tidak-tidak.
“Iya enggak usah teriak-teriak mama denger.“, kata mama dari seberang.
Aku lega mendengar suara mama, fikiran cemasku seketika hilang.
“Lah mama diem aja, mama gak papa?”
“Gak papa, orang tadi mama ambil minum. Kamu lama ya nungguin di telfon. Maaf ya Nak, mama tiba-tiba haus“
“Ya elah mama. kirain kenapa-napa. Lain kali kalau pas telfon terus mau ambil minum itu izin dulu Ma, biar enggak kuatir yang ditelfon. Emang ada apa Mama telfon jam segini?”
“Gini, tadi waktu mama belanja mama ketemu sama temennya mama waktu SD. Kita reuni deh. Ternyata temennya mama itu punya anak cowok ganteng. Terus...”
“Terus apa? Mau jodoh-jodohin anak-anaknya. Aduh Ma.. Kebiasaan deh”
“Firza, kamu liat aja dulu anaknya. Kalau kamu gak mau ya udah enggak papa. Ya meskipun agak sayang sih Fir, soalnya anaknya ganteng. Tadi mama juga udah ketemu. Udah ganteng sopan lagi. Cocok banget deh jadi mantunya mama.”
“Mama nyariin Firza suami apa nyari mantu buat mama? “
“Lha kan sama aja Nak..”
“O iya”
“Yaudah pulang dari kantor gak pake lembur-lembur ya Fir, langsung pulang. Teman mama dan anaknya tadi mama undang makan malam dirumah. Kamu harus dandan yang cantik”
“Nanti malam? Gercep banget sih mama. Firza gak mau dandan-dandan, gini aja udah cantik”
“Yaudah terserah kamu. Udah ya. Bye Firza.”
Aku melenguh panjang sembari meletakkan ponselku ditempat semula. Jika ada cermin disini pasti aku bisa melihat wajah jelekku saat bete begini. Tetapi sepertinya aku enggak butuh cermin, kan ada Rani. Dia itu cermin bergerak yang bisa berkomentar.
“Kenapa kamu? Wajahnya ditekuk-tekut sampe kucel gitu, jelek banget tau gak sih “ Rani tiba-tiba datang membawa setumpuk berkas.
Nah, apa aku bilang. Cerminku selalu datang diwaktu yang tepat. Dengan begini aku jadi tahu gimana wajahku saat ini. Jadi bisa sedikit dilurusin tekukannya supaya tetap cantik.
“Mama, kebiasaan deh jodoh-jodohin anaknya. Emang dipikir anaknya gak bisa nyari suami sendiri”, gerutuku pelan sambil membuka berkas yang dibawa Rani.
“Nah bener tu si mama, kamu emang enggak bisa nyari suami. Buktinya kamu masih jomblo aja diumur segini.”
Eh Si Rani kampret bener deh ni anak, “Ran,kamu kok pinter sih. Kamu makannya apa sih?” Tanyaku sambil menahan marah pada kampret ini.
“pisang” jawabnya santai membuat aku semakin geram.
***Malam ini di rumah
“Firza, kok belum dandan sih Nak. Bentar lagi teman mama datang. Masak iya mereka yang nungguin kamu.“ Ujar mama dengan kecepatan bicara 80km/jam.
“Dandan yang kayak gimana sih ma, kan mama sendiri yang bilang kalau anak mama cantik dari sononya. Yaudah gini aja“, jawabku sekenanya.
“Mama gak mau tau, kamu harus pake baju yang bagus dandan yang cantik. Sekarang! “
Mamaku kalau udah bentak berarti dia marah, kalau mama marah aku takut. Mau enggak mau aku dandan deh. Cantik deh.
“Kok lama sih ma, katanya bentar lagi teman mama datang”, tanyaku.
“Kok jadi kamu Fir yang gak sabar, udah pengen nikah ya.. “
Iya ya kenapa jadi aku yang gak sabar. Apa karena bawaan dandan ya?
“Ni bantuin mama dulu, bawa piring-piring ini ke meja makan. Biar kamu gak gugup”
“Apaan sih, siapa juga yang gugup”
Ting tung…
“Tuh Fir, mungkin itu mereka. Bukain pintu gih”
“Ah nggak, mama aja. Malu”
“Ciee anak mama mau ketemu calon suami malu.” Goda mama sambil berlalu ke ruang tamu. Sementara aku cuma nyengir dibuatnya.
Sebenarnya perkataan mama tadi ada benarnya juga. Sejak tadi aku merasa deg deg an. Entah lah, sepertinya ada yang berbeda. Semoga pertanda baik.
“Firza… ayo salam dulu sama tante Ratna“ mama memanggilku yang masih mematung di meja makan karena tidak berani keluar.
Dengan mencoba setenang mungkin, aku berjalan ke arah mereka, tanganku dingin sedingin es. Dadaku berdebar-debar.
“Hai Firza, cantik banget kamu Nak“, kata tante Ratna saat aku mencium punggung tangannya.
“Iya dong Rat, mamanya aja kayak gini lo cantiknya”, jawab mama sekenanya membuatku menyunggingkan bibir ke arahnya.
Aku clingak clinguk kearah pintu mencari sosok yang akan dikenalkan pada ku.
Tak lama, muncullah sosok laki-laki agak berumur, kulitnya coklat agak berkeriput. Masuk melalui pintu dan langsung menatapku.
Deg, Apa ini cowok yang akan mama kenalkan ke aku? Yang benar saja, aku mau dijodohkan sama om om.
“Ibu Ratna ini oleh-olehnya ketinggalan, Mas Endruw sedang sibuk menerima telfon jadi saya antar kesini, mohon maaf mengganggu”, kata om om itu ke tante Ratna dengan sopan.
“Oh iya, makasih ya Pak Nardi“, kata tante Ratna sembari mengambil oleh-oleh yang sudah disiapkan buat mamaku pastinya.
Dalam hati aku meringis, syukurlah bukan om ini yang mama jodohkan buat aku. Suudzon banget sih aku sama mama.
“ Bunda…”
Suara itu keluar dari mulut serang pria yang berdiri di depan pintu. Aku menoleh ke arahnya. Tiba-tiba bumi serasa berhenti berputar. Lampu dirumahku serasa padam dan berganti dengan cahaya lilin. Angin lembut seperti menyibak rambutku membuat gelora asmara di hatiku. Jantungku pun seperti berhenti berdetak, eh salah berdetak lebih cepat kalau berhenti mati dong. Semua berubah menjadi syahdu
“Hai Endruw kesini sayang, ini temen bunda sama anaknya.“ Kata Tante Ratna yang otomatis membuatku kembali ke alam nyata.
“Hai Endruw kesini Sayang, ini temen bunda sama anaknya.“ Kata Tante Ratna yang otomatis membuatku kembali ke alam nyata.Namanya Endruw, cowok yang akan dijodohkan denganku. Endruw bisa dikategorikan sebagai cowok ganteng, eh bukan yang benar ganteng banget. Endruw berperawakan tinggi, besar, kekar, memiliki kulit yang putih bersih. Matanya hitam, saat dia melihatmu kamu pasti akan merasa terintimidasi atau malah jatuh hati. Pakaiannya rapi dengan setelan jas coklat dipadukan dengan sepatu senada membuatku benar-benar lupa kalau ini daratan tubuhku serasa mengapung di kolam. Dan jika kemajanya dilepas pasti akan terlihat roti sobek yang menghiasi perutnya. Dan jika aku pegang salah satu bagian dari roti sobek itu..“Au…”, suaraku keluar begitu saja saat tangan mama mencubit lenganku.“Mama ih”, bisikku.“Balik Fir, balik ke daratan. Jangan mengapung terus di kolam nanti masuk angin”, bisik mama sambi
“Wah.. Cantik banget kamu Fir. Foto dulu yuk, siapa tahu ketularan dapat jodoh.”Cekrek, cekrek, cekrek..Siapa lagi kalau bukan Rani. Setelah tahu kabar pertunanganku, dia adalah orang yang paling sibuk. Nyari gaun, sepatu, tas, asesoris, make up. Tapi itu semua buat dirinya sendiri, bukan buat aku. Selama satu minggu dia sibuk menyiapkan segala sesuatu kebutuhan untuk dirinya sendiri, untuk menghadiri pertunanganku.Tepat hari ini pertunanganku digelar. Tidak ada acara istimewa, hanya syukuran sederhana yang dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat kami.“Fir, kamu kok bisa sih dapat calon suami seganteng Endruw?”, tanya Rani. Dari dulu dia paling suka menggoda cowok ganteng, tapi tidak pernah berhasil.“Gak tau, mungkin karena aku cantik kali. Makanya Endruw mau”, kataku sekenanya sambil menebalkan lipstick di bibirku.“Ih PD banget sih kamu Fir.”“Lah bukannya kamu sendiri
“Kamu langsung ke butik aja ya Nak, bunda tunggu di sana ajak mama kamu juga. Dari butik kita langsung ke toko perhiasan langganan bunda. Lalu makan malam di rumah bunda.” Suara Bunda di telfon.“Iya bunda, habis ini Firza langsung berangkat. Bye bunda sampai ketemu.” Jawabku seraya mematikan telfon.Hari pernikahanku semakin dekat dan persiapan pernikahan masih 50 persen. Mau tidak mau bunda turun tangan langsung untuk membantuku menyiapkan semuanya. Sejak pertemuan pertama kami di rumahku, Tante Ratna menyuruhku untuk memanggilnya bunda. Bunda sangat menyayangiku, meskipun aku belum resmi menjadi menantunya namun kasih sayang itu sudah sangat terlihat.Hari ini kami berjanji untuk bertemu di butik, untuk finishing baju pernikahan. Tapi Endruw tidak bisa ikut, dia harus bekerja agar saat pernikahan nanti urusan pekerjaannya sudah selasai.Sesampainya aku di butik, bunda sudah berada di sana. Aku menghampirinya lalu menciu
Pagi ini berbeda dari pagi-pagi biasanya, suasana pagi ini sepi. Tidak terdengar omelan mama yang sudah menjadi alarm bagiku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00, “tumben mama belum bangunin” batinku. Kulirik kalender duduk di meja sebelah kasur, terlihat tinggal seminggu lagi menuju tanggal dengan lingkaran hati yang kubuat sendiri untuk menandai kalau hari itu adalah hari pernikahanku. Aku tersenyum kecil, sedikit membayangkan bagaimana jadinya kalau aku masih sering telat bangun pagi, “apa kata Endruw”, batinku meracau.Aku segera bergegas ke kamar mandi, setelah mengingat bahwa hari ini aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor. Sebelum aku resign dari kantorku, aku harus menyelesaikan semua kewajibanku agar nantinya aku tidak terbebani. Ya, setelah menikah aku memang berniat untuk resign dari kantorku bekerja. Aku ingin membuka usaha sendiri, agar waktuku tidak terlalu terbuang banyak di luar. Atas saran dari Endruw tentunya.
“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.Bagai kena petir di siang bolong, tangisku seketika menjadi-jadi mendengar penjelasan bunda. Bagaimana bisa hari bahagia dilaksanakan di saat seperti ini. Endruw datang memelukku, dia mengusap-usap rambutku berusaha menenangkan. Air mata yang mengalir sederas hujan membasahi bagian dada baju putih yang dipakai Endruw.“Kamu harus kuat ya Fir, semua untuk kebaikan kita. Saya akan selalu menjaga kamu.” Ucap Endruw sambil mengecup keningku.Aku tak kuasa untuk bergerak dari tempat dudukku semula, hanya terdiam sambil melihat jenasah mama yang sudah terbungkus rapi. Bunda dan beberapa paman bibiku mulai sibuk menyiapkan pernikahan mendadak ini. Semua orang berjalan kesana kemari dengan kesibukan masing-masing. Mungkin mereka juga bingung harus bahagia
Bulan ini adalah bulan Agustus, dimana biasanya musim kemarau sudah datang. Awan yang biasanya menutupi matahari pada musim kemarau mereka akan pergi menjauh entah karena bosan atau hanya ingin sedikit menghindar, sehingga membuat matahari lebih terik. Suhu sudah mulai panas dan lembab. Tanah pun juga mulai retak.Namun tidak untuk saat ini. Meskipun kemarau datang di bulan Agustus tapi Agustus saat ini berbeda dengan biasanya. Agustus sekarang lebih bersahabat, atau malah merupakan tanda awal dari sebuah bencana. Ya, beberapa hari di bulan Agustus hujan datang mengguyur. Tidak hanya rintik-rintik gerimis, namun juga hujan deras dan petir yang menyambar.Entah apa yang sudah Tuhan rencanakan. Keadaan seperti ini pasti akan sangat membuat para petani merugi. Gagal panen sudah jelas dirasakan oleh mereka begitu juga para pekerja lain yang menggantungkan pekerjaannya pada musim. Pasti akan sangat merugi.Hari ini dua minggu pernikahanku, yang berarti sudah du
Aku setengah berlari saat mendengar nada dering ponselku berbunyi. Terlihat nama Endruw di layar, aku tersenyum melihatnya. Tidak bisa kupungkiri, saat ini aku merindukan Endruw. Setelah Rani pulang, aku mulai bertekat untuk bangkit dari keterpurukan demi suamiku. Kugeser tombol hijau di layar ponsel.“Firza, kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali mengangkat telfonnya.” Suara Endruw di seberang terdengar keras dengan nada khawatir.“Enggak apa-apa, tadi aku habis mandi”, jawabku yang otomatis membuat Endruw terkejut. Memang beberapa hari ini Endruw yang mengurus segalanya.“Jadi kamu sudah mandi?” Tanyanya tidak percaya.“Sudah”, jawabku lirih.“Siapa yang bantuin?”“Mandi sendiri lah, ngapain mandi dibantuin”, jawabku sedikit menyeringai. Aku lupa kalau biasanya Endruw yang membantuku mandi, menyiapkan air hangan dan menggandengku berjala
Kubuka mataku pelan, saat sinar matahari menyeruak menembus celah kecil korden kamarku. Aku mendengus kesal saat merasakan sentuhan panas sang mentari yang tepat mengenai wajahku. Kucoba menarik selimut untuk melindungi wajah. Namun selimut yang menempel di tubuhku tidak dapat kutarik. “Seperti ada yang menghalangi? Apa ini? Jangan-jangan monster yang kayak di film-film”, pekikku yang langsung terperanjat kaget. Dengan cepat aku merubah posisi yang semula tidur menjadi duduk.Seketika aku tersenyum saat kulihat Endruw sedang tidur di sebelahku sambil tangannya mencengkeram selimut dengan erat. “Pantesan selimutnya enggak bisa ditarik”, batinku.Lama aku terdiam melihat wajah Endruw yang tidur di sebelahku. Ini memang bukan kali pertama Endruw tidur di sampingku, namun baru kali ini kulihat wajah suamiku sampai puas. Wajah membuat aku jatuh cinta. Kutundukkan wajahku, kukecup kening dan pipi Endruw dengan pelan. Pipiku merona karenanya, ini
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.