Bab 26TagihanIbu tak menyangka aku akan berani mematok harga untuknya. Karena selama ini, dia tidak pernah membayar sepeserpun kepadaku untuk jasa permak baju miliknya. Dari awal aku tak mengapa bila Ibu menyuruhku menjahit baju milik dia tanpa dibayar, tapi lama kelamaan ibu menyuruhku membayar tagihan listrik dan juga tagihan air tanpa dibantu sebagian olehnya, dia beralasan kalau uang yang diberikan Adi hanya cukup untuk membeli sayur setiap harinya. Dia berdalil bahwa usaha ku menjahit cukuplah lancar. Padahal niat aku menjahit agar bisa membantu membeli susu dan juga membeli kebutuhan lain, malah habis hanya untuk tagihan listrik dan juga tagihan air. Karena kedua tagihan itu cukuplah menguras kantong.Ibu akhirnya pergi meninggalkan ku yang masih menjahit baju milik pelanggan. Tanpa memberikan uang dia tetap menaruh baju yang robek itu di keranjang pakaian dekat ku menjahit. Aku juga tidak akan pernah lagi menjahit baju mu kalau tidak kau beri uang di muka.Ku biarkan saja ba
Bab 27Pertolongan Allah"Ratna?" Aku bertanya dan sedikit tak percaya."Apa kabar?" Aku kembali bertanya, lantas aku melihat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilannya yang kini lebih tertutup dan juga lebih berpadu padan."Baik, Alhamdulilah. Kamu apa kabar? Tambah cantik aja, Bunda satu ini!" "Ah … Kamu bisa aja, Rat. Jadi ge er aku. Ha ha ha. Ada apa kok tumben? Kenapa gak ngabari dulu sih kalau kesini?""Iya, mendadak sih. Langsung aja ya, aku sering lihat kamu buat status di sosmed mengenai usaha menjahit kamu. Kamu mau gak join sama aku? Kebetulan aku sama suami lagi punya bisnis baju online gitu," tutur Ratna.Aku yang dengan sangat senang mendengar tawaran Ratna langsung menerima tawaran tersebut, tanpa berdiskusi lagi dengan Mas Wawan.Toh … Nanti kalau usaha ku sudah berkembang dia akan menikmati juga. Pikirku."Maksud kamu, aku yang jahit baju nya begitu? Kain dan juga yang lain gimana?""Iya kurang lebih seperti itu, nanti kain dan juga pola nya aku kirim. Kamu s
Bab 28Masalah berasLagi dan lagi ibu terus-terusan berkata mengenai uang. Tidak ada bosannya.Padahal mati tidak akan dibawa bukan?"Kenapa Ibu gak masak sendiri? Asal Ibu tahu ya, aku pakai kompor punya aku yang dibeli tempo hari. Jadi nanti kalau gasnya abis, Ibu yang beli gas!""Kenapa jadi Ibu yang beli gas? Kan itu kompor kamu! Ibu gak nyuruh kamu masak pakai kompor," sungut Ibu yang masih menggendong Hawa."Aku yang bayar tagihan listrik dan juga air, kadang masih beli beras. Masak gas doang Ibu gak mau beli? Pelit amat punya mertua!""Astaga … Tu denger, Wan. Istrimu baru saja bilang apa? Mulai itung-itungan ya sekarang? Sudah tinggal di sini gratis, masih aja itung-itungan!""Siapa bilang gratis? Aku ….""Mie nya mana, Dek? Mas dah lapar!" Mas Wawan sengaja menyela, agar tidak terjadi sesuatu yang lebih heboh lagi.Tidak tahu kenapa? Aku sekarang lebih sensitif dengan Ibu mertuaku, mungkin karena nada bicaranya dan setiap perkataan membuat panas pendengaran ini.Piring berj
Bab 29PenyesalanPOV ibu mertuaNanda, dia adalah menantu dari anak sulung ku bernama Wawan. Awal perkenalan nampak dia baik dan juga KAYA. Kenapa saya bilang KAYA, karena dia setiap datang kerumah selalu membawa buah tangan. Kadang membawa ayam goreng utuh satu kardus, membawa buah jeruk, pernah juga membawa sembako yang sangat komplit. Penampilannya yang begitu modis dan juga perhiasan yang melekat di jarinya maupun di lehernya terlihat bukan emas murahan.Setiap dia datang kerumah, selalu aku sambut dengan hangat. Dia yang bekerja di salah satu pabrik garmen terbesar di Asia tenggara. Pastilah memiliki gaji yang lumayan banyak. Aku selalu melempar senyum dan pujian mencerminkan Mertua idaman. Agar kelak setelah dia menjadi menantuku, aku kecipratan uang yang dimilikinya.Tapi itu tak berlangsung lama, semenjak aku tahu dia tidak lagi bekerja disana. Dan semenjak Wawan mengabarkan kalau Nanda tengah mengandung, dan ingin segera menikahinya. Hatiku remuk redam, bak disambar petir di
Bab 30Uang adalah segalanya.Nanda tak bergeming, diraihnya tubuh mungil yang kini sedang bermain di depannya.Kini semua ada di tangan Nanda, akan memberikan uang pada Ibu mertuanya atau membiarkan dia terus saja berkata kasar. "Jangan bicara seperti itu, Ibu!" ucap Nanda meminta pada Bu Partini.Nanda terlihat ragu akan keputusannya. Dia terlihat meyakinkan hatinya untuk melangkah lebih jauh."Aku akan berikan uang ini kepada Ibu, semuanya, tapi dengan satu syarat!"Nanda menata nafasnya yang memburu naik turun menahan sakit setelah mendengar ucapan ibu mertuanya."Syarat-syarat … Memang siapa kamu? Berani-berani mengancamku," sungut Bu Partini, Ibu mertua Nanda.Kali ini Nanda benar-benar harus bertindak, dia mengatur nafas dan membuangnya perlahan. Digendong nya Hawa di sebelah kiri. Dan menyodorkan uang yang cukup banyak, di meja.Lantas ibu Partini terlihat sumringah, melihat Nanda begitu mudahnya memberikan uang itu kepada dirinya."Eits … gak semudah itu verguso!" Nanda lan
Bab 31JenuhNanda menoleh ke belakang, memperhatikan Ibu mertuanya apakah sudah benar-benar pergi. "Haist … hidup ini sangat melelahkan kalau begini terus," gumam Nanda lirih. Dia beranjak dari kursi yang ia duduki, untuk sekedar melihat Hawa yang tidur di kamar. Hawa belum berpindah dari posisi tidurnya dari awal, sesekali mengulas senyum. Mungkin bayi kecil itu sedang bermimpi indah.Belum sempat Nanda meninggalkan kamar, terdengar suara gaduh di depan. Nanda hanya mengintip dari balik gorden jendela, melihat siapakah yang sedang berbincang hingga suaranya terdengar begitu keras."Cepet bayar utang kamu, saya gak akan pergi sebelum kamu membayar semua utang-utang kamu!" Terdengar Bu RT menagih utang terhadap ibu, itu yang terdengar oleh Nanda. Nanda segera memperhatikan Hawa, apakah dia terbangun setelah mendengar keributan di luar? Benar saja dia hampir menangis dibuatnya, Nanda segera menggendong anak semata wayangnya berjalan menuju depan rumah."Saya bakal melunasi hutang-hu
Bab 32Uang lagi"Buat bayar utang Ibu," tutur Mas Wawan pelan."Kok gitu sih, Mas? Aku gak mau!""Ayo lah, Dek. Mas pinjem dua ratus aja, nanti aku ganti kalau gajian!" "Mas, kamu pikir kalau kita bantu ibu bayar utang-utangnya, dia bakal berhenti ngutang gitu? Gak, Mas! Ibu mu gak akan berhenti ngutang, yang ada dia malah ke enakan. Gak tanggung jawab! Pasti dia akan mengulangi lagi ! Gak kapok dia," ucapku sedikit kesal, lelaki yang bergelar suami itu tak bergeming. Dia mencerna perkataan ku. "Tapi, Dek. Kita kan punya uang, sedangkan ibu lagi kesusahan. Gak pantas jika kita gak bantu!" "Halah … kita aja punya urusan sendiri lho, Mas. Tu rumah gak jadi-jadi karena apa? Karena kalau punya uang kita kasih ke ibu. Ya … kalau orang tua mu itu ngerti sama kita. Orang tuamu itu biasanya cuma ngerti sama adik mu saja!" Aku Menghentikan aktivitas ku menyuapi Hawa. Dan mengalihkan pandanganku ku arah suamiku."Pokoknya kamu beri ibu uang, dua ratus ribu. Jangan sampai nanti Ibu masih min
BAB 33Titik terang"Ini rumah gua kali," ucap Adi dibarengi tawa cengengesan."Siapa sih, Di? Temen kamu tho?" Ibu bertanya karena kepo dengan kedekatan mereka."Iya, Bu. Dia teman waktu masih sekolah dulu. Namanya Rika!" Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum melihatku."Rumahnya Mbak Nanda ya?" tanya Rika kepada kami yang berada di hadapannya. Dia menatap kami bergantian."Iya ….""Rumah mertuanya, bukan rumah dia! dia di sini numpang," sahut Ibu yang berdiri di sampingku.Aku memutar bola mata, begitu panas mendengar ucapan Ibu baru saja. Namun tak aku hiraukan. Aku mengajak Rika masuk ke dalam rumah, dan mempersilahkan dia duduk di kursi."Ada perlu apa ya, Mbak Rika?"Rika terlihat mengeluarkan pola dan juga kain. Kali ini pekerjaanku semakin diperbanyak. Terlihat sekali dengan adanya kain yang bertumpuk diberikan padaku.Dia juga menyodorkan uang kekurangan pembayaran kemarin.Diperiksanya baju yang selesai aku jahit. Sepertinya Rika adalah seseorang yang teliti. Dia meliha
##Bab 98Akhir bahagia"Mas, Siska meninggal dunia. Kemarin di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Karena tidak ada keluarga yang mengurusnya jadi keluarga Adi yang akan mengurusnya. Mas Wanto ke sini kan?" tanya Nanda dengan suara serak. Meski Siska tidak terlalu menyukainya tapi tetap saja dia pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Ada rasa kehilangan meski hanya secuil.Lelaki yang ada di seberang telepon itu terdengar gundah. Ada keraguan Ingin mengucapkan sesuatu."Mas Wanto lagi dirumah sakit, Jasmin sakit, Nan. Sudah seminggu ini di rumah sakit. Semua tindakan dan juga tes dijalani. Hari ini akan keluar hasilnya. Seandainya hasilnya bagus. Jasmin akan rawat jalan. Tapi kalau tidak bagus. Kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa di kota.""Separah itu, Mas?" Nanda terdengar mengkhawatirkan Jasmin."Kemarin dia berulah. Hampir saja Mas celaka. Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang datang menolong!""Astagfirullahaladzim, tapi kamu gak papa kan, Mas?" "Gak papa! Mas
##Bab 97Rumah sakit JiwaSemua orang yang ada di halaman rumah Nanda secara bersamaan menoleh ke arah mobil tersebut."Kasih?" ucap Partini terkejut melihat Kasih.Kasih berjalan menghampiri mereka. Satu persatu disalami dan saling berpelukan."Ada perlu apa kamu kesini, Nak Kasih?"" Gak ada apa-apa, Bu. Cuma mampir saja.""Ayo masuk!" pinta Partini langsung menggandeng Kasih.Partini meninggalkan Nanda dan juga Siska dihalaman rumah.Mereka saling melempar pandangan. Tatapan Siska kepada Nanda sulit diartikan. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu?"Pulanglah, daripada sakit hatimu!" pinta Nanda dengan nada biasa saja."Itukah calon istri Adi?" tanya Siska dengan ekspresi terkejut."Secepat itu Adi akan menikah lagi? Apakah aku tidak ada harga nya sama sekali?""Entahlah, kau pikirkan saja sendiri. Aku tidak ada waktu memikirkan hal itu!" Nanda pergi meninggalkan Siska.Kali ini Siska tak lagi berharga Dimata keluarga Adi. Apalagi Siska pergi dengan meninggalkan luka yang mendala
##Bab 96Permintaan maaf siska"Mas Wawan, sarapan dulu yuk! Udah aku siapkan di meja. Pagi ini aku masak spesial," pinta Nanda dengan nada manja. Wanita beranak satu itu pagi ini terlihat sangat ceria. Rumah yang berantakan abis kebakaran sudah direnovasi olehnya dengan kurun waktu yang lumayan singkat.Begitu banyak keberuntungan berpihak kepadanya. Meski tidak sedikit cobaan juga kerap singgah di hidupnya. Kini tinggal menata hati dan pikiran berfokus pada usahanya."Masak apa, Dek?" tanya Wawan yang menarik kursi plastik perlahan."Ayam goreng sama sup bakso kesukaan Hawa. Sini, Nak. Mangkoknya biar ibu kasih bakso yang banyak! Kamu suka?" Nanda melempar pandangannya ke arah anak semata wayangnya."Iya, Hawa suka. Bu," Hawa memanggil sang ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Tatapannya kembali ia arahkan kepada Hawa."Apa, Sayang?" tanya Nanda dengan penuh kelembutan."Hawa pengen punya adik. Kayak Tasya, dia sekarang udah punya adik!" pinta Hawa yang membuat Ayahnya tersedak.
##BAB 95Jasmin sakit"Soal Jasmin. Mas bingung mau ngadepi Jasmin bagaimana? Sikapnya sangat berbeda, setiap kali Mas Vidio call. Dia itu baik. Tapi Mas dapet info dari para tetangga. Kalau Jasmin itu sering teriak-teriak sendiri. Kadang juga tertawa sendiri. Suatu hari pernah dia tertawa sambil menyebut nama kamu! Mas gak mau cerita sama kamu, takutnya ganggu kerja kamu!""Jangan-jangan Jasmin depresi, Mas?""Hust, ngawur kamu!""Lha kalau bukan depresi lalu apa? Gila?""Kita gak tau lho, Nan. Kalau nanti salah kan jadi fitnah! Nanti Mas cari tahu dulu. Bagaimana kehidupan Jasmin di kota. Takutnya dia tertekan saat jadi seorang istri, waktu itu!""Iya, Mas.""Ya sudah, kamu hati-hati ya! Jaga anak baik-baik. Salam buat suamimu." "Iya, Mas."Wanto akhirnya menutup sambungan teleponnya. Ada perasaan lega ketika Nanda bisa mengutarakan semua yang ada dihatinya. Dengan kedatangan Mas Wanto ke Klaten. Mungkin akan menemukan jalan keluar untuk masalah Jasmin.Nanda dan Wawan kemudian per
##BAB 94Hutang"Maafkan ibu ya, Sayang! Hawa ayo kita sekolah, Nak." Nanda menguatkan hatinya. Tak sepantasnya dia terkejut hingga tak terkendali. Bukankah selama ini dia mampu melewati? Banyak hal yang sudah dia lalui, dari kehilangan hingga fitnah bertebaran. Jika yang terdekat mencoba menyakiti itu hal yang lumrah. Setelah diingat dulu mereka pernah menggores luka yang sama."Kamu gak papa, Dek?" Wawan mencoba menanyakan kondisi Nanda saat ini."Gak papa, Mas. Sudah biasa. Aku percaya kita bisa melewati masa-masa ini, kita bicarakan nanti setelah mengantar Hawa." Nanda berjalan sembari menggendong tas milik anak semata wayangnya.Wawan menyusulnya ke jalan sembari menyalakan motor.Menghentikan lajunya lalu membiarkan Nanda dan juga Hawa naik perlahan.Dalam perjalanan yang cukup jauh. Tak pernah sepatah katapun Nanda ucapkan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya sampai di sekolah Hawa. Diciumnya tangan mereka dengan takzim oleh Hawa. Di peluk lalu pergi s
##Bab 93Pak lurah"Saya dari toko Mawar, Mbak Nanda!" jawab wanita yang ada di sebrang telepon."Toko mawar? Ada apa lagi? Saya gak ada utang lho," jawab Nanda penuh hati-hati. Sebab dia sudah kehilangan toko langganan itu dan jangan sampai dia meninggalkan nama yang jelek disana."Bukan itu, Bu. Tujuan saya menghubungi anda bahwa bapak ingin bertemu dengan anda, di toko.""Bapak? Pemilik Toko kain itu?" tanya Nanda sambil berpikir sejenak."Iya, Pak Broto namanya." Nanda mengangguk-anggukan kepalanya sembari melihat suaminya yang masih terjaga di sampingnya. Ternyata selingkuhan Siska selama ini Pak Broto namanya. Dalam hati Nanda berbicara. Yang dia tahu hanya seorang kakek tua yang menjadi selingkuhan Siska selama ini. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk sekedar mencari tahu siapa namanya. Karena dia menganggap itu hal yang sangat tidak penting bagi hidupnya.Nanda menutup telepon setelah selesai berbicara. Apa yang membuat Pak Broto ingin bertemu dengan Nanda? Apakah ini
Bab 92Kasih"Kasih?" Adi terkejut melihat mantan berkunjung dengan tiba-tiba. Tanpa memberi tahu terlebih dahulu.Senyumnya masih sama, manis dan juga cantik."Masuk, Tante." Nanda bersikap ramah. Mempersilahkan masuk tanpa melihat jika dia sudah mantan calon ipar.Kasih berjalan mendekat sedikit canggung. Di Salami nya satu persatu semua orang yang ada di ruangan itu.Semuanya kembali duduk ditempat masing-masing. Setelah tadi sempat berdiri ketika Kasih mendekat."Ada perlu apa kamu kesini?" tanya Adi yang mendadak penasaran."Cuma mampir, sudah lama tidak bertemu. Kamu apa kabar? Bapak, ibu sehat? Mbak Nanda dan keluarga sehat?" Kasih memandangi mereka satu persatu. Ada rasa rindu yang terlihat dari sorotan matanya.Entah alasan apa dulu mereka berpisah. Sampai sekarang Adi tidak pernah mengatakan sedikit pun alasannya. Sangat bijaksana dan tidak ingin Kasih meninggalkan nama yang buruk di mata keluarganya."Sehat, Nak. Kami semua alhamdulilah sehat. Tapi ya itu Mbak Nanda lagi da
BAB 91Harapan"Bu, kalau boleh tau nama ibu siapa?" tanya Nanda sampai lupa berkenalan."Saya ibu Siti Maryam. Kalian sendiri siapa? Darimana asalnya? Kok bisa sampai ke rumah ibu bagaimana ceritanya? Maaf, gara-gara tadi sampai saya belum sempat menanyakan tujuan kalian," ucap Bu Siti dengan lembut."Iya, Bu. Gak papa. Saya Nanda, Bu. Ini suami saya. Saya ke sini atas informasi dari Pak Lurah, Pak Adam.""Ow, nak Adam. Iya rumah sepupunya di ujung jalan. Ibu banyak dibantu olehnya."Nanda dan Wawan kemudian menjelaskan perihal kebakaran di rumahnya. Dan juga menjelaskan begitu banyak pesanan yang belum dikerjakan. Sedangkan Bu Siti mempunyai beberapa mesin jahit dan juga alat-alatnya lengkap. Meskipun mesin jahit sudah terlihat tidak baru lagi. Tapi fungsinya masih bagus. Karena dirawat Bu Siti dengan baik.Begitu bahagianya Bu Siti mendengar bahwa Nanda dan juga Wawan berniat meminjam mesin jahit dan juga peralatan lainnya untuk mengerjakan pesanan baju yang terlanjur di terima. B
BAB 90Bu siti"Siapa wanita itu, Pak?"Nanda menerka-nerka siapa wanita yang telah membayar orang untuk membakar rumahnya? Sungguh keterlaluan jika benar itu Siska. Tapi benarkah Siska?Semua karyawan Nanda berpamitan. Karena mereka bilang akan menghadiri acara lain. Padahal mereka sudah merencanakan akan pergi kerumah Nia. Akan membicarakan bagaimana membantu Nanda."Apakah itu Siska?" Nanda kembali bertanya karena sudah tidak sabar lagi mendengar jawaban dari pak lurah."Saya kurang tau, Nan. Yang penting dia seorang wanita. Menggunakan masker dan juga helm berwarna hitam. Dia juga menggunakan kacamata hitam. Ciri-ciri itu yang disampaikan pada saya,"Nanda dan juga Wawan membuang napas dengan kasar. Mereka sudah tidak tau harus bagaimana lagi.Kring …. Kring ...kring.Suara ponsel milik Nanda berbunyi. Dari nomor yang tidak dikenal. Nanda pun tak berniat mengangkatnya. Dia lagi tidak ingin berbicara apapun."Siapa, Nan? Kok gak diangkat?" tanya Ibu mertua yang sedang duduk bersam