Wajah Raihan sedikit lega mendengar kalimat Naomi barusan. Setidaknya usahanya membujuk istrinya itu menemukan titik terang, meski ia sendiri belum tahu apa syarat yang Naomi ajukan.
"Katakan saja, Na. Aku akan berusaha memenuhi syarat itu." Helaan napas panjang kembali membuat dada Naomi bergerak naik-turun. sesak dadanya kini semakin bertambah seiring ungkapan Raihan tentang Sena. "Aku akan tetap di sini asalkan kau membawa perempuan itu untuk meminta restu kedua orang tuamu."Rayhan terperanjat demi mendengar kalimat Naomi barusan. "Kau gil*! Bisa-bisa Mama akan mati kejang karena hal itu." Raihan terlihat kesal. Syarat yang Naomi ajukan rasanya begitu berat. "Lantas, kau ingin aku yang mati berdiri karena penghianatanmu?" Kali ini Naomi menatap berani wajah suaminya itu. Entah ke mana hilangnga rasa hormat yang selama ini selalu ia tampakkan. Raihan terdiam sejenak. Bagaimanapun Naomi benar. Ia tak mungkin menggantung perempuan itu dengan tanpa kejelasan. "Aku mohon, Na, tolong beri syarat yang lain. Aku tak mungkin menikahi Sena terang-terangan selama Mama masih berada di pihakmu." Raihan terdengar putus asa. Naomi membuang muka. Ia merasa semakin muak pada laki-laki di hadapannya itu. Dengan entengnya laki-laki yang masih bergelar suaminya itu menjadikannya tameng demi mencapai kepuasan tanpa peduli luka hatinya yang kini menganga. Cukup lama Naomi hanya diam. Ia berusaha mencari cara agar Raihan menyesal atas perlakuan tak berhati laki-lakibitu terhadapnya. "Baiklah, aku akan tetap tinggal di sini dengan syarat; pertama, kau harus menikahi perempuan itu bagaimanapun caranya l. Kedua, kau tidak boleh menyentuhku selagi aku tidak mengizinkan! Ketiga, jangan pernah menampakan kemesraan kalian di depan mataku." Naomi berucap tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Ia sengaja tidak meminta Raihan untuk mentalaknya karena tak mungkin mereka berpisah tapi masih tinggal bersama. Bukan tanpa alasan Naomi meminta Raihan untuk menikahi perempuan itu. Ia tak ingin di rumah ini ada manusia pemuja nafsu tanpa terikat sebuah pernikahan. Melihat Riahan menikah lagi jauh lebih baik baginya daripada harus membuat Mama Maya menderita karena perpisahan mereka. Toh, cintanya pada laki-laki itu pun kini terasa begitu hambar, bahkan terkalahkan dengan rasa muak yang luar biasa. Raihan menghela nafas dalam. Ia merasa lega mendengar syarat dari Naomi barusan. Tak apa ia tak bisa menyentuh istri pertamanya itu, asal ia bisa menikahi Sena meski secara diam-diam. "Terima kasih atas pengertianmu," ucap Raihan tanpa beban. Ia merasa syarat yang Naomi ajukan tidak terlalu berat, bahkan memudahkannya untuk dapat memiliki Sena seutuhnya. Naomi memalingkan wajahnya. Sakit diri luka pengkhianatan Raihan semakin terasa setelah melihat sikap acuh Raihan terhadapnya. "Jangan senang dulu, aku bisa saja pergi kapanpun dari kehidupanmu jika kau ingkar pada syarat yang telah kuajukan. Aku bertahan tak akan lama, aku hanya ingin membuat Mama menerima kehilanganku tanpa harus terluka."Ya, ia hanya butuh waktu sampai Mama mertuanya itu bisa memaklumi kepergiannya tanpa harus bersedih atau lebih dari itu. Semua ia lakukan sebagai balas budi pada perempuan dermawan yang dengan ikhlas membiayai kuliahnya dulu."Akan kuusahakan semampuku. Baiklah, aku mandi dulu."Raihan berlalu meninggalkan Naomi yang masih mematung di atas kursi meja rias, tanpa peduli ada luka yang baru saja ia gores di hati perempuan itu. ***Siang berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Sejak selesai salat Isya tadi Naomi tak beranjak dari atas sajadahnya, hingga detik ini jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah 8 malam. Bibir tipisnya lirih merapalkan asma-Nya. Demi menciptakan damai di relung sana. Raihan beberapa kali kembali ke kamar hanya untuk memastikan jika sang istri sudah selesai dengan munajatnya. Hingga kali ketiga barulah Raihan mendapati Naomi tengah melipat mukenanya. Ada rasa bersalah di hati laki-laki itu. Ia sadar perubahan sikap Naomi sejak sore tadi. Laki-laki itu memilih duduk di bibir ranjang. Menunggu istrinya itu selesai menaruh mukenanya. Kali ini ada yang berbeda. Naomi menggantikan mukena yang tadi ia gunakan dengan kerudung instan. Ia beranjak setelah menutup pintu lemarinya, berjalan keluar kamar tanpa peduli pada Raihan yang kini menunggu untuk disapa seperti biasa. "Apa kau melewatkan sesuatu?" Raihan memberanikan diri untuk bertanya. Sayangnya Naomi seolah tak mendengar suara laki-laki itu. Tak ada lagi gurat luka di wajah cantik perempuan itu. Seolah tak terjadi apa-apa dalam rumah tangganya. Namun ada yang berbeda, Naomi seolah menganggap Raihan tak ada. Ya, perempuan itu menganggap suaminya itu telah mati, persisnya nuraninya-lah yang telah mati. Dengan langkah gontai Naomi berjalan melewati Raihan yang memandangnya dengan penuh tanya. Ya, biasanya selepas salat Naomi akan menjulurkan tangannya lalu mencium takzim punggung tangan sang suami seraya meminta maaf atas segala khilaf yang pernah ia perbuat. Sayangnya mulai hari ini sepertinya Raihan harus melupakan kebiasaan baik yang selalu mereka lewatkan bersama itu. Raihan mematung di tempat. Wajahnya menampakan gurat kecewa. Beberapa saat setelahnya ia menyusul Naomi ke dapur. Tampak perempuan cantik dengan mengenakan piyama lengan panjangnya tengah makan di meja makan. Laki-laki itu kembali mematung di tempat dengan jarak beberapa meter dari sang istri. Ini adalah kali pertamanya Naomi makan sendiri tanpa mempedulikannya sama sekali. Perut yang mulai merasakan lapar memaksa Raihan untuk ikut duduk di meja makan tepat di depan Naomi. Laki-laki itu mengambil piring yang sudah tersaji di atas meja dengan mata terus memandang ke arah sang istri. Raihan merasakan ada sesuatu yang hilang Dari Dirinya. "Kau sama sekali tak mengajakku untuk makan?" Raihan kembali bertanya. Ia benar-benar heran dengan sikap Naomi saat ini. Naomi masih saja diam. Ia sibuk menghabiskan makan malam di piringnya. "Tolong jawab aku, Na?" Raihan terlihat kesal karena tak kunjung menemukan jawaban atas setiap pertanyaannya. Mendengar suara Raihan yang mulai meninggi akhirnya Naomi mengangkat wajah, menatap tenang laki-laki di hadapannya. "Makan saja bila kau lapar, tak perlu aku yang harus membujukmu!" Kalimat itu terdengar begitu dingin, sangat dingin. Raihan kehilangan sosok lembut dan perhatian itu, kini hanya tersisa sosok dingin yang tengah memendam luka dalam di hatinya. Masih jelas di ingatannya sikap hangat Naomi setiap harinya. Dan kini tampak jauh berbeda. Tak ada lagi deretan pertanyaan sebagai bentuk perhatian yang keluar dari bibir sang istri. Bibir tipis itu seolah enggan untuk bergerak kecuali untuk makan. Raihan akhirnya makan dengan perasaan tak menentu. Ia kecewa, kecewa dengan sikap acuh Naomi terhadapnya. Baru beberapa suapan Raihan makan, Naomi beranjak dari kursinya karena telah selesai makan. Meninggalkan Raihan sendiri tanpa sepatah kata pun, hingga membuat laki-laki itu untuk beberapa saat menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya. Dengan tanpa berselera Raihan memaksa untuk menghabiskan makanannya. Lalu menyusul Naomi ke kamar. Di sana Naomi sudah berbaring di posisinya biasa. Raihan pun melakukan hal serupa. Berbaring di samping Naomi. Tanpa sepatah kata pun perempuan itu bangkit dari tempat tidurnya. Mengambil ponsel di atas nakas kemudian berlalu ke luar. Lagi dan lagi, Raihan dibuat tercengang karena sikap sang istri. "Kau mau ke mana?" tanya Raihan sambil berdecak kesal. "Aku akan tidur di kamar tamu!" "Apa sebenci itu kau terhadapku?" Raihan bertanya seolah dirinyalah yang tersakiti.Nomi yang mulai melangkah ke luar seketika menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Raihan yang masih berbaring di tempat tidur dan menatap tajam ke arahnya. "Apa menurutmu hati perempuan akan baik-baik saja setelah mendapati suaminya mencintai wanita lain untuk ke sekian kalinya?""Kenapa kau tak bisa bersikap sebiasa mungkin saat aku di rumah? Bukankah aku masih sah berstatus suamimu?" Mendengar jawaban Raihan spontan emosi Naomi terpancing. Tajam kedua matanya menatap Raihan. Seolah tak ada rasa sungkan sedikitpun. "Sudah kukatakan, jangan memaksaku merubah keputusan secepatnya! Apa kau mau aku mengatakannya pada Mama sekarang, kemudian penyakit jantung Mama akan kumat dan masuk rumah sakit?" Naomi berucap dengan rahang mengeras. Raihan bungkam. Tak ada lagi kata penyangga yang berhasil keluar dari bibirnya. "Maafkan Abang, Na." Hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Raihan. Setelahnya ia hanya bisa melepas kepergian Naomi dengan tatapan serba salah. *** Bukan Naomi namanya jika tak bisa profesional bekerja. Di kantor ia terlihat seolah tak memiliki masalah apa pun. Di mata pegawai lainnya Naomi bekerja sebagaimana biasa. Namun, tidak dengan Nabila, sahabat dekat Naomi itu tahu jika Naomi sedang tidak baik-baik saja saat melihat perempuan itu diam
"Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya. Merasa nama dirinya dan sang ayah disebut Naomi segera menyelesaikan minumnya lalu menoleh ke asal suara. "Eh, Bang Faiq. Kapan balik ke Indonesia?" tanya Naomi. Tangannya terulur ke arah Faiq, lalu mencium takzim punggung tangan saudara sepupunya itu. "Abang udah sebulan yang lalu balik, Na," jawab Faiq dengan nada santun. "Oh, iya, duduk, Bang. Kenalin ini Nabila, temen Naomi." Nabila sedikit tersentak lalu berusaha bersikap tenang dengan melempar senyum ke arah Faiq. Wajah rupawan Faiq mampu membuat Nabila tersihir. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna dengan alis mata menyatu, hidung mancung, serta dagu belahnya. "Faiq!" ucap laki-laki itu dengan senyum manisnya. "Nabila," balas Nabila santun. Matanya terus menatap lekat wajah tampan di hadapannya itu. "Ini abang sepupu aku, Bil. Namanya Faiq Fikri. Kami bi
Raihan mematung di tempat. Saat ini tak ada yang bisa dirinya lakukan selain bersabar, bersabar atas perubahan sikap Naomi terhadapnya. Naomi melanjutkan langkahnya lalu meletakkan tas miliknya di rak khusus, lalu mendekat ke arah lemari, mengambil beberapa potong pakaian dari dalamnya kemudian berlalu ke kamar mandi tanpa mempedulikan Raihan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. Raihan duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan menangkup di wajahnya. Kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di hadapannya. Di dalam kamar mandi, Naomi sengaja menyalakan kran air meski di dalam bak mandi air sudah hampir penuh. Beberapa saat Naomi hanya mematung di depan cermin lebar dekat wastafel. Ditatapnya pantulan wajah cantik miliknya dengan perasaan luka bercampur kecewa. "Apa aku terlalu buruk untuk bisa mendapatkan cinta yang tulus dari laki-laki bergelar suami?" gumam Naomi pelan. Sesak di dadanya semakin menggumpal seiring mata yang mulai menghangat. K
Sejujurnya Raihan tak merasa itu tuduhan karena ia sendiri telah melanggat aturan agamanya itu dengan penuh kesadaran. Naomi beranjak meninggalkan Raihan yang kini hanya membatu di tempat semula. Berada dalam satu kamar bersama laki-laki itu pun seolah menjadi luka baginya, hingga sedapat mungkin ia menghindarinya. ***Matahari Kian menguning, pertanda malam semakin dekat. Raihan melajukan kendaraannya menyusuri Jalan perkotaan menuju pinggiran kota. Di sampingnya Sena dengan dandanan berlebihannya tersenyum puas karena Raihan baru saja membelikannya tas mahal impiannya sejak lama. "Kita akan ke mana?" tanya Sena dengan nada manjanya. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ada yang harus kita bahas secepatnya." Raihan mencium lembut jemari Sena yang sejak tadi ia genggam dengan tangan kirinya. Ah, terlihat begitu romantis. "Apa ada kejutan kedua yang tengah menungguku?" Rona bahagia memancar dari wajah berpipi chubby itu. "Begitulah," jawab Raihan dengan senyum termanisnya. Kein
Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran. Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. "Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kemb
Naomi kembali meraih ponsel miliknya. Mengetik pesan yang kali ini ia tujukan untuk Faiq. Raihan harus segera diberi pelajaran, dan Naomi membutuhkan bantuan Faiq untuk melakukannya. [Abang punya waktu malam ini?] Tak lama setelah terkirim, pesan Naomi langsung berbalas. [Katakan saja ingin bertemu di mana? Mumpung Abang dinas pagi.]Sudut bibir Naomi terangkat, menampilkan senyum manis. [Temui Naomi di Cafe Lentera habis isya. Naomi pengen cerita.] Naomi kembali menyimpan ponselnya setelah Faiq menyetujui permintaannya. Adzan isya berkumandang. Bergegas Naomi branjak dengan mukena yang masih menempel di tubuhnya, lalu melaksanakan salat isya sebelum akhirnya bersiap untuk bertemu Faiq. Faiq, laki-laki yang menjadi teman masa kecilnya, laki-laki yang selalu bisa memahami sikap keras kepalanya, serta laki-laki yang selalu membuatnya nyaman. Ya, rasa nyaman persis seorang adik terhadap kakaknya. Tak ada rasa lebih pada laki-laki itu selain rasa nyaman karena diperlakukan dengan
Embusan nafas panjang keluar dari bibir Naomi. Sesaat setelahnya ia tersenyum getir. "Mungkin belum saatnya Naomi berbahagia dengan cinta seorang suami, meski pada kenyataannya Naomi sangat berharap itu akan terjadi."Faiq menggeleng pelan. "Kau masih muda, Na. Jika memang dia laki-laki yang tak baik bagimu, lepaskan. Kau tak pantas terus bertahan dalam pernikahan yang tak sehat. Tak perlu khawatir dengan status janda, banyak di luaran sana mereka yang pernah bercerai kini menemukan kebahagiaan dengan pasangan baru mereka." Faiq berusaha menyemangati. Bersamaan dengan itu, hatinya kembali berdesir, desir yang sama dengan yang ia rasakan 3 tahun lalu. "Naomi hanya ingin menunggu sebentar lagi, sampai keluarganya bisa menerima kepergian Naomi." Naomi berucap lirih dengan hati terus berharap jika waktu itu akan segera datang. "Kenapa kau masih memikirkan keluarganya, sedangkan bajing*n itu sama sekali tak memikirkan perasaanmu?" Faiq berdecak kesal. Tergambar jelas di ingatannya baga
"Apa kau memintaku untuk membuat Raihan cemburu?" tebak Faiq dengan dada kembali berdesir. "Mungkin bisa dibilang begitu. Aku ingin Raihan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Seperti apa perihnya tak dihargai." Naomi berucap getir. Sekuat apa pun ia abaikan rasa sakit itu, tetap saja perihnya masih pekat terasa. "Kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan?" Faiq bertanya dengan alis bertaut. Ia tak yakin rencana Naomi akan berjalan dengan mulus. "Apa abang meragukanku?" Naomi balik bertanya dengan sudut bibir terangkat. "Abang khawatir semua akan semakin berantakan. Dan akan memberi kesan buruk untukmu." Faiq menatap sendu wajah Naomi. Ia berharap kali ini Naomi bisa berpikir lebih panjang lagi sebelum melangkah agar tak ada sesal di akhir nanti. "Apakah kekhawatiran Abang tentang mertuaku?" tanya Naomi seolah paham kekhawatiran Faiq. Bibirnya menyungging senyum tipis. "Di antaranya. Abang khawatir mereka akan menganggapmu perempuan tak baik." Faiq berucap hati-hati, k
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp