Aku terduduk dengan memeluk kedua lutut. Bahkan untuk berdiri pun serasa tidak bertulang.
setegar tegarnya, aku tetaplah seorang perempuan yang akan terpuruk melihat suaminya berkhianat di depan matanya."Entah mas, bahkan otakku masih buntu untuk mengimbangi permainanmu. Tapi yang pasti aku tidak akan tinggal diam."****Aku membuka mata ketika jam menunjukkan pukul 16.00. sepertinya ia sudah tertidur cukup lama, ia berharap semua hanyalah mimpi buruk. Tapi saat mengecek galeri di ponselnya video itu benar benar ada. Video di saat suaminya sedang merencanakan pembunuhan untuknya. "Aku tidak boleh berlarut, sebentar lagi jamnya mas Hendra pulang, akan ku lihat sejauh mana ia memainkan perannya."Tidak berselang lama, suara deru mobil terdengar di halaman rumah. Aku mengintip dari balik korden kamar, memastikan jika itu memang mobil suaminya. Biasanya jam pulang suami dan mertuanya memang hampir bersamaan.Aku turun menyambutnya di depan pintu, seperti biasa ku kecup punggung tangan kanannya, juga ku ambil tas yang ia bawa."Terimakasih Adinda," ucap mas Hendra kepadaku."Sama sama mas, ini sudah tugasku sebagai istri."Ku lihat ia tersenyum. Senyum yang dulunya adalah pesona tersendiri untukku, entah mengapa kini terlihat mengerikan. Seperti ancaman malaikat maut.Aku mengikutinya menuju kamar kami, kamar di mana tempat kami sering beradu. Jika aku tidak mengetahui rencana mas Hendra, dia adalah suami yang terbaik menurutku. Dari nafkah lahir yang cukup banyak setiap bulannya, nafkah batin pun ku terima dengan baik.Hanya saja mas Hendra memang sering memaksaku untuk minum pil kontrasepsi dengan alasan tidak ingin terburu buru punya anak. Tapi akhir akhir ini aku diam diam tidak meminumnya, bagaimana pun sebagai istri yang hanya berdiam diri di rumah setiap harinya, aku sangat mendambakan kehadiran malaikat kecil itu.Dan sekarang aku tahu alasannya, ia memang tidak bersungguh-sungguh dengan pernikahan kami. Reflek saja aku mengelus perutku."Semoga kamu belum tumbuh di sini nak, "Memikirkan nasib diri sendiri saja belum karuan apalagi jika ia mengandung nantinya. "Kenapa kamu pegang pegang perut seperti itu?" tanya mas Hendra tiba tiba."Eh,"Karena melamun, aku bahkan tidak sadar jika sudah sampai kamar dengan mas Hendra yang berdiri menatapku."Entahlah mas, tiba tiba saja kram. Mungkin mau datang bulan," ucapku beralasan."Ya sudah kamu duduk aja, biar aku siapkan keperluanku sendiri."Aku menurut. Mas Hendra masuk ke dalam kamar mandi, jika biasanya aku yang menyiapkan air hangat untuknya, kini ia menyiapkannya sendiri. Aku masih duduk di tepi ranjang menunggu mas Hendra keluar. Ia adalah tipe laki laki yang kalau mandi cukup lama. Bahkan sebagai perempuan, aku kalah. Kulihat mas Hendra keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya."Din, kamu masih mengonsumsi pil kontrasepsi?" tanya mas Hendra tiba tiba.Aku tergagap "Masih mas.""Hentikan saja, besok kamu pergi ke dokter untuk cek kesehatan sekaligus program hamil".Aku mengernyitkan dahi bingung. "Perginya sama kamu mas"."Tidak, Pergilah sendiri. Mas ada rapat penting di kantor".Aku bertepuk tangan dalam hati. Ternyata ini rencana kamu mas, sungguh benar benar seperti iblis berkedok malaikat."Baiklah aku mengerti".Aku beranjak dari ranjang dan keluar kamar. Rencananya aku ingin membantu menyiapkan makan malam. Namun aku berhenti ketika melihat ibu mertua sedang duduk sendirian di sofa. Aku mendekat, mungkin dengan sedikit mengobrol dengannya bisa memperbaiki hubungan kami."Bu, ibu sedang apa?" tanyaku mencoba menyapa."Bolehkah Dinda juga duduk di sini?""Duduklah, ada yang ingin ibu bicarakan padamu."Aku langsung mengambil tempat di sebelah ibu mertua. Diam dan menunggu apa yang ingin dikatakan beliau. Sebenarnya aku sangat penasaran, tapi tidak berani untuk bertanya."Berhati-hatilah!!"Aku bingung mendengar ucapannya yang hanya dua patah kata. Apa maksudnya?Ku beranikan untuk bertanya "maksud ibu apa ya?""Tidak bermaksud apa apa, saya hanya ingin kamu berhati-hati".Setelah mengatakan itu beliau beranjak pergi meninggalkan tanda tanya besar di benakku."Dinda, apa yang kau obrolkan bersama ibu?"Aku kaget, sejak kapan mas Hendra berada di situ? "Eh, tidak ada mas. Aku hanya bertanya beliau sedang apa, tapi ibu malah beranjak pergi." ucapku berbohong."Jangan dengarkan kalau ibu bicara yang aneh aneh."Eh, apa maksud suamiku itu. Apakah memang seperti ini hubungan dia dengan ibunya."Iya mas, sebenarnya aku juga mau ke dapur kok, ambil minum. "Aku kemudian beranjak ke dapur untuk menghindari pertanyaan2 mas Hendra.Pun begitu, selama makan malam berlangsung ibu mertua hanya terdiam bahkan sma sekali tidak menatapku."Apakah kalian sudah berusaha program hamil?"Aku menoleh mendengar pertanyaan tiba tiba papa mertuaku.Ku lirik mas Hendra yang sepertinya tidak ter
Aku merasa semua tubuhku tergores semak belukar. Tapi itu tidak sebanding daripada harus meledak di dalam mobil.Tadi saat mobilku meluncur bebas ke jurang, aku sudah bersiap dengan melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Seketika aku loncat begitu saja. Dan berakhir di dalam semak semak. Memang di kedalaman jurang ini banyak ditumbuhi pepohonan dan rumput yang tinggi tinggi. Jadi aku yakin mereka yang di atas tidak mungkin melihat jika aku keluar dari mobil. Aku harus segera naik untuk mencapai jalan raya,jangan sampai orang orang suruhan mas Hendra menemukanku di sini. Tadi sudah ku minta temanku untuk menunggu di pinggir jalan agak jauh dari kejadian. Entah kenapa aku merasa perutku sangat sakit, seperti kram. Padahal tadi pagi aku sudah sarapan. Dengan memegangi perut yang semakin sakit, aku terus berusaha naik sampai di jalan raya. Ku lihat mobil avanza terparkir di sana, itu Alma temanku. Akhirnya aku sampai juga. Ku ketuk jendelanya pelan, tenagaku sudah terkuras un
Aku benar benar bingung harus bagaimana? disaat seperti ini, kenapa nyawa kecil ini harus hadir. Memikirkan nasib diri sendiri pun sulit. Haruskah aku pulang memberitahu bapak dan ibu di kampung. Tapi bagaimana dengan mas Hendra jika tahu ternyata aku selamat dari kecelakaan ini."Ya ampun Din, terus bagaimana? apakah suamimu tahu?""Tidak Al, dan aku tidak akan memberi tahunya. Biarkan aku merawatnya sendiri kelak.""Maksudmu apa Din?"Aku memang belum memberi tahu Alma tentang kejadian ini. Dan mengalirlah ceritaku dari saat memergoki mas Hendra berselingkuh sampai tahu jika ia juga merencanakan pembunuhan untukku.Alma menutup mulutnya mendengar ceritaku. Mungkin ia juga tidak menyangka jika suamiku setega itu, sebab selama ini aku selalu bercerita tentang kebaikan mas Hendra. "Yang sabar ya Din, aku yakin kamu bisa melewati ini." Ucap Alma menenangkanku. "Aku hanya bingung bagaimana akan melewati hari hari kedepannya, aku bahkan tidak bekerja. Jika harus kembali ke kampung pun
Sudah dua hari aku menjalani bedrest total di rumah sakit, setiap malam sepulang bekerja Alma selalu datang dengan membawakanku macam macam cemilan dan buah buahan. "Biar calon keponakan tumbuh dengan sehat" begitulah katanya saat ku larang dia membawa macam macam.Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Entah aku harus pulang kemana. Sedangkan media sedang heboh dengan berita pencarianku."ISTRI CEO DARI PT BASGA GRUB HILANG DAN MOBILNYA DI TEMUKAN MELEDAK DI DASAR JURANG".Begitulah kira kira berita yang viral 2 hari ini, hanya saja media memblur bagian wajah pada foto yang beredar, namaku pun hanya disingkat Adinda Ayumi menjadi AA. Entah apa maksudnya. Namun orang orang yang sudah mengenalku pasti paham jika itu fotoku.Bahkan ponsel memang sengaja aku matikan untuk menghindari kecurigaan. Aku sangat paham jika mas Hendra pasti akan menghilangkan jejak hingga ke akar akarnya. Aku juga sama sekali tidak mengabarkan kepada keluarga di kampung tentang keadaanku saat ini. Untuk mengant
Aku mencoba mengingat ngingat. Namun kemudian menggeleng saat tidak menemukan memori apapun tentang wajah itu."Saya bahkan sudah menyadari anda sejak awal, namun memang berniat menyembunyikannya, bahkan memalsukan data anda saat berita hilangnya istri dari CEO PT BASGA GRUB beredar. Apalagi ternyata anda hilang dan mobilnya meledak di dasar jurang, dikuatkan dengan keadaan anda yang terluka seperti ini. Saya paham jika anda memang berniat melarikan diri. "Aku tercengang mendengar penjelasannya. Bagaimana bisa ia secerdas ini dalam menghubungkan suatu perkara. Aku yang masih diam, kemudian menoleh saat mendengar penuturannya lagi."Jika kamu masih belum mengingat saya, perkenalkan Saya Hardian Maulana rekan kerja Bapak Hendra Bagaskara. Dulu saya pernah melihat anda saat melakukan pertemuan di mansion utama keluarga Bagaskara." Ucapnya memperkenalkan diri.Aku melirik ke nametag yang tergantung di dada sang dokter. "Dr. Hardian M S.KM"Aku juga mengingat jika dulu pernah diperkenalka
05Pagi harinya Alma menelponku, meminta maaf jika semalam tidak bisa menemani. Dia juga bilang akan menjemputku siang nanti.Tapi aku menolaknya. Aku menyuruhnya untuk berangkat kerja saja, nanti akan ku kirim alamat di mana aku tinggal. Aku berniat untuk menerima tawaran Dokter Hardian saja.Sesuai jadwal setiap jam 8 pagi, pasti akan ada suster yang memeriksa keadaanku. Tapi kali ini bukan suster tapi Dokter Hardian sendiri yang memeriksa langsung."Selamat pagi Adinda".Aku menoleh, dia ternyata sudah mengganti sapaannya padaku."Pagi juga Dok"."Silahkan berbaring dulu ya, biar saya pastikan apakah kamu boleh pulang hari ini"."Baik dok".Aku berbaring sesuai perintah. Dokter Hardian memeriksa semua luka lukaku. Menempelkan stetoskop di dadaku juga."Lukanya berangsur pulih. Sebelum pulang cek dulu ke dokter kandungannya!"Aku mengangguk."Bagaimana dengan tawaran saya yang semalam?"Pertanyaannya mengingatkan akan keputusan yang sudah aku ambil."Saya ikut dokter saja".Kulihat
Kesanku pertama ia adalah wanita setia. Ia hanya menatap kami sekilas, bahkan ketika aku sengaja memujinya cantik. Tapi responnya bukan tersanjung tapi malah menatap ke arah suaminya. Mungkin dia berharap jika Hendra akan cemburu.Padahal aku beberapa kali memergoki Hendra jalan bersama perempuan lain. Sungguh malang. Aku hanya bisa berdoa kebahagiaan untuknya.Sekarang ia datang ke rumah sakit dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Aku meminta suster untuk mengobati lukanya selagi aku mencari tahu penyebab pendarahan pada bagian bawahnya. Tidak kutemukan luka sama sekali, hingga akhirnya aku sadar jika ternyata dia sedang mengandung. Aku memintanya datang ke ruang dokter kandungan untuk memastikan. Dan benar saja, ia sedang mengandung, bahkan janinnya hampir tidak terselamatkan jika terlambat sedikit saja.Jika biasanya aku jarang mengecek pasien langsung, tapi kali ini aku benar benar menanganinya sendiri. Entah mengapa aku merasa mendapat penyemangat untuk selalu datang ke r
"Lalu saya harus panggil apa?""Panggil nama juga boleh, atau apalah yang penting jangan dokter."****"Hendra bagaimana dengan istrimu? Apa sudah ditemukan jasadnya?" tanya Pak Sapta kepada putranya yang kini sedang duduk berdua di ruang kerjanya. "Belum yah, ini masih berusaha?""Ayah sama sekali tidak melihat usahamu? Kamu bahkan masih sanggup berbeda leha di rumah?" "Tapi aku benar-benar sedang mencarinya yah, bahkan sampai mengerahkan semua orang ku,""(Mencari untuk memastikan bahwa istri si*lan itu sudah tiada)." Ucap Hendra dalam hati. "Ini bukan rencanamu kan?" ujar pak Sapta sambil menatap tajam ke arah Hendra. "Maksud ayah apa bicara seperti itu?" jawab Hendra yang sedikit gelisah. "Ayah tidak bermaksud apa apa, hanya ayah tahu bagaimana kamu membenci perjodohan ini." Ucapnya sambil masih mengawasi perubahan peraupan Hendra. "Aku sama sekali tidak tahu. ""Jika ini memang rencanamu, maka akan ayah pastikan kamu menyesal suatu saat nanti. "Hendra terdiam, ia sama seka
Pagi harinya sesuai kesepakatan, Sapta datang ke kantor MLN Groub.Kantor yang dulunya adalah pesaing bisnisnya, kini akan menjadi tempat dia mengais rupiah demi menutupi kebutuhannya sehari harinya. Tatapan bingung, mencemooh, simpati, Sapta dapatkan dari banyaknya pekerja yang berpapasan tadi. Jika dia dulu masuk dengan setelah jas mahal, dan wajah angkuh kini ia harus membiasakan diri dengan menyapa beberapa orang di sekitarnya. Tidak papa, ini hanya permulaan. Semua yang ingin berkembang, pasti harus berani memulainya dengan berbagai resiko yang berbeda. "Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya seorang perempuan berhijab yang tak lain adalah sekretaris Galih. "Pak Galihnya ada?" "Ada, beliau baru saja tiba. Apakah bapak sudah membuat janji?" "Sudah, Pak Galih sendiri yang meminta saya untuk datang hari ini." "Baik Pak, kalau begitu silahkan duduk dulu!" Sapta menurut, dia duduk sambil mengamati ketika wanita berhijab itu begitu lincah dengan tablephone nya. Dia jadi teringa
Hallooo Adikkk...!" Suara riang Reina membuat mereka yang sedang duduk di ruang tamu menerka nerka. "Siapa sih sayang yang datang?" Tanya Hardian menyusul putrinya. "Loh Pak Sapta, tumben, udah lama sekali lo gak main ke sini. Mari silahkan masuk!" "Pak Galihnya ada Mas?""Ada Pak, kebetulan sedang santai di ruang tamu. Langsung masuk aja, silahkan Bu! sama siapa ini?" "Kalila Om," jawab bocah berkuncir dua itu. "Oh iya, makanya Reina senang sekali, ternyata kedatangan adiknya toh. Ayo Sayang adiknya diajak masuk ke dalam!" Sapta beserta istri dan cucunya mengekor langkah Hardian masuk ke dalam rumah."Loh Pak Sapta mari duduk, silahkan Bu!" Ujar Galih saat melihat siapa tamunya. "Maaf menganggu waktu bersantai anda bersama keluarga Pak," Ucap Sapta merasa tidak enak. "Tidak Pak, ini hanya kebetulan anak, cucu sedang berkunjung.""Iya Bu Lili, kok gak pernah main ke sini. Terakhir 3 bulan yang lalu kan? Sekarang bagaimana kabarnya?" Alina ikut bertanya. "Kabar baik Bu, hanya
"Ma, apa tidak papa jika kita meminta pekerjaan kepada pak Galih?" Liliana yang sedang menemani cucunya menonton televisi menoleh. Ditatapnya sang suami dengan prihatin. Mau bagaimana pun ia tidak bisa memaksa suaminya itu untuk kerja serabutan layaknya tukang atau kuli bangunan. Bahkan caranya saja dia tidak tahu. Ini adalah bulan ketiga Sapta menganggur, keseharian Liliana yang hanya membuat kue serta jajanan ringan untuk dititipkan di warung-warung ternyata tidak mampu menutup perekonomian mereka. Hasil penjualan rumahnya dulu, Sapta gunakan untuk menutup gaji para pegawai, dan membeli rumah kecil yang kini mereka huni. Sisanya dia simpan sebagi pegangan jika ada kebutuhan mendadak serta modal jualan sang istri. "Jika kamu tidak malu tak apa mas, kemarin juga pak Galih sudah menawarkan kepada kita kan? Namun aku juga tidak memaksa, karena di sini menyangkut harga dirimu juga." Jawab Liliana atas pertanyaan sang suami. Sapta terdiam, ia kembali menimang nimang keputusannya itu
"Mas Sapta," Sapta yang tengah terduduk dengan tatapan kosongnya seketika berbinar. Dicarinya dari mana suara itu berasal, hingga tatapannya terkunci pada sosok perempuan yang berhasil menjungkir balikkan hidupnya beberapa hari ini. Perempuan yang masih saja terlihat anggun di usianya yang menginjak kepala lima. Perempuan yang sedang menggendong seorang anak kecil yang kini telah kehilangan ibunya. "Li, kamu kembali?" tanya Sapta ragu. Galih yang merasa tidak berhak mendengar pun pamit undur diri, begitu juga dengan Hardian dan Adinda. "Kami pamit ya pak," Sapta tidak menggubris, fokusnya masih kepada kedatangan istrinya. "Terimakasih ya Bapak, ibu, nak." Melihat tidak ada respon dari suaminya, akhirnya Liliana yang menjawab. Setelah Galih dan sekeluarga pulang, keadaan rumah kembali sepi. Apalagi jenazah sudah dimakamkan tadi pagi. Hanya saja kedua orang tua Laura yang belum datang sekedar melihat anaknya untuk yang terakhir kali. "Li, kamu kembali?" "Iya mas."
"Braaakkkk" Pintu utama terbuka dengan kasar. Hardian berlari menuju tempat dimana istri dan anak anaknya berada. "Sayang are you okay?" "Mas kamu udah pulang?" tanya Dinda masih dengan pipi yang basah dengan air mata. "Aku pulang setelah melihat berita di televisi. Kamu nangis?" Pertanyaan Hardian berhasil membuat dua bocah yang sedang asyik bermain itu menoleh. "Bunda nangis?" "Enggak kok nak, ini bunda hanya kelilipan aja." Bohong Dinda. Mendengar jawaban bundanya, mereka fokus kepada itu mainannya lagi. Sedangkan Hardian duduk di sebelah sang istri. "Kamu kenapa hem?" "Aku gakpapa mas, aku cuma sedang takut aja. Melihat tingkah mas Hendra, sebenarnya aku khawatir dengan masa depan mereka." Hardian mengangguk paham. Diraihnya tangan sang istri, "aku kan udah bilang beberapa kali sama kamu, mereka itu anak-anaku. Aku yang akan mendidiknya kelak dengan caraku. Cukup kamu doakan saja yang terbaik untuk mereka, kamu tidak lupakan? bahwa doa seorang ibu itu dahsyatnya bisa
"Apa yang kamu katakan? Kamu membandingkan ibu dengan perempuan yang tidak jelas asal usulnya itu?""Aku lelah bu, ingin beristirahat." Diana mendengus, ia tahu jika putranya itu mencoba mengusirnya dengan cara halus. "Okeee, ibu akan pulang. Mungkin mampir ke kentor sebentar, memastikan jika semuanya baik-baik saja." Ucap Diana sambil berlalu keluar dari ruangan. Sapta memandang punggung ibunya yang menghilang dibalik tertutupnya pintu. Sebagai anak kandung saja, ia mengakui jika ibunya itu bermulut tajam. Berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain. **********Diana masuk ke dalam kantor dengan angkuh. Wajahnya ia tonggakkan, mengabaikan setiap sapaan karyawan. "Selamat siang bu Diana, lama tidak berjumpa." Sapa Karen, sekretaris Hendra. "Masuk! ada yang ingin saya bicarakan kepadamu." "Baik bu," Wanita berpakaian ketat itu mengikuti langkah Diana ke dalam ruangan. "Ada yang bisa saya bantu bu Diana?""Apakah ada keluhan tentang perusahaan?" tanya Diana to the point. "E
"Aku takut mas, aku takut mereka akan membunuhku dan anakku lagi." Ujar Dinda lebih histeris. Hardian mendekat, dielusnya punggung wanita yang teramat ia cintai itu. "Hey sayang, dengarkan aku ya! siapa yang akan membunuhmu dan anakmu? kamu itu istriku, begitu juga anak ini adalah darah dagingku. Siapapun yang berani menyentuhnya se ujung kuku pun itu akan menjadi urusanku. Kamu paham itu kan? Adinda mengangguk, meskipun lelehan air mata masih saja mengalir membasahi pipinya. "Udah jangan mikirin yang buruk buruk, orang hamil harus selalu berprasangka baik. Kendalikan dirimu, yang lalu biarlah berlalu." Ucap Hardian lagi. "Lho kenapa mantu mama nangis? kenapa sayang hem?" tanya Alina yang baru datang dan lansung berjongkong di depan menantunya. Adinda kikuk, ia merasa tidak enak kepada mertuanya. "Mama jangan jongkok di situ dong! aku gakpapa kok, ini juga nangis karena bahagia?" jawabnya berusaha menyembunyikan kekalutan hatinya. "Maksudnya?" "Seperti prasangka mama, aku ham
"Alhamdulillah," "Hah?" Ucapan Alina berhasil membuat anak dan menantunya itu cengo. "Maksud mama apasih? Adinda kaya gini kok dialhamdulillah in," tanya Hardian protes. "Ck bukannya kamu seorang dokter? seharusnya lebih paham dong daripada mama." Mendengar perkataan sang mama, Hardian seketika berfikir. Namun wajah bingungnya langsung berubah cerah kala sebuah kemungkinan muncul di kepalanya. "Kita ke rumah sakit sekarang ya, bukankah kamu belum datang bulan sejak pernikahan kita?"Adinda yang sedang menikmati pijitan Alina mengangguk. Dirinya memang belum mendapat tamu bulanan lagi sejak menikah. "Ya udah ayo, aku gendong kalau masih pusing!""Gak mau, kamu jangan deket deket dong mas! aku gak tahan sama bau badanmu."Mendengar jawaban Adinda, Hardian menghentikan langkahnya. "Ck iya iya, emang kamu kuat jalan sampai mobil?" Adinda mengangguk. "Ayo sayang biar mama bantu jalannya, suruh suamimu itu mandi dulu biar gak bau." Ledek Alina kepada putranya. Saat berjalan menur
"Keluar kamu!" Dengan perlahan kepala Laura muncul dari ruangan kecil miring lubang itu. "Terimakasih ayah," ucapnya saat berhasil keluar sepenuhnya. "Hem, ini sudah menjadi janjiku kemarin." Jawab Sapta sambil menggelanggang meninggalkan menantunya. "Huft aman, untungnya ayah benar benar menepati janjinya untuk melindungiku. *********Sedangkan si belahan bumi lain, seorang wanita paruh baya sedang memasuki sebuah rumah usang. Banyaknya sarang laba laba menjadikannya terlihat sedikit menakutkan. "Gak usah takut mbak, ini masih sering dibersihkan kok sama ibuk sebelum dia meninggal. Hanya saja setelah kepergiaannya saya suka sibuk kalau mau membersihkan." "Iya gakpapa kok, turut bela sungkawa ya atas meninggalnya bulik. Mbak bener bener gak tahu," "Terimakasih mbak, sebenarnya kami juga sering mempertanyakan dimana keberadaan mbak Lili, kok gak ada kabarnya sama sekali." Liliana mendesah. Memang sebegitu terkekangnya dia, sampai keluarganya yang tersisa di kampung tak lain bu