Yasa Amarah dalam dada meningkat drastis ketika Qiera dan Mala memperkenalkan aku sebagai sales kepada laki-laki yang bernama Deri ini. Di mana harga diri seorang wanita ketika dekat dengan lelaki lain dan malah mempermalukan suaminya. "Pulang sekarang juga!" titahku dengan tatapan yang tajam. Bisa kupastikan saat ini kedua mataku sudah memerah karena terlalu lama menahan amarah. "Qiera!" bentakku pada wanita yang enam tahun aku nikahi itu, tapi dia sama sekali tidak mengindahkan perintahku. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Jalan-jalan di mall dengan tampilan yang modis seperti wanita muda? Jangan bercanda. Bagaimanapun dia tidak akan bisa dibandingkan dengan Melia, karena mereka sangat berbeda. "Cukup memanggil Qiera begitu!" Lelaki yang bernama Deri itu bangkit dari duduknya dan menatapku tajam. "Siapa kau sampai berhak berteriak di depannya?" "Buka mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan apa yang akan aku katakan ini!" titahku, "aku adalah suaminya Qeira dan ayah dari a
YasaHari ini aku jalani dengan penuh kekesalan. Bagiamana tidak, sudah belum sarapan, ditambah Pak Diko sama sekali tidak mau menemuiku dengan alasan sibuk. Padahal aku ada perlu menyangkut bonus yang harusnya aku dapatkan dua mingguan lagi. "Kau kenapa, kaya belum makan aja." Jordi tertawa kecil melihatku yang uring-uringan. "Aku memang belum makan. Hari ini Qiera bukan hanya tidak masak, tapi juga tidak menyediakan bahan makanan." Aku berkata jujur. Jordi dan Angga terdiam, sepetinya mereka tidak percaya dengan kisah yang aku ceritakan. Ah, sudahlah. Selama ini mereka memang selalu membela Qiera, padahal dia adalah istri yang durhaka. "Mas, bisa kita bertemu?" Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku dari Amelia. Semangat yang tadinya lemah dan hilang, kini kembali membara ketika membaca pesannya. "Tentu saja." Aku membalas cepat. "Apa kau tidak sibuk, Mas?" tanyanya ragu. Aku tertawa kecil, Melia memang selalu ramah dan perhatian seperti ini. Sangat jauh jika dibandingkan den
Yasa "Benarkah kau akan memberikan apapun?" Aku kembali bertanya untuk memastikan. "Tentu saja. Sekarang kau tandatangani dulu surat perjanjian ini!" titahnya. Perjanjian? Aku membaca selembar surat itu dan membuatku kembali kesal. Bagaimana tidak, mereka memang akan memberikan apapun yang aku inginkan, tapi ada batas-batasnya juga. "Semuanya terserah padamu. Tidak mungkin juga 'kan kau tidak tahu kalau aku bisa melakukan apapun?" tanyanya menyeringai. Kali ini aku sungguh tidak punya pilihan lain selain menadatangani surat ini dan mengucapkan ikrar talak. Tapi tunggu dulu, aku tidak ingin membuat semuanya mudah untuk Qiera. Pokoknya aku harus bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan sangat baik. "Baiklah. Aku akan tanda tangan dan akan aku ucapkan ikrar talaknya, tapi aku mau makan dulu. Tadi keponakanmu itu tidak menyiapkan sarapan," pintaku dengan nada sedikit berani. Sekarang mereka yang sedang membutuhkan diriku, jadi aku harus bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan hari
Yasa "Kita menikah secepatnya, aku sudah punya uang untuk tabungan kita." Sebuah pesan singkat berhasil aku kirimkan untuk Melia. Ada rasa dalam dada yang tidak bisa aku sebutkan, tapi yang jelas bukan hanya sekadar luka biasa.Hatiku ikut sepi ketika terbayang nanti tidak akan ada lagi suara anak-anak yang memenuhi ruang demi ruang dalam rumah. Bahkan, tadi mereka tidak sudi meksi hanya sekadar mengucapkan salam perpisahan. Apakah aku adalah ayah yang buruk, yang hanya bisa memberikan kenangan dengan setumpuk luka, atau aku memang tidak menjadi seorang ayah karena aku selalu tidak ada di saat mereka membutuhkanku? Bunyi dering ponsel membuatku tersadar dari lamunan. Ternyata Melia yang melakukan panggilan di tengah gundah gulananya hatiku, mungkin dia tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja atau untuk memperjelas pesan yang baru saja kukirim untuknya. "Mas, benar apa yang kau ketik dalam pesan?" tanyanya setelah aku menekan tombol hijau. Ada rasa sakit yang tidak terlihat ke
"Sini uangnya buatku!" Laki-laki bertubuh besar dan bertato itu menarik uang yang ada di baru saja Amelia terima dari mesin ATM setelah pengambilan dua kali. Amelia menatap lelaki itu dengan mata yang nanar. "Aku tidak biasa seperti ini, Mas. Aku mau berubah," lirihnya sambil terisak. "Ngapain nangis? Dasar air mata buaya. Asal kau tahu, ya, dia gak akan mungkin mau bertahan sama kamu kalau tahu siapa kamu sebenarnya," maki lelaki itu. Wajah Amelia kembali menunduk, apa yang baru saja didengarnya adalah benar. Yasa mungkin akan langsung menghilang kalau tahu dirinya tidak sebaik yang dia kira. Apalagi Yasa adalah tipe orang yang suka menuntut pasangannya untuk sempurna. "Mas jadi ceraikan aku, kan?" tanya Amelia penuh harap. "Iya, jadi. Tapi jangan lupa untuk selalu kirim uang setiap bulannya, ya. Pokoknya sesuai perjanjian yang sudah kita sepakati." Lelaki itu kembali mengingatkan Amelia bahkan di antara mereka sudah sama-sama tanda tangan hitam di atas putih. Amelia awalnya m
"Hai, Cantik!" "Astagfirullah." Qiera segera menutup wajahnya ketika suara sapaan yang tidak asing itu menggema dan memperlihatkan sosok pria yang beberapa Minggu lalu mengeluarkan kalimat rayuan, dan beberapa hari kemudian sudah ada di rumahnya. "Keluar!" Qiera berteriak sambil menunjuk ke arah pintu, tapi lelaki itu malah tersenyum nakal dan langkahnya semakin mendekati wanita yang ingin ditujunya. "Siapa sebenarnya kau ini, kenapa ada di rumah orang, dan sembarangan kelayapan?" Qiera kembali berteriak, tetapi lelaki itu malah tertawa kecil. Niatnya untuk menjahili Qiera sebentar, malah ketagihan. Ia sama sekali tidak memedulikan teriakan Qiera yang mengatakan kalau dirinya sedang masa idah, jadi lelaki yang bukan mahramnya dilarang masuk ke dalam rumah. Karena lelaki itu tidak kunjung pergi, Qiera mengambil ponselnya, dan menghubungi Om Dion untuk meminta temannya agar segera pergi. Qiera bahkan menyebutkan ciri-ciri lelaki yang hanya melemparkan senyuman itu, tapi pamannya
Yasa Sebuah rumah yang hanya berpenghuni laki-laki? Tidak, mana mungkin Amelia berani melakukan ini. Walaupun "ya", aku yakin dia punya alasan kenapa melakukan ini ini. Benar, aku harus sabar menunggu penjelasannya karena Melia tidak mungkin melakukan hal-hal seperti yang ada di pikiranku. "Mel, kamu baru pulang?" Seorang pria berpostur tinggi dan besar muncul dari balik pintu. "Tiara nangis terus tuh dari tadi, kayaknya kangen sama mamanya." Pria itu tiba-tiba mendekat dan menarik tangan Melia. Untungnya tanganku refleks menjauhkan tangannya itu. "Maaf ya, Bang, jaga sikap." Aku memberanikan diri untuk bicara. "Jaga sikap?" Matanya yang tadi sipit, kini terbuka seluruhnya. Sungguh menakutkan. "Di sini dia melayani kami, kau siapa tiba-tiba datang dan meminta kami jaga sikap?" Melayani? Aku hanya fokus pada satu kata itu, lalu menatap Amelia dengan tajam untuk mendapatkan jawaban. "Em, maksudnya melayani makan, Mas. Di sini aku yang masak banyak makanan untuk semua orang yan
"Selamat atas pernikahannya ya, mantan suamiku. Semoga Amelia bisa menjadi istri yang jauh lebih baik daripada aku yang katanya istri durhaka. Semoga kamu juga bisa lebih betah di rumah karena bersama dengan wanita yang kamu cintai," tulis Qiera di aplikasi biru di detik-detik Yasa dan Melia di Melia melangsungkan akad pernikahan. Yasa menatap geram kata demi kata yang ditulis Qiera, apalagi ketika membaca komentar para netizen. "Matilah mantan suaminya ratuku! Kau memang tidak layak bersanding dengannya!" "Baguslah kalau dia menceraikan Qiera, ratuku. Aku memang sudah lama menantikan hal ini." "Akhirnya ... lalat memang pantas berada di tempat sampah!" Amelia yang tidak sengaja melihat ponsel Yasa dan membaca semuanya itu langsung terbawa emosi. Ia melemparkan alat makeup yang sedang dipegangnya ke lantai hingga berceceran. "Apa itu?" Yasa memutar tubuhnya dan terkejut mendapati Amelia tengah meluapkan emosi. "Ya ampun, Mel. Ada apa?" Yasa mendekat dan berusaha membuat kekasih