"Apa kau yakin cukup untuk bertahan?" Tari berpura-pura tertarik.Arsen mengangkat bahu. "Kalau nggak cukup, aku bisa cari cara lain.""Seperti?"Pria itu tertawa kecil. "Sudahlah, kamu nggak perlu tahu. Yang penting, kita akan hidup bersama di sini, tanpa gangguan siapa pun."Tari menahan napas. Dia ingin bertanya lebih jauh, tetapi tidak mau menimbulkan kecurigaan. Untuk sekarang, dia hanya perlu membuat Arsen percaya bahwa dia mulai menyerah."Aku akan tunggu momen yang tepat untuk kabur." Bisik Tari dalam hati.---Dirumah Nadhif.Abrar, yang biasanya diam dan tidak ikut campur dalam masalah keluarga, akhirnya angkat bicara."Kita nggak bisa terus seperti ini," katanya kepada Alisa, Aleeya, dan Ammar saat mereka berkumpul di kamar."Aku setuju," Aleeya mengangguk. "Kalau Ayah nggak mau cari Bunda, kita yang harus melakukannya."Ammar tampak berpikir. "Tapi kita nggak punya petunjuk. Kita bahkan nggak tahu apakah Bunda dibawa kemana oleh penculik itu?""Kita harus tau dulu siapa pe
Nadhif mengepalkan tangan.Dia tidak menyangka, di saat dirinya sudah cukup stres dengan kehilangan Tari, kakak dan kakak iparnya justru mengancamnya seperti ini.---Tari MelawanDi tempat lain, Tari akhirnya melihat kesempatan untuk kabur.Malam itu, saat Arsen tidur, dia berhasil menemukan kunci pintu di dalam saku jaket pria itu. Dengan hati-hati, dia mengeluarkannya, menahan napas agar tidak membuat suara sekecil apa pun."Hampir… berhasil…"Tangannya gemetar saat mencoba membuka kunci.Klik.Pintu terbuka.Jantung Tari berdebar kencang. Dia menoleh ke arah Arsen yang masih tertidur. Dengan langkah hati-hati, dia menyelinap keluar.Satu langkah… dua langkah…Tapi saat dia hendak mencapai halaman, suara berat terdengar dari belakangnya."Mau ke mana kau?"Tari membeku.Arsen sudah berdiri di ambang pintu dengan mata penuh kemarahan.Tari membeku. Napasnya tersengal saat menatap Arsen yang berdiri di ambang pintu dengan mata penuh kemarahan. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba
Fajar baru saja menyingsing ketika Tari dipaksa bangun oleh Arsen. Mata pria itu tajam, ekspresinya dingin tanpa kompromi. Jelas ada rasa takut jika Tari kabur dari sisinya. Lelaki itu seperti bukan dirinya lagi. Kegagalan berumah tangga dimasa lalu membuatnya terobsesi untuk mengulang kembali dengan perempuan yang sama. Namun, dia tidak menghitung konsekuensi atas tindakannya itu. Masa sudah berganti, kehidupan kian berlalu. Beralih ke masa depan yang seharusnya tidak ada dia disana."Bangun, Dek. Kita pergi sekarang," perintahnya singkat.Tari menggigit bibir. Dia tahu, usahanya kabur semalam membuat Arsen semakin waspada. Jika dia mencoba sesuatu lagi, risikonya lebih besar."Ke mana?" tanyanya, berusaha terdengar tenang.Arsen menarik napas dalam. "Sumatera aku punya saudara disana. Kita tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Terlalu berisiko."Jantung Tari berdegup kencang. Sumatra? Itu berarti dia akan dibawa lebih jauh dari keluarganya, dari anak-anaknya. Jika dia tidak bertind
Kesempatan ini terlalu berharga untuk disia-siakan.Tari menarik napas dalam-dalam, lalu tiba-tiba—BRUKK!Dia menendang tulang kering Arsen sekuat tenaga dan berlari secepat mungkin ke arah kerumunan!"TARI!" suara Arsen menggelegar di belakangnya, tapi Tari tidak peduli. Dia berlari menuju petugas berseragam yang berdiri tak jauh darinya."Tolong! Saya diculik!" teriaknya putus asa.Petugas itu menoleh, matanya membesar saat melihat Tari yang berlari ketakutan.Namun, sebelum Tari sempat mencapai mereka, Arsen berhasil menangkap lengannya dan menariknya kembali dengan kasar. Tari menjerit."Jangan buat masalah, Tari!" desis Arsen marah. Dia menarik Tari lebih erat, hampir menyeretnya."Ada apa ini?!" salah satu petugas akhirnya bergerak mendekat.Arsen dengan cepat mengubah ekspresi dan tersenyum. "Ini istri saya, Pak. Dia hanya sedikit panik karena perjalanan jauh.""Tidak! Saya diculik! Tolong saya!" Tari meronta dengan panik.Petugas itu menatap Arsen dengan curiga. "Istri Anda b
Sementara itu, di sebuah lokasi rahasia di Sumatra, seorang pria bertubuh besar duduk di kursi kayu dengan wajah dingin. Dia adalah salah satu ketua geng besar di sana, seorang pria yang telah menaruh harapan besar pada Arsen untuk menjalankan bisnisnya."Apa maksudnya Arsen tertahan di pelabuhan?" suaranya bergetar marah.Seorang anak buahnya menunduk, tampak enggan memberikan laporan. "Sepertinya dia tertangkap oleh petugas saat hendak menyeberang dengan seorang wanita."Pria itu mendengus. "Ah, perempuan! Selalu masalahnya itu pada pertemuan. NORAK! Aku sudah menyiapkan segalanya untuknya di sini. Dia tidak boleh gagal. Kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?"Anak buahnya mengangguk. "Ya, Bos. Kami akan bertindak cepat."Di pelabuhan, Tari belum menyadari bahwa rencana penyelamatan bagi Arsen sudah dimulai. Beberapa pria berpakaian preman mulai bergerak ke arah pos keamanan, membawa sesuatu di balik jaket mereka.Tari merasa ada yang tidak beres. Perasaan tidak enak menyelimutinya
"Sial! Mereka datang lebih cepat dari yang kita duga!" maki salah satu pria bersenjata.Tanpa membuang waktu, mereka segera menyeret Arsen keluar. Tari mencoba mundur, berharap bisa menghindari kekacauan ini, tetapi tangan Arsen dengan sigap menangkap pergelangan tangannya."Jangan berpikir untuk lari. Kau ikut denganku," ucapnya tegas.Tari memberontak, namun cengkeraman Arsen terlalu kuat. "Lepaskan aku! Aku tidak mau ikut denganmu!"Namun, Arsen tidak peduli. Ia menarik Tari ke luar pos keamanan, tepat saat suara tembakan kembali menggema. Petugas yang tersisa mulai membalas tembakan para penyerang. Tari menutup telinganya, napasnya memburu. Ini bukan sekadar penculikan—ini medan perang.Salah seorang pria berbadan besar membuka pintu sebuah mobil hitam yang telah menunggu tak jauh dari pelabuhan. "Masuk!"Arsen menarik Tari masuk ke dalam mobil bersamanya, sementara anak buahnya menembakkan beberapa peluru terakhir sebelum mereka ikut melompat ke dalam kendaraan.Dengan suara mera
Langit malam di atas perbukitan Sialang kini dipenuhi suara baling-baling helikopter yang memecah keheningan. Cahaya sorot terang dari udara perlahan mengarah ke gudang tua tempat Arsen menyekap Tari. Di dalam, suasana menjadi kacau. Pria-pria bersenjata mulai siaga, radio mereka memancarkan suara-suara panik.“Helikopter tak dikenal mendekat dari utara! Kita diserang!” teriak salah satu penjaga.Arsen mencengkeram lengan Tari, matanya menyipit tajam. “Cepat! Kita pindah sekarang!”Tari ditarik paksa melewati lorong gudang, namun pikirannya kini tidak lagi sekadar ketakutan. Kata-kata Kellan terus terngiang di benaknya: “Bertahan. Kita bisa jatuhkan mereka semua.”Di luar, pasukan tak dikenal mulai turun dengan tali dari helikopter, mengenakan seragam hitam tanpa identitas jelas. Mereka bergerak cepat dan senyap, seperti bayangan malam. Di antara mereka, Kellan muncul, kini dalam pakaian lengkap dengan emblem merah samar di bahunya.“Target visual. Arsen dan perempuan bersama. Bergera
Tari memejamkan mata. Ada luka di dalam hatinya yang masih sulit dijelaskan. Tapi satu hal yang pasti… ia tidak akan lagi jadi korban.“Terima kasih,” ucapnya pelan.“Belum selesai,” kata Kellan sambil menatap ke arah luar tenda. “Masih ada yang harus kita bersihkan.”Di kejauhan, di balik reruntuhan bunker, sebuah tangan muncul dari bawah puing-puing yang hangus. Pelan-pelan, seseorang bangkit dengan napas berat, mata merah membara.Arsen… masih hidup.***Sisa malam di perbukitan Sialang masih beraroma mesiu. Asap tipis naik dari reruntuhan bunker yang kini hanya menyisakan kawah hangus di tengah hutan. Namun, di balik kabut itu, kehidupan yang tak seharusnya selamat perlahan merangkak keluar.Arsen.Tubuhnya berlumuran darah dan debu, napasnya berat dan tak beraturan. Separuh wajahnya terbakar, tapi matanya—mata itu tetap sama. Penuh obsesi. Penuh dendam.“Ini belum akhir…” bisiknya pelan sambil menatap ke arah bulan.**Di tenda medis darurat, Tari masih duduk diam, mencoba memuli
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.
Hari itu masih pagi, tapi rumah sudah seperti pasar kecil. Tawa bercampur dengan aroma sarapan yang menggoda. Ayam goreng, nasi uduk, sambal teri, dan tahu bacem memenuhi meja makan. Ibu memang selalu tahu caranya membuat momen-momen sederhana terasa istimewa.Nayla duduk bersamaku di ruang tamu setelah kami selesai sarapan. Di tangannya, ada album foto pernikahan semalam yang sudah dicetak kilat oleh fotografer langganan. Dia membuka satu per satu, tersenyum melihat ekspresi wajahku yang katanya "kaku banget kayak patung lilin."“Lif, kamu beneran tegang banget semalam. Nih lihat, senyumnya kayak dipaksa.”Aku mengintip. “Itu namanya senyum ikhlas penuh tanggung jawab.”Nayla tergelak, “Penuh tanggung jawab atau penuh rasa takut?”Aku mencubit hidungnya pelan. “Takut kamu kabur sebelum akad.”Dia mencibir manja, lalu kembali membalik lembar demi lembar album itu. Di sela-sela itu, matanya tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah sedikit lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kupahami dari t
Aku mendekat. Duduk di sampingnya.“Lelah?” bisikku.Dia angkat kepala pelan, matanya lembut menatapku. “Sedikit. Tapi hatiku senang.”Aku tersenyum. Menggenggam tangannya. “Terima kasih, Nay. Sudah mau menikah denganku. Anak sulung dari keluarga ramai, kadang ribut, kadang absurd tapi penuh cinta.”Dia tertawa kecil, lalu bersandar di bahuku. “Justru itu yang bikin aku jatuh cinta. Keluarga kamu hangat. Aku bisa lihat dari cara kamu memperlakukan adik-adikmu, cara kamu menatap ibumu, dan bahkan cara kamu bicara ke ayah walau dia bukan ayah kandungmu. kamu anak sulung yang tidak pernah lelah menjaga mereka dan menjadi panutan.”Aku menghela napas pelan. Ada haru yang menggantung di kerongkongan.“Dan kamu... adalah istirahat terbaik dari semua lelah itu,” ucapku akhirnya.Nayla tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya membawa damai yang tak bisa digambarkan. Kami tidak saling bicara lama setelah itu. Hanya saling menatap. Memeluk. Dan saling berjanji dalam diam: untuk saling menjaga,