Kepala laki-laki itu kembali tertunduk dengan terdiam. Tak ada suara yang ke luar, selain deru napas yang berembus cepat dengan dada naik turun. Pun dengan Naomi, perempuan itu sedikit bingung dengan apa yang tengah terjadi.
Cukup lama keduanya terdiam dalam keadaan canggung, hingga akhirnya Faiq memilih mengutarakan niatnya yang bertahun terpendam pada perempuan di hadapannya karena merasa lelah memendamnya."Abang memiliki perasaan istimewa padamu sejak beberapa tahun lalu, Na," lirih Faiq dengan tatapan mata mengarah pada wajah cantik Naomi dengan tatapan sendu."Terserah kau akan menilai Abang seperti apa, yang pasti, Abang sudah tak ingin memendam semuanya sendiri. Abang pernah berniat melamarmu jauh sebelum kau menikah dengan laki-laki itu, tapi Mama sama Papa tak memberi restu dan itu juga yang membuat Abang memilih menerima tawaran kerja di Malaysia," lanjut Faiq dengan dada bergemuruh. Luka yang berusaha ia pendam kini kembali peHati Naomi disesaki debar yang tak beraturan. Antara ingin mengiyakan dan rasa tak nyaman pada orang tua mereka kini bertarung di rongga dada. Apakah ia mulai mencintai Faiq? Rasanya terlalu dini untuk menyebutkan jika itu cinta. Namun, perhatian dan ketulusan yang ditunjukkan laki-laki itu bertahun-tahun terhadapnya, lebih dari cukup untuk membuat Naomi jatuh cinta. Perlahan kepala Naomi terangkat. Melafadzkan basmalah demi petunjuk untuk kalimat yang harus ia ucapkan sekarang juga. "Aku akan menunggu hingga restu itu datang. Namun, jika restu itu tak kunjung datang, maka ikhlaskan aku. Aku tak ingin cinta Abang terhadapku membawa Abang pada keburukan."Wajah perempuan itu terlihat sungguh-sungguh. Faiq terdiam sesaat, memaknai setiap kalimat yang baru saja Naomi ucapkan. Sesaat kemudian ia mengangguk pelan dengan bibir tersenyum penuh haru. "Itu artinya, kau menerimaku, Na?" tanya Faiq dengan
Layar ponsel miliknya yang tiba-tiba menyala membuat Faiq seketika menoleh pada benda tipis berukuran persegi panjang itu. Matanya tertuju pada nama si pengirim pesan, Mama. Seketika Faiq mengalihkan jari-jemarinya sedari tadi sibuk di atas keyboard laptop, lalu beralih meraih ponsel miliknya. [Bang, adikmu akan menikah minggu depan. Apa kau tak berniat untuk pulang meski hanya sehari?][Pulang, ya. Mama kangen sama kamu.] Pesan diakhiri emot sedih bermakna permohonan itu mampu membuat hati Faiq berdesir. Tak naif, ia pun rindu wajah teduh yang tak pernah lelah menyayanginya itu. Meski kini ia lebih banyak diam, tetap saja hatinya menyimpan rindu pada wanita yang telah ia tumpangi rahimnya itu. Beberapa saat ia hanya mematung. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika ia pulang di hari berkumpulnya para keluarga dan kemungkinan besar Naomi juga akan ada di sana. Faiq menyandark
Faiq kembali tersenyum, senyum yang susah payah terbit di bibirnya. Hatinya terlalu sulit menerima pertemuan semacam ini, di mana antara dirinya dan Naomi hanya terpisah jarak beberapa puluh senti meter saja. Perlahan Faiq meraih gelas berisi air minum miliknya. Meneguknya hingga tandas, setelahnya bangkit. "Faiq pamit, ya, Na, Om," ujar Faiq dengan senyum dibuat semanis mungkin saat menatap wajah Ayah Dayat. Ia tak sampai hati untuk berwajah masam di hadapan laki-laki baik itu. "Mau ke mana?" Sang Mama terlihat mengerutkan dahi. Pun dengan papanya. "Faiq lupa kalau masih ada kerjaan yang harus diselesaikan,"ucap Faiq berbohong. Sejujurnya ia hanya ingin menghindar dari semua ini. Menghindar dari apa yang membuatnya merasa sulit untuk bernafas. "Duduklah! Sekarang Mama akan ceritakan apa alasan Mama membohongimu," ucap sekaligus pinta sang mama. Faiq melempar tatapan penuh tanya. Ia tak paham a
"Ya, Na. Kami datang kali ini tak hanya menjenguk kau dan ayahmu, melainkan sekalian untuk melamarmu." Kalimat Tante Reni terdengar serius. Cepat Naomi tersadar jika semua ini nyata. Semua yang ia dengar dan lihat sekarang benar adanya. Entah dari mana datangnya angin sejuk membawa aroma wangi barusan. Yang pasti, semua hanya ada di hati Naomi. Angin sejuk yang kini menciptakan kesejukan yang memenuhi rongga dadanya. Naomi terlihat memejamkan mata beberapa saat. Membiarkan keindahan yang baru saja terdengar, meresap ke seluruh aliran darahnya. 'Ini terlalu indah'. Batin Naomi. "Tante serius?" tanya Naomi masih terus meyakinkan. Bibir perempuan itu menguar senyum dengan kedua mata bergelayut mendung. Haru menyeruak tiba-tiba. Jujur, Naomi sendiri tak lagi berharap jika dirinya akan bersatu dengan Faiq setelah sekian bulan laki-laki itu tak lagi menghubunginya. Sebelumnya Faiq mema
Naomi menatap lekat wajah perempuan cantik dengan garis wajah sangat mirip dengan Faiq itu. Senyum mengembang di bibir tipisnya. Tangan dengan jari-jemari lentik itu mengusap punggung tangan Tante Reni, seolah ingin menenangkan perempuan setengah baya itu. "Tak ada alasan Naomi menolaknya, Tan," jawab Naomi dengan rasa bahagia menyeruak memenuhi dadanya. Tante Reni menguar senyum bahagia. Hatinya sedikit lebih tenang sekarang setelah tahu perasaan keponakannya itu masih sama. Ya, sebelumnya Tante Reni khawatir Naomi telah menemukan orang baru untuk mengisi kekosongan di hatinya. Karena siapa pun tahu jika wajah cantik serta karir cemerlang yang ia miliki pasti mampu membuat laki-laki manapun terpikat olehnya. "Terima kasih, Na. Tante akan mengabari ini pada Faiq. Dan akan memintanya pulang secepatnya. Sungguh, Tante rindu Faiq yang hangat seperti dulu." Bulir bening kembali merembes dari kedua mata yang sudah
Dapat Raihan rasakan betapa tegang perasaannya saat ini. Ia bahkan dengan susah payah menelan ludahnya sendiri ketika perlahan pintu mobil bagian penumpang dibuka dan Sena turun dengan wajah dipenuhi binar bahagia. Nampak jelas jika hati perempuan berambut pirang itu tengah berbahagia. Terlebih kedua tangannya kini menenteng beberapa buah tas belanjaan yang nampak menggelembung. Menunjukkan jika ia baru saja menghabiskan sejumlah uang yang entah ia dapatkan dari mana. Beberapa menit berlalu akhirnya mobil yang tadi membawa Sena telah pergi. Dengan langkah ceria, Sena berjalan masuk."Dari mana saja kamu?" tanya Raihan dengan nada dingin. Akhir-akhir ini rumah tangga keduanya kian hambar seiring Sena yang kehilangan kepercayan terhadap janji suaminya dan Raihan yang merasa sama sekali tak dihargai sebagai seorang suami. Sena seolah semakin tak kenal kewajibannya terhadap laki-laki yang kini bergelar suami baginya. Sena terus
[Assalamu'alaikum, Na. Hari ini pulang jam berapa?][Nanti biar Abang yang jemput. Tetep jaga kesehatan dan terima kasih untuk semuanya.]Pesan singkat diakhiri dengan emot senyum itu mampu membuat senyum Naomi ikut mengembang. Perlakuan Faiq tak jauh berbeda. Namun, bagi Naomi kini ada rasa spesial pada laki-laki itu. [Wa'alaikumussalaam. Abang bisa jemput Naomi jam 5 sore.][Terima kasih kembali. Tetaplah seperti sekarang, hingga esok dan seterusnya.]Senyum tak lepas dari bibir berwarna merah muda itu. Faiq terlalu spesial. Bermula dari seorang kakak sepupu yang berubah menjadi teman dekat yang paling peduli, hingga kini berubah menjadi cinta. Rasa yang luar biasa di hati Naomi. Ketukan di pintu membuat Naomi memilih mematikan layar ponselnya dan berusaha kembali fokus pada dunianya sekarang. "Masuk!" seru Naomi sambil mengangkat wajah. Dari arah pintu, Raihan melan
Mata Faiq seketika terbuka. "Nggak—nggak ada, Na," jawabnya tergagap dengan senyum simpul kembali tercipta serta dada yang bergemuruh. Sungguh cinta di hatinya begitu dahsyat terhadap perempuan di sampingnya itu. "Lalu?" tanya Naomi tak paham. "Kau akan tahu jawabannya kelak," jawab Faiq seraya kembali mengulas senyum. "Kapan?"Bersamaan dengan itu lampu kuning jalan raya menyala. Dan Faiq kembali bersiap mengemudikan kendaraannya demi menghindari drama klakson bersahutan di belakang mobilnya. "Setelah kita menikah nanti," jawabnya sambil terkekeh. Sepuluh menit setelahnya mobil Faiq memasuki jalan komplek perumahan elit. Berbelok di ujung jalan hingga terpakir tepat di depan rumah berlantai dua.Rumah yang terlihat begitu elegan dengan warna putih mendominasi dinding rumah serta tiangnya, serta kusen dan sudut fasad rumah dengan warna abu tua. Naomi m
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp