Detik pada waktu terus berjalan, menit terus terganti menjadi jam, dan jam tidak kenal lelah untuk menjalani hari demi hari, yang bergantikan dengan pekan hingga menjadi bulan. Ramainya pembahasan tentang keberadaan desa mengerikan jauh di pelosok dari pinggir kota perlahan tenggelam, tidak lagi banyak dibahas terutama usai pemeriksaan dari pemerintah ke berbagai desa.Semua orang yang semula khawatir dengan lingkungannya, curiga dengan pola tingkah kepala desa dan pemimpin setempat, dan yang berprasangka buruk karena berita adanya Desa Metanoia. Sekarang telah kembali pada kehidupan seperti awal, bekerja dan beraktivitas harian sebagaimana masyarakat umum. Tidak lagi saling mencurigai atau menuduh, segala laporan berdalih kecurigaan di kantor polisi pun menurun dan kembali seperti semula.Begitulah kehidupan yang terus berjalan. Apapun yang telah terjadi pada siapapun, tidak akan dapat menghentikan atau mengendalikan dunia dengan segala hal yang dimiliki."Ah ... gue enggak sangka, p
"Pekan depan sudah bisa jadi pemeriksaan terakhir gue, karena tadi katanya kondisi gue sudah cukup stabil, jadi enggak dikasih obat," oceh seorang wanita berkulit putih pada teman-temannya.Melangkah bersama menuju taman rumah sakit yang dihiasi berbagai tanaman dan pohon berbunga, langit biru cerah terlihat menenangkan yang didukung kicauan burung sekitar. Meski rumah sakit ini berada di pusat kota, tapi penghijauan di sekitar dan di area rumah sakit kerap kali menjadi titik pertemuan berbagai burung-burung kecil.Terangkat kedua tangan kekar pria yang akrab disapa Angga, direnggangkan kecil otot-otot tangan yang dirasa cukup kaku, "ikut senang deh," katanya terkekeh ringan menanggapi ucapan wanita cantik di dekatnya, wanita yang kini mulai dapat berinteraksi dan berpendapat dengan cerianya."Kita sih sudah dari sebulan lalu lepas dari obat, ini ikut datang cuma buat antar kalian. Tapi ya sekalian periksa, lumayan kan masih gratis sampai dokter menyatakan kita berenam pulih secara me
"Iya benar banget!""Kita pernah disuruh jaga pintu depan selama mereka menyewa perempuan, mereka enggak ragu buat berhubungan dengan sesama laki-laki.""Ih ... pokoknya kalau sudah soal hubungan badan, mereka enggak ada batasan sama sekali. Tua, muda, cukup umur, di bawah umur, kaya, miskin, laki-laki, perempuan, semua disikat.""Orang-orang sakit memang."Segala ocehan enam mahasiswa yang terekam saat proses syuting dokumentasi pun terdengar jelas, semua yang dikatakan dan semua yang terungkap adalah fakta yang terjadi dan dialami, "di salah satu artikel, ada yang menyatakan. Bahwa kalian pernah tidak bisa tidur dua hari dua malam, karena mereka sedang memproduksi film dewasa di tempat kalian. Apa benar?" tanya seorang wanita di balik kamera, sosok yang sudah cukup dekat dengan enam mahasiswa karena kedatangannya ke desa."Betul," jawab Vina setelah menarik napas panjang dan menjawabnya dengan tegas, "Desry yang paling merasakan akibatnya."Bergeser sedikit kepala kamera dan terfoku
"Saudari Erina, kamu dapat dengar saya?""Saudari Erina ....""Erina Handayani.""Rin ... Eh, halo!""Kepada kuasa hukum Erina silakan kembali duduk, jangan coba untuk memengaruhi terdakwa.""Saudari Erina, saya tanya sekali lagi. Apa semua perilaku warga desa yang sudah disebutkan sebelumnya, menjadi alasan anda untuk mengakhiri hidup mereka?"Dug!"Ah shh ...," keluh seorang wanita di antara bangku panjang, tempat beberapa orang terpilih untuk menyaksikan proses sidang.Benturan akibat kecerobohan dalam melangkah di ruang terbatas, dan benturan yang tepat mengenai lutut hingga menimbulkan sensasi setrum penuh kenikmatan konyol. Membuat wanita itu spontan berdesis dengan keluhan dalam keheningan ruang sidang, hening yang terjadi karena bungkamnya seorang Erina Handayani."Hati-hati jalannya, Vin." Sang terdakwa yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba bersuara bahkan tanpa menoleh ke belakang untuk melihat sumber suara.Seolah telinganya lebih tajam dan diperlukan dari pada indra pengliha
Sidang perdana yang ditayangkan di salah satu kanal televisi dan beberapa kanal media sosial, membuat kehadiran kamera yang ternyata disadari Erina meski wanita itu terus bungkam, "Vina ... suruh mereka jawab aku dulu, biar aku bisa jawab mereka," ucap Erina kini membuat Vina dan semua orang dalam ruangan menjadi bungkam.Kebungkaman yang membuat perasaan mengira waktu berputar amat sangat lambat, hanya sesekali terdengar suara berbisik dari orang yang Vina rasa pasti mendiskusikan hal yang Erina tanyakan, "hm ... Vina dulu saja yang jawab ya, Kak." Erina mengangguk setelah Vina menjawab, "wajar, menurut Vina itu wajar. Kakak bilang sudah dilecehkan dari usia dua belas tahun, kakak lihat ayah dibunuh, anak-anak kakak dibunuh dan dilecehkan juga, dan anak laki-laki kakak diajarkan hal enggak baik. Bukan Vina setuju karena kakak sudah bunuh warga desa, tapi Vina setuju kalau warga desa atau orang-orang jahat harus mati.""Tidak!" seru pria muda yang menjadi kuasa hukum Erina, "menurut s
Bruk!Lemasnya diri hingga tanpa sadar melepas selembar kertas dari kedua tangan, netra yang mendadak kosong memandang lurus ke salah satu pilar rumah yang berdiri kokoh, dan bibir yang seolah enggan untuk terkatup. Terlihat jelas, seorang wanita dengan rambut bondol warna cokelat dan berponi itu terkejut. Atau mungkin, sangat terkejut."Erina, anakku?" lirihnya memalingkan pandangan ke seorang wanita dengan kemeja biru dan rok span, wanita yang mengangguk atas pertanyaan yang diajukan.Kembali ia memandang lurus ke pilar rumah berwarna cokelat susu, napasnya menjadi pendek dan amat sesak. Teringat jelas dalam memorinya, betapa ia merasa sangat bersalah dan menyesal telah melepas tangan putrinya di tengah keramaian. Teringat jelas pula segala rasa dan duka atas semua hal yang dilakukan, menitipkan tiap helai rambutnya, rambut anak keduanya, dan rambut suaminya untuk melakukan tes pada setiap wanita muda yang menjadi korban kecelakaan, dan pada setiap wanita muda di panti sosial.Semua
[20 tahun lalu, tepat hari diculiknya Erina]"Foto terakhir ya. Satu ... dua ... tiga!"Terdengar keras suara seorang pria menghitung maju sebagai aba-aba sebelum dirinya menekan tombol potret, tombol yang digunakan untuk mengambil sesi atau momen dalam suatu pemotretan. Suara tawa bayi menggemaskan memicu tawa orang-orang dewasa di sekitarnya, gelak tawa yang bersatu padu cukup menunjukkan betapa bahagianya keluarga kecil itu."Ah ... sudah selesai," kekeh seorang wanita muda cantik memeluk putri kecilnya yang berusia dua puluh tiga bulan, seorang bayi yang sudah lama ditunggu kehadirannya setelah lima tahun menikah.Foto keluarga sederhana yang dibuat, untuk memperingati hari seorang bayi kesayangan telah berhasil lepas dari ASI. Tiga bulan lamanya wanita cantik itu berusaha melepaskan si bayi dari ASI-nya demi menjaga kehamilan kedua yang tidak terencana, meski begitu keluarganya tidak menolak kehadiran calon adik untuk bayi mereka."Nama adiknya siapa, Bu?" tanya penata desain unt
Pusat kota, dua kata yang jelas menggambarkan betapa strategisnya lokasi itu. Segala yang dibutuhkan dapat mudah dimiliki, semua yang diinginkan dapat mudah diperoleh, dan semua yang diharapkan dapat mudah dicapai.Berbeda dengan kehidupan di pinggir kota dan pedesaan yang cenderung damai asal ada sumber untuk bertahan hidup, kehidupan yang mengandalkan kebersamaan. Namun, semakin berbeda dengan kehidupan di pelosok pinggir kota yang menutup dirinya. Ego dan amarah adalah kunci bertahan hidup, dari segala pengintaian sesama manusia dan teror alam. "Dasar anak nakal! Enggak tahu diuntung kamu, kurang ajar!" teriak seorang wanita menghardik sesuatu yang tersandar di pohon kelapa.Hardik dengan segala teriakan amarah dapat didengar jelas orang sekitarnya, orang-orang yang semula merasa kasihan, namun kini menjadi kumpulan orang yang acuh tak acuh. Bukan telah menerima takdir bahwa teman mereka menjadi gila, tetapi telah berhasil membiasakan diri untuk tinggal satu lingkungan dengan wani
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba