Naomi segera melajukan kendaraan roda empat milikku kembali ke rumah. Keinginan awalnya untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka pupus sudah. Tak ada lagi harapan keluarga utuh di hatinya yang tersisa setelah melihat ulah Raihan di belakangnya.
Tangan kirinya meremas kuat kemeja bagian dada, berusaha menghalau luka lama yang kini kembali bernanah. Sedangkan bibir tipis berlipstik nude itu beberapa kali merapal istighfar, berharap hatinya bisa sedikit lebih tenang. Dua bulan lalu ia masih bisa memaafkan kesalahan fatal Raihan, namun kali ini rasanya terlalu bod*h jika ia kembali memaafkan laki-laki itu. Naomi berpikir keras bagaimana caranya agar Mama Maya baik-baik saja dan merelakan kepergiannya. Sayangnya sekeras apa ia berpikir tentang hal itu ia tetap tak menemukan jawabannya. Beberapa kali perempuan itu terlihat menarik napas dalam sembari masih berusaha konsentrasi menyetir. Ia berharap gemuruh di dadanya perlahan berkurang. Cinta di hatinya pada laki-laki itu sangat kuat, sayangnya, kini rasa muak dan benci seolah mengalahkan segalanya. Diraihnya ponsel miliknya lalu membuka aplikasi hijau. Menekan fitur voice note pada sisi kanan ponselnya. "Maaf, Kak, kuenya aku batalin, ya, tapi duitnya tetep aku transfer nanti."Naomi meletakkan ponselnya di pangkuannya dan kembali fokus menyetir. Sepuluh menit setelahnya mobil Naomi memasuki parkiran rumah mereka. Bergegas ia masuk rumah, lalu segera menuju kamarnya untuk mandi. Ia ingin memikirkan jalan ke depannya dengan kepala dingin agar tak ada hati yang tersakiti selain hati pengkhianat yang kini masih bergelar suaminya. Usai mandi, Naomi berwudhu dan melakukan shalat sunat 2 rakaat. Nasihat sang ayah yang berdasarkan firman Tuhan itu selalu ia ingat hingga saat ini. "Ketika amarahmu sedang meninggi atau kau sedang berada dalam ujian hidup berbentuk apa pun, berwudhulah! Shalat sunat dua rakaat. Dengan begitu kau akan merasa lebih tenang, Nak." Naomi tersenyum tipis dengan air mata menetes di pipi saat mengingat kembali waktu di mana laki-laki terbaiknya itu tengah berpesan hal itu padanya. Tangan keriput sang ayah mengusap lembut kepalanya persis saat dirinya masih usia anak-anak dulu. Ia menyudahi ritual ibadahnya dengan salam. Lalu melanjutkan ratusan istigfar dengan lelehan bulir bening di pipinya. Kali ini ia bukan menangisi Raihan, melainkan menyesali sikap keras kepalanya saat menerima lamaran Raihan dulu meski sang ayah sudah mengutarakan rasa keberatannya. Masih ingat jelas di kepalanya bagaimana sang ayah akhirnya melemah dan mengikhlaskan anak satu-satunya itu untuk menikah dengan laki-laki tampan yang menurut penilaian sang ayah kurang bertanggung jawab. Dan kini semuanya terbukti, Raihan sama sekali tak menganggap ikatan pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dijaga dengan sepenuh hati. Laki-laki itu seolah lupa bagaimana sulitnya dulu ia memperjuangkan restu ayah Naomi. Ditengadahkannya kedua tangan dengan air mata terus mengalir. Air mata sesal yang kini terus bersesakan ke luar. Khusyuk ia lantunkan doa dan harapan, harapan untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidupnya serta orang-orang terkasihnya. Melabuhkan pinta agar diberi jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang kini terasa begitu memberatkan pundaknya. Naomi mengakhiri pintanya ketika pintu kamar terdengar diketuk. Ia bangkit dengan masih menggunakan mukena ungu berenda benang warna emas bagian ujungnya. Cepat Naomi menghapus air matanya. Berusaha menghilangkan jejak luka yang masih tersisa. Ia berjalan menuju arah pintu kamar. Dalam satu kali putaran pada gagangnya pintu itu pun terbuka, menampakkan wajah tampan dengan cambang tipis milik Raihan. Wajah laki-laki itu terlihat tegang seiring degub jantung mulai tak berimbang. "Duduk!" perintah Naomi saat melihat Raihan hanya mematung di sisi ranjang. Laki-laki itu tak menolak, ia duduk di bibir ranjang menghadap pada sang istri. Naomi memilih duduk di kursi depan meja rias menghadap Raihan masih dengan mengenakan mukena. Berharap hatinya lebih tenang dengan busana ibadah yang masih melekat di tubuhnya. "Maafkan Abang!" Raihan berucap lirih. Wajah tampan dengan hidung mancung itu terlihat sendu. Naomi bergeming dengan tatapan menyapu lantai di bawah kakinya. Ia seolah memberi waktu bagi laki-laki dengan kemeja putih itu menuntaskan drama sesalnya kali ini. "Abang tau Abang salah. Kau bisa menghukumku dengan cara apa pun, asalkan aku bisa mendapatkan kata maaf darimu." Naomi masih diam, tanpa berniat menyela ataupun sekedar bertanya. "Na! Tolong hiraukan Abang!" Rayhan menyentuh pelan pundak sang istri. Perlahan Naomi mengangkat wajahnya. Menatap lurus kedua mata sang suami. "Abang masih mencintaiku?" tanya Naomi dengan lembut. Berusaha ia tekan emosi di dada yang memintanya untuk memaki laki-laki di hadapannya itu dengan kata-kata paling kasar. "Abang masih mencintaimu, Na. Bahkan sangat-sangat mencintaimu." Raihan berusaha menjawab dengan menghiba, berharap sang istri kembali memaafkan pengkhianatannya. "Apa pelayananku kurang terhadap Abang?" Naomi kembali bertanya. "Tidak, Na." Dengan ragu Raihan menjawab. "Apa aku pernah tak setia saat tak bersama Abang?" Kejar Naomi. Ia ingin memuaskan hatinya demi mengetahui kekurangannya dalam melayani sang suami. "Tidak, Na. Abang mohon maafkan Abang!" Raihan semakin gusar karena Naomi sama sekali tak menggubris setiap kalimat permohonan darinya. "Apa aku pernah berbuat tak baik terhadap Mama?" Lagi, Naomi bertanya tentang sikapnya selama ini. "Tidak, Na. Kedua orang tuaku bahkan begitu menyayangimu." Raihan merasa semakin terpojok. Naomi menyunggingkan senyum. Ia sendiri merasa dirinya sudah berusaha sebisa mungkin untuk melaksanakan tugasnya sebagai istri dengan baik. Meski pekerjaan rumah ia serahkan pada Bik Inah, asisten rumah tangga mereka karena dirinya yang berkarir di luar. "Lantas, apa daya tarik pada perempuan itu yang tidak aku milik?" Naomi merasakan detak jantungnya semakin meningkat. Bayangan Raihan berhubungan har*m dengan perempuan itu membuat emosinya kembali tersulut. Raihan tertunduk. Untuk berkata jujur ia khawatir Naomi akan semakin marah dan berakibat fatal bagi semuanya, terlebih mamanya. "Abang dengar pertanyaan terakhirku?" Naomi berucap tegas dengan gigi-giginya yang merapat karena kesal. Raihan mengangkat wajahnya, menampakkan wajah memelasnya. Ia sadar emosi Naomi semakin meninggi sekarang. "Sudahlah, Na, lupakan saja. Kau lebih segalanya dari dia." Raihan berusaha membujuk. "Jawab! Atau Abang akan menyesal!" ancam Naomi. Suara perempuan itu terdengar semakin lembut, tapi terdengar menghujam jantung di telinga Raihan. "Baiklah jika kau memaksa. Satu hal yang perlu kau tahu, Sena lebih hangat dan lebih menggairahkan darimu."Mendengar kejujuran Raihan, Naomi merasa tubuhnya terbang ke awan, sedetik kemudian terhempas dengan kasar ke dasar jurang. Sakit, sangat sakit. Sekuat tenaga ia tahan amarah yang ingin meledak. Wanita cantik berkulit putih mulus itu berulang kali menarik napas dalam dan mengembusnya ke luar."Apa kau telah melakukan hubungan har*m dengan perempuan itu?" Kali ini suara Naomi terdengar tegas. Hatinya semakin kuat seiring rasa cinta yang semakin tergerus oleh pengkhianatan. Raihan tercekat. Pertanyaan serta sebutan Naomi terhadapnya membuat laki-laki itu susah payah menelan ludah. Ini kali pertamanya Naomi menyebutnya dengan kata 'kau'."Aku—aku …," Kalimat Raihan terputus ketika dengan cepat Naomi menyambarnya. "Tanpa kau jawab pun aku sudah paham." Naomi berucap dengan hati kembali tersayat. Wajah laki-laki itu berubah pucat pasi. Seberani apa pun dirinya di luaran sana tetap saja kali ini ia merasa kalah telak. Sikap tegas Naomi mampu membuatnya tak berkutik. "Lepaskan aku!" lirih Naoimi berucap, sangat lirih. Sekuat apa ia berusaha tegar tetap saja hatinya tak mampu berbohong jika ia tengah berada di titik lemah. Raihan bangkit. Berusaha meraih tubuh dalam balutan mukena itu ke dalam pelukannya. "Jangan menyentuhku!" Kalimat Naomi mampu menghentikan gerakan tangan Raihan. "Aku tak akan pernah melepaskanmu! Karena aku mencintaimu." Raihan berucap lirih. Naomi menggeleng pelan. Sudut bibirnya terangkat menyunggingkan senyum sinis. "Sejak kapan cinta berkhianat?" Sekilas diliriknya laki-laki yang baru saja mengatakan cinta padanya, kemudian membuang muka. "Kumohon, Na. Aku butuh pelayanan yang hangat dan menggairahkan. Kau tak sehangat Sena, tapi aku pun tak mungkin menceraikanmu karena orang tuaku." Akhirnya kalimat itu lolos dari bibir Raihan, membuat hati Naomi semakin meringis. Naomi meremas kuat mukena dalam genggamannya, hingga terasa sakit di telapak tangannya karena kuku-kukunya yang sedikit memanjang terasa menusuk kulit. "Lantas apa yang kau inginkan dariku sekarang?" Naomi tertunduk dalam. Pengakuan Raihan barusan membuatnya merasa menjadi perempuan paling hina. Ia sadar sekarang, jika ego-nya saat meminta restu pada sang ayah dulu membuahkan hasil. Ya, ini adalah hasil dari sikap keras kepalanya dahulu. "Maafkan aku, Na. Tetaplah di sini kumohon. Demi Mama." Raihan berucap seolah tanpa nurani. Naomi bergeming. Entah dari mana datangnya keinginan untuk membuat laki-laki itu merasakan betapa perihnya luka yang telah ia goreskan dihatinya. "Aku akan tetap tinggal di sini jika kau bersedia memenuhi syarat dariku!" Ia berusaha tegar.Wajah Raihan sedikit lega mendengar kalimat Naomi barusan. Setidaknya usahanya membujuk istrinya itu menemukan titik terang, meski ia sendiri belum tahu apa syarat yang Naomi ajukan. "Katakan saja, Na. Aku akan berusaha memenuhi syarat itu." Helaan napas panjang kembali membuat dada Naomi bergerak naik-turun. sesak dadanya kini semakin bertambah seiring ungkapan Raihan tentang Sena. "Aku akan tetap di sini asalkan kau membawa perempuan itu untuk meminta restu kedua orang tuamu."Rayhan terperanjat demi mendengar kalimat Naomi barusan. "Kau gil*! Bisa-bisa Mama akan mati kejang karena hal itu." Raihan terlihat kesal. Syarat yang Naomi ajukan rasanya begitu berat. "Lantas, kau ingin aku yang mati berdiri karena penghianatanmu?" Kali ini Naomi menatap berani wajah suaminya itu. Entah ke mana hilangnga rasa hormat yang selama ini selalu ia tampakkan. Raihan terdiam sejenak. Bagaimanapun Naomi benar. Ia tak mungkin menggantung perempuan itu dengan tanpa kejelasan. "Aku mohon, Na, to
"Kenapa kau tak bisa bersikap sebiasa mungkin saat aku di rumah? Bukankah aku masih sah berstatus suamimu?" Mendengar jawaban Raihan spontan emosi Naomi terpancing. Tajam kedua matanya menatap Raihan. Seolah tak ada rasa sungkan sedikitpun. "Sudah kukatakan, jangan memaksaku merubah keputusan secepatnya! Apa kau mau aku mengatakannya pada Mama sekarang, kemudian penyakit jantung Mama akan kumat dan masuk rumah sakit?" Naomi berucap dengan rahang mengeras. Raihan bungkam. Tak ada lagi kata penyangga yang berhasil keluar dari bibirnya. "Maafkan Abang, Na." Hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Raihan. Setelahnya ia hanya bisa melepas kepergian Naomi dengan tatapan serba salah. *** Bukan Naomi namanya jika tak bisa profesional bekerja. Di kantor ia terlihat seolah tak memiliki masalah apa pun. Di mata pegawai lainnya Naomi bekerja sebagaimana biasa. Namun, tidak dengan Nabila, sahabat dekat Naomi itu tahu jika Naomi sedang tidak baik-baik saja saat melihat perempuan itu diam
"Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya. Merasa nama dirinya dan sang ayah disebut Naomi segera menyelesaikan minumnya lalu menoleh ke asal suara. "Eh, Bang Faiq. Kapan balik ke Indonesia?" tanya Naomi. Tangannya terulur ke arah Faiq, lalu mencium takzim punggung tangan saudara sepupunya itu. "Abang udah sebulan yang lalu balik, Na," jawab Faiq dengan nada santun. "Oh, iya, duduk, Bang. Kenalin ini Nabila, temen Naomi." Nabila sedikit tersentak lalu berusaha bersikap tenang dengan melempar senyum ke arah Faiq. Wajah rupawan Faiq mampu membuat Nabila tersihir. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna dengan alis mata menyatu, hidung mancung, serta dagu belahnya. "Faiq!" ucap laki-laki itu dengan senyum manisnya. "Nabila," balas Nabila santun. Matanya terus menatap lekat wajah tampan di hadapannya itu. "Ini abang sepupu aku, Bil. Namanya Faiq Fikri. Kami bi
Raihan mematung di tempat. Saat ini tak ada yang bisa dirinya lakukan selain bersabar, bersabar atas perubahan sikap Naomi terhadapnya. Naomi melanjutkan langkahnya lalu meletakkan tas miliknya di rak khusus, lalu mendekat ke arah lemari, mengambil beberapa potong pakaian dari dalamnya kemudian berlalu ke kamar mandi tanpa mempedulikan Raihan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. Raihan duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan menangkup di wajahnya. Kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di hadapannya. Di dalam kamar mandi, Naomi sengaja menyalakan kran air meski di dalam bak mandi air sudah hampir penuh. Beberapa saat Naomi hanya mematung di depan cermin lebar dekat wastafel. Ditatapnya pantulan wajah cantik miliknya dengan perasaan luka bercampur kecewa. "Apa aku terlalu buruk untuk bisa mendapatkan cinta yang tulus dari laki-laki bergelar suami?" gumam Naomi pelan. Sesak di dadanya semakin menggumpal seiring mata yang mulai menghangat. K
Sejujurnya Raihan tak merasa itu tuduhan karena ia sendiri telah melanggat aturan agamanya itu dengan penuh kesadaran. Naomi beranjak meninggalkan Raihan yang kini hanya membatu di tempat semula. Berada dalam satu kamar bersama laki-laki itu pun seolah menjadi luka baginya, hingga sedapat mungkin ia menghindarinya. ***Matahari Kian menguning, pertanda malam semakin dekat. Raihan melajukan kendaraannya menyusuri Jalan perkotaan menuju pinggiran kota. Di sampingnya Sena dengan dandanan berlebihannya tersenyum puas karena Raihan baru saja membelikannya tas mahal impiannya sejak lama. "Kita akan ke mana?" tanya Sena dengan nada manjanya. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ada yang harus kita bahas secepatnya." Raihan mencium lembut jemari Sena yang sejak tadi ia genggam dengan tangan kirinya. Ah, terlihat begitu romantis. "Apa ada kejutan kedua yang tengah menungguku?" Rona bahagia memancar dari wajah berpipi chubby itu. "Begitulah," jawab Raihan dengan senyum termanisnya. Kein
Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran. Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. "Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kemb
Naomi kembali meraih ponsel miliknya. Mengetik pesan yang kali ini ia tujukan untuk Faiq. Raihan harus segera diberi pelajaran, dan Naomi membutuhkan bantuan Faiq untuk melakukannya. [Abang punya waktu malam ini?] Tak lama setelah terkirim, pesan Naomi langsung berbalas. [Katakan saja ingin bertemu di mana? Mumpung Abang dinas pagi.]Sudut bibir Naomi terangkat, menampilkan senyum manis. [Temui Naomi di Cafe Lentera habis isya. Naomi pengen cerita.] Naomi kembali menyimpan ponselnya setelah Faiq menyetujui permintaannya. Adzan isya berkumandang. Bergegas Naomi branjak dengan mukena yang masih menempel di tubuhnya, lalu melaksanakan salat isya sebelum akhirnya bersiap untuk bertemu Faiq. Faiq, laki-laki yang menjadi teman masa kecilnya, laki-laki yang selalu bisa memahami sikap keras kepalanya, serta laki-laki yang selalu membuatnya nyaman. Ya, rasa nyaman persis seorang adik terhadap kakaknya. Tak ada rasa lebih pada laki-laki itu selain rasa nyaman karena diperlakukan dengan
Embusan nafas panjang keluar dari bibir Naomi. Sesaat setelahnya ia tersenyum getir. "Mungkin belum saatnya Naomi berbahagia dengan cinta seorang suami, meski pada kenyataannya Naomi sangat berharap itu akan terjadi."Faiq menggeleng pelan. "Kau masih muda, Na. Jika memang dia laki-laki yang tak baik bagimu, lepaskan. Kau tak pantas terus bertahan dalam pernikahan yang tak sehat. Tak perlu khawatir dengan status janda, banyak di luaran sana mereka yang pernah bercerai kini menemukan kebahagiaan dengan pasangan baru mereka." Faiq berusaha menyemangati. Bersamaan dengan itu, hatinya kembali berdesir, desir yang sama dengan yang ia rasakan 3 tahun lalu. "Naomi hanya ingin menunggu sebentar lagi, sampai keluarganya bisa menerima kepergian Naomi." Naomi berucap lirih dengan hati terus berharap jika waktu itu akan segera datang. "Kenapa kau masih memikirkan keluarganya, sedangkan bajing*n itu sama sekali tak memikirkan perasaanmu?" Faiq berdecak kesal. Tergambar jelas di ingatannya baga
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp