Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuatku membuka mata. Segera kulihat jam yang ada di samping, ternyata baru jam tujuh. Sepertinya sekarang sudah aman untuk aku keluar, semoga saja Qiera beli banyak bahan yang kemarin aku pesan.
Usai mandi, aku kesulitan mencari baju yang akan aku pakai. Kucoba menekan beberapa angka di ponsel, yaitu nomor telepon Qiera, tapi tidak juga diangkat.
Karena kesal, aku pun keluar kamar menuju tempat Qiera kemarin menyetrika banyak baju. Namun, tetap saja baju yang aku cari tidak ada di tempat itu, bahkan di jemuran saja tidak ada.
Kembali aku menelpon nomor Qiera, tapi dering ponselnya malah terdengar di dekatku. Segera aku mendekat ke arah cucian baju yang menimpuk, tempat bunyi ponsel terdengar.
Ah, sial, ternyata dia tidak membawa ponselnya.
Mau marah, tapi marah pada siapa. Jadi aku berinisiatif untuk mencari kaus kaki dan beberapa perlengkapan yang akan aku bawa di hari Kamis ini, tapi sialnya semua yang akan aku bawa tidak ketemu di manapun.
Gila, masa iya Qiera menyembunyikan barang-barangku?
Terpaksa hari ini aku memakai pakaian yang tidak seharusnya dan kaos kaki pun aku pakai bekas kemarin. Meksi sudah bau, tidak ada pilihan lain. Untung saja kemarin pintunya aku kunci, jadi Qiera tidak masuk, dan mengambil kaus kaki ini.
Sebelum dipakai, sepasang kaus kaki ini aku semprot lebih dulu dengan minyak wangi yang banyak, baru bisa pergi dengan percaya diri. Untung saja aku pintar menyusun semuanya, kalau tidak, sudah pasti hari ini akan menjadi bahan tertawaan.
***
"Kenapa baju yang anda pakai hari ini berbeda dari jadwal yang seharusnya?" Salsa menatapku dari atas sampai bawah.
"Iya, Sa, maaf, ya. Masalahnya kemarin semua pakaian yang dijemur tekena hujan, jadinya gini." Aku mencari alasan.
"Sa? Dia itu sekretaris saya. Panggil dia "Bu", "Ibu", atau Miss!" Bos gila itu muncul begitu saja dan menganggu kebersamaan kita.
Dasar tidak tahu malu.
"Iya, baik."
"Terus kenapa hari ini baju kamu beda?" Bos itu kembali menatap baju yang aku gunakan. "Kebasahan pas dijemur?"
"Iya, Pak, benar."
"Alah, klise. Kamu itu kalau mau berbohong yang pintar, dong. Masa iya baju hari Kamis yang dipakai seminggu sekali baru dijemur kemarin, yang gila kamu atau saya?" Dia mulai meradang dan sikap gilanya keluar lagi.
"Maaf, Pak."
Aku hanya bisa mengatakan kata itu.
"Maaf, maaf, memangnya maaf bisa mengubah segalanya? Enggak, Yasa. Kamu itu harus belajar disiplin! Bulan ini bonus kamu hanya akan diberikan setengahnya."
Apa? Bonusnya cuman setengah?
Aku berlari ke arah bos gila itu dan berdiri di depan pintu menghalanginya untuk masuk. "Saya mohon jangan seperti ini, Bos. Kebetulan bulan ini saya banyak keperluan, terutama anak saya sedang membutuhkan uang yang banyak untuk membeli susunya yang mahal. Di tambah istriku juga sedang membutuhkan suntikan dana, Bos. Kalau tidak, mungkin dia akan murung setiap hatinya," ucapku panjang lebar sambil mengeluarkan air mata buaya.
Meksipun harus berbohong dengan membawa Qiera dan kedua anak itu, aku rela. Asalkan bonus bulan ini tidak dipotong. Terlebih siang ini Ibu dan adikku Yani akan datang, sudah pasti aku harus memberinya uang saku.
"Istrimu butuh uang buat apa?" Ia kembali bertanya.
"Banyak, Bos, katanya skincare-nya sudah habis. Susu anakku juga harus segera dibeli yang jumlahnya sangat mahal," jelasku dengan kebohongan yang semakin menjadi. Tentu saja demi bonus yang harus ada di tanganku dan bila perlu ditambah, bukan dikurangi.
"Baik, tidak jadi saya potong. Tapi ingat, ini hanya untuk istri dan anak-anakmu, bukan untuk dirimu!" tegasnya penuh penekanan.
***
"Sa, mau pulang bareng?" ajakku pada seorang gadis cantik yang selalu aku puja itu.
"Ti-tidak, terima kasih," tolaknya halus.
"Baru keluar dari ruangan Pak Bos?" Aku kembali bertanya.
"Iya." Ia menjawab tanpa melihatku. "Oh, iya, ini tempat bekalnya."
Seperti biasa Salsa akan menyerahkan kotak bekal setiap aku pulang, karena aku memberikan bekal yang dibuatkan Qiera untuknya.
"Jadi bekal yang diberikan Salsa untuk saya setiap hari itu dari kamu?" Suara bos gila itu mulai terdengar, seperti biasa dia suka tiba-tiba datang seperti ini, dan membuat kita terkejut.
"Apa?" Aku menatap Salsa tidak senang.
"Maaf, tapi Pak Bos selalu minta bekalnya sebelum saya makan." Salsa berbicara lirih.
"Ya sudah, tidak apa. Toh, sudah terlanjur juga, kan?" Kini aku menatap Pak Bos gila ini. "Bagaimana Pak makanannya, enak?"
Tidak ada salahnya jika aku memanfaatkan situasi, kan? Justru ini adalah hal yang bagus. Aku akan meminta bonus bulan ini ditambah.
"Enak banget, istrimu jago masak juga, ya?" ucapnya memuji.
"Wah, istri saya itu memang sangat ahli, Pak. Cuman sepertinya besok saya tidak akan membawa bekal lagi." Aku mulai berakting.
"Loh, kenapa? Padahal masakannya enak banget."
"Bahan-bahannya di rumah habis, Pak. Jadi, istri saya masak seadanya," ucapku pelan.
"Kasih aja uang yang ada untuk istriku, nanti aku tambahkan bonusnya." Dia berbicara pelan, lalu kembali ke ruangannya.
Sepertinya kali ini dia akan lembur lagi. Yes, akhirnya aku mendapatkan tambahan bonus lagi.
***
"Yasa, kenapa kamu baru pulang?" Ibu langsung berteriak ketika melihatku turun dari mobil.
"Aku kan kerja, Bu. Jam segini memang jadwal aku pulang, loh."
"Kenapa di rumah sepi, ke mana anak dan istrimu?" Ibu kembali bertanya. Ke mana? Paling juga rebahan di kamar sambil makan makanan ringan. Benar, sudah pasti begitu.
"Ada di dalam, berarti Ibu dan Yani belum makan?"
"Kamu sudah makan, tadi di meja ada banyak makanan, jadi kami langsung makan, dan menghabiskan semuanya." Yani menjawab tanpa dosa, padahal yang aku tanya Ibu.
"Terus untuk aku?"
"Suruh si Qiera masak lagi, lah!" bentak Ibu terdengar kesal, padahal aku yang seharusnya begitu.
Aku masuk ke dalam rumah, tapi rasanya ada yang aneh.
"Kenapa?" Ibu menatapku heran.
"Aku merasa hari ini rumah terlihat bersih dan wangi?" tanyaku sambil mengendus sofa dan gorden. Wanginya.
"Haruslah! Qiera kan seorang istri yang hanya diam di rumah, sudah seharusnya dia menjaga kebersihan rumah agar selalu wangi dan jauh dari kata berantakan." Ibu tersenyum bangga.
Kalau saja Ibu tahu bagaimana kondisi rumah biasanya, sudah pasti akan memarahi Qiera habis-habisan.
Sore ini aku tidak langsung masuk ke dalam kamar dan memilih untuk tiduran di sofa lebih lama untuk anak-anak tidak main di ruangan ini.
Baru saja mata terpejam beberapa menit, aku langsung terbangun karena merasa ada yang aneh di sini. Tapi apa, ya?
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, tiba-tiba saja aku haus, dan mengambil minum di dapur.
Tanpa sengaja, aku melihat memo kecil berwarna kuning. Langsung saja aku ambil dan tubuhku lemas ketika membacanya.
"Aku pulang ke rumah Mama dulu ya, Mas. Uang dua ratus yang kamu kasih kemarin sudah aku belikan makanan kesukaan Ibu dan Yani, sisanya aku simpan di atas kulkas. Maaf kalau aku tidak izin, ya, aku harap Mas bisa hidup tanpa aku dan anak-anak." "Pulang? Di saat ada Ibu sama Yani dia malah pulang? Dasar mantu durhaka. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran!" Ibu langsung murka ketika tidak sengaja membuka memo yang sedang aku pegang. Qiera memang benar-benar sudah keterlaluan. Kalau memang dia tidak keberatan dengan kedatangan Ibu dan adikku, kenapa dia baru pulang sekarang? Kenapa tidak sebelum-sebelumnya? Aku kembali teringat dengan ponsel yang ada di keranjang baju kotor, tapi tidak ada. "Cari apa kamu di situ?" Ibu bertanya sambil menatapku jijik. "Tadi aku menemukan ponsel Qiera di sini, Bu, jadi kalau sekarang tidak ada, dia pasti bawa ponsel!" Aku terus mencarinya sampai bajunya aku lempar ke sembarang arah. Akan tetapi lagi-lagi yang aku temukan hanya kertas memo kecil
"Kenapa pulang lagi? Tidak jadi 'kah?" Ibu duduk di sampingku yang menghempaskan diri di sofa. "Sepertinya Qiera memang harus diberikan pelajaran, Bu." Aku menceritakan tentang apa yang terjadi barusan dan Ibu menjadi lebih emosi. "Sudah aku bilang dari dulu, Mas, kalau wanita itu memang bukan perempuan baik-baik." Yani ikut bicara dan duduk di samping kiriku. Kami pun mulai menyusun rencana untuk membuat Qiera kembali, pokoknya dia harus pulang tanpa dijemput, dan tanpa diantar keluarganya. "Nah, sekarang coba kamu telpon bapaknya!" titah Ibu dan aku langsung melakukannya. "Assalamu'alaikum, Yas, ada apa?" Suara Bapak mertua langsung terdengar, dapat aku pastikan kalau aku memang selalu menjadi menantu kesayangan karena Qiera adalah anak satu-satunya. Tentu saja aku juga termasuk ke dalam menantu satu-satunya, apalagi mamanya Qiera sudah menganggapku seperti anak sendiri. Jadi, dapat aku pastikan kalau kali ini Qiera tidak akan pernah bisa kabur lagi seperti ini. Aku akan mem
Aku mengerjapkan mata ketika melihat Mama dan Papa mertua juga turun dari mobil. Bukan hanya aku, Yani dan Ibu pun langsung kehilangan kata-kata. Pukulan yang tadi mendarat cukup keras di bahu Qiera, kini berubah menjadi elusan penuh kasih sayang. "Kamu capek 'kan, Sayang? Masuk dulu, yuk, nanti Ibu siapkan makanan yang paling enak," ucap Ibu dengan suara yang sangat berbeda dari tadi. "Masak? Kan di dalam masih berantakan, apa tidak apa-apa menyuruh mereka masuk?" bisikku di telinga Ibu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mama dan Papa melihat dalam rumah yang begitu berantakan, bahkan lebih parah dari kapal pecah. Aku sendiri langsung pusing ketika melihatnya, apalagi mereka. Bisa-bisa kami bertiga langsung dibenci oleh mertuaku. "Gapapa, biar orang tuanya tahu kalau anaknya sudah pergi terlalu lama, dan menelantarkan suaminya begitu saja." Ibu bersikap percaya diri. Ya sudah, kalau Ibu sudah berkata begitu, aku tidak punya pilihan lain. Hanya bisa berdoa semoga apa sem
"Tidak!" Ibu menjerit-jerit histeris selama beberapa saat, lalu berlari ke arah Qiera, dan dan handak menamparnya. Aku tidak terkejut, Ibu memang sering melakukan itu kepada Qiera, tapi aku sangat berbeda ketika melihat Qiera menahan tangan ibu dan menjatuhkannya. "Kenapa? Mau jadi mantu durhaka ya, kamu?” Ibu kembali menjerit. "Aku tidak akan seperti ini kalau Ibu tidak mencari masalah lebih dulu. Dari awal aku memang selalu melakukan apapun yang Ibu perintahkan, karena aku sadar kalau Ibu adalah wanita yang harus aku hormati. Tapi apa yang aku dapatkan?" Qiera mengungkapkan isi hati yang selama ini selalu dia pendam. Aku sendiri tidak tahu kalau dia tertekan dengan keadaan ini. Aku pikir selama ini dia baik-baik saja, karena selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Ternyata aku salah. "Baik, maafkan Ibu, Qiera." Aku berkata tanpa sadar, sampai membuat Ibu menatap geram ke arahku. "Maafkan Ibu juga, apa yang seorang Ibu lakukan tidak pernah salah." Qiera yang awalnya terkej
"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak. "Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada." "Apa? Kok, bisa?" "Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal. "Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?" "Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat. Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini. Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari
"Jawab!" bentaknya membuat kami bertiga semakin tidak berdaya. Entah apes atau apa, yang jelas hari ini kami selalu dipenuhi kesialan. Apa jangan-jangan ini gara-gara Qiera yang kembali, ya? Apa yang aku harus jawab, sama sekali tidak kepikiran untuk berbohong di hadapan lelaki ini. Apalagi Ibu dan Yani. Sepetinya kita hanya bisa menunggu amarahnya mereda. "Oh ... jadi kalian mau main diam-diaman?" Lelaki itu memilih duduk tepat di depan kami, "tapi mau sampai kapan?" Keadaan menjadi semakin hening karena beberapa pengunjung mulai fokus ke arah kita, sepertinya mereka sangat ingin tahu dengan urusan orang lain. Keringat mulai membasahi bajuku, sepertinya sebentar lagi baju ini akan basah. Aku lihat Ibu dan Yani pun sama, memang menakutkan. "Mas, saya mau menu yang paling mahal di sini, dong. Pake nasi, ya, jangan lupa dikemas dengan box," pintanya pada pelayan kafe. Aku dan Ibu saling tatap karena sama-sama punya firasat yang tidak baik setelah lelaki itu memesan. "Berapa, Pa
Qiera Awalnya keluarga Mas Yasa sangat baik padaku, terutama Bapak. Namun, semenjak kami pisah rumah, Mas Yasa mulai menunjukkan sikapnya. Suka marah-marah dalam segala hal, bahkan menyangkut hal kecil sekalipun. Hinaan dan kata-kata kasar menjadi makanan sehari-hari untukku. Ingin rasanya aku menyerah, tapi kembali ingat kalau setiap rumah tangga pasti akan ada ujian, apapun itu. Kalau tidak diuji keturunan, pasti ekonomi, kalau tidak keduanya, diuji dengan sikap suami dan anak-anak. Selama ini aku berusaha sabar, tapi sampai ketika Mas Yasa mengatakan ibunya dan adik ipar akan datang, aku menyerah. Aku memilih untuk pergi ke rumah orang tuaku dan bersantai sejenak dari kehidupan yang hanya aku lalui penuh luka dan air mata. "Jangan khawatir, Bapak tidak akan pernah membiarkan anak sebaik kamu terluka." Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu berusaha untuk menguatkan aku. "Nanti kalau dia berbuat macam-macam lagi, laporkan segera sama Bapak," lanjutnya. Aku hanya menganggu
Qiera Aku benar-benar puas dengan cara Bapak mertua mendidik istri dan anak-anaknya. Sebagai kepala rumah tangga memang harus tegas seperti itu. Apalagi jika sikapnya begitu semua. Aku saja rasanya sangat pusing. Ingin marah, tapi coba kutahan. Karena bagaimanapun mereka adalah suami dan mertuaku. "Kita gak akan bisa bernapas dengan tenang kalau Bapak ada di ini!" Tidak sengaja aku mendengar Mas Yasa berbicara, tapi di mana, dan apa yang mereka bicarakan jam dua belas malam begini. Aku berjalan pelan ke arah sumber suara yang kupikir ada di sebelah kiri, berarti mereka di dapur. Tapi aku salah, ternyata di dapur tidak ada apapun. Aku kembali ke depan pintu kamar dan mencoba untuk tenang dulu sambil memastikan mereka ada di mana. "Justru kita semakin akan dimarahi Bapak kalau masih ada Qiera, jadi sebaiknya kita berikan Qiera pelajaran dulu. Kalau tidak kunjung jera, terpaksa kita gunakan cara terkahir," jelas seorang wanita yang aku tahu ini adalah suara Ibu. Spontan tangan
KSIBP 137 Setelah terikat pernikahan dengan Om Dion, Mala menjalani hidup normal seperti seorang istri, tapi tetap mengurus restorannya. Mala sama seperti Qiera, mengurus semua kebutuhan Zayyan dan Om Dion oleh dirinya sendiri. Sementara Harun, dia mulai mendekati Hani. Wanita yang berhasil memikat hatinya karena semua karakter wanita yang dia butuhkan ada padanya. Harun juga mendatangi keluarga kakek Diko untuk melamarnya, tapi ternyata membuat kebencian para wanita yang ada di sama membara."Mana bisa gadis kampung dan anak pelacur itu jadi bagian dari keluarga kita?""Benar, itu tidak boleh terjadi. Sudah cukup Diko salah memilih istri, sekarang kita tidak bisa membiarkan berdebah kecil itu menjadi istri Harun," geram Marisa.Marisa sengaja menyulut emosi para wanita yang ada di kediaman kakek Diko agar membenci Hani dan melakukan banyak hal untuk mencelakainya. Namun, bagi Hani semuanya tidak mempan. Dia memang bukan bagian dari keluarga besar Diko, jadi dia sama sekali tidak ke
KSIBP 136 Waktu pernikahan Mala dan Om Dion sudah ditentukan. Meksipun Pak Bagas menantangnya, tapi dia kalah dengan Pak Malik yang langsung turun tangan."Kau cukup menjadi wali nikahnya, tapi kalau tidak mau, bisa diwakilkan dengan kakakmu," ancam Pak Malik.Kakak yang dimaksudnya adalah pria yang paling ditakuti Pak Bagas. Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak sedekat Pak Malik dan Om Dion. Sangat jauh."Untuk kali ini aku memang tidak bisa melawan, tapi lihat saja, kalian tidak akan bisa hidup bahagia tanpa izin dariku," ucapnya lantang dengan penuh percaya diri."Oh, ya? Memangnya siapa kau berani berkata seperti itu? Apa kau Tuhan?" Pak Malik sudah tidak sabar untuk mencekik lehernya dan merobek bibirnya, tapi dia tahan karena bagaimanapun dia adalah ayah dari Mala.Pak Bagas tidak bicara. Dia kembali menghilang seperti ditelan bumi, begitupun dengan istrinya.Beberapa kali sudah Diko memergoki Pak Bagas yang berusaha melakukan penyuapan agar Pak Aryo dibebask
KSIBP 135 "Apapun yang kita lakukan tidak ada hubungannya denganmu!" Diko menatap tajam ke arah pamannya Qiera. Saat ini dia tidak suka diganggu karena sedang bersama istri. "Ini adalah hal yang biasa, masalahku lebih penting." Om Dion duduk di dekat mereka dan membuat Qiera merasa tidak nyaman, lalu berusaha melepaskan tangan Diko, tapi gagal."Kalian belum halal, sementara kamu sudah. Jadi, siapa yang lebih penting?" Diko berucap tenang. Sebenarnya dia ingin marah, tapi tidak bisa kalau di dekatnya ada Qiera. Dia tidak ingin membuat istrinya ketakutan karena melihat sisi gelapnya.Om Dion terdiam. Apa yang dikatakan Diko memang benar. Harusnya di ini Om Dion yang membantu masalah Diko ataupun Harun, bukan malah sebaliknya karena Om Dion lebih tua. Ditambah Diko juga hanya keponakan, tapi semuanya tidak akan berjalan kalau Diko hanya diam.Om Dion berjalan ke arah luar dan duduk di bangku taman, sementara Diko masih memeluk Qiera erat."Aku malu," lirih Qiera dengan wajahnya yang m
KSIBP 134 Laras bangkit dari lantai dengan tertatih-tatih tanpa ada bantuan dari siapapun. Dia menangis dalam diam tanpa mengatakan apapun dan Harun sama sekali tidak peduli. Dari dulu, dia memang tidak ada perasaan apapun kepada Laras. Jika bukan karena balas budi, dia juga tidak akan mau memperhatikan Laras selama ini. "Apa benar dia tidak apa-apa?" tanya Marisa khawatir. Sebenarnya dia hanya pura-pura peduli agar Harun dan kepala maid menilainya baik, tapi sayangnya niatnya itu sudah diketahui dari awal. Harun sudah tahu kalau keluarganya Diko tidak ada yang tulus, kecuali Hani. Makanya dia mau memanfaatkan wanita-wanita itu untuk dijadikan alat agar Laras tahu diri. "Kalau kau memang peduli, sana urus dia. Tapi setelah itu pergilah dari rumahku!" Harun memberikan peringatan. Marisa bergidik ngeri. Dia tidak berani mendekat sedikit saja ke arah Laras. "Kenapa dia seperti ini?" ucap Laras bertanya-tanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, tapi segera dihadang beberapa penjaga. "
KSIBP 133 "Aku serius. Dia kenapa tidak pernah cemburu ketika aku sibuk dengan karyawan wanita, kenapa juga dia tidak pernah menelepon ketika aku sedang di kantor? Padahal, selama ini aku selalu menunggunya," jelas Diko panjang lebar. Diko ingin seperti beberapa karyawannya yang selalu diperhatikan oleh istri. Menelepon ketika makan siang atau mengantarkan bekal. Pak Malik menatapnya datar. "Serius kau datang hanya untuk mengatakan ini?" "Tentu saja. Memangnya apa lagi? Bagiku masalah ini lebih penting daripada apapun. Aku bisa menyelesaikan semua masalah dengan mudah, kecuali ini." Diko merespon cepat. Pak Malik berusaha menahan tawanya, lalu menceritakan bagaimana sifat istrinya. Qiera sama seperti mamanya yang terlihat seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan suami, padahal aslinya dia gelisah setengah mati. Namun, dia tidak berani melakukan hal-hal yang ada di pikirannya karena takut mengganggu pekerjaan Diko. "Padahal, aku suka diganggu." Diko kembali mengacak rambutny
KSIBP 132 "Kenapa tadi kamu begitu cemburu?" tanya Mama Diko heran ketika sang anak memang sengaja menemuinya. "Bukankah seorang suami memang harus punya cemburu ketika istrinya ditatap oleh wanita lain?" Diko malah kembali memberikan pertanyaan. Sang mama menghela napas panjang. Sungguh tidak menyangka anaknya menjadi pencemburu semenjak menikah, terutama dengan wanita yang dari dulu sudah diinginkannya. "Iya, Mama paham." "Kalau paham, kenapa Mama banyak bertanya?" Diko mengerutkan keningnya. "Aku ke sini untuk membicarakan beberapa hal penting. Lagi pula dia sudah banyak aku bantu, masa iya masih berani menatap istriku." Kecemburuan Diko ternyata belum reda sampai membuat mamanya angkat tangan. "Kamu ke sini mau dibujuk Mama atau sedang cari perhatian istrimu?" tanyanya heran. "Tentu saja untuk mengabarkan kalau anakmu ini sangat hebat. Semua rencana berada di bawah kendaliku," ucap Diki mulai bangga diri. "Alhamdulillah. Jangan lupa bersyukur untuk setiap kejadian karena
KSIBP 131 Laras tidak berhenti berteriak semenjak di rumah itu ada tantenya Diko. Awalnya Harun tidak setuju jika perempuan yang usianya lebih tua tiga tahun darinya itu menginap, tapi ketika mengingat Laras mulai kehilangan kendali, dia mendadak setuju. "Usir wanita itu dari rumah ini, hanya aku yang pantas menjadi istrinya Harun, dan hanya aku yang boleh ada di dalam hatinya!" teriak Laras tidak terima dan hal ini membuat kepala penjaga semakin bahagia. "Kalau kau tidak rela ada wanita lain di rumah ini, maka kau harus menjadi kuat!" Kepala penjaga mulai melancarkan aksinya. "Kuat?" Laras terdiam. "Iya. Kau harus makan setiap makanan yang dia berikan agar punya tenaga untuk membalasnya. Kemungkinan besar dia akan tinggal di rumah ini dalam waktu yang lama. Jadi, kalau kamu tidak mau kalah, kamu harus lebih unggul," jelas kepala penjaga yang sedang berusaha menjadi kompor. Harun memang hanya ingin Laras merasakan apa yang Mala rasakan dulu. Dalam artian dia ingin Laras diperlak
Setelah mendapatkan penjelasan dari Diko, Qiera segera meminta pamannya itu untuk datang ke rumah. "Ada apa? Sepertinya ada yang penting." Om Dion memasang wajah datar. "Aku ada informasi penting yang harus Om ketahui." Qiera mulai meluruskan duduknya. Sementara Diko hanya melihat tingkah istrinya dari jauh. Dia sudah tahu kalau Qiera akan memanggil pamannya ke sini. "Apa itu?" Om Dion masih bertanya dengan wajah datarnya. "Tentang Mala." Wajah datar itu langsung berubah lesu ketika mendengar nama yang selalu dia rindukan. Sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Kini Qiera yang terdiam. Dia ingin mengulur waktu agar wajah Om Dion tidak ditekuk seperti itu lagi. "Apa yang ingin dibicarakan tentang dia?" Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Om Dion bertanah karena sudah tidak sabar untuk mendengarkan kabar yang akan diceritakan keponakannya itu. "Coba Om tebak aku akan bicara apa." Qiera malah mengajaknya bermain-main. "Ayolah, Qiera, ada banyak hal yang harus aku kerjakan.
Hari pertama yang datang ke rumah Harun adalah adik ayahnya Leo. Wanita yang disebut Tante dan mengatakan kebenciannya terus terang kepada Qiera. Wanita itu datang dengan penampilan yang cetar membahana. Sungguh jauh daripada penampilan sebelumnya atau penampilan yang disukai Harun. Bahkan bertolak belakang. "Kamu yakin suka wanita seperti itu?" bisik kepala maid yang selama ini selalu ada di sampingnya sudah seperti keluarga. "Mana ada. Aku hanya ingin menjadikan dia sebagai alat saja." Harun menjawab cepat. Sekarang dia hanya memperhatikan wanita itu dari jauh, tapi perutnya sudah terasa mual, dan ingin muntah. "Terus apa yang harus kita perintahkan padanya?" tanya kepala maid dan saat ini tidak memakai pakaian pekerja, karena menyamar sebagai saudaranya Harun. "Pinta dia memasak, sama seperti yang aku perintahkan pada Mala dulu. Lalu, minta dia untuk mengantarkan makanan untuk Laras. Aku sungguh tidak sabar ingin segera tahu apa yang akan terjadi kalau mereka berdua bertemu