Pagi ini berbeda dari pagi-pagi biasanya, suasana pagi ini sepi. Tidak terdengar omelan mama yang sudah menjadi alarm bagiku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00, “tumben mama belum bangunin” batinku. Kulirik kalender duduk di meja sebelah kasur, terlihat tinggal seminggu lagi menuju tanggal dengan lingkaran hati yang kubuat sendiri untuk menandai kalau hari itu adalah hari pernikahanku. Aku tersenyum kecil, sedikit membayangkan bagaimana jadinya kalau aku masih sering telat bangun pagi, “apa kata Endruw”, batinku meracau.
Aku segera bergegas ke kamar mandi, setelah mengingat bahwa hari ini aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor. Sebelum aku resign dari kantorku, aku harus menyelesaikan semua kewajibanku agar nantinya aku tidak terbebani. Ya, setelah menikah aku memang berniat untuk resign dari kantorku bekerja. Aku ingin membuka usaha sendiri, agar waktuku tidak terlalu terbuang banyak di luar. Atas saran dari Endruw tentunya.
Setelah mandi, aku masih merasa aneh. Dari tadi mama masih belum terlihat, suaranya juga belum terdengar. Aku ingin menemui mama di kamarnya, namun terhenti saat ponselku tiba-tiba berbunyi. Telfon dari kantor. Aku segera menggeser tombol hijau di layer dan mengobrol dengan orang di seberang. Kami mengobrol cukup lama, sampai aku lupa niatku sebelumnya untuk mencari mama.
Setelah cukup kami mengobrol, aku mulai ingat tentang mama. Aku berjalan ke dapur berharap mama sedang sibuk memasak, namun suasana dapur masih seperti tadi malam seperti belum terjamah oleh manusia pagi ini.
Ting tung.. Suara bel pintu berbunyi. “Itu pasti Siti”, gumamku. Aku bergegas di ruang tamu untuk membuka pintu sekalian melihat mama mungkin ada di luar.
“Siti gak liat mama?” Tanyaku pada Siti setelah membuka pintu dan melihat Siti tersenyum padaku. Bisa dikatakan Siti adalah asisten rumahku, dia datang pagi dan sore harinya pulang. Sementara malam hari aku hanya berdua dengan mama di rumah.
“Enggak mbak Firza, di luar sepi enggak ada orang”, katanya sambil masuk ke dalam.
Aku kembali ke dalam untuk memeriksa kamar mama, “mungkin mama tidak enak badan”, firasat burukku muncul.
Aku datang ke kamar mama, ku ketuk pintu sambil memanggilnya namun tidak ada sahutan dari dalam. Ku coba untuk membuka knock pintu yang kebetulan memang tidak di kunci. Aku kaget melihat mama masih tidur di jam segini dengan kamar yang masih gelap. Kudekati mama yang masih memakai selimut tebal sambil kupanggil pelan, mama masih terdiam. Aku pun beranjak untuk membuka gorden jendela kamar agar cahaya matahari bisa masuk, namun mama masih tidak ada pergerakan.
Perasaanku mulai tidak enak, aku pegang lengan mama dan menggerakkannya pelan. Mama masih tetap diam. Kubuka selimut mama dan kupegang badannya, kurasakan suhu dingin di tubuhnya. Aku berteriak memanggil Siti sambil nenangis.
Semuanya berlalu sangat cepat, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kakiku ngilu, aku duduk lemas sambil menangis di bawah kasur mama yang kini telah menjadi jasad yang kaku. Aku sudah tidak menghiraukan lagi bagaimana tingkah polah Siti meminta bantuan dan bagaimana tetanggaku berseliweran di dalam rumah untuk mengurus pemakaman mama. Aku hanya bisa menangis, badanku lemas, kepalaku terasa berat dan dunia seperti kabut putih di depanku.
***
Aku membuka mataku dengan pelan, entah kenapa kepalaku sangat berat rasanya sakit sekali. Dengan sedikit kekuatanku, kucoba mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya sambil mencoba untuk bangun.
“Firza sayang, kamu sudah bangun Nak”, kata bunda sambil membantuku bangun yang serta merta membuatku sadar dengan apa yang telah terjadi.
Aku berteriak lagi dan menangis sejadi jadinya di pelukan bunda. Bunda dan semua orang yang ada disitu berusaha menguatkanku.
“Kita lihat mama untuk yang terakhir kali ya Nak” kata bunda disaat aku sudah sedikit tenang.
Kami berjalan ke ruang tamu, kulihat mama sudah terbungkus kain kafan. Aku berjalan mendekati mamaku. Kulihat wajah mama yang tampak lebih cantik dari biasanya, bibirnya seperti tersenyum ke arahku.
Kakiku ngilu dan lemas, hingga akhirnya tangan kokoh menahan tubuhku agar tidak terjatuh.
“Firza, kamu harus kuat sayang”, kata Endruw berbisik di telingaku saat tangannya menahan tubuhku.
Aku berusaha menguatkan diri, kuambil air wudhu dan segera ikut mensolatkan mama.
Bunda tidak pernah melepaskan diri dariku. Bunda terus menemaniku sampingku. Meskipun bunda juga merasa kehilangan atas musibah ini, namun dia tidak egois. Bunda tau saat ini aku sangat membutuhkannya. Sementara Endruw sibuk mempersiapkan pemakaman bersama tetangga dan beberapa kerabat jauhku. Sesekali dia menghampiriku untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Sebelum mama diberangkatkan terlihat Endruw dan beberapa pamanku sedang terlibat pembicaraan yang serius. Tak jarang Endruw melirik ke arahku.
Tak lama kemudian Endruw memanggil bunda untuk ikut bicara dengan paman-pamanku. Bunda mengiyakan, namun setelah dia memastikan bahwa salah satu bibiku akan menjagaku dengan baik.
Mereka terlihat pembicaraan yang serius. Aku sebenarnya ingin tahu apa yang mereka bicarakan, namun fikiranku sedang kacau, dadaku sesak, badanku pun terasa lemas tak bertenaga.
Masih teringat jelas bagaimana tadi malam mama mengomeliku untuk tidur lebih awal. Firza, seminggu lagi kamu menikah. Jangan suka begadang, nanti pas hari H kamu sakit gimana? Kalimat itu masih teringat jelas di kepalaku. Mama yang mengurus segala sesuatuku kini telah pergi.
“Ma, Firza enggak bisa kalau enggak ada mama”, kataku lirih. Namun air mataku sangat deras mengalir di pipiku.
Semuanya terjadi begitu cepat, begitu cepat aku kehilangan orang yang terpenting di hidupku. Apalagi menjelang hari pernikahanku. Bibiku memelukku lebih erat, membuatku terisak di pelukannya.
Tak lama bunda dan salah satu pamanku datang menghampiri.
“Firza, ada yang ingin kami katakan”, kata bunda sambil berusaha menghapus air mataku yang seperti tiada mau berhenti mengalir.
“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.
“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.Bagai kena petir di siang bolong, tangisku seketika menjadi-jadi mendengar penjelasan bunda. Bagaimana bisa hari bahagia dilaksanakan di saat seperti ini. Endruw datang memelukku, dia mengusap-usap rambutku berusaha menenangkan. Air mata yang mengalir sederas hujan membasahi bagian dada baju putih yang dipakai Endruw.“Kamu harus kuat ya Fir, semua untuk kebaikan kita. Saya akan selalu menjaga kamu.” Ucap Endruw sambil mengecup keningku.Aku tak kuasa untuk bergerak dari tempat dudukku semula, hanya terdiam sambil melihat jenasah mama yang sudah terbungkus rapi. Bunda dan beberapa paman bibiku mulai sibuk menyiapkan pernikahan mendadak ini. Semua orang berjalan kesana kemari dengan kesibukan masing-masing. Mungkin mereka juga bingung harus bahagia
Bulan ini adalah bulan Agustus, dimana biasanya musim kemarau sudah datang. Awan yang biasanya menutupi matahari pada musim kemarau mereka akan pergi menjauh entah karena bosan atau hanya ingin sedikit menghindar, sehingga membuat matahari lebih terik. Suhu sudah mulai panas dan lembab. Tanah pun juga mulai retak.Namun tidak untuk saat ini. Meskipun kemarau datang di bulan Agustus tapi Agustus saat ini berbeda dengan biasanya. Agustus sekarang lebih bersahabat, atau malah merupakan tanda awal dari sebuah bencana. Ya, beberapa hari di bulan Agustus hujan datang mengguyur. Tidak hanya rintik-rintik gerimis, namun juga hujan deras dan petir yang menyambar.Entah apa yang sudah Tuhan rencanakan. Keadaan seperti ini pasti akan sangat membuat para petani merugi. Gagal panen sudah jelas dirasakan oleh mereka begitu juga para pekerja lain yang menggantungkan pekerjaannya pada musim. Pasti akan sangat merugi.Hari ini dua minggu pernikahanku, yang berarti sudah du
Aku setengah berlari saat mendengar nada dering ponselku berbunyi. Terlihat nama Endruw di layar, aku tersenyum melihatnya. Tidak bisa kupungkiri, saat ini aku merindukan Endruw. Setelah Rani pulang, aku mulai bertekat untuk bangkit dari keterpurukan demi suamiku. Kugeser tombol hijau di layar ponsel.“Firza, kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali mengangkat telfonnya.” Suara Endruw di seberang terdengar keras dengan nada khawatir.“Enggak apa-apa, tadi aku habis mandi”, jawabku yang otomatis membuat Endruw terkejut. Memang beberapa hari ini Endruw yang mengurus segalanya.“Jadi kamu sudah mandi?” Tanyanya tidak percaya.“Sudah”, jawabku lirih.“Siapa yang bantuin?”“Mandi sendiri lah, ngapain mandi dibantuin”, jawabku sedikit menyeringai. Aku lupa kalau biasanya Endruw yang membantuku mandi, menyiapkan air hangan dan menggandengku berjala
Kubuka mataku pelan, saat sinar matahari menyeruak menembus celah kecil korden kamarku. Aku mendengus kesal saat merasakan sentuhan panas sang mentari yang tepat mengenai wajahku. Kucoba menarik selimut untuk melindungi wajah. Namun selimut yang menempel di tubuhku tidak dapat kutarik. “Seperti ada yang menghalangi? Apa ini? Jangan-jangan monster yang kayak di film-film”, pekikku yang langsung terperanjat kaget. Dengan cepat aku merubah posisi yang semula tidur menjadi duduk.Seketika aku tersenyum saat kulihat Endruw sedang tidur di sebelahku sambil tangannya mencengkeram selimut dengan erat. “Pantesan selimutnya enggak bisa ditarik”, batinku.Lama aku terdiam melihat wajah Endruw yang tidur di sebelahku. Ini memang bukan kali pertama Endruw tidur di sampingku, namun baru kali ini kulihat wajah suamiku sampai puas. Wajah membuat aku jatuh cinta. Kutundukkan wajahku, kukecup kening dan pipi Endruw dengan pelan. Pipiku merona karenanya, ini
“Iya bentar lagi berangkat, ini udah di depan.” Teriakku di telfon yang sampai membuat para asisten di rumah melihat ke arahku. Siapa lagi yang aku teriaki kalau bukan Rani, sahabat tercintaku yang hari ini akan bertunangan. Sebenarnya acara pertunangannya nanti malam, tapi bukan Rani namanya kalau enggak heboh sendiri. Ya, Rani bertunangan dengan kekasih yang baaru saja dipacarinya. Agak aneh memang, cewek seperti Rani bisa memutuskan menikah dalam waktu secepat ini. Tapi sudahlah, sudah cinta mati katanya.Aku menyetir mobilku sendirian, biasanya Endruw tidak memperbolehkanku untuk keluar sendiri. Bang Asep supirnya bunda lah yang Endruw percaya untuk mengantarkanku kemanapun aku mau. Tapi hari ini Bang Asep sedang sakit, akhirnya mau tidak mau Endruw membiarkanku menyetir. Eh jangan salah, sebelum membiarkanku menyetir aku harus mendengarkan wejangan Endruw dulu. Gak boleh ngebut lah, gak boleh parkir sembarangan lah, ini lah, itu lah. “Dikata aku ABG lab
Cemburu. Ah mungkin itu hanyalah sebuah kata teregois yang ada di benakku saat ini. “Endruw hanya ingin menenangkan orang yang dia kenal. Suami perempuan itu telah mengorbankan nyawanya untukmu. Apakah sekarang saatnya yang tepat untuk cemburu?” Beberapa kalimat yang aku coba buat untuk menenangkan diriku sendiri.“Permisi mbak, bisa saya meminta keterangannya sebentar tentang kejadian ini? Mbak adalah perempuan yang ditolong korban kan?” Suara tegas itu membuatku bergidik. Kulihat ke sumber suara ternyata seorang polisi sudah berdiri di sebelahku.“Baik, tapi saya panggil suami saya dulu ya pak”, pintaku kepada polisi tersebut yang diikuti oleh anggukan kepala darinya.Aku berjalan mendekati Endruw yang tengah menenangkan perempuan itu. Kupegang bahunya berharap dia akan menoleh ke aarahku. Namun aku salah, dia terlalu konsentrasi denga napa yang dilakukannya sampai tidak menghiraukan aku. Aku berbalik arah berj
Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul 18.00 artinya Rani terlambat tiga puluh menit. Sore ini aku mengajak Rani untuk bertemu di kafe tempat biasa kami nongkrong. Aku sengaja mengundangnya kemari untuk meminta maaf karena tidak bisa menghadiri acara pertunangannya kemarin. Kupasang wajah senetral mungkin, aku tidak ingin Rani sampai tahu masalah yang tengah membuatku kacau seperti ini.“Kemarin kamu kemana aja Fir? Ditelfon berkali-kali enggak diangkat. Aku telfon ke rumah kata bibik kamu udah berangkat. Kamu enggak apa-apa Fir?” Cerocos seseorang dari kejauhan.Aku menoleh ke arah sumber suara yakin jika kalimat-kalimat itu ditujukan untukku. Dan benar, ternyata yang punya suara itu adalah Rani. Dari jauh dengan sedikit berlari dia mendekatiku sembari mengatakan kalimat-kalimat itu. “Gila ya kamu, enggak malu apa dilihatin banyak orang?” kataku kepada Rani lirih saat dirinya sudah duduk di sebelahku.
Aku tersentak kaget saat mendengar bunyi pyarr di sebelahku. Segera kubuka mataku yang masih sangat sepat, kurubah posisi tidurku ke posisi duduk dengan sangat cepat. Terlihat Endruw sedang memungut pecahan botol kaca di lantai.“Ada apa Ndruw?” Tanyaku sambil berdiri dan bersiap membantunya.“Aku enggak sengaja jatuhin botol parfum kamu Fir.” Jawabnya seperti terburu-buru.“Kamu mau kemana Ndruw? Bukannya ini masih terlalu pagi untuk ke kantor?” Tanyaku lagi saat melihat Endruw telah siap dengan baju kantornya.“Iya, ini aku barusan dapat telfon dari rumah sakit. Perawat bilang kalau Anita ngamuk-ngamuk lagi. Makanya aku buru-buru mau kesana sebelum ke kantor.” Jawab Endruw tanpa melihat ke arahku.“Aku ikut ke rumahsakit ya Ndruw?” Pintaku sambil tetap memunguti pecahan botol parfum.“Enggak usah Fir, aku pengennya cepat-cepat kesana. Ingin segera membantu menenangkan
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.