Belum lagi hilang rasa terkejutnya tiba-tiba terdengar lagi suara Lipursari "Wirota, tusukan semua bunga ini!"Tiba-tiba Wirota melihat ada hujan bunga menuju ke arahnya, ada bermacam-macam bunga yang dilemparkan Lipursari, Mawar, Cempaka, Kenikir, Kecombrang, Teratai, Bakung. Wirota dengan sisa-sisa tenaganya melompat dan mngarahkan lautan bunga itu ke dada Arya Rahu. Arya Rahu terkejut melihat lautan bunga yang melayang ke arahnya, sembelum dia menyadarinya, bunga-bunga itu sudah melesat menancap di bagian depan tubuhnya dan robohlah Arya Rahu ke tanah dengan tubuh penuh tangkai bunga menancap di dadanya."Sungguh aku tak menyangka, aku seorang Senopati senior di Daha, ternyata harus mati ditusuk bebungaan oleh seorang gadis buta," ujarnya lirih.Wirota mendekati tubuh Arya Rahu yang terbaring di tanah lalu memeriksanya"Dia sudah mati, Lipur, terimakasih atas bantuanmu. Tanpa bantuanmu aku tidak dapat mengalahkannya karena tubuhku masih lemah," ujar Wirota.Wirota tahu, gadis it
"Darimana kau tahu bahwa aku adalah Hantu Sungai?" Tanya nelayan itu."Patih Kebo Mudarang yang mengatakannya. Hantu Sungai, kau adalah seorang pembunuh bayaran handal, pencari jejak terbaik di negeri ini. Bahkan orang yang sudah lama hilang di gunung dapat kau temukan dengan mudah. Gusti Jayakatwang memintamu untuk.mencari Wijaya. Sejak pertempuran di Keputren, dia hilang bagai di telan bumi bersama 3 putri Kertanegara yang berhasil diselamatkannya. Jika kau bertemu Wijaya bunuh dia dan bawa ketiga puteri Keraton itu ke Daha! Berapa harga yang kau minta untuk pekerjaan itu? Kami akan membayarmu dengan bayaran yang tinggi!"Wirota terkejut mendengar permintaan pejabat Daha itu. Mendadak dia jadi waspada. Rupanya dia berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Aku harus berhati-hati dengannya, pikir Wirota.Pria yang dipanggil dengan sebutan Hantu Sungai itu kemudian berkata"Mengapa kau sangat yakin bahwa aku bersedia melakukan pekerjaan itu?" Tanya Nelayan itu.Pejabat Daha itu tampak tert
Nelayan itu kembali terkekeh sembari berkata"Oh, jadi Ki Sanak sudah sedari tadi mendengar percakapanku dengan orang itu?"Wirota tampak salah tingkah ketahuan menguping"Maaf Ki Sanak, aku tidak sengaja mendengarnya," kata Wirota sambil menundukan kepala.Nelayan masih mendayung perahunya melewati tepian Kali Mas anak sungai Berantas menuju pelabuhan sungai. Mereka melewati tepian hutan yang sepi, jarang ada perahu yang lewat disitu, Mendadak terbersit pikiran burukTempat ini sepi, bagaimana jika dia membunuhku di sini? Batin Wirota."Aku memang seorang pembunuh bayaran yang hina, tetapi dalam meilih sasaran, aku selalu memilih orang-orang yang memang jahat dan pantas untuk dibunuh. Para pejabat Singasari, Daha, Gelang-Gelang dan wilayah-wilayah di Singasari sering menggunakan jasaku untuk menyingkirkan lawan politiknya dalam perebutan jabatan atau menutupi skandal mereka. Jika lawan mereka adalah pejabat jahat atau orang jahat, aku mau membunuhnya. Tetapi jika lawan mereka orang b
Perempuan itu usianya sekitar 30 tahunan, dia menggenggam sebilah pedang menghadang Nelayan."Ada apa lagi? Aku tak mengenalmu lagipula aku tidak mau berurusan dengan perempuan," kata Nelayan sambil beranjak pergi.Perempuan itu tampak marah, dia mengejar Nelayan dan berkata"Kau telah membunuh suamiku, jadi aku harus membunuhmu!"Nelayan tertegun lalu berbalik dan berkata"Seharusnya kalau kau mau balas dendam, bukan kepadaku karena aku hanya pembunuh bayaran, sebaiknya kau tanya saja pada kepala desa dan para penduduk di kampungmu. Mengapa mereka membunuh suamimu."Nelayan kembali berjalan menuju tepi sungai.Perempuan itu tampak terkejut dan mengejar Nelayan"Hei tunggu, tapi aku tetap harus membunuhmu dahulu!" Seru perempuan itu sambil mengayunkan pedangnya ke arah kepala Nelayan.Walaupun di serang dari belakang, namun Nelayan seolah seperti memiliki mata empat dengan dua mata yang lain di belakang kepalanya. Dia hanya menggeser tubuhnya sedikit menghindari sabetan pedang wanita
Ketika sosok penolong itu berbalik masuk ke kedai makan, Wirota terkejut ketika melihat wajahnya“Gusti Wijaya,” sapanya ketika orang itu berpapasan dengannya.Wijaya terkejut melihat Wirota“Kau ternyata masih hidup? Ketika kami tiba di desa Kudadu, aku menunggu kedatanganmu, tetapi kau tidak kunjung datang. Akhirnya kami terpaksa meninggalkanmu karena kami juga tidak bisa lama-lama di Kudadu, Gajah Pagon tidak kami ajak di Madura karena kakinya terluka parah.”“Oh, jadi Gusti Pagon tidak ikut? Lalu siapa pemuda Madura yang bersama anda tadi?” Tanya Wirota.“Dia Ranggalawe putra dari Aria Wiraraja, dia yang akan membantuku selama di Jawa.”Wijaya kemudian memanggil Ranggalawe yang masih mengobrol dengan Lembu Sora“Lawe, kemarilah, aku kenalkan kau dengan salah satu prajurit terbaikku!”Ranggalawe menghentikan pembicaraannya dengan Lembu Sora dan menghampiri Wijaya.“Wiro, dia Ranggalawe putera Aria Wiraraja, kuharap kalian bisa bekerjasama dengan baik,” kata Wijaya.“Rahayu Ndoro
Jayakatwang tampak memikirkan ide Wijaya untuk mengelola Alas Tarik. Dia memang gemar berburu, ketika Wijaya mengemukakan ide untuk mengelola wilayah hutan untuk ajang berburu agar menjadi lebih nyaman, seketika Jayakatwang menyetujui idenya.“Baiklah Wijaya, aku setuju kalau kau mengelola Alas Tarik menjadi hutan wisata berburu yang nyaman. Dengan demikian jika berburu aku tidak perlu repot-repot membawa tenda dan perbekalan.”“Tentu saja Gusti Prabu, di sana kami juga akan membuat perkebunan dan sawah untuk kebutuhan makan anda dan para peserta perburuan,” kata Wijaya berusaha meyakinkan Jayakatwang.“Kapan kau akan mulai babat Alas Tarik?” Tanya Jayakatwang.“Secepatnya Gusti Prabu.”****Keesokan harinya Wijaya dan para pengikutnya sudah meluncur menuju Alas Tarik. Wijaya segera mengirimkan surat kepada Aria Wiraraja di Madura meminta bantuan tambahan orang untuk membuka Alas Tarik dan membuat desa di sana. Ranggalawe berangkat ke Madura membawa surat dari Wijaya untuk ayahnya.S
Wirota terkejut mendapati Nelayan mengetahui semuanya“Darimana kau tahu semua cerita tentang Wiraraja, masalah Wiraraja bekerjasama dengan Jayakatwang tidak semua orang tahu akan hal itu.”Wajah Nelayan tampak berubah geram, pandangannya menerawang jauh“Jika Wiraraja bisa menjaga mulutnya yang berbisa dengan tidak membujuk Jayakatwang untuk memberontak, Prabu Kertanegara dan ayahku Raganatha tidak perlu gugur dalam upaya mempertahankan Kerajaan Singasari dari serangan Jayakatwang. Tidak masalah bagi ayahku diturunkan pangkatnya yang semula Rakryan Patih menjadi Adhyaksa. Walaupun sepanjang karirnya Prabu Kertanegara jarang mau mengdengarkan pendapatnya dan cenderung kurang menghargai pengabdiannya, namun dia tetap mengabdikan dirinya pada Prabu Kertanegara di saat-saat terakhirnya hingga titik darah penghabisan dan tak pernah berpikir sedikitpun untuk mengkhianatinya. Sedangkan Wiraraja, hanya diturunkan pangkat satu tingkat saja sudah kebakaran jenggot. Masih untung dia mendapat ja
Semua orang bertepuk tangan, mereka setuju dengan nama itu.“Ya…ya nama itu memang cocok untuk tempat ini. Alas Tarik ini memang banyak ditumbuhi buah maja yang pahit dan memabukan!”Dyah Wijaya memang pintar mengambil hati para pendatang yang masuk ke Alas Tarik. Selama berada di Alas Tarik, Wijaya juga menghimpun kekuatan bersama para penduduk desa Majapahit. Khususnya para rakyat yang datang dari Daha dan Tumapel yang masih loyal pada mendiang Prabu Kertanegara. Jika malam tiba, dia sering berkomunikasi dengan para pendatang yang bermukim di tempat itu dengan duduk di singgasana dari batu putih itu sementara para penduduk desa Majapahit dan para prajuritnya duduk mengelilinginya dengan api unggun di tengahnya.Para pendatang itu juga diberi nama julukan sesuai dengan penampilan fisik atau karakter mereka. Misalnya seorang wanita beranak lima diberinya nama Sudeksa, orang yang pemberani diberi nama julukan Jagawastra. Orang yang matanya besar dan melotot diberinya nama Agrapawala. D