Kutepikan mobil di depan kedai bakso favorit Lusi dan memesan dua bungkus.
"Dia pasti senang sekali aku bawakan bakso ini." Aku tersenyum puas, lalu naik ke mobil lagi dan melanjutkan perjalanan.
Setelah mobil terparkir sempurna di halaman, bergegas aku turun dan melangkah lebar ke dalam rumah. Tak sabar ingin melihat ekspresi Lusi ketika melihatku datang dengan membawa makanan kesukaannya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Dengan tergopoh-gopoh Bi surti menghampiriku dari arah dapur.
"Lusinya mana, Bi? Lagi tidur, ya?" tanyaku seraya berjalan menuju ruang keluarga.
"Lho, maksud Bapak bagaimana?" Bi Surti yang kini berjalan di belakangku malah bertanya balik.
"Bagaimana apanya, Bi?"
&nb
"Assalamu'alaikum!" seruku dari luar gerbang.Ridho muncul dari dalam rumah. Dia berjalan mendekat sembari melempar senyum ramahnya."William. Baru rencananya siang ini kami mau jenguk Alex ke rumah sakit. Apa kabar?" tanyanya seraya membukakan gerbang."Alhamdulillah aku baik. Gimana kabarmu, anak dan istri?""Alhamdulillah, kami baik juga. Ayo masuk!""Enggak, Do. Enggak usah. Aku ke sini hanya mau cari Lusi saja, kok. Dia di sini, kan?""Lusi?" Ridho malah tampak bingung mendengar pertanyaan dariku ini. "Enggak ada Lusi di sini, Wil.""Ah, yang benar, Do," kataku tak percaya."Serius. Lusi terakhir ke sini itu seminggu yang lalu.""Boleh bertemu istrimu sebentar enggak? Tolong panggilkan," pintaku dengan perasaan khawatir dan takut yang mulai kembali hadir menyelimuti.Ridho mengangguk, lalu pergi dan kembali ke sini bersama Nanny yang menggendong bayinya."Ada apa, ya, Mas?""Lusi beneran enggak ada ke sini, ya?"Nanny menggeleng. "Kenapa memangnya Lusi, Mas?""Dia enggak ada kaba
Aku diam dengan mata yang mulai terasa menghangat. Memikirkan Lusi yang entah ada di mana dalam keadaan hamil besar begitu, membuat diri ini tak mampu lagi menahan air mata.Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya dan calon anak kami?Ya Allah ...."William?""Alex baik-baik saja, Pah," jawabku dengan suara lirih."Terus, kenapa kamu? Lemas begitu jawabnya."Air mata kembali menetes dalam diam hingga membuat Papa lagi-lagi memanggil dengan sedikit keras.'Ada masalah? Cepat cerita," desaknya."Lusi, Pah.""Kenapa dengan Lusi? Sakit?"Aku refleks menggeleng walau Papa tidak mungkin melihatnya. "Lusi pergi, Pah. Lusi enggak ada di rumah.""Pergi? Pergi bagaimana maksudmu?""Tahu-tahu waktu aku pulang dari
"Mbak Lusi. Mau belanja, ya?" tanya Bu Wati—Bu RT di kampung ini yang kebetulan bertemu di gang rumah dekat kontrakanku."Iya, Bu. Kebetulan sayur dan cabai rawit di rumah sudah pada habis," jawabku dengan senyuman ramah."Sama. Saya juga sudah pada habis. Bareng saja, yuk!""Iya." Aku mengangguk setuju.Kami berjalan bersama menuju warung sayur Bu Jasmo yang letaknya tidak terlalu jauh."Lucu banget, sih, bayinya. Jadi gemas. Namanya siapa, Mbak? Saya lupa.""Hafsha Kalimatunnisa.""Cantik sekali namanya. Dipanggilnya apa?""Hafsha atau Nisa, Bu.""Halo, Hafsha! Jadi anak solehah, ya, Cantik," ucap Bu Wati seraya mengusap kepala bayi berusia tiga bulan yang dibalut hijab mini ini."Aamiin.""Ini enggak apa-apa masih kecil sudah dikerudungin dan baju panjang begini, Mbak? Kasihan kalau gerah.""Enggak, sih, Bu. Alhamdulillah Hafsha anteng-anteng aja. Kalau dia enggak suka atau nggak nyaman 'kan pasti sudah rewel dan nangis. Nanti kalau sudah belajar merangkak, tinggal diganti pakai ce
Aku menggeram kesal dalam hati, tapi tetap berusaha mengontrol emosi agar tidak terpancing dan membuat keributan di sini."Berapa semuanya, Bu?" tanyaku seraya mengeluarkan dompet dari saku gamis."Seratus empat puluh lima ribu," jawab Bu Jasmo seraya menyerahkan kantong kresek belanjaanku."Ambil saja kembaliannya." Kusodorkan dua lembar uang seratus ribu."Waduh, yang benar, Mbak? Ini kebanyakan kembaliannya." Bu Jasmo terlihat tak enak sekaligus kaget."Enggak apa-apa. Itu rezeki untuk Ibu." Aku tersenyum, lalu beralih menatap ketiga ibu-ibu tadi yang masih menatapku dengan sinis."Soal berita babi ngepet di TV itu, ibu-ibu sudah tahu kelanjutan beritanya belum?"Mereka semua diam."Ternyata, gosip tentang babi ngepet itu hanya akal-akalan salah satu warga dan suaminya yang iri pada tetangga. Tahu engg
"Mbak enggak usah bohong padaku. Mbak rindu, kan? Enggak ada salahnya coba temui dia, Mbak. Siapa tahu ternyata memang hanya terjadi kesalahpahaman di antara kalian.""Enggak mungkin, Al. Aku tahu jelas Mas William itu seperti apa. Dia akan melakukan apa pun untuk Alex. Sudah pasti pada akhirnya Mas William akan setuju untuk rujuk dengan mantan istrinya itu." Aku menengadahkan wajah. Mengerjap-ngerjapkan mata cepat agar air mata ini tak kembali luruh membasahi pipi."Semua masih fifty-fifty 'kan, Mbak? Bisa jadi itu hanya kesimpulan Mbak sendiri. Mungkin saja suami Mbak selama tiga bulan ini sedih dan kelimpungan mencari Mbak Lusi.""Enggak tahu, Al. Tapi sepertinya enggak," jawabku pelan seraya memainkan jemari Hafsha hingga dia tersenyum lucu."Coba saja temui dulu. Enggak ada yang enggak mungkin 'kan selama Allah berkehendak? Apa enggak akan menyesal atau sedih kalau ternyata terjadi
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Masuk, Al, Bu, Pak," jawabku ketika melihat ketiganya berdiri di ambang pintu. "Baru mbak rencana mau ke rumah kamu sekalian pamit pada Ibu dan Bapak.""Iya, Mbak. Habisnya Ibu ini enggak sabaran sekali mau bertemu Hafsha. Katanya takut nanti enggak bisa lihat lagi.""Boleh ibu gendong dulu Hafsha sebentar, Nak?"Aku tersenyum dan mengangguk.Ibunya Alia bergegas mendekati Hafsha yang sudah rapi, lalu menggendong sambil mengusap-usap kepalanya."Nenek akan rindu berat, nih, ditinggal kamu," ucap ibunya Alia, lalu mencium pucuk kepala Hafsha."Iya, Bu. Bapak juga pasti rindu sekali nanti." Ayahnya Alia ikut mendekat dan ikut mencium pucuk kepalanya."Kalau kalian sudah sampai, jangan lupa langsung kabari, ya. Jangan buat kami khawatir!""Insyaallah." Aku mengangguk."Tenang, Bu. Kan, ada aku. Nanti pasti kukabari terus. Jangan khawatir," timpal Alia."Iya. Kamu harus gantian gendong Hafsha kalau Nak Lusi capek.""Beres, Bu. Enggak dikasih tahu juga
Usai sarapan, kami pun langsung pergi menuju rumahku. Jantung berdetak cepat tak karuan. Kaki dan tangan bahkan tak berhenti bergerak-gerak sambil menggigit sudut bibir."Rileks, Mbak. Tarik napas dan dzikir. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja." Alia menyentuh pundakku."Mbak deg-degan, Al," lirihku seraya memegangi dada yang berdebar kencang.Alia hanya tersenyum, lalu mengusap pipi Hafsha yang sedang memainkan khimarku.Sepanjang perjalanan dari hotel ke rumah, tak henti-hentinya dzikir kulantunkan di dalam hati. Meskipun, itu tidak berhasil mengurangi kegugupan dan ketakutan akan apa yang terjadi nanti.Sanggupkah aku menerima kenyataan jika benar Mas William sudah berpaling dan ternyata telah menikah siri dengan Indira?Aku menggeleng cepat demi mengusir pikiran negatif. Berusaha berpikir
"Ayo, Bu, masuk!" ajak Bi surti setelah mengembalikan Hafsha pada Alia.Aku menggeleng. "Aku akan kembali ke tempat tinggalku yang baru, Bi. Tempat kami sudah bukan di sini lagi. Biarkan Mas William bahagia dengan kehidupan barunya," terangku, lalu melambai pada taksi yang lewat."Tapi, Bu ....""Enggak apa-apa, Bi. Aku sudah ikhlas. Mungkin sudah jalan hidup kami harus seperti ini.""Ibu ....""Ini ...." Aku merogoh amplop putih dan meletakkannya di telapak tangan Bi Surti. "Anggap ini sebagai tanda terima kasih atas kebaikan Bibi selama ini. Aku bersyukur bisa mengenal Bibi. Bibi jaga diri baik-baik, ya. Jaga kesehatan dan titip rumah dulu." Kupeluk sekilas Bi Surti yang terisak pelan. "Ayo, Al!"🍁🍁🍁"Bu ... tunggu, Bu. Ibu harus bertemu dengan Bapak dulu." Bi Surti mengejar kami yang bersiap naik taksi.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han