Ruang itu gelap dan pengap. Udara yang masuk terasa begitu minim, membuat dada Tari sesak. Kepalanya masih terasa berat, efek dari sesuatu yang entah bagaimana telah membuatnya kehilangan kesadaran.Perlahan, dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Pergelangan tangannya terasa sakit, dan ketika mencoba menariknya, dia sadar… tangannya diikat.Astaga… dimana aku?!Jantungnya berdegup kencang. Tari mengatur napasnya yang memburu, mencoba berpikir dengan jernih. Ia mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya gelap.Pagi itu, dia keluar rumah dengan niat menenangkan diri. Dia berjalan ke arah taman kecil di sekitar kompleks, menghirup udara pagi yang segar untuk meredakan emosinya setelah pertengkaran besar dengan Nadhif.Tapi saat itulah… seseorang mendekatinya dari belakang.Tari mencoba mengingat wajah orang itu, tapi yang bisa diingatnya hanya bau menyengat—seperti campuran obat dan sesuatu yang asing.Dan sekarang, dia terbangun di tempat ini.Dengan sisa kekuatan yang ada, Tari mencoba
Nadhif berdiri dengan tubuh menegang."Siapa orang itu?" tanyanya dengan suara serak.Alif memperbesar gambar, mencoba mencari detail yang lebih jelas. Sosok itu memakai masker dan topi, sehingga wajahnya sulit dikenali. Tapi ada satu hal yang mencurigakan. Ketika Tari limbung, sosok itu menoleh ke kamera CCTV.Sekilas, mata laki-laki itu terlihat. Tatapannya… tajam, penuh kebencian. Namun, sayang dia mengunakan masker membuat tak satupun mengenali orang tersebut.Dan Nadhif merasa pernah melihat tatapan itu sebelumnya. Tapi di mana? Pria paruh baya itu terus mencoba mengingat. Tapi, tak ada yang muncul dalam ingatannya.DI TEMPAT TARITari mencoba mempertahankan ketenangannya, meski jantungnya masih berdetak kencang."Apa yang kamu inginkan?" suaranya terdengar lebih tegas daripada yang ia kira.Sosok di hadapannya tersenyum tipis."Aku hanya ingin kita bicara. Tanpa gangguan dari siapa pun."Tari menelan ludah."Kamu nggak perlu sampai menculikku!" Orang itu menatapnya dalam-dalam.
Rumah itu tidak lagi terasa seperti rumah.Setelah beberapa hari Tari menghilang, suasana di dalamnya semakin tegang. Anak-anak mulai merasa kehilangan keseimbangan tanpa kehadiran ibu mereka.Nadhif, yang seharusnya menjadi sosok kuat dalam keluarga, justru semakin tenggelam dalam kebingungannya sendiri. Dia lebih sering mengurung diri di kamar, termenung dengan wajah kusut dan mata lelah. Setiap kali ditanya soal Bunda, jawabannya selalu sama:"Ayah sedang berusaha, sabar dulu."Tapi tidak ada usaha yang terlihat. Tidak ada penyelidikan serius, tidak ada pencarian besar-besaran. Bahkan polisi hanya mencatat laporan kehilangan Tari tanpa tindak lanjut berarti.Ini yang membuat Alisa dan Aleeya semakin muak."Ayah nggak peduli sama Bunda!" bentak Alisa suatu malam saat mereka makan bersama.Nadhif yang duduk di ujung meja mendongak dengan wajah lelah. "Alisa, jangan ngomong begitu. Ayah peduli.""Peduli? Peduli dari mana? Seharian Ayah cuma duduk diam, merokok di teras, atau termenung
Alisa mendengus. "Dan aku ini anak yang rumahnya kalian tempati! Kalau Tante Rina dan Om Bayu masih mau tinggal di sini, tolong sadar diri!"Rina hendak membalas, tapi tiba-tiba Wildan, anak tiri Tari, muncul dari belakang. "Sudah, nggak usah ribut."Semua mata menoleh ke arahnya.Wildan menatap Rina dengan dingin. "Tante, aku sudah diam selama ini karena menghormati Ayah. Tapi kalau Tante dan suami Tante terus-terusan bikin suasana rumah ini nggak nyaman, lebih baik pergi.""Wildan—""Aku serius, Tante. Aku juga capek."Suasana semakin menegang. Rina dan Bayu jelas tak terima, tapi untuk pertama kalinya, mereka memilih diam.---Malam itu, Alisa dan Aleeya duduk berdua di kamar, membicarakan keadaan yang semakin kacau."Ayah makin nggak bisa diandalkan," bisik Aleeya.Alisa mengangguk. "Iya. Dia kayak nggak peduli lagi sama kita.""Tapi dia masih peduli sama Tante Rina, adiknya yang tak tau diri itu." Aleeya mendengus.Alisa menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca. "Bunda perg
"Apa kau yakin cukup untuk bertahan?" Tari berpura-pura tertarik.Arsen mengangkat bahu. "Kalau nggak cukup, aku bisa cari cara lain.""Seperti?"Pria itu tertawa kecil. "Sudahlah, kamu nggak perlu tahu. Yang penting, kita akan hidup bersama di sini, tanpa gangguan siapa pun."Tari menahan napas. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi tidak mau menimbulkan kecurigaan. Untuk sekarang, dia hanya perlu membuat Arsen percaya bahwa dia mulai menyerah."Aku akan tunggu momen yang tepat untuk kabur." Bisik Tari dalam hati.---Dirumah Nadhif.Abrar, yang biasanya diam dan tidak ikut campur dalam masalah keluarga, akhirnya angkat bicara."Kita nggak bisa terus seperti ini," katanya kepada Alisa, Aleeya, dan Ammar saat mereka berkumpul di kamar."Aku setuju," Aleeya mengangguk. "Kalau Ayah nggak mau cari Bunda, kita yang harus melakukannya."Ammar tampak berpikir. "Tapi kita nggak punya petunjuk. Kita bahkan nggak tahu apakah Bunda dibawa kemana oleh penculik itu?""Kita harus tau dulu siapa pe
Nadhif mengepalkan tangan.Dia tidak menyangka, di saat dirinya sudah cukup stres dengan kehilangan Tari, kakak dan kakak iparnya justru mengancamnya seperti ini.---Tari MelawanDi tempat lain, Tari akhirnya melihat kesempatan untuk kabur.Malam itu, saat Arsen tidur, dia berhasil menemukan kunci pintu di dalam saku jaket pria itu. Dengan hati-hati, dia mengeluarkannya, menahan napas agar tidak membuat suara sekecil apa pun."Hampir… berhasil…"Tangannya gemetar saat mencoba membuka kunci.Klik.Pintu terbuka.Jantung Tari berdebar kencang. Dia menoleh ke arah Arsen yang masih tertidur. Dengan langkah hati-hati, dia menyelinap keluar.Satu langkah… dua langkah…Tapi saat dia hendak mencapai halaman, suara berat terdengar dari belakangnya."Mau ke mana kau?"Tari membeku.Arsen sudah berdiri di ambang pintu dengan mata penuh kemarahan.Tari membeku. Napasnya tersengal saat menatap Arsen yang berdiri di ambang pintu dengan mata penuh kemarahan. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba
Fajar baru saja menyingsing ketika Tari dipaksa bangun oleh Arsen. Mata pria itu tajam, ekspresinya dingin tanpa kompromi. Jelas ada rasa takut jika Tari kabur dari sisinya. Lelaki itu seperti bukan dirinya lagi. Kegagalan berumah tangga dimasa lalu membuatnya terobsesi untuk mengulang kembali dengan perempuan yang sama. Namun, dia tidak menghitung konsekuensi atas tindakannya itu. Masa sudah berganti, kehidupan kian berlalu. Beralih ke masa depan yang seharusnya tidak ada dia disana."Bangun, Dek. Kita pergi sekarang," perintahnya singkat.Tari menggigit bibir. Dia tahu, usahanya kabur semalam membuat Arsen semakin waspada. Jika dia mencoba sesuatu lagi, risikonya lebih besar."Ke mana?" tanyanya, berusaha terdengar tenang.Arsen menarik napas dalam. "Sumatera aku punya saudara disana. Kita tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Terlalu berisiko."Jantung Tari berdegup kencang. Sumatra? Itu berarti dia akan dibawa lebih jauh dari keluarganya, dari anak-anaknya. Jika dia tidak bertind
Kesempatan ini terlalu berharga untuk disia-siakan.Tari menarik napas dalam-dalam, lalu tiba-tiba—BRUKK!Dia menendang tulang kering Arsen sekuat tenaga dan berlari secepat mungkin ke arah kerumunan!"TARI!" suara Arsen menggelegar di belakangnya, tapi Tari tidak peduli. Dia berlari menuju petugas berseragam yang berdiri tak jauh darinya."Tolong! Saya diculik!" teriaknya putus asa.Petugas itu menoleh, matanya membesar saat melihat Tari yang berlari ketakutan.Namun, sebelum Tari sempat mencapai mereka, Arsen berhasil menangkap lengannya dan menariknya kembali dengan kasar. Tari menjerit."Jangan buat masalah, Tari!" desis Arsen marah. Dia menarik Tari lebih erat, hampir menyeretnya."Ada apa ini?!" salah satu petugas akhirnya bergerak mendekat.Arsen dengan cepat mengubah ekspresi dan tersenyum. "Ini istri saya, Pak. Dia hanya sedikit panik karena perjalanan jauh.""Tidak! Saya diculik! Tolong saya!" Tari meronta dengan panik.Petugas itu menatap Arsen dengan curiga. "Istri Anda b
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.
Hari itu masih pagi, tapi rumah sudah seperti pasar kecil. Tawa bercampur dengan aroma sarapan yang menggoda. Ayam goreng, nasi uduk, sambal teri, dan tahu bacem memenuhi meja makan. Ibu memang selalu tahu caranya membuat momen-momen sederhana terasa istimewa.Nayla duduk bersamaku di ruang tamu setelah kami selesai sarapan. Di tangannya, ada album foto pernikahan semalam yang sudah dicetak kilat oleh fotografer langganan. Dia membuka satu per satu, tersenyum melihat ekspresi wajahku yang katanya "kaku banget kayak patung lilin."“Lif, kamu beneran tegang banget semalam. Nih lihat, senyumnya kayak dipaksa.”Aku mengintip. “Itu namanya senyum ikhlas penuh tanggung jawab.”Nayla tergelak, “Penuh tanggung jawab atau penuh rasa takut?”Aku mencubit hidungnya pelan. “Takut kamu kabur sebelum akad.”Dia mencibir manja, lalu kembali membalik lembar demi lembar album itu. Di sela-sela itu, matanya tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah sedikit lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kupahami dari t
Aku mendekat. Duduk di sampingnya.“Lelah?” bisikku.Dia angkat kepala pelan, matanya lembut menatapku. “Sedikit. Tapi hatiku senang.”Aku tersenyum. Menggenggam tangannya. “Terima kasih, Nay. Sudah mau menikah denganku. Anak sulung dari keluarga ramai, kadang ribut, kadang absurd tapi penuh cinta.”Dia tertawa kecil, lalu bersandar di bahuku. “Justru itu yang bikin aku jatuh cinta. Keluarga kamu hangat. Aku bisa lihat dari cara kamu memperlakukan adik-adikmu, cara kamu menatap ibumu, dan bahkan cara kamu bicara ke ayah walau dia bukan ayah kandungmu. kamu anak sulung yang tidak pernah lelah menjaga mereka dan menjadi panutan.”Aku menghela napas pelan. Ada haru yang menggantung di kerongkongan.“Dan kamu... adalah istirahat terbaik dari semua lelah itu,” ucapku akhirnya.Nayla tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya membawa damai yang tak bisa digambarkan. Kami tidak saling bicara lama setelah itu. Hanya saling menatap. Memeluk. Dan saling berjanji dalam diam: untuk saling menjaga,
Sudah lima tahun sejak kejadian yang sempat membuat keluarga kami trauma. Hari ketika hidup kami seolah diberi kesempatan kedua. Hari ketika akhirnya Bunda bisa bernapas tenang setelah luka-luka masa lalu terkubur bersama pelabuhan yang berasap dan nama Arsen yang merupakan papa kandungku hanya menjadi cerita bisu. Aku menyayanginya, tapi apa yang dia lakukan sudah sangat membuat kami anak anaknya kecewa.Dan hari ini... aku menikah.Aku Anak pertama dari Bunda. Tari dan Ayah Nadhif walau hanya ayah tiri. Atau lebih tepatnya, lelaki yang akhirnya memilih bertahan bersama Bunda. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi bagi kami keluarga yang pernah nyaris hancur itu seperti sekejap mata dan sekaligus ribuan langkah panjang yang melelahkan.Pagi itu, aku berdiri di depan cermin. Jas putih gading terpasang rapi di tubuhku. Rambut disisir ke belakang dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa gugup setengah mati. Bukan karena aku takut menikah. Tapi karena aku tahu hari ini bu
Sudah sebulan berlalu sejak malam penuh darah dan ledakan di pelabuhan itu. Nama Arsen akhirnya hanya menjadi baris kecil di koran: “Mantan Narapidana Tewas dalam Baku Tembak dengan Polisi di Sumatera.” Tak ada yang tahu siapa Tari, siapa keluarga yang menjadi saksi hidup kisah kelam itu. Dan memang begitu seharusnya.Tari kini hidup dalam keheningan yang damai.Ia duduk di taman kecil di belakang rumah barunya. Bunga kertas merah jambu tumbuh liar di pagar, sementara burung-burung kecil beterbangan riang di atasnya. Tak ada suara tembakan. Tak ada teriakan. Hanya napasnya sendiri, yang kini tak lagi berat.Ia menuliskan kata terakhir di buku yang sudah ia isi berbulan-bulan:"Aku pernah mengeluh. Tapi dari keluhanku, aku belajar mengenal diriku sendiri. Dan dari rasa sakitku, aku belajar... bahwa aku tak harus jadi sempurna, cukup jadi kuat. Cukup jadi aku."Pena ditutup. Buku itu disimpan.Alisa datang menghampirinya sambil membawa dua gelas es teh. “Bunda... kelihatan cantik banget