Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Di sinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen. Usai kejadian di apartemen itu aku langsung pulang dengan membawa sejuta luka entah bisa disembuhkan atau tidak, begitu pun ayah mertuaku yang pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya yang telah menikah malah bermain dengan wanita lain di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.
‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin.
Brakkk
Suara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Baru dipikirkan sudah datang, padahal kedatangannya tidak kuharapkan sama sekali.
Mataku memindai penampilan Marvin jauh berbeda dari biasanya, kacau. Rambut acak-acakan, dan kaos lengan pendek lecek.
Untuk apa Marvin kesini? Tidak cukupkah dia menyakiti hatiku, berselingkuh dengan Stela di apartemen. Oh tidak, ada baiknya laki-laki itu kesini karena aku akan mengutarakan keputusan bulat, berpisah dengannya.
“Berani kamu mengusik ketenanganku, Sila!” Baru juga pulang sudah meluapkan amarah.
Bulu kudukku berdiri, merinding mendengarnya. Bukankah di sini aku yang harus marah, telah dikecewakan dan disakitinya, pikirku.
“Ngapain kamu kesini?” Aku berusaha meredam rasa takut dalam diri ini dan mulai melawan. Selama ini aku selalu menurut dan lembut pada Marvin. Ini adalah rumah peninggalan orang tuaku yang telah diwariskan atas namaku jadi aku berkuasa disini. Kenapa aku harus takut?
“Berani kau mengadukan semuanya pada papa.” Matanya menatap tajam padaku seraya berjalan menghampiriku dengan tergesa dan tepat berdiri di hadapanku dia langsung membentak dengan keras. “Lihatlah karenamu, sekarang papa harus di rawat di rumah sakit!” Sudah kuduga aku bakal disalahkan.
Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf padaku, malah dengan lantang menyalahkanku. “Jantung papa kumat karena tahu kamu selingkuh.” Bi Sumi memberitahuku kalau ayah mertuaku terkena serangan jantung saat dilarikan di rumah sakit hingga mendapatkan perawatan lanjut oleh dokter di rumah sakit. Jelas aku tidak salah di sini.
Kedua tangannya mengepal erat seolah tidak terima dengan apa yang baru keluar dari mulut ini. “Tahu apa kamu kalau aku selingkuh? Kalau kamu tidak datang ke rumah papa pasti tidak akan seperti ini kejadiannya.”
“Kalau sampai papa kenapa-napa, tamat riwayatmu di tanganku!” Tangannya terayun meraih daguku, dicengkramnya dengan kuat hingga mulutku berbentuk huruf O. “Awshh. sakit.” Sungguh ini yang paling menyakitkan dari semua perlakuan buruk Marvin selama ini padaku.
Aku diam, merasa takut. Walau aku yakin sepenuhnya tidak bersalah, namun ancaman Marvin berhasil melumpuhkan keberanianku.
“Jangan usik kebahagianku bersama kekasihku.” Air mataku menetes. “Urusi saja kehidupanmu sendiri.” Daguku dilepas kasar, meninggalkan bekas kemerahan disana.
‘Sendiri,’ lirihku dengan getir. Aku sudah tidak kuat bersamanya lagi, yang ada hanyalah tindakan kekerasan yang aku terima.
“Keluar!” teriakku mengusir.
Mendengar suara tinggi, seketika raut wajah tampannya berubah keruh tak terima tapi aku tak gentar. “Pergi!”
“Aku berhak disini! Apalagi setelah tahu kamu sudah membuat semua kacau. Papa terkena serangan jantung dan kamu penyebabnya,” bantah Marvin tepat di depan wajahku. “Kamu harus dihukum.”
“Itu bukan salahku, tapi salahmu.” Sambil menarik nafas cepat dan berani menatap mata Marvin yang berjalan ke arahku karena berani membantah. “Aku minta cerai!”
Marvin melotot kaget tidak percaya dengan apa yang barusan kukatakan. Namun sesuatu melingkupi matanya yang berkedip untuk mengembalikan kesadaran bila dihadapannya sebuah tidak kebenaran. Namun itu sementara ketika matanya berubah memerah dan rahangnya mengeras menyorotkan emosi membara atas ketidaksukaan permintaanku.
Aku yakin atas keputusanku sekarang, berharap semua selesai baik-baik cukup aku yang tersakiti disini dan kemudian hari akan mendapatkan gantinya dengan mendapatkan kebahagiaan yang lain tentunya dengan pasangan yang baru, itulah harapanku.
“Cerai, kamu bilang! Siapa yang berani suruh kamu minta cerai, hah!” Tangan Marvin menjambak rambutku dengan kasar.
“Shhh.” Aku meringis berusaha melepaskan diri namun gagal, tenaga Marvin jauh lebih besar daripada miliknya.
“Cepat katakan, siapa orangnya!” tuntutnya lagi menduga keputusanku ada ikut andil orang lain. Yang Marvin ketahui selama ini adalah aku sangat mencintainya hingga rela mengalah setahun ini.
Apakah disini penting menanyakan orangnya. Sudah pasti jelas ini keputusanku sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Disini aku yang menjalani, sudah sepatutnya aku juga yang memutuskan termasuk memilih jalan perceraian.
“Bi Sumi?” tebak Marvin, segera kepalaku menggeleng tidak membenarkan itu semua. Bi Sumi tidak ada campur tangan sedikitpun atas semua ini.
Brughhh
Tangannya mendorong kepalaku hingga membuat tubuh ringkihku terhempas di atas ranjang. Tangisku semakin terisak, setiap hari mendapatkan perlakuan kasar, sayangnya semakin kesini semakin tidak manusiawi.
Aku berusaha kuat dan bangun, menulis lagi di kertas, suaraku telah habis teredam suara tangis.
‘Berbahagialah dengan kekasihmu. Lepaskanlah aku.’
Marvin terkekeh setelah membacanya, beralih menatapku tajam seperti siap menerkamku hidup-hidup.
“Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu.” ucap dengan suara rendah.
Mataku membulat, mengapa Marvin menolak, bukankah disini adalah kesempatannya untuk hidup berbahagia dengan wanita lain tanpa ada aku yang menjadi penghalangnya.
“Kenapa?”
Dia menyeringai mengerikan. “Jangan harap kamu bisa lepas dariku, Sila! Setelah kau merusak hubunganku dengan papa dan Stela, rasakan hukumanmu.” Oh tidak, dia ingin membalaskan dendam padaku, aku ketakutan, berharap bisa lepas malah semakin terjebak di lembah kehancuran semakin dalam bersamanya.
‘Apa yang dia lakukan?’ batinku dengan tangan meremas sprei motif bunga warna cokelat muda.
“Layani aku sekarang!” titahnya seraya melepas kaosnya hingga bertelanjang dada.
Terlihat alarm berbahaya mendekat, aku berusaha pergi menjauh dari sesuatu akan terjadi, sebelum menyesal semakin dalam.
Tanganku di cekal hendak melarikan diri. “Jangan, aku tidak mau,” tolakku tidak mau melayani dengan tubuhku walau sejengkal saja.
Mulai sekarang aku tidak menganggap Marvin sebagai suami dan telah melepasnya kepada wanita lain. Aku sudah tidak sanggup berjuang seorang diri untuk mempertahankan pernikahan ini lagi terlebih bukan atas dasar cinta
Pernnikahanku dengan Marvin di ujung tanduk perceraian terlepas penolakan sebelumnya, aku tak ingin kembali terjerembab dalam lubang kehancuran, melayani hasrat Marvin yang sekarang siap menerkamku di atas ranjang.
Marvin telah milik dan dimiliki Stela, jadi buat apa aku melayaninya. Kasihan tubuhku, memuaskan laki-laki yang sama sekali tidak mencintaiku dengan tulus.
“Jangan menolak jika kamu masih mencintaiku,” mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.
“Brengsek,” umpatku mulai merasakan tenaganya tidak sebanding dengan Marvin.
Sayang seberusaha apapun aku melawan, nyatanya tenaga Marvin yang telah dikuasai amarah itu membuatku kalah telak dan berakhir pasrah di bawah kungkungan Marvin. Hingga pergulatan dan penyatuan tubuh terjadi terjadi di ranjang, aku melayani Marvin disaat hati ini sudah diselimuti rasa benci dan kecewa pada laki-laki itu. Sinar matahari yang terang memenuhi kamar menjadi saksi pergulatan sepihak ini, aku tidak menikmatinya sama sekali.
Suara desahan dan erangan bercampur jeritan memenuhi seisi kamar Berbeda dengan sebelumnya, aku melayaninya dengan ikhlas lahir batin, sadar akan kewajibanku sebagai istri. Sungguh, bukan ini yang aku harapkan di sela-sela air mataku berjatuhan seiring permainan kasar Marvin menyentuh tubuhku.
Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Selama menikah Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.Miris, Marvin menyentuhku dalam keadaan emosi, parahnya tubuhku dijadikan pelampiasannya. Dasar laki-laki brengsek, habis tidur sama kekasihnya masih berani menyentuhku!Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.“Eh.” Saat aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu mengalir di kedua pahaku.Lantas kuulurkan tangan ini untuk men
“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya. Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu per
“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh. Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya. “Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu. Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir. “Sila, mau kemana
Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya. “Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini. Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin. Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta. ‘Ak
Aku menarik nafas dalam sebelum kuutarakan apa maksud kedatanganku. Dua minggu tak berjumpa usai kejadian di rumah orang tuanya, kini kembali dipertemukan dalam keadaan berbeda.Aku dan dia duduk berhadapan yang dibatasi kaca bening sebagai media perantara untuk melihat. Mataku memindai Marvel yang mengenakan rompi orange seperti tahanan. Meskipun dalam hati bergidik ngeri, pasalnya Marvel menyambut kedatanganku dengan raut wajah keruh. Ya, Marvel mendekam di balik jeruji besi hingga seminggu ke depan bersama ayahnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.Aku menunduk menatap amplop cokelat sebentar lalu menghela nafas panjang sebelum memasukkan ke dalam lubang kaca di depanku. “Aku memberikan ini.”Amplop cokelat itu sudah berpindah tepat di hadapan Marvel, namun tak disentuh sedikitpun apalagi dibuka. Yang ada justru matanya menatapku tajam tak berkedip sama sekali. Aku bisa menangkap ada tumpukan dendam dibalik pancaran matanya itu.Aku tahu, dia berada di balik jeruji bes
Kutatap stopmap hijau yang tengah kupegang sekarang. Itu adalah bukti hubunganku dengan Marvel hari ini telah berakhir, dan statusku adalah janda. Berat sekali. Pernikahan yang aku harapkan sekali seumur hidup nyatanya hanya bisa bertahan satu tahun saja.Kutarik nafas ini barang sejenak sembari menutup mata, rasa lega menyusup dada namun tak bisa kupungkiri masih ada rasa nyeri untuk melepas Marvel yang sekarang telah menjadi mantan suamiku. Meski Marvel tidak datang di persidangan perceraian karena bersamaan tepat digelarnya sidang yang dihadapi keluarga Marvel, tapi tak apa, toh tetap saja hakim telah mengetuk palu sebagai tanda dikabulkannya ajuan gugatan cerai yang telah kulayangkan dua minggu lalu berbekal bukti perselingkuhan, tindakan kekerasan yang telah dilakukan Marvel padaku juga Bi Sumi yang menjadi saksi semuanya. “Sekarang, aku tinggal menata kehidupanku yang baru.” Aku menguatkan hatiku yang rermuk. Mau tidak mau aku harus menyemangati diri sendiri untuk bangkit.Tak
Dingin anginnya malam berhembus pelan menembus kulit di bawah temaram langit yang dipenuhi bintang kecil. Lalu lalang kendaraan mengisi jalan yang diantaranya berhenti di pinggir jalan untuk membeli aneka makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima meramaikan malam hari. Ada yang makan di tempat dan ada juga yang memilih dibungkus untuk dibawa pulang. “Mbak, nasi sepuluh sama gorengan sepuluh.” Kusambut dengan senyum dan kuambilkan apa yang diminta oleh pembeli yang baru datang.“Ya, Mas. Silahkan duduk dulu.”Ya, sekarang aku berjualan nasi kucing. Tak terasa sudah satu bulan diri ini berjualan di malam hari. Berandalkan sebuah gerobak kayu yang kuletakkan di depan rumah yang kebetulan tepat di pinggir jalan raya bersanding dengan beberapa pedagang kaki lima yang lainnya. Tak salah aku memilih tinggal di rumah Kevin karena suasana baru dengan lingkungan berbeda ternyata mampu membuatku perlahan bangkit dari keterpurukan.Yang paling penting aku sudah tidak bisa bertemu dengan Marvel
Pagi menyapa dengan sinar cerah dan udara yang menyejukkan mata. Burung berkicauan di atas langit seraya mengepakkan sayap menambah indahnya pemandangan. Semua orang terlihat sedang berkumpul bersama untuk menikmati hari weekend.Aku sedari tadi masih berdiri tak bosan memperhatikan setiap orang yang lewat hanya sekedar jalan-jalan di depan rumah. Sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari libur tiba, yang ternyata mampu membuatku terhibur hanya dengan melihatnya saja. Tapi kali ini terasa berbeda, ketika bayangan laki-laki semalam melintas di kepalaku.Benarkah dia Marvin?Ingin rasanya tadi malam bertanya langsung kepada Kevin mengenai Marvin tapi bibir ini ragu. Selain karena tidak mau menggangu Kevin yang jelas lelah habis pulang juga tak mau membuka luka lama yang telah aku kubur. Meskipun dari lubuk hatiku yang paling dalam ingin tahu keadaan Marvin, entahlah, usai bertemu laki-laki asing tadi malam malah membuatku teringat Marvel. Jadilah sekarang aku penasaran.“Sebaiknya ak
Hening menyelimuti seisi ruang tamu. Mataku menatap lekat Marvin yang duduk di sofa bersebelahan dengan ibunya berbicara lebih dulu. Cukup lama terdiam membuat Kevin beranjak untuk pamit ingin memberikan ruang yang nyaman untuk kita berbicara. Namun segera kutahan demi menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi, pikirku.Melihat itu, Marvin akhirnya angkat bicara. “Sila, aku mewakili keluargaku minta maaf atas kejahatan yang sudah terjadi di masa lalu.” Terjeda beberapa detik menyempatkan menoleh ke samping di mana sang ibu masih diam. “Aku sangat menyesal itu pernah terjadi. Aku tahu pasti berat, tapi sungguh kedatanganku di sini tulus meminta maaf.”“Sekarang kamu minta maaf setelah kemarin mengancamku ingin menghabisiku dan anak ini,” selaku cepat untuk mengingatkan. Padahal baru dua hari lalu kami tidak sengaja bertemu dan dia mengatakan ingin menghabisiku hingga membuatku ketakutan.Kevin yang masih duduk di sampingku langsung melotot tak percaya dengan apa yang barusan dideng
“Ada perlu apa dengan Sila?” Kevin menyahut cepat tanpa ada keramahan sedikitpun dari suaranya. “Apapun yang mengenai dia, harus berurusan dengan saya dulu.”Jujur aku terkejut namun juga merasa terwakilkan. Aku saja bingung bagaimana menghadapi seorang diri Marvin yang dengan terang terangan mau berbicara denganku.Aku masih bergeming tanpa membalikkan badan. Seharusnya mudah saja tinggal masuk ke dalam rumah dan tak memperdulikannya, tapi entah kenapa seperti ada sesuatu yang tak kasat mata menahan kakiku untuk tetap diam.Lama tak ada jawaban, aku mengambil langkah lagi. Tapi …“Sila, aku minta maaf. Ampun.” Setelahnya terdengar sesuatu jatuh membentur tanah membuatku kaget disusul suara putus asanya. “Aku sudah menerima karmanya.”Jadi, itu alasannya datang ke sini. Jujur kaget mendengar pengakuannya namun aku tak bisa untuk tersenyum mengejek mendengarnya. Sekarang aku mempercayai adanya hukum tabur tuai.Dulu aku memang kalah membiarkan keadilan tak memihakku yang jelas menjadi
Rencana makan malam berubah total. Yang aku kira bakal seru makan bersama sambil bercanda dengan Kevin karena ini kali pertama makan di luar malah berakhir bertemu dengan Marvin. Dan kini Marvin terlibat obrolan serius dengan Kevin dan klien Kevin di dalam ruangan yang dibatasi sekat berupa kaca, aku bisa melihatnya dari luar.Ada urusan apa sehingga Marvin dilibatkan?Aku berusaha bersikap biasa seolah tak saling mengenal, namun nyatanya mata ini tak bisa dikendalikan terus memperhatikan gerak gerik Marvin sedang menjelaskan sesuatu yang terlihat serius hingga sesekali Kevin menimpalinya. Yang sekarang kulihat, Marvin berwibawa ketika sedang berbicara seperti itu hanya saja penampilannya terlihat sederhana dengan tubuh yang kurus jauh berbeda dengan ketika dulu masih bersama. Semua yang ada padanya tidak luput dari mataku.Tanpa kusadari sudah tiga puluh menit lewat, obrolan mereka selesai dan Marvin hingga beranjak pergi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Dia langsung pergi dengan
“Jadi Bi Sumi sudah tahu? Kenapa nggak bilang padaku?” jelas aku menggerutu kesal. Bi Sumi yang sedang duduk di sebelahku baru mengaku kalau sudah tahu laki-laki yang mengembalikan dompetku semalam adalah Marvel. Pantas saja mereka diam saja, tak mungkin hanya aku yang mengenali Marvel.“Mas Kevin yang melarang, Mbak.” Terpancar rasa bersalah di mata keriput itu membuatku tak tega menyalahkannya lagi. “Bibi awalnya kaget dan ragu melihat Mas Marvel seperti itu. Tapi setelah Mas Kevin memberitahu diam-diam, baru bibi percaya.”Aku mendesah pelan. Tidak hanya aku saja yang kaget dan prihatin melihat keadaan Marvel sekarang. Marvel yang sekarang terlihat kurang terurus dibandingkan dulu yang selalu tampil fashionable. Sejenak aku mengambil nafas singkat, menstimulus otak untuk mengusir bayangan kesdihan yang mungkin bisa semakin dalam karena tak mau ambil pusing dengan kehidupan Marvel lagi.Bukan karena aku tidak atau belum berdamai dengan keadaan. Hanya saja apa yang telah diperbuat Mar
“Sila, kamu dari mana?” Langkahku terhenti melihat Kevin sedang duduk sendirian di depan rumah sambil membaca koran. Apakah dia menungguku pulang?Setahuku Kevin kalau pulang ke rumah tidak pernah di luar rumah sekalipun membaca koran. Meskipun jarang pulang tapi aku sedikit tahu kebiasaannya selama di rumah yaitu gym dan bekerja di dalam rumah. Tidak heran usianya yang sudah menginjak 28 tahun belum memiliki pasangan karena masih betah sendiri. Tapi di mataku dia adalah orang pekerja keras.“Kamu habis menangis?” tanyanya lagi sambil bangkit dari duduknya berjalan mendekat ke arahku menatapku intens.Terlambat. Aku tak bisa berkutik. Padahal aku ingin segera masuk ke kamar agar tidak ada orang yang melihat kesedihanku. Mataku yang sudah banjir air mata dilihat Kevin. Meski begitu tanganku berusaha menghapusnya dengan punggung tangan. Ditanya seperti itu aku belum bisa menjawab karena masih syok dengan pertemuan tak terduga barusan.Ditanya seperti itu hatiku mencelos. Mendadak dada in
Pagi menyapa dengan sinar cerah dan udara yang menyejukkan mata. Burung berkicauan di atas langit seraya mengepakkan sayap menambah indahnya pemandangan. Semua orang terlihat sedang berkumpul bersama untuk menikmati hari weekend.Aku sedari tadi masih berdiri tak bosan memperhatikan setiap orang yang lewat hanya sekedar jalan-jalan di depan rumah. Sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari libur tiba, yang ternyata mampu membuatku terhibur hanya dengan melihatnya saja. Tapi kali ini terasa berbeda, ketika bayangan laki-laki semalam melintas di kepalaku.Benarkah dia Marvin?Ingin rasanya tadi malam bertanya langsung kepada Kevin mengenai Marvin tapi bibir ini ragu. Selain karena tidak mau menggangu Kevin yang jelas lelah habis pulang juga tak mau membuka luka lama yang telah aku kubur. Meskipun dari lubuk hatiku yang paling dalam ingin tahu keadaan Marvin, entahlah, usai bertemu laki-laki asing tadi malam malah membuatku teringat Marvel. Jadilah sekarang aku penasaran.“Sebaiknya ak
Dingin anginnya malam berhembus pelan menembus kulit di bawah temaram langit yang dipenuhi bintang kecil. Lalu lalang kendaraan mengisi jalan yang diantaranya berhenti di pinggir jalan untuk membeli aneka makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima meramaikan malam hari. Ada yang makan di tempat dan ada juga yang memilih dibungkus untuk dibawa pulang. “Mbak, nasi sepuluh sama gorengan sepuluh.” Kusambut dengan senyum dan kuambilkan apa yang diminta oleh pembeli yang baru datang.“Ya, Mas. Silahkan duduk dulu.”Ya, sekarang aku berjualan nasi kucing. Tak terasa sudah satu bulan diri ini berjualan di malam hari. Berandalkan sebuah gerobak kayu yang kuletakkan di depan rumah yang kebetulan tepat di pinggir jalan raya bersanding dengan beberapa pedagang kaki lima yang lainnya. Tak salah aku memilih tinggal di rumah Kevin karena suasana baru dengan lingkungan berbeda ternyata mampu membuatku perlahan bangkit dari keterpurukan.Yang paling penting aku sudah tidak bisa bertemu dengan Marvel
Kutatap stopmap hijau yang tengah kupegang sekarang. Itu adalah bukti hubunganku dengan Marvel hari ini telah berakhir, dan statusku adalah janda. Berat sekali. Pernikahan yang aku harapkan sekali seumur hidup nyatanya hanya bisa bertahan satu tahun saja.Kutarik nafas ini barang sejenak sembari menutup mata, rasa lega menyusup dada namun tak bisa kupungkiri masih ada rasa nyeri untuk melepas Marvel yang sekarang telah menjadi mantan suamiku. Meski Marvel tidak datang di persidangan perceraian karena bersamaan tepat digelarnya sidang yang dihadapi keluarga Marvel, tapi tak apa, toh tetap saja hakim telah mengetuk palu sebagai tanda dikabulkannya ajuan gugatan cerai yang telah kulayangkan dua minggu lalu berbekal bukti perselingkuhan, tindakan kekerasan yang telah dilakukan Marvel padaku juga Bi Sumi yang menjadi saksi semuanya. “Sekarang, aku tinggal menata kehidupanku yang baru.” Aku menguatkan hatiku yang rermuk. Mau tidak mau aku harus menyemangati diri sendiri untuk bangkit.Tak
Aku menarik nafas dalam sebelum kuutarakan apa maksud kedatanganku. Dua minggu tak berjumpa usai kejadian di rumah orang tuanya, kini kembali dipertemukan dalam keadaan berbeda.Aku dan dia duduk berhadapan yang dibatasi kaca bening sebagai media perantara untuk melihat. Mataku memindai Marvel yang mengenakan rompi orange seperti tahanan. Meskipun dalam hati bergidik ngeri, pasalnya Marvel menyambut kedatanganku dengan raut wajah keruh. Ya, Marvel mendekam di balik jeruji besi hingga seminggu ke depan bersama ayahnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.Aku menunduk menatap amplop cokelat sebentar lalu menghela nafas panjang sebelum memasukkan ke dalam lubang kaca di depanku. “Aku memberikan ini.”Amplop cokelat itu sudah berpindah tepat di hadapan Marvel, namun tak disentuh sedikitpun apalagi dibuka. Yang ada justru matanya menatapku tajam tak berkedip sama sekali. Aku bisa menangkap ada tumpukan dendam dibalik pancaran matanya itu.Aku tahu, dia berada di balik jeruji bes