Gajah Pagon maju ke depan dan berkata"Gusti Prabu, saat ini begitu banyak masalah yang kita hadapi, kami sudah lama mencurigai Arya Rahu. Dia sebenarnya adalah telik sandi dari Gelang-gelang. Kami telah memata-matai pergerakan Arya Rahu dan kami menemukan bukti bahwa memang benar dia bekerjasama dengan Jayakatwang."Sontak semua orang di paseban geger, mereka hampir tak percaya, Arya Rahu yang juga sudah banyak berjasa bagi Singasari tega menjadi mata-mata pemberontak. Orang masih bertanya-tanya motivasi Arya Rahu menjadi mata-mata Jayakatwang. "Baiklah Pagon, kumpulkan bukti keterlibatan Arya Rahu dengan Jayakatwang sambil melakukan patroli malam di kampung-kampung dan kota di wilayah Singasari bekerja sama dengan penduduk setempat!" Perintah Kertanegara.Kali ini Kertanegara mulai percaya bahwa Jayakatwang telah merencanakan sebuah pemberontakan. Hatinya geram manakala menyadari dirinya sudah ditipu mentah-mentah oleh sepupu, ipar sekaligus besannya."Terkutuklah kau Jayakatwang,
"Ya, aku ingat ada yang berkata seperti itu. Kurasa lebih baik kita mencari sarang gerombolan itu dan menghabisi mereka," kata Wiragati."Coba kita cari petunjuk tentang mereka," kata Wirota sembari menggeledah mayat para perampok.Mereka bertiga mulai menggeledah, namun tidak ada petunjuk apapun yang ditemukan kecuali kantong-kantong uang milik para perampok."Ki Sanak, apakah mereka sudah mati?" Tanya Kepala Desa itu dengan takut-takut."Ya, mereka sudah mati, tolong besok kuburkan mereka di pasetran, Besok pagi kami harus segera kembali ke ibu kota untuk melaporkan semua ini. Ini uang untuk pemakamann mereka," kata Wiragati sambil memberikan sejumlah uang.Wirota menghampiri keluarga korban perampokan lalu memberikan kantong uang yang dikumpulkannya dari para perampok tadi. "Ki Sanak, ambilah uang ini dan pakailah untuk biaya berobat," kata Wirota.Bapak tua dan seorang pemuda tadi mukanya sudah bengep, badannya babak belur di hajar perampok. Bapak tua itu menerima uang dari Wiro
Seorang pemuda maju mengajukan diri, dan berkata"Kepala Desa, saya bersedia pergi ke Singasari menghadap Gusti Prabu Kertanegara dan melaporkan serangan pasukan Gelang-gelang.""Perjalanan ini cukup beresiko. Jika terjadi sesuatu pada dia, masih ada orang yang bisa menyampaikan berita ini kepada Gusti Prabu!" Kata Kepala Desa. Tak lama kemudian 2 orang pemuda desa maju mengajukan diri mereka"Kepala desa, kami bersedia melakukan perjalanan ke Singasari menghadap Gusti Prabu Kertanegara untuk melaporkan keadaan ini. Tapi kami memerlukan kuda agar dapat melakukan perjalanan lebih cepat."Kepala desa merasa lega karena akhirnya ada yang bersedia pergi meminta bantuan ke Singasari."Masalah kuda gampang, ada beberapa.penduduk yang bersedia meminjamkan kudanya. Segeralah menghadap dan berhati-hatilah, banyak musuh yang sedang mengincar kita ketika keluar dari sini!" Kata Kepala desa. Para pemuda itu segera mengambil kudanya dan menghela kudanya pergi ke Singasari. Sementara itu Bango
"Bersiaplah, kita akan menyerang ke Singasari dan membuat kekacauan di sana. Setelah mereka berhadapan dengan kita, segeralah lari, tunggu aba-abaku untuk kembali ke Daha."****Setelah Wijaya dan Ardharaja pergi menghadang musuh yang masuk ke kota, Patih Kebo Anengah berkata"Gusti Prabu, sebaiknya Gusti Ardharaja tidak perlu ikut dalam penyerbuan ke Memeling. Aku yakin pasti dia tetap membela ayahnya. Coba jika mereka yang menang, apakah Jayakatwang masih bersedia mengampuni anda? Lagipula aku sempat melihat keraguan Ardharaja ketika anda memerintahkanhya memerangi ayahnya," ujar Kebo Anengah pada Kertanegara.Mendengar perkataan Kebo Anengah, Kertanegara mulai merasa kuatir. Bagaimana jika mereka sampai kalah dari Jayakatwang? Maukah Jayakatwang mengampuninya jika mereka sampai kalah? "Ya, entah mengapa perasaanku tidak enak, perang kali ini berbeda dari biasanya. Seharusnya aku mewaspadai juga situasi di dalam negeri dan tidak mengirim terlalu banyak prajurit ke Swarnadwipa."A
Di sebuah lembah, rombongan pasukan Wijaya dan Ardharaja tidak bertemu musuh. Mereka beristirahat sebentar sambil makan bekal. Saat itu Wirota, Banyak Kapuk dan Lembu Sora merasakan keanehan dalam peperangan itu."Paman Kapuk, menurutku serangan ini aneh, tidak mungkin jika mereka ingin melakukan pemberontakan mengirimkan pasukan yang menurutku bukanlah pasukan unggulan Gelang-Gelang. Lihat saja cara mereka bertarung, setelah menggebuk, mereka akan larii ke utara, seolah berusaha menjauhkan kita dari Singasari. Jika kita berhenti menyerang, mereka tiba-tiba muncul di depan kita dan memancing kita untuk menjauh ke utara," ungkap Wirota.Banyak Kapuk tertegun, apa yang dikatakan Wirota sesuai dengan yang dipikirkannya"Kau benar, aku juga merasa aneh dengan serangan itu, sekarang kita sudah jauh dari kota Singasari dan tak ada satupun musuh di sini," ujar Banyak Kapuk."Bagaimana jika kira sampaikan pada Gusti Wijaya agar kembali saja ke Singasari, saya kuatir kalau ternyata pasukan Gel
Kertanegara tertegun, kali ini di saat-saat terakhir baru dia menyadari nasehat anak buahnya yang selama ini selalu mengingatkannya tentang rencana pemberontakan Jayakatwang adalah benar adanya.Dengan suara lirih dia turun dari bale-balenya dan berkata"Baiklah Raganata, kita akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Tapi suruh seorang abdi menyusul Kebo Anengah yang sedang pergi ke Desa Mameling untuk kembali kemari."Wirakerti segera menyuruh seorang abdi untuk menyusul Kebo Anengah yang sedang dalam perjalanan menuju desa Memeling. Raganata, Wirakerti dan Angragani akhirnya merasa lega melihat Kertanegara bersedia mengikuti nasehat mereka. Berempat mereka menghunus pedang siap menghadapi musuh."Monggo Gusti Prabu, kita berangkat ke medan perang," kata Patih Angragani.Baru kali inilah nasehat Raganatha didengar dan diikuti oleh Kertanagara. Setelah itu bersama-sama Kertanegara, mereka pergi ke bale Manguntur menyongsong kedatangan musuh. Kini sudah tidak ada lagi rasa takut
Ke empat putri Kertanegara yaitu Tribuaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi dan Gayatri menangisi kematian ibundanya. Para abdi segera merawat jenazah Dewi Bajaraka untuk dimakamkan sementara di halaman Keputren. Ke empat anaknya merasa sedih melihat kematian ibundanya yang tragis, mereka tidak mungkin dapat menyelenggarakan upacara perabuan yang layak untuk menyempurnakan kepergian Dewi Najaraka ke alam kelanggengan. Apalagi mereka sudah mendengar bahwa Kertanegara sudah dibunuh oleh Kebo Mudarang. Kini hanya tersisa dendam membara di dada mereka terhadap Jayakatwang dan antek-anteknya.Selagi mereka berduka cita menangisi kematian ayah ibunya, tiba-tiba Kebo Mudarang menerjang masuk halaman luar Keputren. Suasana keputren menjadi semakin mencekam. Para penario Apsara, selir dan para puteri keraton yang lain berteriak ketakutan, bersembunyi takut dijadikan pelampiasan nafsu prajurit Jayakatwang.Kebo Mudarang dan pasukannya menggedor pintu gerbang Keputren, Gayatri si bungsu yang te
Sejak di lembah tadi terlihat Ardharaja hanya diam dan lebih banyak merenung, dia sepertinya menghindari terlalu banyak perbincangan dengan regu pasukan Wijaya dan memilih menyendiri. Wirota mulai merasakan adanya firasat buruk tentang Ardharaja namun dia tak berani menyampaikan langsung kepada Wijaya. Dia hanya berkeluh kesah dengan Lembu Sora dan Gajah Pagon atasannya. "Sepertinya Gusti Ardharaja lebih banyak diam dan menghindari percakapan dengan kita, saya takut dia mulai berpikir untuk berkhianat," kata Wirota. Gajah Pagon menoleh ke arah Ardharaja, benar apa yang dikatakan Wirota, putra Jayakatwang itu tampak tak bersemangat dan sedih. Ardharaja sedang dilanda kebimbangan antara membela mertuanya atau membela ayahnya, Dia menyesal telah ikut dalam peperangan ini, Seharusnya aku mengikuti nasehat Romo Kertanegara agar menyingkir pergi dari peperangan ini dan bersikap netral tidak membela Singasari maupun Gelang-Gelang, sesal Ardharaja dalam hati. Saat itu tibalah mereka di des
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria