“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya.
Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasaannya campur aduk, begitupun istrinya. “Diam!” sentaknya, semua orang terkesiap kaget, untuk pertama kalinya Sila berbicara kasar dengan lantang kepada mereka yang selama ini selalu bersikap lembut. “Kamu, pembunuh!” lanjutnya, menunjuk Adiwijaya penuh emosi dan kebencian. Semua terdiam, tak bisa berkata. Apa yang ditakutkan mereka terjadi, Sila mengetahui rahasia yang telah mereka simpan rapi selama ini darinya. “Apa yang kamu bicarakan Sila?” Marvin tidak terima pernyataan Sila, walau yang diucapkan itu benar, namun sebagai anak jelas tidak nyaman mendengar sebutan kasar ditujukan pada ayahnya. ”Parman, masuk sekarang!” Novi mengusir penjaga rumah yang sedari tadi diam menyaksikan perdebatan diantara mereka yang seharusnya tidak disaksikan orang lain. Takut rahasia mereka semakin tersebar dan bisa membahayakan keadaan mereka. Mendengar perintah majikannya, Parman mengangguk patuh dengan langkah ketakutan pergi menjauh. Tinggallah mereka berempat di teras rumah dengan perselisihan belum usai malah semakin panas. “Kenapa? Apa kalian takut …” “Diam Sila!” bentak Marvin, tidak suka Sila semakin berani dan lancang. Dimana SIla yang penurut dan lemah lembut. “Benar bukan, ayah kamu itu pembunuh,” tantang Sila tanpa ada rasa takut pada Marvin. “Kamu jahat telah melindungi pembunuh itu, tak lain ayahmu sendiri!” Menunjuk Adiwijaya yang terdiam membisu dengan mimik panik. “Jaga ucapanmu, jangan menuduh sembarangan.” bentak Novi, bagaimanapun Adiwijaya suaminya, orang yang dicintainya selama ini, tidak terima dan siap membela apapun yang terjadi. “Kalian masih tak mengakui?” bibirnya tersungging perih, betapa tidak bertanggungjawab keluarga suaminya itu. Bukannya meminta maaf karena rahasia busuk mereka terungkap, malah berkilah tidak tahu malu. Walau meminta maaf-pun, jujur sulit baginya sulit untuk memaafkan. ”Dasar manusia keji, tak mau bertanggung jawab malah menutupinya demi hidupa bebas dari kesalahan!” “Marvin bawa dia masuk.” Seru Adiwijaya yang diangguki Novi, takut ada orang luar di jalan yang melihat apalagi mendengar percakapan mereka. “Jangan ngelanutur, ayo berdiri.” Marvin menarik paksa tangan Sila hingga terdengar ringisan kesakitan. “Kamu harus diberi pelajaran …,” Sila meronta, namun selalu berakhir kalah tenaga. “Berhenti menyakitiku. Karena aku ingin kita cerai.” sela Sila cepat penuh keyakinan. Semua orang tercengang, begitupun Marvin. Rasanya tak percaya Sila yang sangat mencintainya hingga rela menerima segala kesakitan yang telah diciptakannya ternyata berniat ingin berpisah dariya. “Jangan harap kamu bisa lepas dariku Sila.” Marvin menarik tubuh Sila, kemudian menekannya hingga kedua tubuh mereka menempel kasar. Sekuat tenaga Sila mendorong tubuh Marvin. “Aku tak sudi disentuh tangan keluarga pembunuh, sepertimu!” sarkasnya menatap Marvin tajam. “Kau semakin lancang, mau ku robek mulutmu itu!” Marvin tidak terima. “Apakah kau akan merobek mulut ini bila bukti percakapan kalian aku putar,” Deg Keluarga Adiwijaya terdiam, mulut terkunci tak bisa berkata sekalipun menyanggah ketika sebuah bukti berbicara. Sila memutar percakapan mereka tanpa izin di ponselnya. Kadang kenyataan memang menyakitkan, seperti sekarang Sila menelan getir kehidupan melihat kenyataan di depan mata bagai seperti mimpi. Tak pernah sedikitpun kejadian seperti ini terjadi. Telinganya memanas, kala percakapan menyakitkan berputar mengisi keheningan yang tercipta diantara mereka. Sungguh, tak sanggup mendengarnya lagi. Begitupun keluarga Adiwijaya, bukan karena tak sanggup melainkan takut. Tanpa aba-aba, Marvin menyahut ponsel Sila namun terlebih dulu ditarik pemiliknya higga menimbulkan raut kecewa pada laki-laki itu. “Kemarikan!” Reflek Sila menarik ponselnya kemudian disembunyikannya dalam genggaman tangannya erat. “Tidak akan.” Sila tak takut, masih menatap Marvin tak kalah sengitnya. “Takut dengan buktiku ini,” menatap sinis setiap orang dihadapannya. “Sila itu salah nak.” Adiwijaya membujuk Sila untuk memberikan ponselnya. Sayang, Sila bukanlah anak kecil yang di rayu sedikit langsung percaya. Tidak, apalagi disini kasusnya serius, Sila tak semudah itu percaya apalagi mengalah. “Biarkan bukti ini berbicara dan hukum yang memutuskannya.” Semuanya melotot, tak akan membiarkan itu terjadi. “Marvin, bawa dia masuk!” seru Novi panik mendengar hukum disebut Sila. Sadar akan alarm bahaya, Sila segera lari mejauh dari keluarga itu. Seketika ada firasat buruk menelusup ke dalam jiwa, sadar berada disana akan membahayakannya mengingat ia seorang diri harus melawan tiga orang hanya untuk mendapatkan pengakuan keluarga itu atas perbuatan mereka di masa lalu yang tentunya tak akan mengakuinya. “Kejar dia, Marvin!” seru Adiwijaya penuh harap. “Tangkap dia dan rekaman itu,” lanjutnya. Dret dret Disaat Sila gencar memacu langkah kakinya lebar karena dikejar Marvin dan Novi di belakang, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bagaikan mendapat angin segar, Sila segera melihatnya dan ternyata ada panggilan masuk dari Bi Sumi tentu itu bisa dijadikan kesempatan meminta tolong. “Tolong …,” Sayang baru satu kata lolos keburu Marvin menangkap tubuhnya dan secepat kilat merebut ponselnya secara kasar. Pyar Benda persegi panjang itu hancur berkeping keping di atas aspal karena di banting Marvin. “Oh tidak.” Menatap nanar ponsel yang telah tiga tahun menjadi miliknya dengan semua kenangan tertinggal disana bersama orang tua disusul lenyapnya bukti yang telah didapatkannya tadi. “Berani kamu membuatku emosi, Sila!” desis Marvin mencengkram tubuh Sila yang merinding ketakutan dan kekalahan bila menghadapi tenaga Marvin yang lebih besar darinya. “Kumohon berhenti, sakit.” pintanya memelas seraya menggeleng keras. Tamparan dan pukulan berkali-kali melayang mengenai wajah mulusnya. Warna merah lebam kontras dengan warna kulitnya tertinggal di pipi dan dagu. Sakit, itulah yang dirasakan Sila ditengah kepasrahannya seraya menahan segala kesakitan dan perih itu. “Rasakan itu. Masih berani kamu?” Marvin tak henti-hentinya memukul dan menampar Sila, istrinya sendiri yang sudah terkulai lemas duduk di lantai seraya bersender ranjang cream dibelakang tubuhnya. Tubuh Sila semakin lemah, disiksa hampir lima belas menit di dalam kamar oleh Marvin usai pertengkaran hebat. Betapa mengerikan dan biadab suaminya itu bila dalam mode mengamuk, seolah semua amarahnya ditumpahkan semua padanya. Kamar itu dipenuhi suara rintihan dan tangisan menyayat hati bagi siapapun mendengarnya. Bukannya meminta maaf, justru siksaan yang diberikan Marvin. Sila sungguh tak sanggup menghadapi Marvin lagi. “Ampun,” mohon Sila mengatupkan kedua tangan namun diabaikan Marvin. Memberontakpun tak mampu hanya menangis yang bisa ia lakukan. “Baru sekarang kamu minta ampun. Kemana keberanianmu tadi?” Marvin tersenyum puas melihat kepasrahan Sila daripada sebelumnya yang berani. Bahkan tak ada rasa iba dan kasihan sedikitpun di dalam hatinya melihat luka lebam bekas pukulannya, maklum tak ada cinta untuk Sila di hatinya. ‘Mah, pah. Bawa aku bersama kalian,’ Ditengah kesadarannya perlahan menipis, terbesit di benaknya untuk tiada menyusul kedua orang tuanya yang telah meninggal, tubuhnya terlalu sakit dan mungkin sulit untuk sembuh. “Marvin hentikan!” seru seseorang dari balik pintu tak lain Adiwijaya seraya menggedor pintu. Marvin sengaja mengunci pintu kamar itu karena ingin memberikan pelajaran pada Sila tanpa ada gangguan. Marvin mengabaikannya, tetap menangani Sila hingga muncul rasa puas di hatinya. “Ingat, kau bisa dikenai pasal kekerasan dalam rumah tangga.” Tangan Marvin melayang di udara siap mendarat di kepala Sila terhenti seketika. Tubuhnya membatu dengan pandangan kosong, namun pikirannya mendadak dihantui ketakutan akan ucapan ayahnya barusan. “Astaga.” Marvin menjambak rambut lebatnya, frustasi melihat keadaan Sila yang mengenaskan di hadapannya. Ia sampai tak sadar telah menghajar habis-habisan Sila dengan tangannya sendiri hingga tak berdaya. “Dasar iblis.” Lirihnya dengan suara tercekat, habis. “Kalian harus bertanggungjawab.” Brughhh“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh. Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya. “Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu. Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir. “Sila, mau kemana
Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya. “Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini. Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin. Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta. ‘Ak
Aku menarik nafas dalam sebelum kuutarakan apa maksud kedatanganku. Dua minggu tak berjumpa usai kejadian di rumah orang tuanya, kini kembali dipertemukan dalam keadaan berbeda.Aku dan dia duduk berhadapan yang dibatasi kaca bening sebagai media perantara untuk melihat. Mataku memindai Marvel yang mengenakan rompi orange seperti tahanan. Meskipun dalam hati bergidik ngeri, pasalnya Marvel menyambut kedatanganku dengan raut wajah keruh. Ya, Marvel mendekam di balik jeruji besi hingga seminggu ke depan bersama ayahnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.Aku menunduk menatap amplop cokelat sebentar lalu menghela nafas panjang sebelum memasukkan ke dalam lubang kaca di depanku. “Aku memberikan ini.”Amplop cokelat itu sudah berpindah tepat di hadapan Marvel, namun tak disentuh sedikitpun apalagi dibuka. Yang ada justru matanya menatapku tajam tak berkedip sama sekali. Aku bisa menangkap ada tumpukan dendam dibalik pancaran matanya itu.Aku tahu, dia berada di balik jeruji bes
Kutatap stopmap hijau yang tengah kupegang sekarang. Itu adalah bukti hubunganku dengan Marvel hari ini telah berakhir, dan statusku adalah janda. Berat sekali. Pernikahan yang aku harapkan sekali seumur hidup nyatanya hanya bisa bertahan satu tahun saja.Kutarik nafas ini barang sejenak sembari menutup mata, rasa lega menyusup dada namun tak bisa kupungkiri masih ada rasa nyeri untuk melepas Marvel yang sekarang telah menjadi mantan suamiku. Meski Marvel tidak datang di persidangan perceraian karena bersamaan tepat digelarnya sidang yang dihadapi keluarga Marvel, tapi tak apa, toh tetap saja hakim telah mengetuk palu sebagai tanda dikabulkannya ajuan gugatan cerai yang telah kulayangkan dua minggu lalu berbekal bukti perselingkuhan, tindakan kekerasan yang telah dilakukan Marvel padaku juga Bi Sumi yang menjadi saksi semuanya. “Sekarang, aku tinggal menata kehidupanku yang baru.” Aku menguatkan hatiku yang rermuk. Mau tidak mau aku harus menyemangati diri sendiri untuk bangkit.Tak
Dingin anginnya malam berhembus pelan menembus kulit di bawah temaram langit yang dipenuhi bintang kecil. Lalu lalang kendaraan mengisi jalan yang diantaranya berhenti di pinggir jalan untuk membeli aneka makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima meramaikan malam hari. Ada yang makan di tempat dan ada juga yang memilih dibungkus untuk dibawa pulang. “Mbak, nasi sepuluh sama gorengan sepuluh.” Kusambut dengan senyum dan kuambilkan apa yang diminta oleh pembeli yang baru datang.“Ya, Mas. Silahkan duduk dulu.”Ya, sekarang aku berjualan nasi kucing. Tak terasa sudah satu bulan diri ini berjualan di malam hari. Berandalkan sebuah gerobak kayu yang kuletakkan di depan rumah yang kebetulan tepat di pinggir jalan raya bersanding dengan beberapa pedagang kaki lima yang lainnya. Tak salah aku memilih tinggal di rumah Kevin karena suasana baru dengan lingkungan berbeda ternyata mampu membuatku perlahan bangkit dari keterpurukan.Yang paling penting aku sudah tidak bisa bertemu dengan Marvel
Pagi menyapa dengan sinar cerah dan udara yang menyejukkan mata. Burung berkicauan di atas langit seraya mengepakkan sayap menambah indahnya pemandangan. Semua orang terlihat sedang berkumpul bersama untuk menikmati hari weekend.Aku sedari tadi masih berdiri tak bosan memperhatikan setiap orang yang lewat hanya sekedar jalan-jalan di depan rumah. Sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari libur tiba, yang ternyata mampu membuatku terhibur hanya dengan melihatnya saja. Tapi kali ini terasa berbeda, ketika bayangan laki-laki semalam melintas di kepalaku.Benarkah dia Marvin?Ingin rasanya tadi malam bertanya langsung kepada Kevin mengenai Marvin tapi bibir ini ragu. Selain karena tidak mau menggangu Kevin yang jelas lelah habis pulang juga tak mau membuka luka lama yang telah aku kubur. Meskipun dari lubuk hatiku yang paling dalam ingin tahu keadaan Marvin, entahlah, usai bertemu laki-laki asing tadi malam malah membuatku teringat Marvel. Jadilah sekarang aku penasaran.“Sebaiknya ak
“Sila, kamu dari mana?” Langkahku terhenti melihat Kevin sedang duduk sendirian di depan rumah sambil membaca koran. Apakah dia menungguku pulang?Setahuku Kevin kalau pulang ke rumah tidak pernah di luar rumah sekalipun membaca koran. Meskipun jarang pulang tapi aku sedikit tahu kebiasaannya selama di rumah yaitu gym dan bekerja di dalam rumah. Tidak heran usianya yang sudah menginjak 28 tahun belum memiliki pasangan karena masih betah sendiri. Tapi di mataku dia adalah orang pekerja keras.“Kamu habis menangis?” tanyanya lagi sambil bangkit dari duduknya berjalan mendekat ke arahku menatapku intens.Terlambat. Aku tak bisa berkutik. Padahal aku ingin segera masuk ke kamar agar tidak ada orang yang melihat kesedihanku. Mataku yang sudah banjir air mata dilihat Kevin. Meski begitu tanganku berusaha menghapusnya dengan punggung tangan. Ditanya seperti itu aku belum bisa menjawab karena masih syok dengan pertemuan tak terduga barusan.Ditanya seperti itu hatiku mencelos. Mendadak dada in
“Jadi Bi Sumi sudah tahu? Kenapa nggak bilang padaku?” jelas aku menggerutu kesal. Bi Sumi yang sedang duduk di sebelahku baru mengaku kalau sudah tahu laki-laki yang mengembalikan dompetku semalam adalah Marvel. Pantas saja mereka diam saja, tak mungkin hanya aku yang mengenali Marvel.“Mas Kevin yang melarang, Mbak.” Terpancar rasa bersalah di mata keriput itu membuatku tak tega menyalahkannya lagi. “Bibi awalnya kaget dan ragu melihat Mas Marvel seperti itu. Tapi setelah Mas Kevin memberitahu diam-diam, baru bibi percaya.”Aku mendesah pelan. Tidak hanya aku saja yang kaget dan prihatin melihat keadaan Marvel sekarang. Marvel yang sekarang terlihat kurang terurus dibandingkan dulu yang selalu tampil fashionable. Sejenak aku mengambil nafas singkat, menstimulus otak untuk mengusir bayangan kesdihan yang mungkin bisa semakin dalam karena tak mau ambil pusing dengan kehidupan Marvel lagi.Bukan karena aku tidak atau belum berdamai dengan keadaan. Hanya saja apa yang telah diperbuat Mar
Hening menyelimuti seisi ruang tamu. Mataku menatap lekat Marvin yang duduk di sofa bersebelahan dengan ibunya berbicara lebih dulu. Cukup lama terdiam membuat Kevin beranjak untuk pamit ingin memberikan ruang yang nyaman untuk kita berbicara. Namun segera kutahan demi menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi, pikirku.Melihat itu, Marvin akhirnya angkat bicara. “Sila, aku mewakili keluargaku minta maaf atas kejahatan yang sudah terjadi di masa lalu.” Terjeda beberapa detik menyempatkan menoleh ke samping di mana sang ibu masih diam. “Aku sangat menyesal itu pernah terjadi. Aku tahu pasti berat, tapi sungguh kedatanganku di sini tulus meminta maaf.”“Sekarang kamu minta maaf setelah kemarin mengancamku ingin menghabisiku dan anak ini,” selaku cepat untuk mengingatkan. Padahal baru dua hari lalu kami tidak sengaja bertemu dan dia mengatakan ingin menghabisiku hingga membuatku ketakutan.Kevin yang masih duduk di sampingku langsung melotot tak percaya dengan apa yang barusan dideng
“Ada perlu apa dengan Sila?” Kevin menyahut cepat tanpa ada keramahan sedikitpun dari suaranya. “Apapun yang mengenai dia, harus berurusan dengan saya dulu.”Jujur aku terkejut namun juga merasa terwakilkan. Aku saja bingung bagaimana menghadapi seorang diri Marvin yang dengan terang terangan mau berbicara denganku.Aku masih bergeming tanpa membalikkan badan. Seharusnya mudah saja tinggal masuk ke dalam rumah dan tak memperdulikannya, tapi entah kenapa seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menahan kakiku untuk tetap diam.Lama tak ada jawaban, aku mengambil langkah lagi. Tapi …“Sila, aku minta maaf. Ampun.” Setelahnya terdengar sesuatu jatuh membentur tanah membuatku kaget disusul suara putus asanya. “Aku sudah menerima karmanya.”Jadi, itu alasannya datang ke sini. Jujur kaget mendengar pengakuannya namun aku tak bisa untuk tersenyum mengejek mendengarnya. Sekarang aku mempercayai adanya hukum tabur tuai.Dulu aku memang kalah membiarkan keadilan tak memihakku yang jelas menjadi
Rencana makan malam berubah total. Yang aku kira bakal seru makan bersama sambil bercanda dengan Kevin karena ini kali pertama makan di luar malah berakhir bertemu dengan Marvin. Dan kini Marvin terlibat obrolan serius dengan Kevin dan klien Kevin di dalam ruangan yang dibatasi sekat berupa kaca, aku bisa melihatnya dari luar.Ada urusan apa sehingga Marvin dilibatkan?Aku berusaha bersikap biasa seolah tak saling mengenal, namun nyatanya mata ini tak bisa dikendalikan terus memperhatikan gerak gerik Marvin sedang menjelaskan sesuatu yang terlihat serius hingga sesekali Kevin menimpalinya. Yang sekarang kulihat, Marvin berwibawa ketika sedang berbicara seperti itu hanya saja penampilannya terlihat sederhana dengan tubuh yang kurus jauh berbeda dengan ketika dulu masih bersama. Semua yang ada padanya tidak luput dari mataku.Tanpa kusadari sudah tiga puluh menit lewat, obrolan mereka selesai dan Marvin hingga beranjak pergi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Dia langsung pergi dengan
“Jadi Bi Sumi sudah tahu? Kenapa nggak bilang padaku?” jelas aku menggerutu kesal. Bi Sumi yang sedang duduk di sebelahku baru mengaku kalau sudah tahu laki-laki yang mengembalikan dompetku semalam adalah Marvel. Pantas saja mereka diam saja, tak mungkin hanya aku yang mengenali Marvel.“Mas Kevin yang melarang, Mbak.” Terpancar rasa bersalah di mata keriput itu membuatku tak tega menyalahkannya lagi. “Bibi awalnya kaget dan ragu melihat Mas Marvel seperti itu. Tapi setelah Mas Kevin memberitahu diam-diam, baru bibi percaya.”Aku mendesah pelan. Tidak hanya aku saja yang kaget dan prihatin melihat keadaan Marvel sekarang. Marvel yang sekarang terlihat kurang terurus dibandingkan dulu yang selalu tampil fashionable. Sejenak aku mengambil nafas singkat, menstimulus otak untuk mengusir bayangan kesdihan yang mungkin bisa semakin dalam karena tak mau ambil pusing dengan kehidupan Marvel lagi.Bukan karena aku tidak atau belum berdamai dengan keadaan. Hanya saja apa yang telah diperbuat Mar
“Sila, kamu dari mana?” Langkahku terhenti melihat Kevin sedang duduk sendirian di depan rumah sambil membaca koran. Apakah dia menungguku pulang?Setahuku Kevin kalau pulang ke rumah tidak pernah di luar rumah sekalipun membaca koran. Meskipun jarang pulang tapi aku sedikit tahu kebiasaannya selama di rumah yaitu gym dan bekerja di dalam rumah. Tidak heran usianya yang sudah menginjak 28 tahun belum memiliki pasangan karena masih betah sendiri. Tapi di mataku dia adalah orang pekerja keras.“Kamu habis menangis?” tanyanya lagi sambil bangkit dari duduknya berjalan mendekat ke arahku menatapku intens.Terlambat. Aku tak bisa berkutik. Padahal aku ingin segera masuk ke kamar agar tidak ada orang yang melihat kesedihanku. Mataku yang sudah banjir air mata dilihat Kevin. Meski begitu tanganku berusaha menghapusnya dengan punggung tangan. Ditanya seperti itu aku belum bisa menjawab karena masih syok dengan pertemuan tak terduga barusan.Ditanya seperti itu hatiku mencelos. Mendadak dada in
Pagi menyapa dengan sinar cerah dan udara yang menyejukkan mata. Burung berkicauan di atas langit seraya mengepakkan sayap menambah indahnya pemandangan. Semua orang terlihat sedang berkumpul bersama untuk menikmati hari weekend.Aku sedari tadi masih berdiri tak bosan memperhatikan setiap orang yang lewat hanya sekedar jalan-jalan di depan rumah. Sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari libur tiba, yang ternyata mampu membuatku terhibur hanya dengan melihatnya saja. Tapi kali ini terasa berbeda, ketika bayangan laki-laki semalam melintas di kepalaku.Benarkah dia Marvin?Ingin rasanya tadi malam bertanya langsung kepada Kevin mengenai Marvin tapi bibir ini ragu. Selain karena tidak mau menggangu Kevin yang jelas lelah habis pulang juga tak mau membuka luka lama yang telah aku kubur. Meskipun dari lubuk hatiku yang paling dalam ingin tahu keadaan Marvin, entahlah, usai bertemu laki-laki asing tadi malam malah membuatku teringat Marvel. Jadilah sekarang aku penasaran.“Sebaiknya ak
Dingin anginnya malam berhembus pelan menembus kulit di bawah temaram langit yang dipenuhi bintang kecil. Lalu lalang kendaraan mengisi jalan yang diantaranya berhenti di pinggir jalan untuk membeli aneka makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima meramaikan malam hari. Ada yang makan di tempat dan ada juga yang memilih dibungkus untuk dibawa pulang. “Mbak, nasi sepuluh sama gorengan sepuluh.” Kusambut dengan senyum dan kuambilkan apa yang diminta oleh pembeli yang baru datang.“Ya, Mas. Silahkan duduk dulu.”Ya, sekarang aku berjualan nasi kucing. Tak terasa sudah satu bulan diri ini berjualan di malam hari. Berandalkan sebuah gerobak kayu yang kuletakkan di depan rumah yang kebetulan tepat di pinggir jalan raya bersanding dengan beberapa pedagang kaki lima yang lainnya. Tak salah aku memilih tinggal di rumah Kevin karena suasana baru dengan lingkungan berbeda ternyata mampu membuatku perlahan bangkit dari keterpurukan.Yang paling penting aku sudah tidak bisa bertemu dengan Marvel
Kutatap stopmap hijau yang tengah kupegang sekarang. Itu adalah bukti hubunganku dengan Marvel hari ini telah berakhir, dan statusku adalah janda. Berat sekali. Pernikahan yang aku harapkan sekali seumur hidup nyatanya hanya bisa bertahan satu tahun saja.Kutarik nafas ini barang sejenak sembari menutup mata, rasa lega menyusup dada namun tak bisa kupungkiri masih ada rasa nyeri untuk melepas Marvel yang sekarang telah menjadi mantan suamiku. Meski Marvel tidak datang di persidangan perceraian karena bersamaan tepat digelarnya sidang yang dihadapi keluarga Marvel, tapi tak apa, toh tetap saja hakim telah mengetuk palu sebagai tanda dikabulkannya ajuan gugatan cerai yang telah kulayangkan dua minggu lalu berbekal bukti perselingkuhan, tindakan kekerasan yang telah dilakukan Marvel padaku juga Bi Sumi yang menjadi saksi semuanya. “Sekarang, aku tinggal menata kehidupanku yang baru.” Aku menguatkan hatiku yang rermuk. Mau tidak mau aku harus menyemangati diri sendiri untuk bangkit.Tak
Aku menarik nafas dalam sebelum kuutarakan apa maksud kedatanganku. Dua minggu tak berjumpa usai kejadian di rumah orang tuanya, kini kembali dipertemukan dalam keadaan berbeda.Aku dan dia duduk berhadapan yang dibatasi kaca bening sebagai media perantara untuk melihat. Mataku memindai Marvel yang mengenakan rompi orange seperti tahanan. Meskipun dalam hati bergidik ngeri, pasalnya Marvel menyambut kedatanganku dengan raut wajah keruh. Ya, Marvel mendekam di balik jeruji besi hingga seminggu ke depan bersama ayahnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.Aku menunduk menatap amplop cokelat sebentar lalu menghela nafas panjang sebelum memasukkan ke dalam lubang kaca di depanku. “Aku memberikan ini.”Amplop cokelat itu sudah berpindah tepat di hadapan Marvel, namun tak disentuh sedikitpun apalagi dibuka. Yang ada justru matanya menatapku tajam tak berkedip sama sekali. Aku bisa menangkap ada tumpukan dendam dibalik pancaran matanya itu.Aku tahu, dia berada di balik jeruji bes