TIARAMomen ini juga akan kujadikan ajang membangkitkan amarah Susi. Tak boleh lupa foto - foto dan video mesra. Nahan mual bentar deketan sama mas Ragil bisalah demi tercapai tujuan."Bobo, yuk!" ajak mas Ragil setelah kami makan malam. Katanya dia juga ingin ngobrol soal anak-anak di kamar.Aku tak membantah ajakannya. Tak ada salahnya membahas masalah anak-anak. Seingatku sudah lama sekali kami tak berbincang soal mereka. Bisa jadi karena kesibukan masing-masing atau teralihkan pikirannya ada Susi setahun ini.Benar kata Zay, kalau lelaki sudah jatuh cinta bisa melupakan apapun, termasuk anaknya. Otak mereka kalah oleh napsu yang menggila pada wanita.Ah, sudahlah, toh semua sudah terjadi. Mas Ragil menikah lagi dan mencampakkan istri gendutnya ini.*Pagi ini kami beneran berangkat piknik ke Taman Bunga Nusantara, Cianjur. Katanya tak harus bawa bekal nanti makan di restoran saja. Tapi disuruh bawa baju sebab mau nginap di hotel terdekat.Wah, mas Ragil beneran niat ngerayu ini. T
Akhirnya air mata yang kutahan-tahan jatuh juga. Karena tak ingin dilihat, kupalingkan wajah keluar jendela. Sesaknya begitu nyata. Napas ku tak bisa lega sebab nyeri mendera. Kadang aku ingin ini hanya mimpi, atau imajinasi belaka. Apalah daya semua adalah realita yang suka tak suka harus dihadapi. Kenangan-kenangan indah nan romantis kami dulu sesaat melintas di cerukan kepala. Tak kupungkiri hal tersebut pernah memberi bahagia. Namun, keindahan itu tiba-tiba diganti kesuraman sebab hadirnya wajah Susi. Juga kemesraan mereka. Maka, hilangkan keceriaan. Bahkan takkan terulang untuk selamanya"Maaf..."Samar kudengar suara mas Ragil. Kali ini terasaada sesal tanpa rekayasa. Mungkin otaknya tengah waras hingga mampu memahami seperti apa hati istrinya. Setelah itu keheninganlah yang meliputi kami. Akibat lamunan panjang, kantuk pun menyerang. Mata ini pun tak mampu lagi terbuka.*Kami sudah sampai di jalan Mariwati KM 7, desa Kawungluwuk, kecamatan Sukaresmi, Cianjur. Di sinilah taman
RAGILAkhirnya aku bisa juga meluluhkan Tiara. Memang belum 100 persen. Minimal dia enggak marah-marah. Trik seribu rayuan dan jutaan gombalan telah memerangkap hatinya hingga jatuhlah dalam pelukan.Tiara memang tidak merespon rayuan. Dia lebih banyak diam. Mungkin itu adalah cara untuk meresapi kedalaman makna kata-kata Indah nan memesona.Aku mengajak Tiara mengelilingi taman bunga Nusantara. Tangannya selalu kugengam agar muncul keyakinan aku menikmati kebersamaan ini.Awalnya, aku memang bersandiwara demi meluluhkan Tiara. Lama-lama aku menikmati kebersamaan kami. Serasa nostalgia masa lalu."Suaramu'kan bagus, ayo, dong nyanyi.""Gaklah, malu!""Gak usah pakai nari. Kita nyanyi pelan aja, ayo!"Kami duduk di taman prewedding. Tempat yang biasa dijadikan ajang foto-foto pasangan yang akan menikah. Keindahannya gak usah ditanya, banget-banget menyedapkan pandangan.(Kemesraan ini janganlah cepat berlaluKemesraan ini ingin kukenang selaluHatiku damai, jiwaku tenang di sampingmuH
RAGILAku kehilangan kemampuan bicara. Sepertinya mending pasrah saja menerima amukan massa.Setelah bicara begitu, Susi memutuskan sambungan telepon. Dan, aku dengan lemas duduk di tepi ranjang.Ya. Tuhan! Apa yang harus kulakukan?"Mas, liat, deh banyak banget yang komen di statusku. Mereka banyak yang mendoakan kita! Aku seneng banget, loh!"Tiara memperlihatkan postingan FB dan IG nya. Oalah, pantas saja Susi tahu, postingan itu menandai akunku. Alamaak tobat tobat!Aku tak berani memarahinya. Dia pasti sedih sebab kesenangannya diganggu. Sudahlah nunggu nasib saja. "Jalannya siang aja, ya aku masih pengen rebahan. Masih cape seharian 'kan kemarin main!" pinta Tiara.Aku setuju dengan ucapan Tiara. Badan ini juga rasanya masih lelah. Ditambah pikiran kacau sebab Susi akan datang ke sini.Mau mengajak Tiara pulang, kadung janji dua hari nginap di sini. Kalau masih di tempat ini takut huru-hara pas Susi datang.Duh, Gusti! Aku harus gimana ini!Akhirnya kami asyik dengan HP masing-
RAGIL"Jam tiga kamu pulang, ya. Besok mas pulang dan langsung ke rumahmu bawa berita baik. Kalau kamu tetap di sini mas gak bisa bergerak untuk mencapai tujuan kita."Beribu rayuan kulontarkan demi meluluhkan hati Susi. Kalau wanita ini tak mau pergi, bisa gagal seluruh rencana. Sia-sialah semua usahanya. Dalam hati, aku merutuki kelakuan dua wanita ini.. Mereka sama-sama bar-bar. Emosinya tak terkendali hingga bertindak semuanya. Ingin rasanya memarahi, tapi tak mungkin juga. Nanti yang ada malah lebih parah amarah mereka..Susi mau mendengarku kali ini. Ia akan pulang jam tiga. Untunglah bawa supir jadi takkan lelah nyetir.Satu masalah kelar, aku bisa kembali konsentrasi pada misi semula.Rasanya seolah batu yang menindih kepala sudah hilang. Badanku jadi ringan sebab satu beban hilang. Ternyata wanita selain emosional, juga perasa. Kalau. Kalau perasaannya disentuh, akan luluh lantak. Seperti itulah keadaan Susi saat ini. Kayak kerupuk tersiram air panas. Jam tiga aku mengantar
TIARA"Bidadari-bidadariku, badan Mas sudah sakit banget, Please jangan gebukin lagi. Damai, yuk, damai!"Dengan suara tercekat mas Ragil mengajukan permohonan. Sebenarnya belum puas melampiaskan amarah, tapi kasihan juga melihatnya sudah sangat kesakitan.Kebayanglah digebukin pakai tas dan sepatu kami. Niatnya mau mukul lawan, tapi karena mas Ragil ada di tengah, yang kena otomatis dia. Dan pukulannya tak hanya sekali. Kami kalap ingin menyakiti lawan hingga pria itu jadi sasaran. Mas Ragil kubantu agar bisa duduk. Susi pun ikut cari perhatian dengan pura-pura meringis. Matanya dibuat sesendu mungkin. Terus bibir dimonyongkan"Heh, gosah akting! Lo 'kan gak kena gebuk!"Susi melotot dan siap buka suara. Mas Ragil secepat kilat melerai agar bom tak meledak lagi. Pria itu mengarahkan dua tangannya hingga terhalang lah kami. "Intan berlianku udah-udah, ayo duduk manis deket Mas, yuk, Tayonk!"Karena kasihan padanya saja aku nurut. Sekaligus harus tetap memainkan sandiwara ini. Sebelu
TIARA Selepas sholat subuh, mas Ragil mendatangi kamarku. Katanya mau bicara hal penting. Aku tahu apa yang akan dibicarakan. Pasti soal izin poligami.Ternyata aku tak harus memulai obrolan ke arah sana. Dia datang sendiri daking sudah ruwet masalahnya. Sepertinya Susi tak berhenti merajuk. Biar saja, itu bagus malah."Mas mau minta maaf jika permintaan mas akan menyakitimu lagi. Jujur kebersamaan kita kemarin seperti membuka kunci kegelapan hati ini. Mas merasa jadi manusia paling jahat sama kamu. Tapi, mas tetap akan menyampaikan sebuah permintaan untuk masa depan kita semua."Aku menghela napas berulang-ulang agar tak terbawa perasaan. Emosi ini harus dijaga supaya tujuan dapat tercapai."Mas mau minta apa?"Kata Zay aku harus bersikap pura-pura tak tahu. Biarkan saja lelaki itu menyampaikan maksud dan tujuannya."Anu, itu, mas, emhhh!"Suaranya mulai tergagap. Mungkin, dia takut sekali aku akan ngamuk. Tenang mas Ragil, aku emang akan akting ngamuk dikit."Apa?""Mas mau minta k
TIARASekarang aku,, Zay dan mas Ragil duduk satu meja. Kami akan membahas harta apa yang akan dipindah atas namaku. Juga tahapan pengalihannya.Mas Ragil minta pengalihannya bertahap agar aku tak kabur. Ia belum percaya setelah ini aku tak lari dari sisinya.Zay menganggukkan kepala sebagai kode aku lebih baik setuju. Meski berat, akhirnya aku menyetujui."Jadi, sebelum sidang akan dialihkan lima persen. Lepas sidang lima persen. Sisanya lima persen per-enam bulan. Dan, di sana juga ada perjanjian, Tiara takkan menggugat cerai kecuali aku berlaku zolim padanya. Jika Tiara menggugat cerai tanpa alasan kezoliman maka setengah harta yang telah dialihkan harus dikembalikan."Aku ingin menghalau perjanjian itu, tapi Zay nginjak kaki ini. Aku melotot padanya. Yang dipelototi kalem saja ternyata.Ya, Tuhan, jadi aku harus hidup dengan penikahan poligami selama bertahun-tahun. Bahkan, bisa tak lepas dari kungkungan mas Ragil selamanya.Ternyata pria ini cerdas juga. Dia membuat strategi yang
Meski ini pernikahan kedua, bahagianya tak lebih rendah dari yang pertama. Bahkan, ada lebihnya.. Pria yang menyandingku kali ini tidak lain di mulut, lain di hati. Ia tulus mencintai saat orang lain meremehkan. Mas Zayyin senantiasa mengenalkanku pada kerabat dan relasinya. Begitu juga denganku yang mengenalkan ia pada keluarga. "Kamu itu pandai cari istri, Zay! Sudah cantik, baik pula. Semoga rukun selalu sampai kakek nenek, ya!" ucap salah satu tante mas Zay.Aku menanggapi pujian itu dengan senyuman, ucapan terima kasih atau balas memuji. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Dulu saat masih bersama mas Ragil pun sering menemaninya bertemu relasi. Jika tak sedang melayani tamu, aku dan mas Zay melanjutkan obrolan. Tentu saja lebih banyak bercanda daripada seriusnya. *Di sini, di kamar hotel ini hanya ada kami berdua. Suasana di dadaku jangan ditanya. Ramai oleh debaran-debaran kencang. Makin lama makin ribut saja mereka.Kadang kuelus dada agar bisa meredakan gemuruh di
Keluarga besarku pun turut hadir. Kakek, nenek, om, tante, kakak, adik. sepupu, dan keponakan ada. Keluarga mas Zay pun telah duduk di dua shaf ini. Jumlahnya cukup banyak dan aku belum hapal semua. Dari penampilan, aku sudah menduga mereka berlatar golongan kaya. Meski bukan pengusaha semua, tak sembarangan pekerjaan yang mereka sandang. Ada dokter, dosen,wartawan, pengacara bahkan anggota dewan kata mas Zay. . Dari arah barisan pria, terdengar host akad nikah tengah membuka acara. Dia mengucapkan terima kasih pada hadirin dan menyampaikan informasi bahwa akad akan segera dimulai.Hatiku bergetar hebat kala akad suci diikrarkan mas Zayyin. Sekian detik berikutnya aku resmi menyandang gelar nyonya Zayyin Satrio.Airmata ini tumpah dalam dekapan mama. Lalu, kurasakan mama mertua mendekapkan tangannya juga pada sisi tubuhku yang lain."Selamat, ya. Semoga pernikahan keduamu langgeng hingga melebihi batas usia," ucap mama di sela isakan. Aku pun tak sanggup berkata-kata. Hanya mampu me
"Kupikir lama tak jumpa, kamu makin tua, nyatanya..."Aku deg-degan menunggu lanjutannya. Ampun, eh ini jantung bisa-bisanya tak bisa dikendalikan. Coba tolonglah sampai kapan akan begini."Ternyata memang makin tua!""Haaa, asem!"Zay tertawa puas melihat reaksiku. Pria itu seperti senang sekali mendapatkan aku dongkol. Eh, tapi candaan itu sukses membuat grogi hilang. Efeknya kami jadi bisa ngobrol seperti dulu."Gimana butiknya?"Aku jadi antusias bercerita soal perkembangan usaha butik. Aku ceritakan bahwa sekarang semakin besar dan terkenal. Bahkan beberapa selebritis pun sudah jadi langganan tetap di butik itu.Orderan gaun pengantin juga sudah mulai berdatangan. Kadang bangga sebab disejajarkan dengan butik-butik yang telah lama meniti karirnya."Kerjaan Mas di sana gimana?""Biasalah, bikin waktu makin sempit buat godain cewek!"Ini laki belum tahu rasanya disumpel sama gagang sapu. Seenaknya aja bilang tentang godain cewek di depan calon istri. Apa di pikir aku tidak akan mar
Aku jadi tertawa mendengar perkataan asalnya. Emang hobi humor jadi renyah banget ngemas kata-kata."Aku gak bulan depan karena mau besok datang ke rumah calon mertua. Sekarang, kamu siap-siap pulang sana. Tunggu aku di rumah papa mamamu!""Haaa!""Ho'oh, sejutarius. Sekarang lagi packing, nih coz malem terbangnya!""Mas Zay, apa-apaan, sih! Ngapain dadakan gini. Aku belum ngapa-ngapain, tahu!""Ngapa-ngapainnya nanti kalau udah halal. Sekarang siap-siap pulang sana! Dengar, ya aku ini bukan pemaksa, hanya tak memberimu pilihan saja!" Mas Zay beneran serius mau datang besok. Itu bikin aku kelimpungan sendiri. Setelah telpon ditutup langsung manggil bi Eti dan bilang apa yang terjadi."Masya Allah, Bu. Luar biasa, ya kejutan dari Gusti Allah. Saya jadi nangis, nih!""Nangisnya nanti aja, Bi. Sekarang tolong packing baju saya. Bibi juga ikut, ya takutnya di sana butuh bantuan!""Siap, Komandan!"Aku harus cepat sampai di rumah orang tua untuk bicara tentang Zay. Masalahnya aku belum pe
Aku harus memikirkan ini baik-baik. Trauma kegagalan pernikahan membuatku tsk boleh sembarangan memutuskan masalah serius ini. Aku tak ingin terulang untuk kedua kalinya.Dulu, mas Ragil juga mengatakan akan setia. Tidak akan mendua apapun yang terjadi. Nyatanya semua itu dusta.Bisa jadi Zay juga melakukan hal sama. Saat ada maunya bergaya bak pemuja cita. Setelah bosan menjadi semacam pecandu rokok, lepas bersepah dibuanglah bendanya.Aku belum bisa percaya pada lelaki. Tetaplah di benak ini mereka semua tukang tipu. Di depan bilang cinta, di belakang main mata.Mas Ragil dan Susi pamit sebab akan langsung ke pesantren dan rumah orang tua keduanya.. Katanya juga tak bisa lama di sini sebab Surabaya banyak hal yang harus diurusi."Nanti Mba sama Mas Zay ke Surabaya, ya. Jangan lupa, loh!" bisik. Susi saat kami berpelukan. Karena gemas digoda terus, aku cubit saja tangannya."Pamit, ya, Ra. Pikirkan sekali lagi tentang Zay. Kami siap hadir di acara pernikahan kalian, ok!"Mas Ragil ju
TIARA"Mba Tiaraaa!"Ternyata mas Ragil datang bersama Susi. Kukira sendiri, sudah tegang saja tadi. Tubuh Susi sudah langsing seperti semula. Tampaknya ia sungguh-sungguh melaksanakan dietnya.Aku berpelukan dengan Susi, lalu mempersilakan keduanya masuk. Selepas menyediakan jamuan barulah kami ngobrol."Wah, wah kejutan banget dikunjungi tuan dan nyonya besar. Ada apa, nih sampai menyempatkan diri mampir?""Ish, Mba! Emang gak boleh gitu kita datang ke sini?"Aku dan Susi tertawa bersama, mas Ragil cuma senyum gitu. Tak enak, sih dipandangin terus. Tatapan matanya itu belum berubah ternyata. Masih ngarep, kali, ya?"Ayo diminum dulu. Makannya beli aja, ya. Gak masak soalnya. Abis ngedadaklah kalian datangnya! Bentar aku telpon dulu restorannya!""Gak usah, Mba kami udah makan, kok!""Iya, gak usah, Ra. Udah kenyang juga kami!"Aku mengurungkan niat menelpon. Daripada juga banyak tersisa sebab mereka tak mau makan nantinya."Dari sini kami akan ke pesantren anak-anak!"Syukurlah, ana
RAGILLepas makan, aku mengajak Susi ngobrol di balkon. Tmt terbuka di luar kamar kami memang pas untuk bersantai. Di sini dapat menikmati embusan angin alami. Juga pemandangan langit cerah di siang hari atau kelam di malam hari. Pembicaraan yang kubuka tergolong ringan, tentang apa yang ia lakukan dengan teman-temannya. Wanita itu kembali mencair. Ia bisa bercerita banyak hal. Seolah-olah telah kembali sifatnya yang dulu ceria. Dari sini aku paham bahwa Susi berubah karena sikapku yang dingin. Ia menjaga jarak seiring gaya tak peduli suaminya. "Mau buka butik, ya?"Sampai juga pada bahasan butik. Aku sengaja mengarahkan pembicaraan pada hal ini untuk memastikan sesuatu. Jika benar, harus segera diberikan solusi. "Pengen, sih tapi-!""Kalau sudah sukses apa akan pergi seperti Tiara?"Aku mengejar mata Susi yang tak berani beradu tatap. Ia seperti menghindar penyelidikanku. Bahkan kini menunduk setelah menggigit bibirnya. Hal tersebut justru membuatku makin curiga bahwa memang beren
Sebelumnya aku kirim pesan mau makan malam di rumah, tapi ia tak perlu masak. Aku akan pesan di restoran yang nanti langsung diantar ke rumah.Tak ada balasan padahal sudah dibaca. Hmm, tak biasanya. Apa sedang repot atau marah?Ya, sudahlah lebih baik tetap memesan makanan. Kalau sudah datang mau gak mau 'kan harus diantar.(Maaf, Mas sepertinya aku pulang malam. Ada urusan dengan teman perempuan. Maaf, ya, Mas) Sebenarnya kecewa dengan penolakan Susi, tapi tak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Mungkin bergaul dengan orang lain adalah cara menghilangkan kejenuhan. Pastilah bukan hanya aku yang merasakan pernikahan ini hambar, ia juga tentu merasakannya.(Nanti kujemput, serlok aja)(Gak usah, Mas. Aku pulang sendiri, kan mas sibuk nanti menganggu lagi)Jantungku sedikit mengencang saat membaca pesan itu. Tersindir pasti meski Susi tak bermaksud begitu. Ditambah jadi merasa tak dibutuhkan oleh seorang istri.Sangat jauh berbeda dengan Susi yang dulu. Dia sangat menuntut untuk diperhat
RAGIL Aku pergi bersama susi ke Surabaya di sana ada proyek baru yang harus dikerjakan. Sesungguhnya bukan karena proyek itu aku pergi, tapi lebih untuk lari dari sebuah kenyataan. Terlalu beresiko jika terus di sini. Akan ada kemungkinan terus bertemuKenyataan perpisahan ini sangat menyakitkan sungguh tak pernah terbersit sekejap pun bahwa aku akan berpisah dari Tiara. Wanita yang setia mendampingi dalam suka dan duka selama lima belas tahun lamanya.Tangan yang dulu membalas genggamanku, kini terlepas tanpa bisa diraih lagi. Aku merasa sedang berada di fase terendah dalam kehidupan saat Ia memutuskan tali ikatan pernikahan.Untuk mengurangi kepedihan, aku menyibukkan diri dengan proyek. Aku harus sibuk sebab jika tidak, pikiran dan perasaan akan terbang menuju Tiara. Lalu, larut dalam kenangan tak ada habisnya.Tapi setelah sadar, pedih kembali mencabik rasa. Itu serupa pedang mengorek-ngorek luka yang masih menganga. Lalu, dari sana mengalirlah darahnya."Mas, makan dulu!"Susi m