"Ini kartu nama saya. Kalau perlu bantuan, silakan hubungi. Sekarang, saya antar ibu pulang dulu, mari!" tawarnya lagi. Aku mengambil kartu kecil berwarna coklat yang disodorkan Zayyin. Memerhatikan sebentar dan membaca tulisan yang tertera di sana.Ternyata orang ini pengacara. Di sana tertera alamat kantornya dan nomor ponselnya. Kumasukkan dalam tas. Lalu, menyelipkan sembarang di dalamnya. Mungkin suatu saat akan berguna.Sepanjang jalan, aku lebih tenang. Tak lagi menjerit-jerit dan memukul jok. Aku lebih memilih diam dan memandang keluar jendela mobil. Bukan menikmati pemandangan, tapi hanya melamun tak jelas.Pria itu tak bicara sepatah katapun hingga tiba di halaman rumah. Ia hanya fokus menyetir dan larut dengan pikirannya sendiri. Kami akhirnya terjebak dalam kebisuan cukup panjang. "Terima kasih!"Aku tak mau bicara banyak setelah sampai rumah. Inginnya langsung masuk karena kacaunya perasaan.Zayyin pun sama. Tak bicara. Ia hanya menjawab sama-sama, lalu pamit dan langsu
Aku jambak rambut bagian depan, terus menggoyang-goyangkan kepala. Mau acak-acakan juga tak apa. Toh, takkan ada yang melihat. "Bu, maaf, ada bapak sama itu kayaknya!"Lamunanku bubar saat bi Eti tiba-tiba memberi informasi menyebalkan."Berani benar dia bawa jabl*ynya. Mau nyoba tendangan halilintarku rupanya! Kebetulan aku emang lagi butuh pelampiasan emosi!" Dengan telapak tangan terkepal, aku pergi menemui mas Ragil. Sebelum ke sana, sempat belok dulu sebab teringat harus mengambil sesuatu di kamar anak-anak. Siapa tahu bisa berguna. Sepanjang jalan menuju ruang depan, kepala ini rasanya mau meledak. Sementara dada panas, sangat panas. Mas Ragil membawa istri barunya ke rumah ini pasti mau pameran kehebatannya bisa menggaet perawan. Atau ingin puas menghina sebab dendam akibat kedatanganku di hari pernikahannyaMereka duduk sangat rapat, mesra sekali seolah tak ada manusia berperasaan di rumah ini. Dari sini saja aku sudah melihat mas Ragil takkan berlaku adil. Ia akan mati-ma
Aku paham yang dimaksud adalah pilihan kalau tak mau dimadu, cerai. Dia sedang tak menunjukkan kebijaksanaan, tapi lebih pada keditaktoran.Jadi, dia sedang membuat permainan ingin menyingkirkanku secara tak langsung. Tak semudah itu Ferguso! Ingat, pada harta ini ada hasil usahaku. Aku ingin menjawab, tapi ditahan. Mati-matian aku menahan ledakan emosi. Tangan terkepal hingga jari-jari sangat rapat satu sama lain. Rahang mengeras dan mata sudah tak bisa sayu."Iya, Mas. Aku akan berusaha rukun dengan mba Tiara. Bagaimanapun mba Tiara istri pertama, jadi harus aku hormati! Aku siap mundur jika mba Tiara sedih." Huh, aku tahu apa yang diucapkannya tidak tulus. Dari penyelidikan anak buah, kudapat info bahwa sikap asli Susi tak seelok parasnya. Ia sangat sombong dan sok cantik. Bahkan tak segan menghina orang-orang.Waktu miskin saja begitu, apalagi setelah jadi istri juragan Ragil. Makinlah ia mendongak."Terima kasih, Sayang!"Romantis sekali dia bilang sayang. Padaku hanya panggil
"Bu, ada undangan!"Aku menerima sepucuk undangan yang disodorkan bi Eti. Setelah wanita itu undur diri, aku langsung membukanya.Ternyata pak Slamet mau menikahkan anaknya. Aku harus memberitahu mas Ragil sebab ini teman dekatnya.Tapi, kalau aku beritahu nanti dia bakal datang sama si Susi. Kurang ajar sekali. Sudahlah, biar kuwakili saja.Kenapa juga undangan ini mepet datangnya. Apa lupa bahwa kami teman lama. Atau saking banyak undangan, jadi terselip mungkin.Itu tak penting. Lebih baik sekarang cari baju baru untuk ke undangan. Kudu yang bagus. Mereka tak boleh memandang iba seorang Tiara. Akan kutunjukan bahwa dunia baik-baik saja meski telah dikhianati.Tiara bukan wanita lemah yang hanya bisa meratapi nasib. Aku harus tetap bertahan sampai tujuan pemindahan harta tercapai. Tidak boleh ada yang menganggap Tiara lemah dan hanya bisa meratapi nasib di tempat tidur. Itu tak boleh terjadi sama sekali sebab aku punya harga diri tinggi. Aku tahu mas Ragil tidak bodoh. Ia pasti tak
Hari ini, aku mendatangi undangan pernikahan anak pak Slamet. Dengan fashion pilihan mami Della, aku tampil lebih percaya diri. Tak kalah dari pakaian selebritis. Kalau aku langsing pasti lebih keren lagi. Sayangnya masih gendut. Pesta yang digelar di gedung Yasmin ini tergolong mewah. Maklumlah pak Slamet 'kan pengusaha matrial yang cukup sukses. Gengsilah pesta anaknya kalau gak besar-besaran.Setelah mengucap selamat pada mempelai dan keluarga, aku langsung menuju prasmanan. Di sinilah godaan makan bertarung dengan keinginan langsing.Tapi, laper!Makan ajalah sedikit, gak apa-apa asal gak berlebihan.Aku mulai menyuap makanan yang diambil barusan. Kali ini porsinya dikurangi sepertiga dari biasanya. Semoga perut tak berontak sebab jatahnya lebih sedikit. Ketenanganku menikmati makanan ternyata tak bisa lama. Kedatangan mas Ragil dan istri mudanya telah menghancurkan kedamaian hatiku secara tiba-tiba.Jadi, dia sudah tahu ada undangan pak Slamet? Dan, sengaja tak menghubungiku ka
"Saya gak mau makan!"Zayyin membawaku ke sebuah restoran yang berjarak lima belas menit perjalanan dari gedung Yasmin. Aku tak mau sebenarnya masuk ke sini, tapi dia meyakinkan takkan lama. Dan, katanya lagi jadi bisa ngobrol aman tentang sesuatu yang penting.Tempat ini sepi pengunjung jadi terasa luas pemandangannya. Hanya ada set meja kursi berjejer rapi juga di dinding berkaca banyak. Ada alunan musik romantis yang mengiringi sepanjang keberadaan kami di sini. Tapi, hal tersebut tak membuat suasana hatiku membaik. Masih panas bahkan membara. "Oh, ya sudah biar saya saja yang makan. Tadi 'kan saya belum sempat prasmanan. Keburu ngamanin ibu!"Dih, bodo amat. Salah sendiri ikut campur urusan orang. Dan, aneh juga, sih, kenapa aku malah duduk melihatnya makan. Gak ada kerjaan saja. Dasar orang aneh. Seperti Zayyin emang benar-benar lapar. Dia lahap banget saat menyantap makanan yang sudah tersaji. Sebenarnya makanan yang dipesan terlihat enak, tapi aku enggan menyentuh. Ada guram
Aku berusaha menurunkan kadar emosi agar penjelasan ini gak tertolak pikiran dan hati. Kuresapi kata demi katanya biar bisa dimengerti. Hampir semua ucapannya benar, bahkan semuanya benar.Pria ini memang lihai membaca keadaan. Atau karena ada di posisi komentator, bukan pelaku. Seperti permainan bola. Komentator lebih jeli mencari peluang dan hambatan di lapangan. Sementara para pemain kadang terjebak dengan situasi tak terduga. Mas Ragil memang tengah buta oleh cinta dan napsu. Ia pasti tak bisa melihat alasan aku bertindak sereaktif itu tadi. Di sisinya kini aku tentu salah dan keterlaluan. Tapi, mau bagaimana lagi, aku terlanjur emosi tadi. Bahkan, belum puas menyiksa Susi. Aku ingin dia babak belur, berdarah-darah bahkan mampus. Kalau begitu baru puas. Siapakah wanita yang tidak panas melihat suaminya malah pameran istri baru. Aku dihubungi saja tidak kalau memang dia sudah tahu soal undangan itu. Apa tidak terbersit di pikirannya bahwa aku juga menerima undangan dan kemungkina
SUSI"Sakit, Mas!" rajukku dengan nada dibuat semenyedihkan mungkin. Ini penting agar mas Ragil lebih panik lagi. Dan, kuharap dia akan makin benci pada si gentong itu.Dasar gentong burik. Mau bersaing denganku, Hah? Lihat saja kamu pasti akan berakhir menyedihkan. Aku akan menguasai jiwa, raga dan harta mas Ragil hingga tiada yang tersisa untuknya. "Tiara memang keterlaluan, aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kebarbarannya!"Aku mengulum senyuman mendengar perkataan itu. Nada amarah kentara banget dari nada suara mas Ragil."Aduh, aduh!"Aku makin mengaduh agar semakin ngeper nyali mas Ragil. Kupegang beberapa bagian tubuh yang tak semua sakit. Biar saja dibikin drama lebih kuat. Pria bodoh ini sudah buta karena cinta dan napsu. Dia takkan lagi bisa membedakan mana sungguhan mana drama. Baginya sakitku adalah sakitnya.Sikap lembut dan manjaku akan membuat mas Ragil makin terjerat. Di benaknya harus terwujud bahwa Susi adalah wanita sempurna. Cantik, seksi, lembut dan
Meski ini pernikahan kedua, bahagianya tak lebih rendah dari yang pertama. Bahkan, ada lebihnya.. Pria yang menyandingku kali ini tidak lain di mulut, lain di hati. Ia tulus mencintai saat orang lain meremehkan. Mas Zayyin senantiasa mengenalkanku pada kerabat dan relasinya. Begitu juga denganku yang mengenalkan ia pada keluarga. "Kamu itu pandai cari istri, Zay! Sudah cantik, baik pula. Semoga rukun selalu sampai kakek nenek, ya!" ucap salah satu tante mas Zay.Aku menanggapi pujian itu dengan senyuman, ucapan terima kasih atau balas memuji. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Dulu saat masih bersama mas Ragil pun sering menemaninya bertemu relasi. Jika tak sedang melayani tamu, aku dan mas Zay melanjutkan obrolan. Tentu saja lebih banyak bercanda daripada seriusnya. *Di sini, di kamar hotel ini hanya ada kami berdua. Suasana di dadaku jangan ditanya. Ramai oleh debaran-debaran kencang. Makin lama makin ribut saja mereka.Kadang kuelus dada agar bisa meredakan gemuruh di
Keluarga besarku pun turut hadir. Kakek, nenek, om, tante, kakak, adik. sepupu, dan keponakan ada. Keluarga mas Zay pun telah duduk di dua shaf ini. Jumlahnya cukup banyak dan aku belum hapal semua. Dari penampilan, aku sudah menduga mereka berlatar golongan kaya. Meski bukan pengusaha semua, tak sembarangan pekerjaan yang mereka sandang. Ada dokter, dosen,wartawan, pengacara bahkan anggota dewan kata mas Zay. . Dari arah barisan pria, terdengar host akad nikah tengah membuka acara. Dia mengucapkan terima kasih pada hadirin dan menyampaikan informasi bahwa akad akan segera dimulai.Hatiku bergetar hebat kala akad suci diikrarkan mas Zayyin. Sekian detik berikutnya aku resmi menyandang gelar nyonya Zayyin Satrio.Airmata ini tumpah dalam dekapan mama. Lalu, kurasakan mama mertua mendekapkan tangannya juga pada sisi tubuhku yang lain."Selamat, ya. Semoga pernikahan keduamu langgeng hingga melebihi batas usia," ucap mama di sela isakan. Aku pun tak sanggup berkata-kata. Hanya mampu me
"Kupikir lama tak jumpa, kamu makin tua, nyatanya..."Aku deg-degan menunggu lanjutannya. Ampun, eh ini jantung bisa-bisanya tak bisa dikendalikan. Coba tolonglah sampai kapan akan begini."Ternyata memang makin tua!""Haaa, asem!"Zay tertawa puas melihat reaksiku. Pria itu seperti senang sekali mendapatkan aku dongkol. Eh, tapi candaan itu sukses membuat grogi hilang. Efeknya kami jadi bisa ngobrol seperti dulu."Gimana butiknya?"Aku jadi antusias bercerita soal perkembangan usaha butik. Aku ceritakan bahwa sekarang semakin besar dan terkenal. Bahkan beberapa selebritis pun sudah jadi langganan tetap di butik itu.Orderan gaun pengantin juga sudah mulai berdatangan. Kadang bangga sebab disejajarkan dengan butik-butik yang telah lama meniti karirnya."Kerjaan Mas di sana gimana?""Biasalah, bikin waktu makin sempit buat godain cewek!"Ini laki belum tahu rasanya disumpel sama gagang sapu. Seenaknya aja bilang tentang godain cewek di depan calon istri. Apa di pikir aku tidak akan mar
Aku jadi tertawa mendengar perkataan asalnya. Emang hobi humor jadi renyah banget ngemas kata-kata."Aku gak bulan depan karena mau besok datang ke rumah calon mertua. Sekarang, kamu siap-siap pulang sana. Tunggu aku di rumah papa mamamu!""Haaa!""Ho'oh, sejutarius. Sekarang lagi packing, nih coz malem terbangnya!""Mas Zay, apa-apaan, sih! Ngapain dadakan gini. Aku belum ngapa-ngapain, tahu!""Ngapa-ngapainnya nanti kalau udah halal. Sekarang siap-siap pulang sana! Dengar, ya aku ini bukan pemaksa, hanya tak memberimu pilihan saja!" Mas Zay beneran serius mau datang besok. Itu bikin aku kelimpungan sendiri. Setelah telpon ditutup langsung manggil bi Eti dan bilang apa yang terjadi."Masya Allah, Bu. Luar biasa, ya kejutan dari Gusti Allah. Saya jadi nangis, nih!""Nangisnya nanti aja, Bi. Sekarang tolong packing baju saya. Bibi juga ikut, ya takutnya di sana butuh bantuan!""Siap, Komandan!"Aku harus cepat sampai di rumah orang tua untuk bicara tentang Zay. Masalahnya aku belum pe
Aku harus memikirkan ini baik-baik. Trauma kegagalan pernikahan membuatku tsk boleh sembarangan memutuskan masalah serius ini. Aku tak ingin terulang untuk kedua kalinya.Dulu, mas Ragil juga mengatakan akan setia. Tidak akan mendua apapun yang terjadi. Nyatanya semua itu dusta.Bisa jadi Zay juga melakukan hal sama. Saat ada maunya bergaya bak pemuja cita. Setelah bosan menjadi semacam pecandu rokok, lepas bersepah dibuanglah bendanya.Aku belum bisa percaya pada lelaki. Tetaplah di benak ini mereka semua tukang tipu. Di depan bilang cinta, di belakang main mata.Mas Ragil dan Susi pamit sebab akan langsung ke pesantren dan rumah orang tua keduanya.. Katanya juga tak bisa lama di sini sebab Surabaya banyak hal yang harus diurusi."Nanti Mba sama Mas Zay ke Surabaya, ya. Jangan lupa, loh!" bisik. Susi saat kami berpelukan. Karena gemas digoda terus, aku cubit saja tangannya."Pamit, ya, Ra. Pikirkan sekali lagi tentang Zay. Kami siap hadir di acara pernikahan kalian, ok!"Mas Ragil ju
TIARA"Mba Tiaraaa!"Ternyata mas Ragil datang bersama Susi. Kukira sendiri, sudah tegang saja tadi. Tubuh Susi sudah langsing seperti semula. Tampaknya ia sungguh-sungguh melaksanakan dietnya.Aku berpelukan dengan Susi, lalu mempersilakan keduanya masuk. Selepas menyediakan jamuan barulah kami ngobrol."Wah, wah kejutan banget dikunjungi tuan dan nyonya besar. Ada apa, nih sampai menyempatkan diri mampir?""Ish, Mba! Emang gak boleh gitu kita datang ke sini?"Aku dan Susi tertawa bersama, mas Ragil cuma senyum gitu. Tak enak, sih dipandangin terus. Tatapan matanya itu belum berubah ternyata. Masih ngarep, kali, ya?"Ayo diminum dulu. Makannya beli aja, ya. Gak masak soalnya. Abis ngedadaklah kalian datangnya! Bentar aku telpon dulu restorannya!""Gak usah, Mba kami udah makan, kok!""Iya, gak usah, Ra. Udah kenyang juga kami!"Aku mengurungkan niat menelpon. Daripada juga banyak tersisa sebab mereka tak mau makan nantinya."Dari sini kami akan ke pesantren anak-anak!"Syukurlah, ana
RAGILLepas makan, aku mengajak Susi ngobrol di balkon. Tmt terbuka di luar kamar kami memang pas untuk bersantai. Di sini dapat menikmati embusan angin alami. Juga pemandangan langit cerah di siang hari atau kelam di malam hari. Pembicaraan yang kubuka tergolong ringan, tentang apa yang ia lakukan dengan teman-temannya. Wanita itu kembali mencair. Ia bisa bercerita banyak hal. Seolah-olah telah kembali sifatnya yang dulu ceria. Dari sini aku paham bahwa Susi berubah karena sikapku yang dingin. Ia menjaga jarak seiring gaya tak peduli suaminya. "Mau buka butik, ya?"Sampai juga pada bahasan butik. Aku sengaja mengarahkan pembicaraan pada hal ini untuk memastikan sesuatu. Jika benar, harus segera diberikan solusi. "Pengen, sih tapi-!""Kalau sudah sukses apa akan pergi seperti Tiara?"Aku mengejar mata Susi yang tak berani beradu tatap. Ia seperti menghindar penyelidikanku. Bahkan kini menunduk setelah menggigit bibirnya. Hal tersebut justru membuatku makin curiga bahwa memang beren
Sebelumnya aku kirim pesan mau makan malam di rumah, tapi ia tak perlu masak. Aku akan pesan di restoran yang nanti langsung diantar ke rumah.Tak ada balasan padahal sudah dibaca. Hmm, tak biasanya. Apa sedang repot atau marah?Ya, sudahlah lebih baik tetap memesan makanan. Kalau sudah datang mau gak mau 'kan harus diantar.(Maaf, Mas sepertinya aku pulang malam. Ada urusan dengan teman perempuan. Maaf, ya, Mas) Sebenarnya kecewa dengan penolakan Susi, tapi tak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Mungkin bergaul dengan orang lain adalah cara menghilangkan kejenuhan. Pastilah bukan hanya aku yang merasakan pernikahan ini hambar, ia juga tentu merasakannya.(Nanti kujemput, serlok aja)(Gak usah, Mas. Aku pulang sendiri, kan mas sibuk nanti menganggu lagi)Jantungku sedikit mengencang saat membaca pesan itu. Tersindir pasti meski Susi tak bermaksud begitu. Ditambah jadi merasa tak dibutuhkan oleh seorang istri.Sangat jauh berbeda dengan Susi yang dulu. Dia sangat menuntut untuk diperhat
RAGIL Aku pergi bersama susi ke Surabaya di sana ada proyek baru yang harus dikerjakan. Sesungguhnya bukan karena proyek itu aku pergi, tapi lebih untuk lari dari sebuah kenyataan. Terlalu beresiko jika terus di sini. Akan ada kemungkinan terus bertemuKenyataan perpisahan ini sangat menyakitkan sungguh tak pernah terbersit sekejap pun bahwa aku akan berpisah dari Tiara. Wanita yang setia mendampingi dalam suka dan duka selama lima belas tahun lamanya.Tangan yang dulu membalas genggamanku, kini terlepas tanpa bisa diraih lagi. Aku merasa sedang berada di fase terendah dalam kehidupan saat Ia memutuskan tali ikatan pernikahan.Untuk mengurangi kepedihan, aku menyibukkan diri dengan proyek. Aku harus sibuk sebab jika tidak, pikiran dan perasaan akan terbang menuju Tiara. Lalu, larut dalam kenangan tak ada habisnya.Tapi setelah sadar, pedih kembali mencabik rasa. Itu serupa pedang mengorek-ngorek luka yang masih menganga. Lalu, dari sana mengalirlah darahnya."Mas, makan dulu!"Susi m