"Kenapa? Tidak kan?" Tatapan matanya menatapku seolah ingin melahap hidup-hidup. Aku tahu orang ini memang keras, tapi tidak tahu kalau suka mencampuri urusan orang juga.
Dasar tidak tahu malu, memang dia pikir dia siapanya aku?
"Maaf, Pak, tapi saya tidak punya waktu untuk membantunya mengurus pekerjaan rumah." Aku menjawab jujur.
"Tidak punya waktu? Padahal kau pulang jam lima sore, kan? Harusnya ada banyak waktu untuk membantu istrimu." Dia berkata seenak jidat. "Terus apa tadi maksudnya istrimu pandai menghabiskan uang, memang kamu memberinya berapa?" tanyanya lagi.
Duh, kenapa sih, nih orang, kok, ingin tahu kehidupan pribadiku?
"Enggak sampai dua juta bukan? Padahal gajimu di sini hampir lima juta, tapi memberikan setengahnya saja kamu tidak?" Dia menepuk-nepuk keningnya. "Kok, bisa saya punya pekerja yang pelitnya luar biasa sama istri sendiri tapi ingin dihidangkan makanan yang mewah?"
Dia tertawa miris, lalu mengeluarkan kalimat-kalimat nasihat, tapi sayangnya aku tidak mau dengar. Enak saja, dia masih bujangan tapi malah merecoki aku.
Dasar, lihat saja kalau nanti kamu nikah, gak akan lagi kamu bilang begini sama aku.
"Gimana, gak di pecat, kan?" Jordi mendekat ke tempatku.
"Enggak, pokonya aman."
"Dia tanya apa aja tadi?" Angga ikut nimbrung.
"Biasalah, orang kepo." Aku menjawab santai, lalu kembali melanjutkan pekerjaan karena waktu istirahat sudah berkahir.
Ah, sial, ini gara-gara bos yang sok tahu itu. Aku jadi tidak bisa melihat wajah Si Cantik Salsa. Padahal biasanya setelah istirahat, dia akan menemuiku di tangga untuk memberikan beberapa arahan pekerjaan dari bos pusat.
***
Sebelum pulang, aku mampir di sebuah restoran yang lumayan mahal. Yah, kali-kali untuk membuat otakku bisa berpikir jernih. Daripada makan di rumah, baru membayangkannya saja sudah membuatku muak.
Aku memesan ayam kecap, sup iga tanpa sayur, dan sepotong rendang daging sapi. Kalau di rumah, aku pasti sudah dimarahi Qiera habis-habisan karena tidak makan dengan sayur dan sebaliknya malah pakai daging yang banyak.
"Berapa, Mbak?" Aku mendekat ke arah kasir dan bertanya tentang jumlah harga yang harus aku bayar. Biasanya ada karyawan yang mendekat sambil menyerahkan nota, anehnya hari ini tidak ada.
"Tiga ratus ribu, Pak."
Apa? Aku sangat terkejut dengan jumlah yang disebutkan.
"Coba cek ulang, Mbak, saya hanya makan beberapa saja," pintaku, "lebih teliti lagi coba."
"Sudah, Pak. Ayam kecap dua potong enam puluh ribu, sup iga enam puluh ribu, tiga potong rendang sembilan puluh ribu, tiga dua porsi nasi putih dua puluh ribu, satu buah jus alpukat empat puluh ribu, ditambah kerupuk sama pisang tiga puluh ribu, total tiga ratus ribu. Ini nota pemesanannya!"
Aku terbelalak ketika dia menyebutkan semua pesananku dan banyak pembeli yang melihat sambil melemparkan tatapan merendahkan.
"Kurus-kurus makannya banyak banget."
"Iya, mana gak berani bayar lagi."
"Padahal ini restoran mahal, harusnya dia sudah tahu, ya, dan jangan masuk ke sini kalau tidak punya uang."
Orang-orang terus berbisik, tidak peduli tua ataupun muda, mereka tertawa ketika melihatku seperti ini. Dasar orang-orang tidak berpendidikan. Padahal aku bayar pun pakai uang sendiri dan sama sekali tidak meminta mereka untuk membayarnya.
Gajiku memang besar, tapi aku tidak suka berfoya-foya seperti ini, dan lebih memilih untuk menabungnya untuk memasukkan anak-anakku ke sekolah yang mahal agar tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tidak membuatku malu.
***
Sebelum benar-benar memasukkan mobil ke dalam garasi, aku diam lebih dulu di depan. Mempersiapkan diri untuk lebih kuat melihat rumah yang berantakan dan anak-anak yang saling menjerit.
Setelah cukup tenang, segera aku membuka pintu, dan benar saja kalau kondisi rumah persis yang aku bayangkan. Sama seperti hari-hari yang aku lalui.
"Mas, aku titip Zihan sebentar, ya, aku mau ke kamar mandi!" Qiera berlari ke arahku dan tiba-tiba mendudukkan Zihan di pangkuan ketika aku baru saja melepas sepatu.
"Qiera! Aku duduk untuk istirahat bukan mengurus anakmu yang bau ini!" Aku berteriak tidak suka.
"Bentar aja, Mas, aku dah gak tahan. Nanti aku ambil lagi. Zihan gak bau, kok, dia udah mandi dia kali. Coba kamu cium!" Suara Qiera tidak kalah melengking dari suaraku.
Orang bilang dia adalah istri yang shalihah, tapi mana ada istri shalihah begini.
Ah, dasar, ada-ada saja.
Aku mencium aroma wangi dari Zihan. Wah, ternyata dia benar wangi.
"Papa a-ku ma-u pis," ucap balita yang ada di pangkuanku.
"Pis apaan?" Aku kembali bertanya, tapi dia hanya tertawa.
Eh, aku baru saja kalau anakku ternyata cantik dan putih juga. Tidak sia-sia aku merawat tubuh di usia muda, ternyata menurun ke anak-anakku.
"Pa mau pis." Dia kembali bicara, lalu tertawa.
Aku langsung menggendongnya dan mendekat ke arah kamar mandi yang ada di dapur. "Zihan katanya mau pis, pis apaan?" Aku berteriak dari luar.
"Bohong, Mas."
"Untuk apa aku bohong?" Aku menendang pintu kamar mandi akibat kesal dibilang bohong. "Kalau kamu nyangka aku bohong gapapa, aku tinggal Zihan di sini!"
Aku menurunkan Zihan dari pangkuan. Matanya berkaca-kaca, tapi aku tidak peduli.
"Maksudnya Zihan tidak pipis, dia berbohong. Kan popoknya baru ganti!" Qiera kembali bicara.
"Pis itu pipis?" Aku mengulang artinya.
"Iya, Mas!"
Aku kembali membawa Zihan yang tidak berhenti tertawa ke pangkuan. Masa iya anak dua tahun sudah tahu meledek seperti ini?
Aku gak percaya, pasti ada kelainan.
"Kita harus bawa Zihan ke dokter!" Aku berteriak panik.
"Untuk apa, Mas?" Qiera tiba-tiba muncul dari balik pintu dan melipat tangannya di dada. "Zihan itu sehat, dia akan yang aktif, dan sudah pintar bicara serta berjalan di usia satu tahun dua bulan. Sekarang bahkan larinya sudah kencang!" jelasnya panjang lebar.
"Sudahlah, ini anakmu!" Aku kembali menyerahkan Qiera dan berjalan cepat ke kamar.
Aku tidak tahu usia berapa anak-anak pintar bicara ataupun berjalan. Tapi satu hal yang aku tahu, yaitu anaknya Jordi yang berusia tidak jauh beda dari Zihan, bahkan lebih tua, tapi bicaranya pun tidak jelas. Anak itu selalu terlihat murung.
Baru saja naik, dering ponsel terdengar.
"Halo."
Aku mengawali pembicaraan.
"Yasa, ini Ibu. O, ya, besok Ibu dan adikmu akan datang berkunjung untuk melihat Zihan dan Zion," ucap Ibu di sebrang telpon.
"Iya, Bu. Nanti aku suruh Qiera untuk menyiapkan makanan enak dan mahal."
"Baguslah, memang harus seperti itu. Kalau tidak, Ibu akan menikahkan kamu dengan anak tetangga yang berkarir, dan pintar memasak dengan budget pas-pasan," tandasnya.
"Anak tetangga? Ibu ada-ada aja. Pokoknya aku hanya mau Salsa, bukan anak tetangga," teriakku dalam hati.
Tuttt ... panggilan dimatikan satu pihak.
Bergegas aku keluar dari kamar, terlihat Qiera sedang melipat baju di ruang tamu. Aku pun berteriak dari depan pintu kamar, "Besok beli ikan, daging, dan cumi karena Mama dan adikku mau ke sini. Pake saja uang yang ada, kalau kurang kamu cari tambahannya!"
Qiera menghentikan aktivitasnya setelah aku selesai berteriak, sepertinya dia mau protes, jadi aku buru-buru masuk ke dalam kamar, dan menguncinya.
Besok aku akan berangkat agak siang karena harus memastikan Qiera pergi ke pasar atau tidak. Semoga saja uang dua ratus ribu kemarin cukup untuk membeli bahan-bahan yang aku sebutkan tadi, soalnya aku tidak mau keluar uang lagi.
Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuatku membuka mata. Segera kulihat jam yang ada di samping, ternyata baru jam tujuh. Sepertinya sekarang sudah aman untuk aku keluar, semoga saja Qiera beli banyak bahan yang kemarin aku pesan. Usai mandi, aku kesulitan mencari baju yang akan aku pakai. Kucoba menekan beberapa angka di ponsel, yaitu nomor telepon Qiera, tapi tidak juga diangkat. Karena kesal, aku pun keluar kamar menuju tempat Qiera kemarin menyetrika banyak baju. Namun, tetap saja baju yang aku cari tidak ada di tempat itu, bahkan di jemuran saja tidak ada. Kembali aku menelpon nomor Qiera, tapi dering ponselnya malah terdengar di dekatku. Segera aku mendekat ke arah cucian baju yang menimpuk, tempat bunyi ponsel terdengar. Ah, sial, ternyata dia tidak membawa ponselnya. Mau marah, tapi marah pada siapa. Jadi aku berinisiatif untuk mencari kaus kaki dan beberapa perlengkapan yang akan aku bawa di hari Kamis ini, tapi sialnya semua yang akan aku bawa tidak ketemu
"Aku pulang ke rumah Mama dulu ya, Mas. Uang dua ratus yang kamu kasih kemarin sudah aku belikan makanan kesukaan Ibu dan Yani, sisanya aku simpan di atas kulkas. Maaf kalau aku tidak izin, ya, aku harap Mas bisa hidup tanpa aku dan anak-anak." "Pulang? Di saat ada Ibu sama Yani dia malah pulang? Dasar mantu durhaka. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran!" Ibu langsung murka ketika tidak sengaja membuka memo yang sedang aku pegang. Qiera memang benar-benar sudah keterlaluan. Kalau memang dia tidak keberatan dengan kedatangan Ibu dan adikku, kenapa dia baru pulang sekarang? Kenapa tidak sebelum-sebelumnya? Aku kembali teringat dengan ponsel yang ada di keranjang baju kotor, tapi tidak ada. "Cari apa kamu di situ?" Ibu bertanya sambil menatapku jijik. "Tadi aku menemukan ponsel Qiera di sini, Bu, jadi kalau sekarang tidak ada, dia pasti bawa ponsel!" Aku terus mencarinya sampai bajunya aku lempar ke sembarang arah. Akan tetapi lagi-lagi yang aku temukan hanya kertas memo kecil
"Kenapa pulang lagi? Tidak jadi 'kah?" Ibu duduk di sampingku yang menghempaskan diri di sofa. "Sepertinya Qiera memang harus diberikan pelajaran, Bu." Aku menceritakan tentang apa yang terjadi barusan dan Ibu menjadi lebih emosi. "Sudah aku bilang dari dulu, Mas, kalau wanita itu memang bukan perempuan baik-baik." Yani ikut bicara dan duduk di samping kiriku. Kami pun mulai menyusun rencana untuk membuat Qiera kembali, pokoknya dia harus pulang tanpa dijemput, dan tanpa diantar keluarganya. "Nah, sekarang coba kamu telpon bapaknya!" titah Ibu dan aku langsung melakukannya. "Assalamu'alaikum, Yas, ada apa?" Suara Bapak mertua langsung terdengar, dapat aku pastikan kalau aku memang selalu menjadi menantu kesayangan karena Qiera adalah anak satu-satunya. Tentu saja aku juga termasuk ke dalam menantu satu-satunya, apalagi mamanya Qiera sudah menganggapku seperti anak sendiri. Jadi, dapat aku pastikan kalau kali ini Qiera tidak akan pernah bisa kabur lagi seperti ini. Aku akan mem
Aku mengerjapkan mata ketika melihat Mama dan Papa mertua juga turun dari mobil. Bukan hanya aku, Yani dan Ibu pun langsung kehilangan kata-kata. Pukulan yang tadi mendarat cukup keras di bahu Qiera, kini berubah menjadi elusan penuh kasih sayang. "Kamu capek 'kan, Sayang? Masuk dulu, yuk, nanti Ibu siapkan makanan yang paling enak," ucap Ibu dengan suara yang sangat berbeda dari tadi. "Masak? Kan di dalam masih berantakan, apa tidak apa-apa menyuruh mereka masuk?" bisikku di telinga Ibu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mama dan Papa melihat dalam rumah yang begitu berantakan, bahkan lebih parah dari kapal pecah. Aku sendiri langsung pusing ketika melihatnya, apalagi mereka. Bisa-bisa kami bertiga langsung dibenci oleh mertuaku. "Gapapa, biar orang tuanya tahu kalau anaknya sudah pergi terlalu lama, dan menelantarkan suaminya begitu saja." Ibu bersikap percaya diri. Ya sudah, kalau Ibu sudah berkata begitu, aku tidak punya pilihan lain. Hanya bisa berdoa semoga apa sem
"Tidak!" Ibu menjerit-jerit histeris selama beberapa saat, lalu berlari ke arah Qiera, dan dan handak menamparnya. Aku tidak terkejut, Ibu memang sering melakukan itu kepada Qiera, tapi aku sangat berbeda ketika melihat Qiera menahan tangan ibu dan menjatuhkannya. "Kenapa? Mau jadi mantu durhaka ya, kamu?” Ibu kembali menjerit. "Aku tidak akan seperti ini kalau Ibu tidak mencari masalah lebih dulu. Dari awal aku memang selalu melakukan apapun yang Ibu perintahkan, karena aku sadar kalau Ibu adalah wanita yang harus aku hormati. Tapi apa yang aku dapatkan?" Qiera mengungkapkan isi hati yang selama ini selalu dia pendam. Aku sendiri tidak tahu kalau dia tertekan dengan keadaan ini. Aku pikir selama ini dia baik-baik saja, karena selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Ternyata aku salah. "Baik, maafkan Ibu, Qiera." Aku berkata tanpa sadar, sampai membuat Ibu menatap geram ke arahku. "Maafkan Ibu juga, apa yang seorang Ibu lakukan tidak pernah salah." Qiera yang awalnya terkej
"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak. "Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada." "Apa? Kok, bisa?" "Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal. "Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?" "Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat. Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini. Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari
"Jawab!" bentaknya membuat kami bertiga semakin tidak berdaya. Entah apes atau apa, yang jelas hari ini kami selalu dipenuhi kesialan. Apa jangan-jangan ini gara-gara Qiera yang kembali, ya? Apa yang aku harus jawab, sama sekali tidak kepikiran untuk berbohong di hadapan lelaki ini. Apalagi Ibu dan Yani. Sepetinya kita hanya bisa menunggu amarahnya mereda. "Oh ... jadi kalian mau main diam-diaman?" Lelaki itu memilih duduk tepat di depan kami, "tapi mau sampai kapan?" Keadaan menjadi semakin hening karena beberapa pengunjung mulai fokus ke arah kita, sepertinya mereka sangat ingin tahu dengan urusan orang lain. Keringat mulai membasahi bajuku, sepertinya sebentar lagi baju ini akan basah. Aku lihat Ibu dan Yani pun sama, memang menakutkan. "Mas, saya mau menu yang paling mahal di sini, dong. Pake nasi, ya, jangan lupa dikemas dengan box," pintanya pada pelayan kafe. Aku dan Ibu saling tatap karena sama-sama punya firasat yang tidak baik setelah lelaki itu memesan. "Berapa, Pa
Qiera Awalnya keluarga Mas Yasa sangat baik padaku, terutama Bapak. Namun, semenjak kami pisah rumah, Mas Yasa mulai menunjukkan sikapnya. Suka marah-marah dalam segala hal, bahkan menyangkut hal kecil sekalipun. Hinaan dan kata-kata kasar menjadi makanan sehari-hari untukku. Ingin rasanya aku menyerah, tapi kembali ingat kalau setiap rumah tangga pasti akan ada ujian, apapun itu. Kalau tidak diuji keturunan, pasti ekonomi, kalau tidak keduanya, diuji dengan sikap suami dan anak-anak. Selama ini aku berusaha sabar, tapi sampai ketika Mas Yasa mengatakan ibunya dan adik ipar akan datang, aku menyerah. Aku memilih untuk pergi ke rumah orang tuaku dan bersantai sejenak dari kehidupan yang hanya aku lalui penuh luka dan air mata. "Jangan khawatir, Bapak tidak akan pernah membiarkan anak sebaik kamu terluka." Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu berusaha untuk menguatkan aku. "Nanti kalau dia berbuat macam-macam lagi, laporkan segera sama Bapak," lanjutnya. Aku hanya menganggu
KSIBP 137 Setelah terikat pernikahan dengan Om Dion, Mala menjalani hidup normal seperti seorang istri, tapi tetap mengurus restorannya. Mala sama seperti Qiera, mengurus semua kebutuhan Zayyan dan Om Dion oleh dirinya sendiri. Sementara Harun, dia mulai mendekati Hani. Wanita yang berhasil memikat hatinya karena semua karakter wanita yang dia butuhkan ada padanya. Harun juga mendatangi keluarga kakek Diko untuk melamarnya, tapi ternyata membuat kebencian para wanita yang ada di sama membara."Mana bisa gadis kampung dan anak pelacur itu jadi bagian dari keluarga kita?""Benar, itu tidak boleh terjadi. Sudah cukup Diko salah memilih istri, sekarang kita tidak bisa membiarkan berdebah kecil itu menjadi istri Harun," geram Marisa.Marisa sengaja menyulut emosi para wanita yang ada di kediaman kakek Diko agar membenci Hani dan melakukan banyak hal untuk mencelakainya. Namun, bagi Hani semuanya tidak mempan. Dia memang bukan bagian dari keluarga besar Diko, jadi dia sama sekali tidak ke
KSIBP 136 Waktu pernikahan Mala dan Om Dion sudah ditentukan. Meksipun Pak Bagas menantangnya, tapi dia kalah dengan Pak Malik yang langsung turun tangan."Kau cukup menjadi wali nikahnya, tapi kalau tidak mau, bisa diwakilkan dengan kakakmu," ancam Pak Malik.Kakak yang dimaksudnya adalah pria yang paling ditakuti Pak Bagas. Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak sedekat Pak Malik dan Om Dion. Sangat jauh."Untuk kali ini aku memang tidak bisa melawan, tapi lihat saja, kalian tidak akan bisa hidup bahagia tanpa izin dariku," ucapnya lantang dengan penuh percaya diri."Oh, ya? Memangnya siapa kau berani berkata seperti itu? Apa kau Tuhan?" Pak Malik sudah tidak sabar untuk mencekik lehernya dan merobek bibirnya, tapi dia tahan karena bagaimanapun dia adalah ayah dari Mala.Pak Bagas tidak bicara. Dia kembali menghilang seperti ditelan bumi, begitupun dengan istrinya.Beberapa kali sudah Diko memergoki Pak Bagas yang berusaha melakukan penyuapan agar Pak Aryo dibebask
KSIBP 135 "Apapun yang kita lakukan tidak ada hubungannya denganmu!" Diko menatap tajam ke arah pamannya Qiera. Saat ini dia tidak suka diganggu karena sedang bersama istri. "Ini adalah hal yang biasa, masalahku lebih penting." Om Dion duduk di dekat mereka dan membuat Qiera merasa tidak nyaman, lalu berusaha melepaskan tangan Diko, tapi gagal."Kalian belum halal, sementara kamu sudah. Jadi, siapa yang lebih penting?" Diko berucap tenang. Sebenarnya dia ingin marah, tapi tidak bisa kalau di dekatnya ada Qiera. Dia tidak ingin membuat istrinya ketakutan karena melihat sisi gelapnya.Om Dion terdiam. Apa yang dikatakan Diko memang benar. Harusnya di ini Om Dion yang membantu masalah Diko ataupun Harun, bukan malah sebaliknya karena Om Dion lebih tua. Ditambah Diko juga hanya keponakan, tapi semuanya tidak akan berjalan kalau Diko hanya diam.Om Dion berjalan ke arah luar dan duduk di bangku taman, sementara Diko masih memeluk Qiera erat."Aku malu," lirih Qiera dengan wajahnya yang m
KSIBP 134 Laras bangkit dari lantai dengan tertatih-tatih tanpa ada bantuan dari siapapun. Dia menangis dalam diam tanpa mengatakan apapun dan Harun sama sekali tidak peduli. Dari dulu, dia memang tidak ada perasaan apapun kepada Laras. Jika bukan karena balas budi, dia juga tidak akan mau memperhatikan Laras selama ini. "Apa benar dia tidak apa-apa?" tanya Marisa khawatir. Sebenarnya dia hanya pura-pura peduli agar Harun dan kepala maid menilainya baik, tapi sayangnya niatnya itu sudah diketahui dari awal. Harun sudah tahu kalau keluarganya Diko tidak ada yang tulus, kecuali Hani. Makanya dia mau memanfaatkan wanita-wanita itu untuk dijadikan alat agar Laras tahu diri. "Kalau kau memang peduli, sana urus dia. Tapi setelah itu pergilah dari rumahku!" Harun memberikan peringatan. Marisa bergidik ngeri. Dia tidak berani mendekat sedikit saja ke arah Laras. "Kenapa dia seperti ini?" ucap Laras bertanya-tanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, tapi segera dihadang beberapa penjaga. "
KSIBP 133 "Aku serius. Dia kenapa tidak pernah cemburu ketika aku sibuk dengan karyawan wanita, kenapa juga dia tidak pernah menelepon ketika aku sedang di kantor? Padahal, selama ini aku selalu menunggunya," jelas Diko panjang lebar. Diko ingin seperti beberapa karyawannya yang selalu diperhatikan oleh istri. Menelepon ketika makan siang atau mengantarkan bekal. Pak Malik menatapnya datar. "Serius kau datang hanya untuk mengatakan ini?" "Tentu saja. Memangnya apa lagi? Bagiku masalah ini lebih penting daripada apapun. Aku bisa menyelesaikan semua masalah dengan mudah, kecuali ini." Diko merespon cepat. Pak Malik berusaha menahan tawanya, lalu menceritakan bagaimana sifat istrinya. Qiera sama seperti mamanya yang terlihat seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan suami, padahal aslinya dia gelisah setengah mati. Namun, dia tidak berani melakukan hal-hal yang ada di pikirannya karena takut mengganggu pekerjaan Diko. "Padahal, aku suka diganggu." Diko kembali mengacak rambutny
KSIBP 132 "Kenapa tadi kamu begitu cemburu?" tanya Mama Diko heran ketika sang anak memang sengaja menemuinya. "Bukankah seorang suami memang harus punya cemburu ketika istrinya ditatap oleh wanita lain?" Diko malah kembali memberikan pertanyaan. Sang mama menghela napas panjang. Sungguh tidak menyangka anaknya menjadi pencemburu semenjak menikah, terutama dengan wanita yang dari dulu sudah diinginkannya. "Iya, Mama paham." "Kalau paham, kenapa Mama banyak bertanya?" Diko mengerutkan keningnya. "Aku ke sini untuk membicarakan beberapa hal penting. Lagi pula dia sudah banyak aku bantu, masa iya masih berani menatap istriku." Kecemburuan Diko ternyata belum reda sampai membuat mamanya angkat tangan. "Kamu ke sini mau dibujuk Mama atau sedang cari perhatian istrimu?" tanyanya heran. "Tentu saja untuk mengabarkan kalau anakmu ini sangat hebat. Semua rencana berada di bawah kendaliku," ucap Diki mulai bangga diri. "Alhamdulillah. Jangan lupa bersyukur untuk setiap kejadian karena
KSIBP 131 Laras tidak berhenti berteriak semenjak di rumah itu ada tantenya Diko. Awalnya Harun tidak setuju jika perempuan yang usianya lebih tua tiga tahun darinya itu menginap, tapi ketika mengingat Laras mulai kehilangan kendali, dia mendadak setuju. "Usir wanita itu dari rumah ini, hanya aku yang pantas menjadi istrinya Harun, dan hanya aku yang boleh ada di dalam hatinya!" teriak Laras tidak terima dan hal ini membuat kepala penjaga semakin bahagia. "Kalau kau tidak rela ada wanita lain di rumah ini, maka kau harus menjadi kuat!" Kepala penjaga mulai melancarkan aksinya. "Kuat?" Laras terdiam. "Iya. Kau harus makan setiap makanan yang dia berikan agar punya tenaga untuk membalasnya. Kemungkinan besar dia akan tinggal di rumah ini dalam waktu yang lama. Jadi, kalau kamu tidak mau kalah, kamu harus lebih unggul," jelas kepala penjaga yang sedang berusaha menjadi kompor. Harun memang hanya ingin Laras merasakan apa yang Mala rasakan dulu. Dalam artian dia ingin Laras diperlak
Setelah mendapatkan penjelasan dari Diko, Qiera segera meminta pamannya itu untuk datang ke rumah. "Ada apa? Sepertinya ada yang penting." Om Dion memasang wajah datar. "Aku ada informasi penting yang harus Om ketahui." Qiera mulai meluruskan duduknya. Sementara Diko hanya melihat tingkah istrinya dari jauh. Dia sudah tahu kalau Qiera akan memanggil pamannya ke sini. "Apa itu?" Om Dion masih bertanya dengan wajah datarnya. "Tentang Mala." Wajah datar itu langsung berubah lesu ketika mendengar nama yang selalu dia rindukan. Sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Kini Qiera yang terdiam. Dia ingin mengulur waktu agar wajah Om Dion tidak ditekuk seperti itu lagi. "Apa yang ingin dibicarakan tentang dia?" Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Om Dion bertanah karena sudah tidak sabar untuk mendengarkan kabar yang akan diceritakan keponakannya itu. "Coba Om tebak aku akan bicara apa." Qiera malah mengajaknya bermain-main. "Ayolah, Qiera, ada banyak hal yang harus aku kerjakan.
Hari pertama yang datang ke rumah Harun adalah adik ayahnya Leo. Wanita yang disebut Tante dan mengatakan kebenciannya terus terang kepada Qiera. Wanita itu datang dengan penampilan yang cetar membahana. Sungguh jauh daripada penampilan sebelumnya atau penampilan yang disukai Harun. Bahkan bertolak belakang. "Kamu yakin suka wanita seperti itu?" bisik kepala maid yang selama ini selalu ada di sampingnya sudah seperti keluarga. "Mana ada. Aku hanya ingin menjadikan dia sebagai alat saja." Harun menjawab cepat. Sekarang dia hanya memperhatikan wanita itu dari jauh, tapi perutnya sudah terasa mual, dan ingin muntah. "Terus apa yang harus kita perintahkan padanya?" tanya kepala maid dan saat ini tidak memakai pakaian pekerja, karena menyamar sebagai saudaranya Harun. "Pinta dia memasak, sama seperti yang aku perintahkan pada Mala dulu. Lalu, minta dia untuk mengantarkan makanan untuk Laras. Aku sungguh tidak sabar ingin segera tahu apa yang akan terjadi kalau mereka berdua bertemu