“Duduklah … Mas akan cerita.” Dia menarikku untuk duduk sehingga posisi kami kini bersisian. Hening beberapa lama. Aku masih menunggu sambil memeluk tubuhku sendiri yang terasa dingin diterpa angin. Waktu sudah malam, entah jam berapa sekarang. Namun, kehidupan di sekitar pun sudah mulai sepi.“Maaf kalau mas buat kamu bingung.” Kudengar dia mulai cerita. Wajahnya memandang ke depan, seolah dia bicara pada angin. Suaranya datar dan lirih, seperti tak memiliki semangat lagi. “Sudah kubilang, aku tak butuh permintaan maaf kamu, Mas. Aku butuh penjelasan.” Aku kembali menegaskan hal yang sudah kukatakan beberapa waktu tadi. Ah, gak mungkin juga dia sudah lupa.“Maaf.” Lagi-lagi dia malah meminta maaf, untuk ke sekian kalinya. Aku menatap wajah dengan cambang tipisnya dari samping. Lalu, hening lagi beberapa saat. Ya tuhaaan! Susah sekali dia untuk bercerita. Sebetulnya ada apa? “Ceritalah … aku masih menunggu.” Dia menoleh padaku, lantas bangkit dan mengajakku beranjak. “Di sini
“Baik, Mbak.” “Ikutin Innova hitam itu, ya! Yang terhalang tiga mobil dari sini!” “Baik, Mbak.” Aku duduk dengan tak tenang, entah kenapa perasaan begitu hancur ketika mengetahui Mas Iqbal masih menjalin hubungan dengan perempuan masa lalunya itu. Bukankah dia bilang kalau perempuan itu hanya menjadi masa lalu dan aku adalah masa depannya? Semudah itu janji manis itu terlupa begitu saja. Taxi yang kutumpangi, terus mengekori mobilnya. Rupanya mobil itu menuju sebuah restoran. Jadi, mereka akan makan siang? Kok rasanya makin sakit, ya? Tiba-tiba saja air mataku menetes ketika melihat mobil yang sudah berbelok di parkiran itu berhenti dan mereka berdua keluar. Ya, meskipun kalau dari ekspresi Mas Iqbal tampak dingin dan cuek dengan wanita itu, tetapi, tetap saja sakit melihat mereka jalan bersama di belakangku. “Mbak, kita ikut masuk atau enggak?” Sopir taxi itu bertanya. “Masuk saja, Pak!” tukasku dengan air mata yang sudah mengalir. Taxi kuminta parkir tak jauh dari gate exit
Pov Iqbal “Kalau lo mau tahu, ikut gue sekarang! Suami lo terlalu pengecut untuk mengatakan semuanya!” tukas Kenzo dengan senyum merendahkan. Aku terkejut ketika Diva melepas pegangan tangannya dan menatapku dengan sendu. “Mas, aku izin pergi bersama Kenzo. Bukankah kamu juga sudah hendak melepaskanku tanpa menejelaskan apapun. Aku butuh penjelasan, Mas. Aku butuh itu.” Diva bicara dan segera mengejar Kenzo yang sudah berbalik badan dan berjalan meninggalkan kami. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Rasa nyeri di kepala yang semakin menjadi membuatku hilang keseimbangan. Dalam samar kudengar teriakan yang memanggil namaku.*** Aku mengerjap, mataku menyipit menyesuaikan dengan pendar cahaya dari lampu ruangan yang cukup terang. Yang pertama kali kulihat, langit-langit bercat putih, tembok dengan warna serupa dan tirai warna grey yang menutup jendela. Kepala masih terasa berdenyut, badan pun rasanya menggiggil. Ada juga selang infus yang terpasang pada tangan ini.Aku mencoba meng
“Kapan, Ma? Dengan siapa dia nikah? Kapan pernikahannya akan dilaksanakan?” Mas Iqbal menatap intens wajah Bu Faridah. Sementara itu, aku hanya duduk mematung, diam di sampingnya. “Nikah sama cewek lah, Bang! Pertanyaan lo aneh! Gue baru akan nikah setelah lo sembuh, Bang. Makanya lo cepetan sembuh!” Suara Kenzo terdengar dari arah belakang. Mas Iqbal menoleh padanya. Aku juga, hanya saja ternyata pandangannya tengah menatap lurus ke depan. Tak sedikitpun melirik ke arah kami. “Kenapa harus nunggu Abang sembuh, Kenz?” Mas Iqbal menatapnya. “Yang mau nikah ‘kan gue, Bang. Terserah gue lah mau kapan.” Wajahnya jutek seperti biasa. Emang dia gak pernah berubah. “Ya lebih baik gitu, kamu jangan nikah dulu, kalau Abang gak ada umur, tolong jaga mantan istri Abang ini, Kenz ….” Suaranya lirih. Sontak aku melotot ke arahnya. “Mas kok gitu, sihm ngomongnya?” Dengan perasaan bercampur baur tak karuan aku mengeratkan genggaman tangan. Ada rasa nyeri ketika membayangkan sepasang mata yang
Aku mematung di dekat pintu, urung mendorong pintu ruangan di mana Bang Iqbal berada. “Aku gimana Mas Iqbal saja, Ma. Hmmm … gimana, Mas?” Kudengar suara seseorang yang sampai hari ini sosoknya masih memenuhi lubuk hati. Gila memang, masa iya aku tergila-gila seperti ini dengan kakak ipar sendiri, huh. “Oke, Sayang … lebih baik di rumah Mama dulu saja. Mas khawatir kamu akan kerepotan kalau di rumah harus jaga Mas sendirian. Maaf, ya.” Kudorong saja daun pintu itu ketika tak ada lagi pembicaraan tentangku dan tentang perjodohan yang menyebalkan itu. “Ma, mereka ‘kan sudah punya rumah sendiri. Ngapain malah diajak di rumah kita. Kalau mau ikut ke rumah Om Wira, tinggal kita jemput saja pas hari H.” Aku melempar komplen pada Mama. Bisa gila aku kalau tinggal seatap dengan mereka. Lagian pertemuan dengan anak keluarga Om Wira masih seminggu lagi. Meraka tak paham betapa aku tertekan. Hanya aku yang tahu jika letupan api cemburu ini membara setiap kali melihat mereka bersama. Andai
Pov Diva Aku berjalan di samping Mas Iqbal. Sejak tadi, bahkan genggaman jemari ini tak terlepas. Lebih tepatnya, Mas Iqbal yang tak mau melepas genggaman jemarinya. Bu Rinai mempersilakan kami duduk. Tak berapa lama, seorang ART datang dan membawakan air minim di atas nampan. Seorang lelaki yang berpostur tubuh tinggi tegap muncul dari lantai atas. Di sampingnya berdiri seorang perempuan yang mungkin usianya seumuran denganku berjalan sambil menggelayut manja di lengan lelaki itu. Dia menunduk dan tampak sekali malu-malu. Pak Rafael bangkit lalu menyalami sang empunya rumah. Dia tampak sekali membungkuk hormat pada lelaki yang bahkan di usianya yang sudah matang terlihat masih begitu gagah. “Sehat Pak Wira?” “Baik. Makasih sudah mau menyempatkan diri berkunjung ke sini!” “Ini Adzkya Shakeela---putri saya! Maaf dia memang pemalu, nurun dari Mamanya,” tukasnya disertai kekehan. Lelaki yang disebut oleh Papa Mertua dengan nama Pak Wira itu memperkenalkan putrinya. Adzkya Shakee
Pov Diva “Astaghfirulloh … itu ‘kan?” Lantas aku mengambil gawai dan mengarahkan pada dua orang yang tampak berjalan dengan mesra itu. Sengaja kurekam diam-diam. “Va!” Suara Mas Iqbal membuatku menoleh. Segera kuturunkan gawai yang tadi kuarahkan dari arah samping tubuhku pada mereka. Namun tak hendak aku membahasnya dengan Mas Iqbal. “Apa, Mas?” “Hmmm, tuh!” Mas Iqbal melirik dengan sudut matanya. Aku tersenyum ketika menyadari antrian di depanku sudah habis dan menyisakkan aku yang mematung berjarak beberapa langkah dari kasir. Lekas kuikuti langkah Mas Iqbal yang mendorong troli. Kami berdiri bersisian dan kasir segera menghitung totalan belanja kami. “Yang ini kantungnya dibedakan, ya, Mbak!” Aku mengeluarkan barang-barang yang akan kubawa ke tempat Ibu.“Baik, Mbak.” Kasir itu menjawab dengan ramah. Senyum pada bibirnya yang dipoles merah tampak tersungging begitu saja. Lekas Mas Iqbal mengeluarkan kartu debit ketika kasir itu menyebutkan total belanjaan. Sementara itu,
Pov Diva Benda pipih yang baru Mas Iqbal beli itu sudah di tangan. Hanya saja aku masih ragu untuk mengetes. Masa iya, hanya karena Mas Iqbal pengen mangga muda, lalu aku hamil? “Besok saja, ya, Mas.” Aku menoleh padanya yang tengah memakan rujak petis mangga. Ya ampuuun, malam-malam begini coba. Bahkan gigiku sudah terasa ngilu ketika membayangkannya.“Yah, kenapa gak sekarang, sih, Va?” Dia menoleh padaku sambil menyuap potongan mangga muda segar itu ke mulutnya. Wajahnya tampak sangat mengharap. Hati yang ragu apakah aku hamil atau tidak menjadi penyebabnya. Aku tak mau kecewa. Dulu juga beberapa kali test, hasilnya hanya garis satu. “Katanya kalau mau ngetes tespeck itu sebaiknya urin pagi, Mas. Itu lebih akurat. “Oh gitu … ya sudah kita maksimalkan ikhtiar dulu kalau gitu.” Dia melirikku dengan menaikkan satu alisnya ke atas. “Dih ….” Aku mencubit perutnya. Namun, sekilas kemudian, lengan kokohnya sudah melingkar pada perut dan dia menarikku menuju kamar setelah menyeles
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika