Part 15 (Bertemu Denganmu?)**** Keesokan paginya, Iden mendapatkan pesan dari Mauren. Hal sekecil itu membuat lengkungan tipis di sudut bibirnya terukir. Ia seperti orang yang mendapat undian berupa mobil. [Mas, kita bisa ketemu hari ini?] Begitulah kira-kira pesan yang Mauren kirim. Iden terlonjak, ia segera mengirim pesan balasan. Tidak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Aneh, dia yang tidak cinta, dia pula yang menahan rindu yang menyesakkan dada. Apa ini yang orang bilang, cinta datang terlambat. Ah, semoga ini bukan cinta. [Bisa.] Cukup lama Iden menunggu balasan dari Mauren. Ia menyeruput kopi sambil mengusap punggung si kecil yang ada di pangkuannya. Ting! [Di rumah kita, bawa anak kamu. Aku pengen kenalan. Cuma kita bertiga, jangan bawa siapa-siapa lagi selain putrimu.] Iden tersentak, ia memicingkan matanya. [Maksudnya, aku cuman boleh bawa Dea?] [Iya. Kalau kamu gak mau juga nggak pa-pa.] [Bukan begitu, Mas akan pulang ke rumah kita.] [Oke.] Balas Mauren c
Part 16 (Helaian Rambut Dea) ****Iden mendekat, ia mengikis jarak yang ada. Membuat Mauren lebih mudah mengamati bayi tersebut. Hasil buah hatinya bersama Sheri. Tidak ada yang mirip dengan Mas Iden, hidungnya, pipinya, alisnya, entah mengapa mata anak ini mengingatkanku pada Boy. Dia sahabat Mas Iden. Pikir Mauren. "Ren." Perempuan itu tersentak, lalu menyudahi lamunannya. "Kamu kenapa?" tanya Iden khawatir, pasalnya Mauren dari tadi diam saja sambil terus memandangi putrinya. "Aku nggak pa-pa, Mas," jawab Mauren. Iden mengembuskan napas, ia senang bisa bertemu Mauren. "Kamu gak kangen sama suamimu? Biasanya setiap hari kamu nempel terus?" Entah pertanyaan macam apa yang Iden ajukan. Mauren ingin memuntahkan isi perutnya mendengar hal itu. Demi Tuhan, bisa-bisanya Iden bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa pun padanya, dan juga hatinya ini. Bahkan luka yang Iden gores padanya masih basah, belum kering. "Itu dulu," "Apa bedanya dengan sekarang Mauren. Kamu ma
Part 17 (Secuil Perhatian)***"Mas harus pulang sekarang, ini Sheri nanyain Dea," ujar Iden membuat Mauren menoleh. "Ya sudah sana pulang," jawab Mauren. Iden menghela napas, lalu membuangnya perlahan. Berharap Mauren akan menahannya lebih lama lagi. Tapi apa kenyataannya, Mauren seakan tak perduli padanya. Perempuan itu bahkan terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya pada Iden. Secepat ini Mauren berubah. Istri pertamanya tak lagi sehangat dulu. Senyum menggembang tak lagi terukir dari sudut bibirnya. "Mauren—""Aku tidak akan menahanmu Mas, silakan lakukan apa yang kamu mau. Aku sudah tidak perduli," ungkap Mauren. Jantung Iden seakan berhenti berdetak, ia memalingkan muka, perasaannya makin tak karuan. Hanya itu yang Mauren ucapkan, namun berhasil membuat hatinya berdenyut nyeri. Perempuan itu bangkit dari duduknya, membantu Iden mengemasi barang-barang bawaannya. Terkadang manusia cepat sekali berubah. Hari ini kamu segalanya, besok kamu bukan lagi prioritas."Mas pesan
Part 18 (Amarah Yang Membara!) *** "Bagaimana kabarmu, Mauren?" tanya Andriansyah. Mereka sekarang ada di warung soto dekat rumah Mauren. "Kabarku baik. Aku dengar Kakak beli rumah?" Andriansyah menganggukkan kepala. "Iya, Kakak baru beli rumah. Meli bilang belum mau punya anak kalau kami masih tinggal dikontrakkan. Tapi setelah punya rumah, dia kelihatan ragu," jelasnya. Beberapa saat Mauren diam, dia menatap Andriansyah kasihan. "Oya Mauren, maaf, kakak mau tanya. Benar kalau Iden menikah lagi?" Andriansyah bertanya pada Mauren. Mereka sudah lama saling kenal, bahkan Andriansyah menganggap sudah Mauren seperti adiknya sendiri. "Iya, Mas Iden menikah lagi." "Jadi wanita yang tinggal di rumah Ibu itu istri kedua Iden?" "Iya, Kak." Andriansyah menarik napas, ia memperbaiki posisi duduknya yang terasa tak nyaman. "Maaf." "Untuk apa? Kakak tidak bersalah?" "Kakak tidak tahu, Meli menyembunyikan hal sebesar ini dariku." Iden menyeruput es jeruk yang ia pesan tadi. Ia memalin
Part 19 (Pertengkaran Hebat!) *** "Jelaskan foto-foto itu sekarang! Apa benar, kamu telah mengugurkan kandunganmu?!" Bagai disambar petir, sekujur tubuh Meli membeku. Tulang persendian perempuan itu melemas, Andriansyah dengan kasarnya melempar foto tersebut padanya. "Jawab, Mel!" hardik Andriansyah dengan suara menggelegar. Meli membisu, mulutnya seketika keluh. Jantungnya seakan berhenti berdetak. "Kenapa kamu diam saja? Kamu tega melenyapkan darah dagingmu sendiri? Kenapa kamu tidak bilang saja padaku, kalau kamu tidak Sudi punya anak dariku?" Tanpa aba-aba buliran bening meluncur dari pelupuk mata Meli. Perempuan itu menutup mulutnya dengan telapak tangan, syok lantaran suaminya telah mengetahui rahasia yang selama ini ia tutupi. "Maksud kamu apa Andriansyah? Meli tidak hamil, jangan menuduh anakku yang macam-macam. Mana mungkin anakku mengugurkan kandungannya. Kamu ini ngaco saja!" bentak Ibu Meli. Andriansyah tertawa kecil, ia berjalan mengitari Meli, lalu berhenti tepa
Part 20 (Obrolan Ditengah Heningnya Malam) *** "Kamu sudah coba hubungi suamimu, Mel?" tanya Sani. "Sudah, Bu, tapi belum di angkat," jawab Meli lesu. Ini sudah kesekian kaliannya Meli mencoba menghubungi suaminya. Pasalnya, sampai larut malam Andriansyah tak juga pulang ke rumah. Entah kemana perginya pria itu. Meli benar-benar khawatir. Ini untuk pertama kalinya Andriansyah tidak memberinya kabar. "Bu, aku takut. Bagaimana ini jika Andriansyah benar-benar menceraikanku," lanjutnya. Sani beranjak bangkit, ia merengkuh pundak putrinya. "Berpikir positif, mungkin Andriansyah butuh waktu." "Iya Kak, biarkan dulu beberapa hari. Aku yakin, Kak Andriansyah akan kembali pada Kakak," sahut Sheri sambil mengusap punggung kecil Dea. Ia datang ke sini lantaran Iparnya menangis meminta Iden untuk mencari suaminya. "Tapi Sher—" "Benar apa yang Sheri katakan, jangan terlalu kamu pikirkan. Harusnya Andriansyah mengerti alasanmu. Ini masalah kecil, suamimu saja yang lebay." Sani berujar sa
Part 21 (Jadi, Dea?) 1 jam berlalu, mobil yang dikemudikan Andriansyah akhirnya berhenti di depan gedung 'Pengadilan Agama'. Pria itu sudah memantapkan diri untuk menceraikan Meli, istrinya. Baginya, tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Meli sudah melenyapkan darah dagingnya, dimatanya, kesalahan yang wanita itu perbuat sudah sangat fatal. Meli bahkan tidak bisa menjadi Ibu yang baik. Mana ada Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri. "Kita sudah sampai, Kak." Mauren berujar sambil mengedarkan pandangan. Ia mengamati sekitar. Keadaannya masih sama seperti pertama kalinya ia datang ke sini seminggu yang lalu. Tidak banyak orang yang lalu-lalang—mungkin saja mereka staf yang bekerja di sini. Pikir Mauren. "Kamu tunggu di dalam mobil, tidak pa-pa kan?" "Tidak, Kak," jawab Mauren. Sesekali ia melirik Andriansyah yang diam-diam sedang menatapnya. Beberapa detik tatapan mereka beradu, sebelum Mauren membuang muka. "Terima kasih," ucap Andriansyah, ia sedikit memiringkan kepalanya. "Unt
Part 22 (Satu Langkah!) ***"Iden, Istrimu sudah pulang?" tanya Sani pada putranya. Wanita itu menghampiri Iden yang sedang mengurut pelipis. Iden menoleh. "Belum, Bu," jawabnya. "Buruan kamu telepon, suruh dia pulang. Ini Dea rewel banget," lanjut Sani, ibunya itu kewalahan menenangkan Dea yang terus saja menangis. Kalau dilihat-lihat dengan teliti, Sani merasa Dea ini tidak ada miripnya sama sekali dengan Iden. Hidung, dan alisnya mirip Sheri. Tapi matanya, entah mata siapa ini? "Buruan, Den." "Iya, Bu, ini aku telepon." Iden berkutat dengan ponselnya, ia mencari nomor Sheri, dan segera menghubungi istri keduanya itu. "Suruh pulang, pamitnya sebentar. Gak tahunya lebih dari 3 jam," keluh ibunya. Iden menghela napas, ia mendekatkan benda pipih tersebut pada telingannya. Lalu menjauh dari ibunya. "Ooh, cucu Nenek yang paling cantik. Jangan menangis lagi, sebentar lagi Mamamu pulang," tutur Sani. Wanita paruh baya itu mengintip dari balik jendela, mereka masih berada di rumah b
Ending (Akhir Yang Bahagia) Waktu terus berlalu, hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan, dan seterusnya. Setelah menunggu hampir lebih dari tiga bulan. Perempuan itu akhirnya memantapkan diri menjatuhkan pilihan pada Andriansyah. Dan hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan di salah satu hotel bintang lima. Mauren tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Ia senang sekaligus gugup. Hatinya berbunga-bunga, momen sakral yang dulu pernah ia rasakan kini terulang kembali, dan tentunya bersama dengan pria yang takut kehilangan dirinya. Selama menunggu masa Iddah selesai, Mauren dan Andriansyah semakin dekat. Mereka kian lengket. Siapa sangka, yang awalnya hanya menganggap layaknya adik-kakak. Kini mereka telah melangkah ke jenjang pernikahan. Status mereka berubah. Andriansyah berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga dan menyayangi Mauren dengan segenap hati dan jiwanya. Bismillahirrahmanirrahim. "Saya nikahkan dan saya kawinnya engkau Andriansyah Nugroho dengan anak saya, M
Part 38 (Restu Dan Kabar Kematian) "Andriansyah, apa benar kamu melamar putriku?" tanya Bram, pria itu melipat kedua tangannya sambil bersandar pada kursi. Ia memanggil Andriansyah ke ruangannya karena desakan dari sang istri. Pasalnya, sepulang dari apartemen Andriansyah, Mauren terus tersenyum. Putrinya itu terlihat sedang berbunga-bunga dan dimabuk asmara. Membuat hati Bram menghangat melihat Mauren perlahan bangkit dari keterpurukan. Meski putrinya harus tertatih dalam membuka hati dan berdamai dengan luka lamanya. Its okey, semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. "Benar, Pak." Bram memicingkan mata, ia menatap Andriansyah dengan tatapan tajam. Pria itu sudah siap mengajukan banyak pertanyaan pada calon menantunya. Mauren bilang ia nyaman, sementara Andriansyah sendiri sudah beberapa kali meminta putrinya untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, Bram tetaplah Bram. Dia berkaca dari apa yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu. "Kamu yakin dengan keputusanmu? Mengi
Part 37 (Di atas Kebahagiaan Masih Ada Derita) Mauren menelepon Venya, ia menceritakan masalahnya mulai dari A sampai Z. Termaksud kegelisahanya mendapati Andriansyah baru beberapa menit yang lalu melamarnya. "Jadi begitu Ma, aku bingung harus jawab apa?" Mauren menarik kursi, ia menunggu air mendidih. "Kamu nyaman tidak sama dia?" tanya Venya. Sesaat Mauren terdiam, perempuan itu menopang dagunya dengan tangan kanan. "Jujur sama Mama, kamu nyaman sama Andriansyah atau tidak?" Venya mengulang pertanyaan, Mauren mengangguk kecil. "Nyaman Ma." "Menurut kamu Andriansyah itu orangnya seperti apa?" Mauren merasa Venya seperti sedang mengintrogasinya sekarang. Memberi pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal. Apa coba maksud Mama bertanya seperti itu padaku? gerutu Mauren dalam hati. "Mauren," "Menurut pandanganku yah Ma, Andriansyah itu orangnya baik. Dia bertanggung jawab, terus pekerja keras. Dan aku lihat, dia setia kok orangnya," ungkap Mauren. Venya menahan senyum, ia men
Part 36 (Isi Hati?) Sore itu Mauren mengunjungi apartemen Andriansyah. Ia mengantar kue kering titipan Venya. Dan langsung syok mendapati Andriansyah sakit. Punggung tangan Mauren bergerak menyentuh kening Andriansyah. Seketika hawa panas bercampur dingin menyapa permukaan kulitnya. Dia demam? "Kakak demam, kita ke rumah sakit ya," usul Mauren. Andriansyah yang menggigil dibalik selimut menggelengkan kepala. Pria itu tak punya tenaga untuk sekadar bangun, tubuhnya benar-benar lemas. Belum lagi wajahnya yang pucat. Dan hawa panas menyerang tubuhnya secara tiba-tiba. "Kakak sudah minum obat?" tanya Mauren. Andriansyah menoleh, sekali lagi ia menggeleng lemah. Menggigit bibirnya sambil meringis. "Kenapa belum minum obat? Kakak sudah makan belum?" Berbagai pertanyaan Mauren lontarkan. Tidak ada jawaban membuat perempuan cantik itu kalut. Rasa khawatir datang membabi-buta, sebelumnya ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Apa mungkin Andriansyah sakit karena kehujanan, dan
Part 35 (Karma Untuk Sheri?) Kini Andriansyah dan Meli telah dinyatakan resmi bercerai. Baru beberapa menit yang lalu hakim persidangan mengetuk palu, membuat ikatan diantara mereka terputus. Meli menangis, ia tidak sanggup lagi membendung kesedihannya. Ingin sekali Meli menahan Andriansyah. Tapi apa daya, lihatlah dirinya, ia bahkan harus duduk di kursi roda, tidak bisa bicara. Jangankan melontarkan sepatah dua patah, untuk bergerak saja Meli kesusahan. Kenapa Andriansyah pergi meninggalkannya? Kenapa ia tega mengakhiri hubungan mereka di saat kondisinya seperti ini? Kenapa. Kenapa dan kenapa? Andriansyah menoleh ke kiri, bertepatan dengan Meli yang masih memandangnya. Tatapan mereka bertaut, Meli ingin marah. Tapi kondisinya membuatnya kesulitan. Semesta seolah sedang menghukumnya, takdir macam apa yang sekarang ia jalani. Hakim persidangan bangkit setelah mengatakan sidang hari ini selesai. Menyisakan keheningan di antara mereka berdua. "Maaf Mel, semoga kamu bisa menerima
Part 34 (Jantungku Berdebar Saat Aku menatapmu?) Malam itu Bu Sani mencoba menghubungi Andriansyah. Ia mendapatkan nomor Andriansyah dari Iden. Ia tidak tega melihat putrinya, sepanjang hari Meli menangisi pernikahannya yang ada di ujung tanduk. Sayang, kalimat maaf yang keluar dari mulut Bu Sani tidak mampu membuat menantunya luluh. Sidang perceraian mereka tetap akan dilangsungkan besok di pengadilan agama. Mau tak mau, Meli harus menerima kenyataan ini bahwa pernikahan mereka cukup sampai di sini. "Andriansyah Ibu mohon, jangan tinggalkan Meli. Kasihan dia, dia butuh kamu, Nak." Sambil berlinang air mata Bu Sani mengatakannya. Andriansyah berdiam diri, ia tidak menanggapi penuturan Bu Sani. Mertuanya itu tidak pernah mencoba memahami dirinya. Apa pun kesalahan Meli, di mata Bu sani tetaplah benar. Lagi pula untuk apa ia mempertahankan hubungannya dengan Meli, jika bukan Meli yang bertakhta di hatinya. "Tolong Andriansyah, Meli membutuhkanmu. Dia mencintaimu, maafkan putriku. S
Part 33 (Dia Menalakku?) Terhitung sudah tiga hari Meli berada di rumah sakit, kini perempuan itu sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Selama ia berada di sana, sekali pun Andriansyah tidak pernah datang menjenguknya, membuatnya kalut dan dihantui oleh rindu yang menggebu-gebu. "Pelan, pelan, Den," ucap Bu Sani. Iden menganggukkan kepala, dengan hati-hati pria itu mendudukan kakaknya di jok belakang. "Kakak jangan menangis lagi, apa pun yang terjadi. Ini lah yang terbaik." Iden mengusap bekas air mata di pipi Meli. Kakak perempuannya itu masih belum bisa menerima keputusan Andriansyah, masih ada secuil harapan Andriansyah akan datang kembali padanya. Memeluknya, dan mengatakan, kita akan mulai semuanya dari awal. "Kamu harus kuat Mel, Ibu akan rawat kamu sampai sembuh. Kamu bisa, Nak." Bu Sani menyahut, wanita itu lantas ikut masuk ke dalam mobil. Merangkul pundak putrinya. Ia bisa merasakan sakit yang putrinya rasakan. Ibu mana yang tidak terluka, mendapati anaknya seperti bosan
Part 32 (Pemohonan Rujuk!) Andriansyah duduk menghadap Iden, posisi mereka hanya terhalang oleh meja berukuran sedang. "Ada apa, Iden?" tanya Andriansyah tanpa basa-basi. Tidak ada senyuman, tampangnya benar-benar dingin. Iden mengangkat kedua tangannya di atas meja. Gurat kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Banyak beban yang kini Iden pikul, semenjak berpisah dengan Mauren ia kehilangan arah, kehilangan tempat bersandar. Parahnya ia harus menerima kenyataan kalau Sheri ternyata selingkuh dengan sahabatnya, dan Dea bukan putrinya. Belum lagi masalah kakaknya, dan Ibunya yang kini harus berbaring di rumah sakit. "Kenapa Abang ceraikan Kak Meli?" Andriansyah mendongak, ternyata benar dugaannya. Iden belum mengetahui alasannya mengunggat cerai Meli. Perempuan itu. Ujar Andriansyah gemas. "Apa Ibu dan Kakakmu tidak cerita?" Alih-alih akan menjawab, Andriansyah justru melemparinya dengan pertanyaan. Kening Iden mengernyit heran, ia menggeleng cepat. "Ibu tidak cerita apa-apa pada
Part 31 (Menjilat Ludah?)[Bang, siang ini ada waktu luang tidak. Aku ingin mengajak Abang ketemuan?]Andriansyah berdiam diri beberapa saat, ia baru saja mendapatkan pesan dari adik iparnya yang mengajaknya bertemu. Iden menghubunginya melalui aplikasi berlogo biru. Dan hal itu membuatnya cukup terkejut. Sepertinya permasalahannya dengan Meli telah merambat kemana-mana. Atau bisa jadi, Meli tidak menceritakan kebenaran pada adiknya. "Ada apa Kak?"Andriansyah mendongak, pandangan matanya bertemu dengan mata Mauren yang teduh. "Ini mantan suamimu ngajak Kakak ketemuan."Mata Mauren memicing, ia mencondongkan tubuhnya sedikit. "Untuk apa?""Palingan juga bahas Meli.""Temui saja, selesaikan masalah ini baik-baik.""Adikku yang manis, kamu pengertian sekali."Dengan gemas Andriansyah mencubit pipi Mauren. Jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa ia selalu merasa nyaman saat berada di dekat mauren. "Kakak akan temui Iden, kamu temani ya?"Mauren mengangkat wajahnya, ia mengunyah ku