“Matikan lampunya, ya …,” bisiknya lembut, hembusan napasnya bahkan sampai terasa menyapu telinga. “Ahm, Mas … kita belum shalat sunnah.” Aku mengucap seraya menatap pantulan wajahnya pada cermin. Mas Iqbal terkekeh sambil menjauhkan tubuhnya. “MasyaAllah, Mas sampai lupa.” Lantas dia menjauh dan segera keluar kamar untuk mengambil wudhu. Aku pun segera menyusulnya untuk mengambil wudhu. Setelahnya kami melakukan shalat sunnah dua rakaat. Aku masih duduk di belakangnya yang terduduk di atas sajadah. Kudengar dia kembali memanjatkan doa-doa. Setelahnya dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menciumnya dengan penuh khidmat. Kami bangkit, dia melepas sarungnya dan menyimpannya ke dalam gantungan yang tersedia. Aku sibuk melipat mukena ketika lampu kamar tiba-tiba redup. Ah, entah seperti apa perasaanku sekarang. Bercampur baur tak karuan. Bahkan kemarin diberi kado lingerie oleh Bu Anne pun tak terpikir untuk kupakai sekarang. Kedua tangan kekar ini sudah menarikku menuju pembaring
“Ya, dua atau tiga bulan lagi, Va. Kenapa?” Lelaki itu menatapku. Aku menunduk, malu sebetulnya karena mungkin terlalu berlebihan pada adik sendiri. Gak enak juga karena takut dianggap tak percaya pada Mas Iqbal, tetapi aku hanya menjaga. Aku tak mau luka itu terulang kedua kali. Kemarin baru calon suami saja, sakitnya luar biasa. Aku tak mau membayangkan jika itu terjadi pada suami sendiri, seperti apa sakitnya.“Aku rasanya pengen kita ngontrak rumah dulu. Hmmm, menurut Mas bagaimana?” tanyaku pada akhirnya. Mas Iqbal menatap ke arahku penuh selidik.“Apakah dua bulan terlalu lama? Kita bisa di sini dulu ‘kan sambil jaga Bapak?” tanyanya. Dia seolah bingung dengan pemikiranku.Aku tersenyum, tetapi tak tahu harus menjawab apa. Lagi pula, mungkin benar terlalu berlebihan saja isi pikiranku. Bagaimanapun trauma itu masih belum hilang walau aku sudah berusaha merelakan. “Apa ada yang tengah kamu pikirkan?” Mas Iqbal menatapku lebih dalam ketika aku hanya terdiam. “Ahm, hanya sudah
“Rasanya Putri sudah lama tak memiliki teman dekat perempuan? Apa mungkin mobil online yang dia pesan, ya?” Hanya di dalam batin pertanyaan itu kulontarkan. Tak mungkin juga bertanya pada Mas Iqbal. Dia pasti sama gak tahunya denganku. “Hey, kok bengong?” Mas Iqbal mengulangkan tangannya ke depan wajahku. Aku menoleh dan tersenyum. “Lagi mikir, Mas.” “Hmmm … mikirin apa? Mau pindah dulu ke sini? Ada tukang di atas, Va. Apa gak risih?” “Iya, sih. Kalau gitu kita ngontrak saja dulu, Mas. Dua bulanan lagi saja ‘kan?” Aku kembali pada permintaan pertama kemarin. Dia memegang pundakku dan menatap lekat. Kini kami berhadap-hadapan. Aku menundukkan wajah, bingung untuk menjawab. Rasanya malu kalau aku bilang takut Putri mengganggunya. “Berikan Mas alasan kenapa harus ngontrak dulu? Bukannya sebelumnya pun memang kamu mau tinggal lebih lama dengan Bapak dan Ibu, hm?” “Di rumah ‘kan sudah ada Putri. Aku ingin memberi kesempatan untuk dia berbakti.” Ah, klise memang alasanku. Hanya sa
Lampu kamar yang ada di tengah dari kontrakan petakan pun pada akhirnya dipadamkan. Hanya pendar dari lampu teras dan kamar mandi yang menemani kami dalam remang. Udara panas dari ruangan sempit ini terasa semakin panas. Bahkan keringat membersamai aktivitas beribadah di malam yang panjang ini. Hanya putaran kipas angin yang berusaha menyejukkan, meski tak berguna sama sekali. Hingga pada akhirnya lelap menjemput bersama tubuh polos yang terbalut selimut. Adzan shubuh berkumandang. Aku mengerjap dan mendapati wajah dengan pahatan nyaris sempurna itu masih terpejam. Seperti biasa, aku betah memandangnya lama-lama. Sepertinya aku sudah semakin sayang. Puas memandangnya, aku segera bangkit dan meraih handuk yang masih menumpuk di dalam keranjang. Ya, di kontrakan ini tak ada lemari, baru ada barang-barang yang kubawa ke sini malam tadi. Aku gegas menuju kamar mandi dan memutar air kran. Tak ada bak mandi, hanya ember besar yang memang sudah disediakan pemilik kontrakan sebagai pengga
“Dikunci?” Aku menautkan alis. Terakhir aku pernah diminta lihat layar pesannya ketika ada pesan masuk, masih tak dikunci. Lalu, kenapa sekarang harus dikunci? Aku mencoba memasukkan password, beberapa kali mencoba tetapi tak juga bisa. Kucoba tanggal lahirnya, tetapi tak bisa juga. Aku coba tanggal pernikahan kami, masih tak juga bisa. Duh, kalau sekali lagi coba terus gak bisa, jangan-jangan nanti terblokir. Akhirnya kusimpan. Biar nanti kucoba lagi. Aku pun meringkuk di sampingnya setelah menyelimuti tubuh Mas Iqbal yang sudah lelap. “Ya Allah … semoga tak ada hal yang disembunyikan yang akan membuatku luka jika mengetahuinya.” Doa terpanjat di dalam dada. Aku menatap langit-langit. Zikir kubaca mengiringi sepasang mata yang perlahan terpejam. Pagi-pagi aku mengerjap, ketika terasa sebuah sentuhan pada bibir, sekilas tetapi membuat aku sadar jika dia ada begitu dekat. “Mas ….” Aku menatap sepasang mata yang menjauh dari wajah. “Maaf, Va. Gara-gara Mas, kamu jadi kebangun.”
“Kenapa, Mas? Bukankah dari dulu juga Mas sudah menginginkannya?” Aku menatap wajah yang kini tampak tak secerah dulu. Hening sejenak. Denting sendok menjadi musik yang mengisi jeda di antara kami. “Hmmm … gak apa-apa. Hanya setelah dipikir ulang, rasanya Mas belum siap.” Aku memilih diam. Meskipun menimpali percuma. Mas Iqbal akhir-akhir ini sedang tak bisa kutebak moodnya. Padahal seringkali ketika aku pura-pura lelap, dia memelukku sangat erat seolah takut kehilangan. Berulang sering dia mengcup bibir dan kening ini diam-diam. Namun, ketika dalam keadaan aku terjaga. Entah kenapa aku merasa jika dia sedang membangun tembok penghalang. Tembok tak kasat mata. “Oke kalau gitu, Mas. Aku akan nurut saja apa yang Mas mau.” Pasrah, hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Aku pun melanjutkan sarapan, walau rasanya sudah tak seenak ketika pertama menyuap tadi. Sarapan pun selesai. Tak habis, rasanya sudah hilang selera makan. Dia pun bangkit, lalu berjalan duluan keluar mengeluarkan m
Pesan paling atas, didominasi oleh dua grup. Satu grup alumni fakultas teknik---kejuruannya, pada urutan kedua itu grup kantor. Dengan perasaan was-was, aku segera mengklik grup tersebut. Menggulir layar hingga ke bawah. Satu per satu pesan kubaca. Beberapa percakapan terlihat berderet di sana. Hati berdebar karena ternyata beberapa nomor dengan nama perempuan kerap men tag-nya. Hanya saja, kulihat Mas Iqbal tak merespon. Dia hanya sesekali menimpali hal-hal penting saja, seperti donasi, kegiatan sosial dan lain-lain.Begitu juga beberapa ajakan reuni dan kumpul-kumpul kecil dari beberapa orang, mungkin teman dekatnya waktu kuliah. Beberapa kali kulihat alasannya adalah sibuk, lainnya ada acara keluarga, ada juga yang membuat alasan jika dia belum dapat izin istri. Padahal sama sekali dia tak pernah membicarakan terkait pertemuan itu denganku. Aku bernapas lega, ketakutanku jika ada cinta lama bersemi kembali ternyata salah. Tak ada satu pun indikasi yang mengarah ke sana. Kuperik
“Duduklah … Mas akan cerita.” Dia menarikku untuk duduk sehingga posisi kami kini bersisian. Hening beberapa lama. Aku masih menunggu sambil memeluk tubuhku sendiri yang terasa dingin diterpa angin. Waktu sudah malam, entah jam berapa sekarang. Namun, kehidupan di sekitar pun sudah mulai sepi.“Maaf kalau mas buat kamu bingung.” Kudengar dia mulai cerita. Wajahnya memandang ke depan, seolah dia bicara pada angin. Suaranya datar dan lirih, seperti tak memiliki semangat lagi. “Sudah kubilang, aku tak butuh permintaan maaf kamu, Mas. Aku butuh penjelasan.” Aku kembali menegaskan hal yang sudah kukatakan beberapa waktu tadi. Ah, gak mungkin juga dia sudah lupa.“Maaf.” Lagi-lagi dia malah meminta maaf, untuk ke sekian kalinya. Aku menatap wajah dengan cambang tipisnya dari samping. Lalu, hening lagi beberapa saat. Ya tuhaaan! Susah sekali dia untuk bercerita. Sebetulnya ada apa? “Ceritalah … aku masih menunggu.” Dia menoleh padaku, lantas bangkit dan mengajakku beranjak. “Di sini
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika