Raihan baru saja pulang dari kantor. Laki-laki itu memarkirkan motor miliknya di halaman rumah sederhana yang mereka sewa 3 bulan terakhir ini.
Ya, semenjak Raihan menikah dengan Sena semua fasilitas yang telah Pak Beni berikan pada Putra bungsunya itu kembali ia tarik.Rumah yang selama ini ditempati Raihan sebagai kado pernikahan nya dengan Naomi dulu turut diambil oleh Pak Beni dengan alasan Sena tak memiliki hak atas rumah itu. Pun dengan kendaraan roda empat yang selalu digunakan Raihan.Kini sepasang pengantin baru itu terpaksa menyewa sebuah rumah sederhana berukuran kecil untuk tempat tinggal mereka."Bagaimana? Apakah perempuan itu bersedia untuk meminta Papa mengembalikan semua fasilitas yang Abang miliki dulu?"Belum sempat Raihan masuk ke rumah, di muka pintu Sena sudah memberondongnya dengan pertanyaan yang membuat lelah di tubuhnya menjadi berlipat."Belum juga masuk rumah, masak"Makanya cepetan cari? Jangan sampai keduluan Naomi lagi, lho." Naomi terkekeh, sedangkan Faiq sedikit terbatuk mendengar kalimat Naomi barusan. Cepat laki-laki itu meraih botol air mineral kemasan kecil di hadapannya lalu meneguknya hingga separuhnya. "Emang udah punya calon baru?" tanya Faiq dengan perasaan getir. Naomi tak menjawab, bahkan tawa perempuan itu semakin kencang terdengar. "Kenapa malah tertawa? Abang nanya serius, Na!" tatapan mata Faiq menatap lekat wajah cantik perempuan di hadapannya itu."Ya, enggaklah, Bang. Naomi cuma bercanda kali." Naomi tersenyum geli. "Kau yakin?" kejar Faiq dengan rasa penasaran. Langit terlihat menghela nafas panjang. Wajah yang tadi terlihat ceria kini berubah sedikit muram. "Naomi juga tak tahu sampai kapan Naomi akan seperti ini, yang pasti untuk memulai kembali kehidupan berumah tangga rasanya begitu berat. Naomi taku
"Eh, nggak, Na. Makanya lupain aja, biar nggak jadi utang." Faiq terkekeh pelan. "Nggak papa, kok, ceritain aja. Kali aja Naomi bisa bantu 'kan. Abang udah banyak banget bantuin Naomi, apa salahnya kali ini Naomi yang bantuin Abang buat dapetin restu Om sama Tante." Naomi berkata diiringi tawa pelan. "Udah telat, Na. Dia udah nikah." Faiq berusaha mengakhiri topik yang sejak tadi mereka bahas. Khawatir Naomi akan menjauhinya ketika mengetahui yang sebenarnya secepat ini. "Yaah, kenapa nggak direstui, sih?" Naomi bertanya dengan nada kecewa. Faiq menggeleng pelan. "Sudahlah, Na. Pulang, yuk, udah hampir jam setengah sepuluh. Atau mau pesen menu yang lain lagi," tawar Faiq berusaha mengalihkan perhatian Naomi dari cerita barusan. "Ya, udah, pulang aja. Lain kali kalo nemu lagi yang cocok jangan lupa kabarin Naomi, ya, kali aja Om sama Tante ngerestuin kalo Naomi yang minta.""Siap!"
"Aku tau, Mama sangat marah atas keputusanku ini, tapi Mama juga harus tahu jika sebenarnya akupun ingin bahagia dengan pilihanku," lanjut Raihan dengan hati-hati. "Jika ini pilihanmu, lantas Siapa yang memintamu menikahi Naomi dulu?" tanya Mama Maya dengan tatapan lurus ke depan. "Siapa yang berkali-kali meminta Mama melamar Naomi kepada orang ayahnya? Siapa juga yang bersikeras meminta restu ayah Naomi agar diizinkan untuk menikahi anak semata wayangnya?" "Apa menurutmu Mama yang memintamu untuk menikahi Naomi terlebih dahulu?" Mama Maya mulai terlihat kesal. Kali ini perempuan itu menatap lekat wajah putranya dengan tatapan tajam. Raihan terdiam dengan kepala masih saja tertunduk. Wajah perempuan teduh di hadapannya kini seolah berubah jadi mengerikan. "Maafkan aku, Ma," ucap Raihan dengan nada sendu. Ia menyesal karena merasa sudah salah berucap yang membuat sang mama terpancing emosi."Untuk kali ini aku harap Mama merestui Raihan dan Sena, Ma.
Faiq terlihat menghela nafas panjang. Ada kalanya ia malas membahas tentang Naomi bersama sang mama karena tak ingin ia kembali kecewa. "Ia tak pernah pergi." Faiq menjawab singkat. Mama Reni meremas jemari sendiri, memalingkan wajah ke luar jendela menghalau rasa gelisah yang membuncah di dadanya. Berapa saat perempuan itu memilih diam. Dan beberapa kali terlihat menghela nafas panjang. Sejujurnya Mama Reni memiliki alasan sendiri yang sesuai dengan tuntunan agamanya terkait alasan kenapa dirinya tak setuju jika Faiq menikah dengan Naomi. Karena yang ia tahu, pernikahan dengan garis keturunan terlalu dekat tak begitu dianjurkan meski nyatanya tak dilarang. Persis seperti yang dijelaskan dalam surat Al-ahdzab ayat 50, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan
"Aku berusaha menerima semuanya, dan meyakini jika inilah yang terbaik untukku maupun Naomi. Sayangnya, semua tak berlangsung lama, saat aku tahu bagaimana laki-laki itu memperlakukan Naomi, rasa yang tak pernah hilang kembali menguat, bahkan seolah semakin tak terbantahkan."Mama Reni menyimak kata demi kata sebagai luahan rasa dari Putra sulungnya itu dengan rasa yang bercampur aduk, sedih, haru, rasa bersalah, pun dengan getir yang mendominasi. "Mama hanya tak ingin kelak keluarga kita dan keluarga Paman Dayat akan renggang seandainya kalian punya masalah." Mama Reni membela diri. Sejujurnya sejak dulu itulah yang ia khawatirkan. Faiq tersenyum tipis, senyum yang tampak seperti dipaksakan. "Aku lebih tak ingin melihat Naomi diperlakukan tak baik oleh laki-laki bergelar suami." Faiq berusaha menahan gejolak dalam dada. "Kenapa tak mencoba menjalin hubungan dengan gadis lain, Bang? Mama hanya ingin hubungan k
"Cinta saja tak cukup untuk membuat rumah tangga bahagia, Bang. Nyatanya kita butuh lebih dari itu." Sena berucap dingin. Entah kali keberapa mereka membahas tentang masalah ini meski usia pernikahan baru seumur jagung. Ya, tentang harta, tentang orang tua Raihan yang tak memperlakukannya layaknya seorang menantu dari keluarga kaya raya. Sena tak pernah sadar jika dirinya tak lebih dari secuil duri pengganggu dalam keluarga Raihan. Ia pun tak pernah sadar jika dirinyalah penunjang hancurnya pernikahan Naomi dan Raihan dulu. "Minggu lalu Abang sudah ke rumah Mama, Sayang. Mama mengatakan jika ini tak akan lama. Bersabarlah! Kita hanya perlu membuat mereka percaya jika kita bisa seperti keluarga harmonis lainnya." Raihan menghiba. Sebajingan apapun dirinya tetap saja ia tak ingin menikah berkali-kali dalam waktu terlalu dekat. Bisa-bisa disuntik mati papanya jika itu ia lakukan. "Tapi kapan? Aku lelah dengan keadaan tak dianggap seperti sekarang." Sena menutup wajahnya dengan punggu
"Maafkan aku Paman. Do'akan saja setelah ini aku bisa melupakan Naomi dan menganggap Naomi tak lebih dari saudara." Faiq berucap lirih. Ia memaklumi semuanya meski hatinya terasa nyeri. Ayah Dayat bergeming. Jika saja Faiq orang asing bagi Naomi, tak akan ada penolakan selembut apapun keluar dari bibir rentanya. "Kau benar-benar akan pergi persis seperti yang ibumu katakan pada paman kemarin?" Nada suara Ayah Dayat terdengar berat. Mata tuanya menatap sayu pada wajah Faiq. "Semoga ini yang terbaik Paman. Maaf jika aku membuat suasana hati Paman kurang nyaman. Tak ada lagi jawaban dari Ayah Dayat. Keduanya seolah sepakat untuk diam hingga suara salam Naomi terdengar dari pintu depan. "Wa'alaikumussalam," jawab keduanya serempak. Suasana hening kini berubah canggung. Sesuatu yang berbeda begitu pekat dirasa oleh dua laki-laki itu pada pertemuan mereka kali ini. Naomi masuk, berdiri
Kepala laki-laki itu kembali tertunduk dengan terdiam. Tak ada suara yang ke luar, selain deru napas yang berembus cepat dengan dada naik turun. Pun dengan Naomi, perempuan itu sedikit bingung dengan apa yang tengah terjadi. Cukup lama keduanya terdiam dalam keadaan canggung, hingga akhirnya Faiq memilih mengutarakan niatnya yang bertahun terpendam pada perempuan di hadapannya karena merasa lelah memendamnya. "Abang memiliki perasaan istimewa padamu sejak beberapa tahun lalu, Na," lirih Faiq dengan tatapan mata mengarah pada wajah cantik Naomi dengan tatapan sendu. "Terserah kau akan menilai Abang seperti apa, yang pasti, Abang sudah tak ingin memendam semuanya sendiri. Abang pernah berniat melamarmu jauh sebelum kau menikah dengan laki-laki itu, tapi Mama sama Papa tak memberi restu dan itu juga yang membuat Abang memilih menerima tawaran kerja di Malaysia," lanjut Faiq dengan dada bergemuruh. Luka yang berusaha ia pendam kini kembali pe
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp