"Jalan, Mas," titahku saat melihat Mas William masih diam dan menatap ke sini melalui spion.
Mas William mengangguk dan mulai melajukan mobilnya keluar halaman. Lagu anak-anak kesukaan Alva mulai diputar. Membuat aku dan Mas William ikut bersenandung kecil mengikuti dia yang bernyanyi sambil bertepuk tangan.
"Matiin lagunya, Pah. Aku mau tidur," pinta Alex.
"Ya sudah, tidur saja. Papa kecilkan volumenya."
"Tapi matiin lagunya, Pah. Berisik! Aku enggak bisa tidur," pinta Alex lagi dengan nada bicara kesal.
"Iya, Mas. Matikan saja. Alex itu kalau tidur emang enggak bisa kalau berisik atau ada suara sedikit pun." Indira ikut membuka suara.
"Danan, Pah. Atu mau nani." Alva mulai protes saat musik dimatikan. "Mamaaa." Alva merengek padaku.
"Nanti saja dengarin lagunya, ya. Kakak Alex mau bobo. Kasihan," bujukku lembut seraya mengu
"Mas Wil."Aku dan Mas William pun menoleh mendengar suara Indira."Kenapa?""Alex haus katanya.""Ya sudah. Kalian tunggu di sini dengan Lusi dan Alva. Biar aku yang beli ke stand minuman.""Aku ikut, Pah." Alex langsung merangkul lengan Mas William dan pergi bersamanya.Sesaat sebelum menjauh, Alex sempat menoleh dan melemparkan senyuman mengejek pada Alva, tapi putraku yang belum mengerti ini malah balas tersenyum ceria dan melambaikan tangan."Apa kamu bahagia menikah dengan Mas William?" tanya Indira yang mengambil posisi duduk di sampingku."Wanita mana yang enggak akan bahagia memiliki suami sebaik Mas William? Hanya wanita bodoh yang rela menyia-nyiakan pria sesempurna dirinya.""Kamu nyindir aku?"Aku menoleh. Indira menatapku dengan dahi berkerut dan tatapan tajamnya."Enggak," sahutku santai. "Kenapa kamu bisa merasa tersindir?""Cih, kamu belum tahu saja Mas William itu seperti apa." Indira tersenyum mengejek."Oh, ya? Tapi dia sangat sempurna di mataku sebagai seorang sua
"Alex," tegur Indira lembut.Entah kenapa aku merasa jengah. Melihat sikap lembutnya itu seolah hanya topeng yang digunakan di depan Mas William dan Alex."Tatak tenapa, Ma?" tanya Alva yang kaget mendengar suara kerasnya."Enggak apa-apa, Sayang." Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya."Jaga cara bicaramu, Alex! Papa sudah peringatkan supaya jaga sopan santunmu apalagi ini di tempat umum. Paham kamu?" tegas Mas William, lalu melemparkan tatapan tajam pada Indira yang berada di belakang Alex.Alex langsung memalingkan wajahnya yang cemberut itu."Sudah. Jangan cemberut begitu. Nanti kita jalan-jalan lagi lain kali. Ayo!" ajak Mas William seraya meraih tangan Alex dan menuntunnya pergi.Namun, masih dengan wajah kesalnya Alex langsung menepis tangan Mas William, lalu berjalan cepat meninggalkan kami."Al
Kami bertiga tengah duduk di ruang tengah dan membantu Alva membuka paket kiriman dari Bang Leon. Dia terlihat senang melihat kiriman mainan baru dan beberapa setel pakaian. Tak hanya itu, Bang Leon juga rutin mengirimkan nafkah untuk Alva walaupun jumlahnya tak seberapa.Namun, kuhargai sikap tanggung jawabnya itu. Meskipun, aku dan Mas William sempat menyarankan dia supaya tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan Alva lagi. Meminta fokus saja untuk biaya pengobatan Bapak yang terkena penyakit lambung dan paru-paru, tapi dia menolak."Suka?" tanyaku seraya mengukur pakaian baru kiriman Bang Leon di tubuh Alva."Cuka, Ma. Badus!" Alva tersenyum lebar. "Atu cuka mainan ini." Dia mengambil mainan robot dari dalam kotak.Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya."Leon video call, Sayang." Mas William menyerahkan ponselku yang sedari tadi tengah diotak-atiknya."Papa Leon telepon. Sini bicara." Alva langsung duduk di pangkuanku sambil ikut memegang ponsel di mana wajah Bang Leon terpampang
"Ini kamarnya." Kubuka pintu kamar yang pernah Mira tempati dulu.Alex masuk tanpa sepatah kata seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar."Kalau kamu perlu sesuatu atau ada yang mau diganti dari kamar ini, bilang aja sama mama, ya," ucapku seraya mengusap kepalanya dengan lembut.Namun, tangannya yang refleks menepis dengan kasar itu sedikit membuatku kaget."Jangan sok baik dan jangan menyebut dirimu mama! Kamu bukan mamaku!" tukasnya dengan sorot mata penuh kebencian.Entah kenapa Alex terlihat
Setiap harinya aku semakin gencar mendekati Alex, tapi belum ada perubahan sedikit pun. Bahkan, dia malah semakin berani membentak dan berteriak kasar jika Mas William sedang tidak ada.Apa aku membalasnya?Tentu saja tidak. Jika mengikuti ego dan nafsu, bisa saja aku balas memarahinya. Terlebih lagi mengingat kata-kata kasarnya yang selalu mencemooh. Akan tetapi, semua itu tidak akan berguna. Anggapan Alex tentang mama tiri yang jahat akan semakin tertanam di benaknya, dan aku tidak mau hal itu terjadi.Alex harus tahu bahwa tak semua papa atau mama tiri itu jahat dan kasar. Meskipun, memang di luaran sana banyak kejadian seperti itu, tapi itu tidak akan kulakukan. Mencintai Mas William berarti harus mencintai Alex juga bagaimanapun sikapnya. Aku yakin, suatu hari nanti anak laki-laki yang hobi bermain game online itu akan mulai menerima kehadiranku.Sejak Alex tinggal di sini, Indira pun jadi lebih sering berkunjung. Meskipun, sejujurnya aku merasa tak nyaman dan terganggu, tapi sem
Hening."Aku enggak masalah kalaupun harus jadi yang kedua. Aku rela. Aku juga yakin kalau di hati Mas Will sebenarnya masih tersisa sedikit perasaan untukku. Iya, 'kan?"Aku spontan meremas khimar di dada saat merasakan hati ini berdenyut nyeri karena mendengar permintaan Indira tersebut. Sayang, belum sempat mendengar jawaban Mas William, kehadiran office boy yang sudah berdiri di samping sambil mengetuk pintu ruangan ini berhasil mengejutkanku. Menyadari keterkejutan di wajah ini, pemuda itu tersenyum canggung."Sayang?" Mas William sedikit terkejut melihat keberadaan kami setelah office boy ini membukakan pintu untukku. Namun, tak berselang lama keterkejutannya itu berubah menjadi senyuman manis."Silakan masuk, Bu!" ucap pegawai office boy itu ramah.Aku mengangguk dan tersenyum tipis."Masuk, Sayang. Sini!" panggil Mas William.
Usai makan siang bersama, Mas William langsung kembali ke kantor karena masih ada meeting penting. Tadinya, dia hendak mengantar kami dulu ke rumah, tapi kutolak. Tidak tega kalau harus membuatnya bolak-balik. Sesampainya di rumah, aku dan Alva memutuskan tidur siang sebentar. Memikirkan obrolan Mas William dan Indira di kantor tadi tak hanya membuat hati berdenyut nyeri, tapi juga membuat kepala ini pusing.Sementara, Alex sendiri sudah pulang sedari tadi. Saat kuketuk pintunya untuk menanyakan sudah makan siang atau belum, dia tak menjawab. Akan tetapi, suara playstation yang samar-samar terdengar dari dalam menandakan dia tengah sibuk bermain game.Aku terbangun saat mendengar kumandang azan ashar. Bergegas aku mandi dan melaksanakan kewajiban seorang muslim. Setelahnya, baru memandikan Alva dan membawanya turun ke bawah."Bi.""Iya, Bu?""Tadi Alex makan siang enggak?" tanyaku untuk memastikan."Makan, Bu.""Syukurlah. Makasih, ya, Bi.""Sama-sama, Bu."Aku menghabiskan waktu ber
Kami serempak menoleh. Indira masuk dengan senyuman riangnya seraya menenteng satu paper bag ukuran sedang. Tawa dan senyum yang sedari tadi tercipta di antara aku dan Mas William mendadak lenyap. Suasana riang di hati ini pun berubah melow kembali melihat kedatangannya yang secepat ini."Kenapa kamu ke sini?" tanya Mas William pada Indira yang duduk begitu saja bersama kami di karpet ruang keluarga."Mau bantu kalian siapkan pestanya, dong," sahutnya santai, lalu melirik padaku. "Boleh, kan?"Aku mengangguk. Kembali membungkus kado dalam diam dengan dada seperti tertekan bongkahan batu. Sesak."Tuh, Lusi saja bolehin, kok," ujarnya, lalu mulai ikut membungkus kado yang sudah kami persiapkan untuk Alex."Kan, kubilang kamu datangnya nanti saja pas acara.""Ya, enggak apa-apalah, Mas. Aku juga bete di rumah.""Jangan, Sayang!
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han