"Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya.
Merasa nama dirinya dan sang ayah disebut Naomi segera menyelesaikan minumnya lalu menoleh ke asal suara. "Eh, Bang Faiq. Kapan balik ke Indonesia?" tanya Naomi. Tangannya terulur ke arah Faiq, lalu mencium takzim punggung tangan saudara sepupunya itu. "Abang udah sebulan yang lalu balik, Na," jawab Faiq dengan nada santun. "Oh, iya, duduk, Bang. Kenalin ini Nabila, temen Naomi." Nabila sedikit tersentak lalu berusaha bersikap tenang dengan melempar senyum ke arah Faiq. Wajah rupawan Faiq mampu membuat Nabila tersihir. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna dengan alis mata menyatu, hidung mancung, serta dagu belahnya. "Faiq!" ucap laki-laki itu dengan senyum manisnya. "Nabila," balas Nabila santun. Matanya terus menatap lekat wajah tampan di hadapannya itu. "Ini abang sepupu aku, Bil. Namanya Faiq Fikri. Kami biasa memanggilnya Bang Faiq." Naomi menjelaskan sambil tersenyum ke arah Nabila. "Abang udah makan?" Naomi kembali bertanya dan melirik ke arah Faiq. "Udah, Na. Abang udah dari tadi merhatiin kamu dari pojok sana takut salah orang." Faiq menunjuk posisinya sejak tadi di rumah makan ini, sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat ke meja di mana Naomi berada. "Baru dua tahun nggak ketemu masa udah lupa?" Naomi melipat dahinya. "Kali aja punya kembaran beda rahim. Nggak lucu kan kalau langsung sok akrab, tau-tau salah orang." Faiq nyengir kuda. Wajah tampan laki-laki itu terlihat semakin sempurna. "Ya, nggak pa-pa, sekalian kenalan," goda Naomi pada laki-laki yang 3 tahun lebih tua darinya itu."Dari dulu emang nggak pernah berubah, ya," ucap Faiq dengan tawa renyah. "Apanya?""Suka usilnya." Keduanya tertawa bersamaan. Sedang Nabila hanya tersenyum manis. Melihat keakraban antara Faiq dan Naomi membuat Nabila berpikir tentang sesuatu yang Naomi sama sekali tak pernah memikirkannya. "Oh, ya, Abang sekarang kerja di Rumah Sakit Medika, Na. Main-main ke rumah Abang ajak suamimu." Faiq menatap lekat wajah Naomi, bibirnya tersenyum, senyum yang hanya dirinya dan Tuhan-nya yang paham. Naomi hanya tersenyum kecut. Mendengar kata 'suami' saja mampu membuat ingatannya melayang pada sosok Raihan. Sosok yang kembali menoreh luka di hatinya. "Insya Allah, Bang. Kalau ingin berkunjung nanti Naomi kabari. Abang juga, main-main ke rumah," balas Naomi menawarkan. Beberapa menit mereka berbincang akrab, hingga akhirnya Faiq pamit setelah sebelumnya mengangkat telepon dari seseorang. Tubuh faiq semakin mengecil seiring langkahnya yang menjauh dari tempat Naomi dan Nabila berada, hingga akhirnya menghilang di ujung sana. "Kok, dari tadi diam aja, Bil? Tumben banget?" Naomi terkekeh. Biasanya Nabila memang lebih aktif berbicara darinya, entah kenapa kali ini perempuan itu bersikap seperti tak biasa. "Seriusan itu sepupumu, Na?" tanya Nabila tanpa menjawab pertanyaan Naomi dengan alis bertaut. "Iya, Mama bang Faiq adik Ayahku. Dari kecil juga kami selalu main bersama, bahkan 1 sekolah sampai tamat SMA." Naomi berucap sambil mengenang masa-masa kebersamaan mereka dulu. "Kayak wajah-wajah cowok sebelah sana, ya, Na.""Iya, Bil. Dari sebelah ayah Bang Faiq ada darah Arab, jadi wajar kalau wajahnya mirip-mirip orang Timur Tengah," jawab Naomi seadanya. Nabila terdiam beberapa saat."Apa kalian pernah saling mencintai, Na?" tanya Nabila akhirnya, membuat Naomi harus berusaha menahan tawanya. "Nggak lah, Bil. lagian masih banyak laki-laki lain, kenapa harus dengan keluarga sendiri." Naomi berusaha meyakinkan Nabila jika hubungan mereka mutlak hanya sekedar saudara sepupu yang akrab sejak kecil. "Jangan salah, Na. Sepupu juga boleh-boleh aja 'kan?!" Nabila masih menampakkan wajah serius. "Udah lah, Bil. Ngapain sih jadi ngaco gini." Naomi terkikik geli memamerkan gigi kelinci bawaan asalnya yang terlihat begitu manis. "Serius, Na! Dari caranya menatapmu aku yakin kalian pernah memiliki rasa lebih dari sekedar sepupu." Nabila berusaha meyakinkan sahabatnya itu. "Pliisss, Bil. Lagian aku udah nikah juga 'kan.""Iya, sih, Na. Tapi terkadang kita menikah juga belum tentu akan langgeng 'kan, terkadang jodoh tak bertahan lama, Na, setelah akhirnya patah hati dan berjuang untuk kembali bahagia, lalu kemudian menemukan orang baru yang benar-benar mampu membuat kita merasakan kebahagiaan seutuhnya." Nabila barlagak bijak. "Ini bukan dalam dunia novel, atau kisah drama romantis seperti yang kau bayangkan, Bil. Sudahlah, aku hanya berusaha menjalani hariku tanpa luka, itu saja." Suara Naomi berubah sendu. Ada luka yang kembali terasa saat mengingat kisah cintanya yang mulai meredup, meski jauh di relung sana ia membenarkan kalimat Nabila, jika terkadang jodoh tak bertahan lama. Nabila tak lagi meneruskan kalimatnya. Ia cukup peka untuk sekedar menyelesaikan prasangkanya tentang Naomi dan Faiq. Lembut tangan perempuan itu mengusap bahu sahabatnya, berusaha memberi semangat agar tetap kuat dan tegar menjalani hari dengan luka yang masih menganga. ***Jam dinding di ruangannya menunjukkan pukul 5 sore. Naomi menghela napas panjang. Kali ini ia merasakan hal berbeda saat jam pulang kantor. Ya, biasanya jam pulang kantor menjadi waktu yang ia tunggu-tunggu untuk kembali bertemu dengan laki-laki yang dulu ia anggap terbaik baginya itu, tapi kini semua berubah. Naomi menganggap Raihan tak lebih dari sebuah luka yang hanya dengan mendengar namanya saja hatinya akan kembali terasa perih. Dengan malas Naomi merapikan kertas-kertas yang masih berserakan di meja kerjanya. Terdiam beberapa saat di depan layar monitor yang baru saja ia matikan. Beberapa kali ia terlihat menghela napas panjang, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan keluar ruangan. Cahaya matahari semakin menguning seiring sinar terang menusuk kulit yang kian meredup. Langkah demi langkah Naomi menapaki susunan conblock yang terpasang rapi di area parkiran kantornya, menuju mobilnya yang terparkir di ujung sana. "Aku duluan, ya, Na," seru Nabila sambil melambaikan sebelah tangannya ke arah Naomi. Naomi pun membalas dengan hal serupa. Setelahnya mobil sedang hitam itu menghilang di telan jarak. Ponsel dalam tas jinjing Naomi berdering. Ia meraih ponsel di dalamnya, menatap layar datar yang tengah menyala penampakan nama Raihan sebagai penelepon. Dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam tas. Sudut bibir Naomi terangkat menampakkan seulas senyum luka."Maaf jika rasa hormat itu telah pergi! Aku tak akan menyia-nyiakan hidupku untuk menangisi luka pengkhianatanmu. Anggap saja kita hidup bersama namun berbeda alam," gumam Naomi dengan hati berdesir.Naomi kembali menghela nafas kasar. Ia berusaha membuang luka yang masih tersisa. Setelah merasa sedikit lebih tenang, ia melajukan kendaraan roda empat miliknya keluar dari parkiran kantor menuju jalan raya. Terlalu sulit mengobati luka penghianatan dalam waktu sesingkat ini. Itulah yang dirasakan Naomi, Ia masih belum sanggup untuk bersikap sebiasa mungkin terhadap Raihan, meski sudut hatinya mengatakan jika Raihan masih berhak menerima tutur lembut dan sikap santun darinya. Dua puluh menit berlalu mobil Naomi memasuki pagar rumahnya. Di sana di garasi tepat di sebelah kanan rumah mereka mobil Raihan terparkir, pertanda laki-laki itu sudah pulang lebih awal. Bergegas turun setelah mobil terparkir sempurna. Berjalan masuk melewati ruang tamu langsung menuju kamarnya. Saat ini, tempat ternyaman baginya di rumah ini hanyalah kamar tidurnya, itu pun jika tidak ada Raihan di sana. Tak ada lagi kemesraan yang hadir di ruang keluarga. Semua ruangan terlihat begitu hambar, atau mungkin terlihat menyedihkan bagi Naomi. Sejenak Naomi mematung di depan pintu ketika mendapati Raihan tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur. "Sudah pulang?" sapa Raihan dengan senyum termanisnya, senyum yang begitu memuakkan bagi Naomi. Bergegas laki-laki itu bangkit lalu mendekat ke arah Naomi. Kedua tangannya meraih kedua bahu sang istri. "Abang minta maaf jika kemarin Abang lupa hari anniversary kita," ucap Raihan lembut, berusaha meluluhkan hati perempuan cantik dengan pupil mata hitam pekat di hadapannya. Naomi menatap lurus wajah tampan laki-laki itu. Perlahan tangannya melepaskan pegangan tangan Raihan di bahunya. "Baguslah, jadi aku tak perlu mengingatkanmu tentang hari pernikahan kita. Pernikahan? Ah, sepertinya aku terlalu berlebihan." Naomi terkekeh pelan. Tak ada yang lucu, sejujurnya ia tengah berusaha menghibur hatinya yang terasa menyedihkan. "Kau tidak berlebihan, Na. Nyatanya kita memang masih sah berstatus suami istri. Lihatlah di sana, Abang menyiapkan sesuatu yang istimewa untukmu." Rehan menunjuk sebuah bungkusan yang ia letakkan di atas nakas berdampingan dengan kue tart dengan tulisan anniversary serta jumlah tahun yang telah mereka lalui bersama, 1. "Semuanya aku butuhkan kemarin, bukan hari ini!" jawab Naomi dengan senyum sinis. "Dan satu lagi, maaf karena aku tak bisa memperlakukanmu persis seorang suami seperti dulu lagi," jawab Naomi dengan nada dingin. "Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan pernikahan kita?" tanya Raihan dengan wajah sendu. Naomi tak langsung menjawab. Bibirnya tersenyum manis, bahkan sangat manis. "Aku lakukan ini demi membalas budi baik Mama sama Papa. Dan tentang kita, aku hanya ingin menjalaninya senyamanku saja, tanpa harus terbebani dengan laki-laki yang tak pernah bisa menghargai kehadiranku," ucap Naomi sambil melenggang masuk tanpa mempedulikan Raihan serta kue tart dan aneka hadiah yang tertata di atas nakas. Harga dirinya telalu mahal jika dibandingkan dengan semua itu.Raihan mematung di tempat. Saat ini tak ada yang bisa dirinya lakukan selain bersabar, bersabar atas perubahan sikap Naomi terhadapnya. Naomi melanjutkan langkahnya lalu meletakkan tas miliknya di rak khusus, lalu mendekat ke arah lemari, mengambil beberapa potong pakaian dari dalamnya kemudian berlalu ke kamar mandi tanpa mempedulikan Raihan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. Raihan duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan menangkup di wajahnya. Kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di hadapannya. Di dalam kamar mandi, Naomi sengaja menyalakan kran air meski di dalam bak mandi air sudah hampir penuh. Beberapa saat Naomi hanya mematung di depan cermin lebar dekat wastafel. Ditatapnya pantulan wajah cantik miliknya dengan perasaan luka bercampur kecewa. "Apa aku terlalu buruk untuk bisa mendapatkan cinta yang tulus dari laki-laki bergelar suami?" gumam Naomi pelan. Sesak di dadanya semakin menggumpal seiring mata yang mulai menghangat. K
Sejujurnya Raihan tak merasa itu tuduhan karena ia sendiri telah melanggat aturan agamanya itu dengan penuh kesadaran. Naomi beranjak meninggalkan Raihan yang kini hanya membatu di tempat semula. Berada dalam satu kamar bersama laki-laki itu pun seolah menjadi luka baginya, hingga sedapat mungkin ia menghindarinya. ***Matahari Kian menguning, pertanda malam semakin dekat. Raihan melajukan kendaraannya menyusuri Jalan perkotaan menuju pinggiran kota. Di sampingnya Sena dengan dandanan berlebihannya tersenyum puas karena Raihan baru saja membelikannya tas mahal impiannya sejak lama. "Kita akan ke mana?" tanya Sena dengan nada manjanya. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ada yang harus kita bahas secepatnya." Raihan mencium lembut jemari Sena yang sejak tadi ia genggam dengan tangan kirinya. Ah, terlihat begitu romantis. "Apa ada kejutan kedua yang tengah menungguku?" Rona bahagia memancar dari wajah berpipi chubby itu. "Begitulah," jawab Raihan dengan senyum termanisnya. Kein
Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran. Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. "Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kemb
Naomi kembali meraih ponsel miliknya. Mengetik pesan yang kali ini ia tujukan untuk Faiq. Raihan harus segera diberi pelajaran, dan Naomi membutuhkan bantuan Faiq untuk melakukannya. [Abang punya waktu malam ini?] Tak lama setelah terkirim, pesan Naomi langsung berbalas. [Katakan saja ingin bertemu di mana? Mumpung Abang dinas pagi.]Sudut bibir Naomi terangkat, menampilkan senyum manis. [Temui Naomi di Cafe Lentera habis isya. Naomi pengen cerita.] Naomi kembali menyimpan ponselnya setelah Faiq menyetujui permintaannya. Adzan isya berkumandang. Bergegas Naomi branjak dengan mukena yang masih menempel di tubuhnya, lalu melaksanakan salat isya sebelum akhirnya bersiap untuk bertemu Faiq. Faiq, laki-laki yang menjadi teman masa kecilnya, laki-laki yang selalu bisa memahami sikap keras kepalanya, serta laki-laki yang selalu membuatnya nyaman. Ya, rasa nyaman persis seorang adik terhadap kakaknya. Tak ada rasa lebih pada laki-laki itu selain rasa nyaman karena diperlakukan dengan
Embusan nafas panjang keluar dari bibir Naomi. Sesaat setelahnya ia tersenyum getir. "Mungkin belum saatnya Naomi berbahagia dengan cinta seorang suami, meski pada kenyataannya Naomi sangat berharap itu akan terjadi."Faiq menggeleng pelan. "Kau masih muda, Na. Jika memang dia laki-laki yang tak baik bagimu, lepaskan. Kau tak pantas terus bertahan dalam pernikahan yang tak sehat. Tak perlu khawatir dengan status janda, banyak di luaran sana mereka yang pernah bercerai kini menemukan kebahagiaan dengan pasangan baru mereka." Faiq berusaha menyemangati. Bersamaan dengan itu, hatinya kembali berdesir, desir yang sama dengan yang ia rasakan 3 tahun lalu. "Naomi hanya ingin menunggu sebentar lagi, sampai keluarganya bisa menerima kepergian Naomi." Naomi berucap lirih dengan hati terus berharap jika waktu itu akan segera datang. "Kenapa kau masih memikirkan keluarganya, sedangkan bajing*n itu sama sekali tak memikirkan perasaanmu?" Faiq berdecak kesal. Tergambar jelas di ingatannya baga
"Apa kau memintaku untuk membuat Raihan cemburu?" tebak Faiq dengan dada kembali berdesir. "Mungkin bisa dibilang begitu. Aku ingin Raihan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Seperti apa perihnya tak dihargai." Naomi berucap getir. Sekuat apa pun ia abaikan rasa sakit itu, tetap saja perihnya masih pekat terasa. "Kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan?" Faiq bertanya dengan alis bertaut. Ia tak yakin rencana Naomi akan berjalan dengan mulus. "Apa abang meragukanku?" Naomi balik bertanya dengan sudut bibir terangkat. "Abang khawatir semua akan semakin berantakan. Dan akan memberi kesan buruk untukmu." Faiq menatap sendu wajah Naomi. Ia berharap kali ini Naomi bisa berpikir lebih panjang lagi sebelum melangkah agar tak ada sesal di akhir nanti. "Apakah kekhawatiran Abang tentang mertuaku?" tanya Naomi seolah paham kekhawatiran Faiq. Bibirnya menyungging senyum tipis. "Di antaranya. Abang khawatir mereka akan menganggapmu perempuan tak baik." Faiq berucap hati-hati, k
"Maaf, Pa. Aku tidak bisa membicarakan ini di rumah, karena khawatir dengan kesehatan Mama." Naomi berucap jujur. Beberapa saat laki-laki dengan postur tubuh kurus tinggi itu terdiam. Naomi benar, jika dibicarakan di rumah, terlalu berisiko bagi kesehatan istrinya. "Raihan lagi," suara Pak Beni terdengar berat."Iya, Pa." Pak Beni kembali diam dengan tangan mengepal. Ulah anak bungsunya itu membuat emosi laki-laki itu terpancing. "Papa sudah menduganya," ucap Pak Beni dengan mulai kesal. "Maksud Papa?" "Papa sempat memergokinya tiga hari lalu." Naomi merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk daging lembut di rongga dadanya. Sakit, sangat sakit. Ternyata Raihan sama sekali tak menghargainya setelah sikap dinginnya akhir-akhir ini pada laki-laki itu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" "Aku memintanya menikahi selingkuhannya itu." Naomi berucap hati-hati, namun terdengar tegas, membuat Papa mertuanya itu tersentak. "Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan, Na?" Pa
Kali ini Naomi memberanikan diri menatap lekat wajah Papa mertuanya itu. Biasanya Naomi akan langsung menunduk saat tatapan mereka bertemu, Karena rasa segan. Tapi tidak untuk kali ini, Naomi seolah menantang tatapan laki-laki paruh baya itu dengan berani. "Apa alasan Papa tidak mengizinkanku melakukannya?" tanya Naomi dengan berani namun tetap santun. "Papa hanya ingin mendengar jawabanmu," jawab Pak Beni, laki-laki itu tak ingin Naomi salah paham. Dengan satu kali helaan nafas panjang, Naomi memantapkan hatinya. Sesaat kemudian matanya terpejam, lalu berucap. "Aku akan pergi dari keluarga kalian secepatnya sejauh yang kumampu, tanpa merasa terbebani dengan keadaan Mama." Pak Beni menelan udah Getir. Laki-laki itu sangat paham bagaimana sikap tegas Naomi. Pastinya ia tak ingin keadaan lebih kacau lagi."Lakukan saja apa yang menurutmu tepat. Lagi pula Papa sudah kehabisan cara untuk membuat Raihan sadar." Pak Beni berucap dengan nada putus asa. Pasalnya, pada saat Raihan berselin
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp