"Ya iyalah, Na. Gemas tau liat kamu cuek-cuek aja sama tuh cewek gatel. Enakan dia, udah sukses ngancurin rumah tangga kamu dibiarin bebas berkeliaran." Nabila merajuk. "Trus kalo aku bales akunya dapet apa? Harta yang Raihan miliki juga punya orang tuanya. Maksudmu aku harus merebut Raihan dari perempuan itu? Dan berharap hidup bahagia seperti dulu?" cibir Naomi. "Ya, enggaklah, Na. Paling enggak 'kan bisa nuntasin sakit hati." Nabila semakin gemas. Naomi kembali tertawa pelan. Tak naif, jauh di relung sana ia merasakan sakit hati serta kekecewaan yang luar biasa terhadap Raihan. Namun, untuk membalas perbuatan keduanya rasanya terlalu mubadzir, toh, sekarang juga Raihan sudah menampakkan sesal atau sikap bodohnya. "Itu tak akan lama, Bil. Dengan balas dendam aku hanya akan merasa menang sesaat saja. Emang kamu mau, liat aku jambak-jambakan dengan perempuan itu di tempat umum, atau mungkin aku laporkan perselingkuhan mereka sampai keduanya masuk penjara? Nggak, Bil, aku nggak mau
Raihan semakin menegang. Harga dirinya semakin rendah di mata laki-laki yang berstatus ayah baginya itu. "Apa Papa sadar jika Naomi adalah perempuan keras kepala yang hanya akan mementingkan ego-nya sendiri?" Raihan berusaha mencari pembenaran. "Sikap keras kepala Naomi hanya terhadap sesuatu yang menurutnya benar. Sejauh ini Papa belum pernah menemukan yang terlalu mencolok untuk urusan kerjaan. Dan yang pasti loyalitasnya dalam bekerja tak bisa diragukan lagi," bela Pak Beni. Laki-laki itu tidak sedang mengada-ngada, tapi itu memang fakta menurut penilaiannya. "Karena Naomi tak pernah berani sama Papa." Raihan masih terus berusaha membela diri dan menjatuhkan Naomi di mata sang ayah. "Sudahlah! Keputusan Papa sudah bulat. Papa pastikan Naomi mampu menjabat sebagai manager di sana. Dan jika kau mau tetap di sana, Papa akan meminta persetujuan Naomi."Tak ada lagi yang bisa Raihan lakukan selain menerima keputusan sang ayah. Hanya bisa berharap agar Naomi tidak menempatkannya di p
"Iya," jawab Naomi santai. "Kok, bisa, Papa mertuamu mendukung kau bercerai dari anaknya?" Nabila nampak heran. "Iya, Bil. Papa adalah korban perselingkuhan ayahnya. Luka trauma itulah yang membuat Papa saat ini berpihak padaku."Nabila manggut-manggut. Ini kejadian cukup langka menurutnya, di mana sang mertua bahkan bertindak sejauh ini demi memperjuangkan keadilan bagi sang menantu. "Kamu keren, Na. Papa mertuamu sesayang itu ke kamu. Biasanya 'kan para orang tua akan memperjuangkan keutuhan rumah tangga anak menantunya, kecuali bagi yang nggak suka pada sang menantu.""Iya, Bil. Mungkin Papa sama lebih pada berusaha membuat jera Raihan. Yah, kalo aku, sih, ngerasa beruntung banget, makanya aku nggak tega buat menolak keinginan mereka seperti untuk tetap bekerja di perusahaan Papa.""Iya, Na, aku dukung kamu. Buktikan pada Raihan kalo kamu jauh lebih bersinar dari perempuan murahan seperti selingkuhannya."Jam di pergelangan tangan kiri Naomi sudah menunjukkan pukul setengah 10 ma
Dengan langkah cepat laki-laki itu berjalan menuju keluar kantor, berhenti di parkiran tepat di mana mobil Naomi terparkir. Mobil sedan berwarna merah gelap itu kini ditatapnya dengan senyum menyeringai. Beberapa kali ia menoleh ke sekitar. Memastikan jika tak ada yang melihat aksinya. ***Senja semakin menguning pertanda siang semakin menjauh dan malam mulai memberi tanda untuk datang. Naomi kini menuruni mobilnya ketika dirasa ada sesuatu yang tak biasa terasa mengganggu laju kendaraan roda empat miliknya. "Pantesan," gumam Naomi sembari mengusap kasar wajahnya. Beberapa karyawan yang masih tersisa tampak baru saja meninggalkan area kantor dengan kendaraan masing-masing untuk kembali ke rumah masing-masing. "Ada apa, Na?" tanya Raihan yang tiba-tiba datang dari arah belakang Naomi. "Ngak pa-pa," jawab Naomi singkat seraya merogoh ponsel miliknya. Perempuan itu merasa malas jika harus berhutang budi pada laki-laki itu. Raihan seolah tak mendengar kalimat penolakan yang baru sa
Raihan berusaha menyemangati dirinya sendiri. Meski cemburu terus mendominasi isi kepalanya. "Aku hanya perlu membalas perbuatan naomi dengan hal serupa."Raihan terus meracau hingga dering ponsel membuatnya memalingkan pandangannya ke arah benda pipih itu. "Sena," gumam Raihan dengan dahi berkerut. Perlahan ia memelankan laju kendaraan roda empat miliknya agar berjalan melambat. Rasa kesal terhadap Sena begitu pekat terasa, namun rasa penasaran tiba-tiba menyelimuti hatinya. Pun dengan cinta yang belum seutuhnya hilang. Ya, cinta untuk perempuan itu masih ada, meski tergerus rasa benci atas pengkhianatan Sena. Beberapa saat Raihan berpikir tentang maksud Sena menelpon sambil menatap layar ponsel yang berada di sampingnya hingga dering telpon berakhir. "Mungkin Sena hanya ingin mengabarkan jika ia akan menikah dengan laki-laki itu," tebak Raihan. Tak lama setelahnya ponsel Raihan kembali berdering nama penelpon yang sama, Sena. Cepat laki-laki itu menggeser tombol dial pada lay
Perempuan itu tak menjawab, ia kemudian bangkit berjalan mengekor di belakang Raihan. Raihan melajukan kendaraannya lalu berhenti di sebuah masjid tak jauh dari tempat ia menjemput Sena. Tempat yang ia rencanakan untuk melaksanakan 3 rakaman shalat magribnya kali ini. Satu per satu jamaah masjid ke luar setelah baru saja usai melaksanakan salat, hingga yang tersisa satu dua orang saja di dalam sana. "Kau mau ikut turun?" "Tidak, aku akan shalat setelah sampai rumah saja." Sena beralasan. Ia tak ingin wajah sebabnya menarik perhatian jamaah lainnya. Lagi pula ia bahkan sangat jarang melaksanakan shalat, apalagi di tempat suci ini. Raihan hanya mengangguk samar. Setelahnya laki-laki itu melangkah ke luar dan kembali ke mobil 10 menit setelahnya. Sejak kepergian Naomi dari rumah, Raihan merasakan jika kewajibannya terhadap Yang Kuasa semakin tak beraturan sebab tak ada lagi yang mengingatkannya persis saat masih bersama Naomi. Raihan hanya rutin melakukan salat magrib saja, seolah
Hening beberapa saat. Raihan menatap lekat wajah perempuan yang mampu membuatnya abai terhadap istrinya sendiri. Sedangkan Sena, perempuan itu terharu dengan apa yang baru saja Ia dengar. "Abang serius?" tanya Sena dengan bibir bergetar. Semula ia pikir Raihan akan abai terhadapnya, atau mungkin sangat membencinya setelah apa yang telah ia lakukan pada laki-laki itu. Namun nyatanya tidak, Raihan masih begitu mudah untuk ditaklukkan, meski kali ini ia memang berkeinginan kuat untuk meninggalkan Ilham. Ya, laki-laki itu tak pantas untuk diperjuangkan. "Dengan syarat, kita harus menikah," ucap Raihan sambil menatap tepat pada kedua bola mata perempuan di sampingnya itu.Entah apa yang baru saja dikatakan laki-laki itu. Dengan mudah ia mempercayai perempuan yang pernah menghianatinya.Apakah karena cinta? Sepertinya bukan sepenuhnya cinta, melainkan karena nafsu, sekaligus ingin menunjukkan pada Naomi jika dirinya pun bisa bahagia dengan perempuan lain selain Naomi. "Apa aku tak sala
"Tolong biarkan aku bebas dari semuanya kecuali dalam urusan pekerjaan. Aku sama sekali tak lagi ada hubungannya dengan keluarga kalian lagi. Hubungan aku dan Papa dan Mama-mu tak lebih dari hubungan bos dan anak buah saja." Naomi berusaha tenang, meski rasa muak memintanya mengusir laki-laki itu sesegera mungkin. "Kumohon, Na. Tolong aku untuk kali ini." Raihan masih terus merengek. "Apakah jawabanku barusan belum begitu jelas?" Suara Naomi mulai kesal. "Jika tak ada lagi yang perlu dibicarakan, silakan lanjutkan pekerjaan di meja kerjamu!"Ujung kalimat Naomi membuat Raihan tersulut emosi. Niatnya semula untuk membujuk Naomi dengan cara baik-baik kini berganti rasa kesal yang menggumpal di dada. "Kalau kau tak ingin membantuku kenapa kau tak mundur saja dari pekerjaan ini. Bukankah jabatan ini harusnya menjadi hak-ku sebagai anak dari pemilik perusahaan ini?!" Raihan mulai kehilangan kendali. "Oh, aku tau, kau pasti masih sangat mencintaiku hingga sebegitu dendamnya terhadap aku
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp