Langit jingga telah memudar perlahan menjadikan sebagian permukaan bumi gelap gulita, berbekal akal manusia yang kerap kali berguna jika tidak melibatkan ego. Penglihatan yang terbatas dalam kegelapan dapat teratasi dengan cahaya senter, cahaya lentera, api dalam obor, hingga listrik pun menjadi senjata utama manusia dalam kegelapan.Meski malam seringkali digunakan untuk terlelap dan mengistirahatkan badan, tidak jarang insan yang masih beraktivitas demi bertahan hidup atau sebagian lainnya yang kesulitan tidur. Malam masih tetap erat dengan hari yang menenangkan untuk terlelap, karena itulah aktivitas malam hari sangat dijaga agar tidak menimbulkan bising."Shh!" desis seorang pria yang sudah mengenakan ransel dengan gulungan kasur tipis di atasnya, menjadi yang terdepan untuk rencana melarikan diri dari desa mengerikan.Desa yang selama satu bulan terakhir ditinggali enam insan muda dari kota, satu bulan ini pula penuh dengan segala tekanan fisik dan siksaan batin. Dari hinaan, cac
"Kalau di sana rerimbun semak dan pohon beringin, ini jalanan yang lebih banyak batu kecil dan lubang, dekat sini harusnya ada pohon mahoni." Afrian memperhatikan keadaan sekitar sambil mengingat video yang dikirimkan dosen, guna mencari sepeda yang disembunyikan oleh pendidik mereka untuk membantu proses melarikan diri."Itu," tunjuk Erwin melihat pohon mahoni sekitar lima meter sebelah kiri dari tempat mereka berada.Menoleh cepat Afrian mengikuti arah jari Erwin menunjuk, setelah ia mengangguk berlari enam insan itu menuju pohon mahoni. Lokasi persembunyian sepeda yang dibawakan dosen, rasa gembira kian memenuhi pikiran dan hati, menciptakan suasana hati positif yang selama satu bulan terakhir tidak mereka rasakan."Lah ... mana?" tukas Erwin saat tidak mendapati keberadaan sepeda sesuai video yang dimilikinya, tidak mereka temukan keberadaan tiga sepeda yang terbaring di dekat semak rendah bawah pohon mahoni."Dimana, Af?" pungkas Desry merasa gelisah saat melihat Angga dan Erwin m
Huek ... Huek ... Eum!Kuat, sangat kuat asam lambung hendak mendorong sebagian hasil olahannya untuk kembali keluar. Sensasi perih pada perut, panas di kerongkongan, dan sesak pada area dada.Barisan mayat manusia ada di depannya kini, sebagian besar masih berbalut kulit yang sudah mengerut dan dikelilingi ratusan lalat beserta belatung maupun ulat. Jijik, sangat menjijikkan. Itulah yang dipikirkan wanita cantik bernama Vina.Enggan bertemu tatap dengan pria berperut buncit yang terus bertanya, lebih memilih untuk kembali ditutup mata dan disumpal mulutnya lagi dari pada harus berada di depan barisan mayat. Terpejam mata Vina sambil bernapas pendek guna menahan mualnya, namun kepekaan indra penciuman pada aroma takkan pernah bisa dibohongi."Enggak punya kuping ya kamu?" tukas pria itu menarik rambut panjang Vina, memaksa si mahasiswi untuk mendongak dan membuka matanya, namun tidak semudah itu untuk Vina melakukannya, "ah ... enggak guna!" seru pria bernama Danang Harja itu melepas
"Kalian bohong!" teriak Danang kembali mengayunkan rantai besi ke lantai, "anak muda zaman sekarang sudah bisa bohong," lanjutnya menunjuk enam mahasiswa secara bergantian.Membuat setiap insan muda yang ditunjuk itu menahan napasnya dan membuka mata lebar, setiap kali jari itu bergeser dan tidak lagi menunjuknya, mereka menoleh pada Vina yang masih saja terdiam membisu. Hal yang dilempar Afrian pada wanita jurusan psikologi kepribadian dan sosial itu tidak pada tempatnya, walau Vina tahu Afrian berhasil memulai permainan psikologi pada penderitanya, tapi bukan begini cara yang baik untuk melemparkan bagian lain."Enggak bohong kok," kata Vina sesaat sebelum dirinya ditunjuk, terlihat ia mengangkat sedikit kepalanya dan menatap tajam Danang dengan sorot mata penuh keyakinan. Selain memanipulasi dari permainan kata, dalam taktik menguasai lawan bicara juga harus memanfaatkan bahasa tubuh yang baik dan penuh percaya diri.Meski kini seolah sedang bertaruh dengan nyawa, berhadapan dengan
(6 bulan sebelum kedatangan mahasiswa KKN)Pedesaan pinggir pantai yang khas dengan aktivitas para pencari ikan dan kehidupan pedesaan yang terlihat normal, namun batas normal terhadap sesuatu hanyalah sebuah batas yang diciptakan pada suatu kebiasaan tertentu. Tidak tentu sikap dan tidak tentu arah, hanya sesuai berdasarkan keadaan setempat.Aktivitas pagi di desa pinggir pantai tidak terlepas dari bunyi mesin kapal yang menderu, kapal yang hendak berangkat maupun kapal yang sudah pulang saling bersahutan bunyi mesinnya. Mengangkat tangan kanan tinggi dan melambai seorang wanita bertubuh mungil sambil menggendong anak kecil dengan tangan kirinya, "dadah ke bapak sama abang, sayang," ucapnya pada putri kecilnya yang baru berusia empat tahun.Sedikit mengenal angka dan buta huruf wanita bernama Erina Handayani itu, tidak banyak yang bisa ia baca atau hitung selepas kematian ayahnya. Meski begitu, Erina terpaksa menerima kenyataan bahwa bagi warga desanya wanita tidak butuh ilmu semacam
Berlari seorang wanita melewati area rumahnya, napas menggebu yang tergesa terdengar setiap langkahnya membawa ia ke suatu tempat yang diinginkan. Langkah demi langkah cepat itu dihentikannya dalam sekejap sesaat usai dia melihat rumah kayu, rumah yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak dihuni, bangunan yang selalu memicu perdebatan dan pertengkaran fisik setiap kali dibersihkannya.Wajah tanpa ekspresi dengan mata yang dipenuhi air mata tertahan, memerahkan mata dan wajah secara menyeluruh. Diputarnya kunci di kenop pintu, bergegas masuk ke dalam rumah dan kembali menguncinya.Berjalan cepat wanita berbadan mungil itu ke ruang terpojok di rumah itu, berbaring asal dia dan merasakan sejuk kala sebagian kulit menyentuh langsung ke lantai kayu, "Ayah ...," lirihnya menatap kosong ke langit-langit ruangan, membiarkan air mata yang sedari tadi ditahannya membasahi pipi.Tangis sedu penuh duka dan rasa sakit hati, kebencian yang sedari kecil dipendam kini perlahan menjadi dendam yang men
"Enggak ... enggak mungkin, ini bukan Inah," tangis wanita desa semakin menjadi saat pimpinan desa di sebelahnya mengangguk, "Inah!" teriaknya terus memanggil nama sang anak, mendekap erat, sesekali menampar pipi, dan menciumi wajahnya tanpa ragu, hanya demi harapan kecil tercapai, sosok anak ini bangun lagi."Saya tinggal dulu ya, Rin. Mau kasih info ke yang lain kalau ada yang meninggal," ujar pimpinan desa itu berpamitan sebelum meninggalkan seorang ibu muda yang menangis, "eh kamu, enggak usah melaut dulu. Ke tambak udang saja sana, kasih tahu Agus sama Galih," teriaknya pada seorang pria muda di atas kapal."Ya!" teriak pria muda itu menjawab, dan bergegas meminta bantuan warga lain untuk membantunya mengeluarkan kapal.Di antara keramaian orang dan mesin kapal yang bersahutan, di antara kebisingan yang mengganggu telinga, dan di antara kesedihan dan emosi yang bersatu tidak padu. Erina masih mendekap anaknya dalam pelukan yang diharapkan nyaman, bersandar ia ke batu besar terdek
(3 bulan sebelum kedatangan mahasiswa KKN)Menyuap sisa makanan di piring tanpa ada lagi kenikmatan yang dirasa, mengunyahnya tanpa mengerahkan sedikitpun semangat, membuat satu suapan cukup memakan waktu. Didorongnya alat makan itu dengan salah satu kaki yang dirantai, dan membiarkan alat makan melewati pintu yang terbuka."Ibu ...," panggil seorang anak mengintip dari pinggir pintu yang terbuka, "ibu sudah selesai makan?" tanya anak bernama Galih Samudra itu, anak laki-laki berusia enam tahun yang sudah sekian lama tidak berjumpa dengan ibunya."Sudah," jawab seorang wanita dengan kondisi kedua tangan dan kedua kakinya terborgol, borgol yang terasa sudah lama melingkar di tangan dan kakinya itu juga diikat dengan tali ke tiang terdekat, membuatnya harus berada pada posisi tertentu, "sini masuk, kenapa intip-intip gitu? Nanti matanya bintitan loh," ucapnya pada si anak laki-laki itu."Ibu enggak makan aku, kan?" kata Galih kini berjalan tepat ke depan pintu, kedua tangannya terlihat
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba