##Bab 98Akhir bahagia"Mas, Siska meninggal dunia. Kemarin di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Karena tidak ada keluarga yang mengurusnya jadi keluarga Adi yang akan mengurusnya. Mas Wanto ke sini kan?" tanya Nanda dengan suara serak. Meski Siska tidak terlalu menyukainya tapi tetap saja dia pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Ada rasa kehilangan meski hanya secuil.Lelaki yang ada di seberang telepon itu terdengar gundah. Ada keraguan Ingin mengucapkan sesuatu."Mas Wanto lagi dirumah sakit, Jasmin sakit, Nan. Sudah seminggu ini di rumah sakit. Semua tindakan dan juga tes dijalani. Hari ini akan keluar hasilnya. Seandainya hasilnya bagus. Jasmin akan rawat jalan. Tapi kalau tidak bagus. Kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa di kota.""Separah itu, Mas?" Nanda terdengar mengkhawatirkan Jasmin."Kemarin dia berulah. Hampir saja Mas celaka. Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang datang menolong!""Astagfirullahaladzim, tapi kamu gak papa kan, Mas?" "Gak papa! Mas
"Mas, sepertinya aku hamil. Bulan ini aku belum haid, padahal ini sudah hampir ganti bulan!""Terus kenapa?""Aku takut, Mas. Kita kan belum menikah, lagian aku belum kamu kenalkan dengan kedua orang tuamu. Aku takut kamu gak mau bertanggung jawab!" desak ku pada Mas Wawan."Apa beneran positif? Sudah di cek belum? Nanti cuma telat?" tanya Mas Wawan yang masih menatap layar ponselnya. Tidak ada rasa takut maupun khawatir terhadapku."Belum, Mas. Aku takut!" Aku memainkan cincin yang melingkar di jari manis sebelah kanan."Takut kenapa?""Takut kalau aku beneran hamil!" Pandanganku beralih pada pria yang ada di sebelahku."lha terus gimana?" Mas Wawan masih terlihat memainkan ponselnya.Aku diam sejenak, meraih dompet yang aku taruh dalam tas. Dan terlihat disana hanya ada beberapa lembar uang lima ribuan."Mas, aku lagi gak ada duit! Tolong belikan tespeck ya?" pintaku pada Mas Wawan sembari bergelayut di lengannya."Aku lagi gak ada duit, belum gajian," Dengan gampangnya dia menjawab
Sebelum aku menikah dengan Mas Wawan, aku sudah lebih dulu membeli motor. Meskipun baru setahun aku mencicil. Paling tidak aku sudah mengeluarkan uang muka serta angsuran setahun. Ternyata Mas Wawan juga mengambil kredit motor, alhasil setelah dia menikahiku. Beban yang harus dibayarkan terlalu banyak, sehingga dia berencana mengembalikan motor ke Dealer."Pak, aku gak sanggup. Bayar angsuran, motor mau aku balikin ke Dealer," ucap Mas Wawan pada Bapaknya.Karena memang Mas Wawan sudah membayar cicilan motor milikku. Jadi jika harus membayar juga cicilan motor miliknya. Mungkin uang gaji tidak akan cukup jika nanti ingin digunakan untuk periksa kandungan. Sebab ongkos untuk memeriksakan kandungan saat ini kisaran dua ratus ribu."Biar diterusin adikmu, nanti bapak yang bantu. Udah setahun, kan sayang kalau mau di balikin!" Jelas bapak pada suamiku."Iya, Pak!" Mas Wawan menyetujui. Toh, dia yang mengatakan jika akan membantu melunasi motor bersama adik Mas Wawan.Mas Wawan memang gak
Pagi menjelang, tatkala tubuh ini malas untuk beranjak dari lelap. Namun niat harus tetap disatukan. Ya selama aku tinggal bersama mertua, bangun pagi sudah menjadi kewajiban. Mendahului dia yang punya rumah. Mas Wawan belum pulang kerja. Dia berangkat jam sepuluh malam, sekitar jam delapan pagi dia baru tiba dirumah. Aku membawa pakaian kotor ke kamar mandi. Karena memang aku mencuci dengan tangan di kamar mandi. Dapur milik ibu mertuaku tidak lah luas, maka dari itu untuk mencuci baju aku sudah terbiasa di kamar mandi. Matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku yang masih hamil besar pun bersusah payah menyikat baju satu demi satu. Ibu mertuaku mulai memasukan kayu ke dalam tungku untuk memasak. Ya, rumah suamiku masihlah sangat sederhana. Untuk memasak pun kami masih menggunakan kayu bakar. Tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar di balik pintu kamar mandi. Ibu mertuaku berbicara kasar, aku mengerti itu dia tunjukan kepada ku. Entah apa yang membuat ibu, seakan b
Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa."Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan."Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa
"Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa."Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa."Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu."Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!" "Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!""Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?""Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah
Bab 6TetanggaIbu mertuaku tidak menjawab sepatah katapun. Dia tak menyangka, aku akan bicara seperti itu."Hayo, sore-sore begini ngomongin apa?" Tiba-tiba Mbak Lastri datang dan ikut berkumpul."Dari Mana Mbak Lastri?" tanya Bu Yuni. Aku yang sudah masuk kedalam rumah hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dari kamar. Bukan bermaksud menguping tapi nada bicara mereka yang lumayan keras. Jadi siapa aja yang berada di jarak cukup jauh pun bisa terdengar olehnya."Dari rumah, Bu Yuni. Dari warung ya? Kok bawa gula segala. Gak mungkin kan ke rumah Bu Darti bawa gula?" Mbak Lastri terkekeh. Dia tetangga yang suka bercanda memang. "Ini lho. Bu Darti sama menantu gak akur!" Bu Yuni berbisik tapi masih jelas terdengar olehku dari kamar.Dasar para tetangga suka ghibah."Halah, sudah pada tau. Kalau Bu Darti ini gak suka sama Nanda! Ya kan, Bu?" Mbak Lastri terlihat menanyakan langsung pada mertuaku. Dia sedikit manyun karena ketidaksukaannya mengenai pertanyaan yang baru saja Mbak Lastri
Bab 7Kedatangan emak"Waalaikumsalam," Aku segera membuka pintu depan yang dari tadi aku tutup rapat. Karena dibelakang aku sedang sibuk mencuci piring.Alangkah terkejutnya aku, melihat sosok Emak berdiri di ambang pintu, tersenyum menatapku. Entah mengapa motor yang mereka kendarai tidak terdengar olehku.Ada rasa bahagia, karena mendapat kejutan dari Emak. Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku sebelumnya."Emak … Kok gak telpon dulu. Kan nanti bisa di jemput sama Mas Wawan." Sambil ku mencium takzim, punggung tangan Emak."Buat kejutan." Emak selalu tersenyum ketika berbicara padaku. "Masuk, Lek!" Aku memanggil Lek Agung yang telah mengantar Emak ke Wonogiri.Dia sedang duduk di kursi teras rumah, sambil menghisap rokok."Iya, Nan, nganter Emakmu itu. Katanya kangen sama cucunya." jawabnya singkat."Iya, terima kasih ya, Lek! Sudah repot-repot mengantar Emak kesini. Hawa lagi tidur." Segera aku menyuruh, Emak untuk beristirahat. Namun Emak menolaknya. Segera ku buatkan Emak d
##Bab 98Akhir bahagia"Mas, Siska meninggal dunia. Kemarin di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Karena tidak ada keluarga yang mengurusnya jadi keluarga Adi yang akan mengurusnya. Mas Wanto ke sini kan?" tanya Nanda dengan suara serak. Meski Siska tidak terlalu menyukainya tapi tetap saja dia pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Ada rasa kehilangan meski hanya secuil.Lelaki yang ada di seberang telepon itu terdengar gundah. Ada keraguan Ingin mengucapkan sesuatu."Mas Wanto lagi dirumah sakit, Jasmin sakit, Nan. Sudah seminggu ini di rumah sakit. Semua tindakan dan juga tes dijalani. Hari ini akan keluar hasilnya. Seandainya hasilnya bagus. Jasmin akan rawat jalan. Tapi kalau tidak bagus. Kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa di kota.""Separah itu, Mas?" Nanda terdengar mengkhawatirkan Jasmin."Kemarin dia berulah. Hampir saja Mas celaka. Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang datang menolong!""Astagfirullahaladzim, tapi kamu gak papa kan, Mas?" "Gak papa! Mas
##Bab 97Rumah sakit JiwaSemua orang yang ada di halaman rumah Nanda secara bersamaan menoleh ke arah mobil tersebut."Kasih?" ucap Partini terkejut melihat Kasih.Kasih berjalan menghampiri mereka. Satu persatu disalami dan saling berpelukan."Ada perlu apa kamu kesini, Nak Kasih?"" Gak ada apa-apa, Bu. Cuma mampir saja.""Ayo masuk!" pinta Partini langsung menggandeng Kasih.Partini meninggalkan Nanda dan juga Siska dihalaman rumah.Mereka saling melempar pandangan. Tatapan Siska kepada Nanda sulit diartikan. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu?"Pulanglah, daripada sakit hatimu!" pinta Nanda dengan nada biasa saja."Itukah calon istri Adi?" tanya Siska dengan ekspresi terkejut."Secepat itu Adi akan menikah lagi? Apakah aku tidak ada harga nya sama sekali?""Entahlah, kau pikirkan saja sendiri. Aku tidak ada waktu memikirkan hal itu!" Nanda pergi meninggalkan Siska.Kali ini Siska tak lagi berharga Dimata keluarga Adi. Apalagi Siska pergi dengan meninggalkan luka yang mendala
##Bab 96Permintaan maaf siska"Mas Wawan, sarapan dulu yuk! Udah aku siapkan di meja. Pagi ini aku masak spesial," pinta Nanda dengan nada manja. Wanita beranak satu itu pagi ini terlihat sangat ceria. Rumah yang berantakan abis kebakaran sudah direnovasi olehnya dengan kurun waktu yang lumayan singkat.Begitu banyak keberuntungan berpihak kepadanya. Meski tidak sedikit cobaan juga kerap singgah di hidupnya. Kini tinggal menata hati dan pikiran berfokus pada usahanya."Masak apa, Dek?" tanya Wawan yang menarik kursi plastik perlahan."Ayam goreng sama sup bakso kesukaan Hawa. Sini, Nak. Mangkoknya biar ibu kasih bakso yang banyak! Kamu suka?" Nanda melempar pandangannya ke arah anak semata wayangnya."Iya, Hawa suka. Bu," Hawa memanggil sang ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Tatapannya kembali ia arahkan kepada Hawa."Apa, Sayang?" tanya Nanda dengan penuh kelembutan."Hawa pengen punya adik. Kayak Tasya, dia sekarang udah punya adik!" pinta Hawa yang membuat Ayahnya tersedak.
##BAB 95Jasmin sakit"Soal Jasmin. Mas bingung mau ngadepi Jasmin bagaimana? Sikapnya sangat berbeda, setiap kali Mas Vidio call. Dia itu baik. Tapi Mas dapet info dari para tetangga. Kalau Jasmin itu sering teriak-teriak sendiri. Kadang juga tertawa sendiri. Suatu hari pernah dia tertawa sambil menyebut nama kamu! Mas gak mau cerita sama kamu, takutnya ganggu kerja kamu!""Jangan-jangan Jasmin depresi, Mas?""Hust, ngawur kamu!""Lha kalau bukan depresi lalu apa? Gila?""Kita gak tau lho, Nan. Kalau nanti salah kan jadi fitnah! Nanti Mas cari tahu dulu. Bagaimana kehidupan Jasmin di kota. Takutnya dia tertekan saat jadi seorang istri, waktu itu!""Iya, Mas.""Ya sudah, kamu hati-hati ya! Jaga anak baik-baik. Salam buat suamimu." "Iya, Mas."Wanto akhirnya menutup sambungan teleponnya. Ada perasaan lega ketika Nanda bisa mengutarakan semua yang ada dihatinya. Dengan kedatangan Mas Wanto ke Klaten. Mungkin akan menemukan jalan keluar untuk masalah Jasmin.Nanda dan Wawan kemudian per
##BAB 94Hutang"Maafkan ibu ya, Sayang! Hawa ayo kita sekolah, Nak." Nanda menguatkan hatinya. Tak sepantasnya dia terkejut hingga tak terkendali. Bukankah selama ini dia mampu melewati? Banyak hal yang sudah dia lalui, dari kehilangan hingga fitnah bertebaran. Jika yang terdekat mencoba menyakiti itu hal yang lumrah. Setelah diingat dulu mereka pernah menggores luka yang sama."Kamu gak papa, Dek?" Wawan mencoba menanyakan kondisi Nanda saat ini."Gak papa, Mas. Sudah biasa. Aku percaya kita bisa melewati masa-masa ini, kita bicarakan nanti setelah mengantar Hawa." Nanda berjalan sembari menggendong tas milik anak semata wayangnya.Wawan menyusulnya ke jalan sembari menyalakan motor.Menghentikan lajunya lalu membiarkan Nanda dan juga Hawa naik perlahan.Dalam perjalanan yang cukup jauh. Tak pernah sepatah katapun Nanda ucapkan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya sampai di sekolah Hawa. Diciumnya tangan mereka dengan takzim oleh Hawa. Di peluk lalu pergi s
##Bab 93Pak lurah"Saya dari toko Mawar, Mbak Nanda!" jawab wanita yang ada di sebrang telepon."Toko mawar? Ada apa lagi? Saya gak ada utang lho," jawab Nanda penuh hati-hati. Sebab dia sudah kehilangan toko langganan itu dan jangan sampai dia meninggalkan nama yang jelek disana."Bukan itu, Bu. Tujuan saya menghubungi anda bahwa bapak ingin bertemu dengan anda, di toko.""Bapak? Pemilik Toko kain itu?" tanya Nanda sambil berpikir sejenak."Iya, Pak Broto namanya." Nanda mengangguk-anggukan kepalanya sembari melihat suaminya yang masih terjaga di sampingnya. Ternyata selingkuhan Siska selama ini Pak Broto namanya. Dalam hati Nanda berbicara. Yang dia tahu hanya seorang kakek tua yang menjadi selingkuhan Siska selama ini. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk sekedar mencari tahu siapa namanya. Karena dia menganggap itu hal yang sangat tidak penting bagi hidupnya.Nanda menutup telepon setelah selesai berbicara. Apa yang membuat Pak Broto ingin bertemu dengan Nanda? Apakah ini
Bab 92Kasih"Kasih?" Adi terkejut melihat mantan berkunjung dengan tiba-tiba. Tanpa memberi tahu terlebih dahulu.Senyumnya masih sama, manis dan juga cantik."Masuk, Tante." Nanda bersikap ramah. Mempersilahkan masuk tanpa melihat jika dia sudah mantan calon ipar.Kasih berjalan mendekat sedikit canggung. Di Salami nya satu persatu semua orang yang ada di ruangan itu.Semuanya kembali duduk ditempat masing-masing. Setelah tadi sempat berdiri ketika Kasih mendekat."Ada perlu apa kamu kesini?" tanya Adi yang mendadak penasaran."Cuma mampir, sudah lama tidak bertemu. Kamu apa kabar? Bapak, ibu sehat? Mbak Nanda dan keluarga sehat?" Kasih memandangi mereka satu persatu. Ada rasa rindu yang terlihat dari sorotan matanya.Entah alasan apa dulu mereka berpisah. Sampai sekarang Adi tidak pernah mengatakan sedikit pun alasannya. Sangat bijaksana dan tidak ingin Kasih meninggalkan nama yang buruk di mata keluarganya."Sehat, Nak. Kami semua alhamdulilah sehat. Tapi ya itu Mbak Nanda lagi da
BAB 91Harapan"Bu, kalau boleh tau nama ibu siapa?" tanya Nanda sampai lupa berkenalan."Saya ibu Siti Maryam. Kalian sendiri siapa? Darimana asalnya? Kok bisa sampai ke rumah ibu bagaimana ceritanya? Maaf, gara-gara tadi sampai saya belum sempat menanyakan tujuan kalian," ucap Bu Siti dengan lembut."Iya, Bu. Gak papa. Saya Nanda, Bu. Ini suami saya. Saya ke sini atas informasi dari Pak Lurah, Pak Adam.""Ow, nak Adam. Iya rumah sepupunya di ujung jalan. Ibu banyak dibantu olehnya."Nanda dan Wawan kemudian menjelaskan perihal kebakaran di rumahnya. Dan juga menjelaskan begitu banyak pesanan yang belum dikerjakan. Sedangkan Bu Siti mempunyai beberapa mesin jahit dan juga alat-alatnya lengkap. Meskipun mesin jahit sudah terlihat tidak baru lagi. Tapi fungsinya masih bagus. Karena dirawat Bu Siti dengan baik.Begitu bahagianya Bu Siti mendengar bahwa Nanda dan juga Wawan berniat meminjam mesin jahit dan juga peralatan lainnya untuk mengerjakan pesanan baju yang terlanjur di terima. B
BAB 90Bu siti"Siapa wanita itu, Pak?"Nanda menerka-nerka siapa wanita yang telah membayar orang untuk membakar rumahnya? Sungguh keterlaluan jika benar itu Siska. Tapi benarkah Siska?Semua karyawan Nanda berpamitan. Karena mereka bilang akan menghadiri acara lain. Padahal mereka sudah merencanakan akan pergi kerumah Nia. Akan membicarakan bagaimana membantu Nanda."Apakah itu Siska?" Nanda kembali bertanya karena sudah tidak sabar lagi mendengar jawaban dari pak lurah."Saya kurang tau, Nan. Yang penting dia seorang wanita. Menggunakan masker dan juga helm berwarna hitam. Dia juga menggunakan kacamata hitam. Ciri-ciri itu yang disampaikan pada saya,"Nanda dan juga Wawan membuang napas dengan kasar. Mereka sudah tidak tau harus bagaimana lagi.Kring …. Kring ...kring.Suara ponsel milik Nanda berbunyi. Dari nomor yang tidak dikenal. Nanda pun tak berniat mengangkatnya. Dia lagi tidak ingin berbicara apapun."Siapa, Nan? Kok gak diangkat?" tanya Ibu mertua yang sedang duduk bersam