"Brisik kamu, Bil. Santai aja coba." Naomi menepuk pelan paha sahabatnya itu. "Iya, maaf. Keceplosan, Na," ucap Nabila sambil nyengir kuda. "Jadi gimana ceritanya, Na?" Nabila kembali ke topik sebelumnya, kali ini dengan suara jauh lebih pelan. "Mama semalem sempet ngasih banyak nasehat, Bil, yang intinya supaya pernikahanku dan Raihan tetap langgeng gitu." Naomi mengingat ingat kembali isi pembicaraan mereka semalam. "Tapi, kok, Ibu Maya bisa tau?" Nabila sedikit heran. Rasanya tak mungkin tiba-tiba perempuan paruh baya itu tahu tentang hubungan Naomi dan Raihan jika tak ada yang memberitahu. "Papa sudah tahu semuanya, Bil." "Tentang perselingkuhan Raihan?" tanya Nabila dengan mata membulat. Naomi mengangguk dengan wajah lesu. "Terus, terus, gimana tanggapan Pak Beni?" tanya Nabila sedikit berbisik khawatir karyawan lain yang tengah berada di tempat yang sama mendengar pembicaraan mereka. "Papa menyerahkan sepenuhnya padaku karena ini yang kedua kalinya Raihan berulah dalam 1
Naomi tersentak. Diremasnya ujung kemeja yang tengah ia kenakan, sekedar menetralisir degub jantung yang semakin berkejaran. "Apa yang Mama tau?" Naomi berusaha bersikap sebisa mungkin. Perempuan paruh baya itu beberapa kali menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya. Wajahnya berubah Sendu seiring rasa perih yang perlahan menjalar di relung hatinya. "Mama sudah tahu apa yang dilakukan Raihan di belakangmu. Mama juga sudah tahu apa yang kau rencanakan pada Raihan." Kalimat mamanya membuat Naomi kembali tertunduk. Ada bahagia di relung sana saat melihat Mama mertuanya itu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit jantungnya kambuh. Beberapa saat setelahnya Naomi memberanikan diri mendengarkan kepalanya, menatap lekat wajah perempuan baik itu dengan rasa iba. "Apa menurut Mama wajar, jika cinta Naomi telah hambar untuk Bang Raihan?" lirih Naomi bertanya. Detik ini ia merasakan hatinya kembali perih. Mama Maya mengalihkan pandangannya pada vas bunga kering di sudut ruangan."Jujur, Na
"Iya, Ma," jawab Naomi singkat dengan kepala tertunduk. "Apa kau akan pergi secepatnya?" tanya Mama Maya lagi. Naomi mengangguk pelan membuat hati Mama Maya berdesir hebat. "Bolehkah Mama minta sedikit lagi waktumu, Na?" Ia meminta persetujuan. Naomi mengangkat wajah, menatap lembut wajah sendu Mama mertuanya itu. Ada luka di sana, di hati seseorang yang sudah berpuluh tahun menyandang gelar ibu itu. "Katakan saja apa yang Mama inginkan dariku! Jika aku merasa sanggup, maka tak ada alasan bagiku untuk menolak." Naomi berusaha bijak. Senyum itu terbit dari bibir Mama Maya, senyum yang terlihat penuh luka, luka karena merasa gagal mendidik anak bungsunya itu. "Kau tahu apa alasan Mama melepaskanmu dan tidak memintamu untuk tetap tinggal?" Mama Maya melirik sekilas wajah Naomi, setelahnya kembali beralih menatap layar TV berukuran besar di hadapannya. Naomi hanya menggeleng pelan. Ia tak ingin menebak. Naomi lebih memilih membiarkan Mama Maya meluahkan isi hatinya. "Karena seharu
Naomi Tak Gentar. Perempuan itu kini bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Dalam hati bahkan ingin rasanya ia bertepuk tangan melihat emosi Raihan meluap hanya karena melihat foto Faiq dengan seragam khas dokternya di status WA Naomi. Naomi sukses membuat Raihan cemburu pada laki-laki itu, meski pada kenyataannya dirinya menganggap Faiq tak lebih dari abang sendiri. "Apa kau sengaja ingin mengumumkan jika kau perempuan murahan?" Raihan berucap dengan gigi bergemeletuk. Sedangkan Naomi kini hanya bergeming. Kata 'murahan' yang baru saja Raihan tujukan untuknya sama sekali tak membuat emosi Naomi terpancing. Perempuan itu fokus menjadi penonton atas kemarahan Raihan terhadapnya. "Apa kamu sudah gil*? Atau telingamu sudah tak mampu lagi mendengar kata-kataku?" Raihan terus mencaci. Amarahnya yang sejak tadi membuncah kini tumpah. Naomi mengangkat wajah, menatap Raihan dengan tatapan sebiasa mungkin. Jauh di lubuk sana perempuan itu tengah berbahagia atas kecewa yang kini Ra
"Tolong buka pintunya Raihan!" ucap Mama Maya diiringi ketukan di pintu untuk kali selanjutnya.Suara Mama Maya semakin membuat Raihan serba salah. "Na! Gimana ini? Bisa-bisa Mama tahu kalau keluarga kita sedang tidak baik-baik saja," ucap Raihan dengan wajah pias. Ia menghawatirkan ketakutannya selama ini malam ini akan menjadi nyata. Seburuk apapun dirinya tetap saja Iya tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap sayang Mama. Naomi mengusap wajah kasar. Laki-laki di hadapannya itu semakin membuatnya muak. "Biarkan saja Mama tahu. Aku takkan peduli apa pun yang akan terjadi pada keluargamu, Jadi silakan atasi sendiri apa yang telah kau perbuat," jawab Naomi acuh membuat Raihan semakin kelimpungan. Berkali-kali Raihan terlihat mengunyar rambut di kepala dengan kasar. Ia benar-benar tak bisa lagi berpikir jernih ketika suara sang Mama kembali terdengar. "Buka pintunya Raihan! Atau Mama akan meminta Papamu datang ke sini!" ancam Mama Maya dengan suara semakin meninggi. Perempuan
"Cari bukti yang lebih kuat lagi jika aku benar-benar berselingkuh dengan laki-laki itu. Atau kau bisa langsung tanyakan pada Ayah siapa laki-laki itu."Raihan menatap nyalang pada perempuan yang masih dah berstatua istrinya itu. Hatinya benar-benar sakit mendapati cara licik Naomi menghancurkan kepercayaan keluarganya terhadap dirinya. "Jangan munafik kau Naomi, bisa saja kau sudah bersekongkol dengan Ayahmu untuk membohongiku." Raihan semakin tak terkontrol. Mendengar kalimat terakhir Raihan, emosi Naomi kembali tersulut. Sedang Mama Maya seolah membiarkan keduanya melampiaskan rasa masing-masing dengan tatapan penuh luka. Naomi mengangkat wajah, tatapan matanya nyalang menusuk. Kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu semakin membuatnya hilang kesabaran. "Jaga ucapanmu! Jika hanya aku yang kau caci maki, mungkin aku bisa memakluminya, tapi jika Ayah yang kau pandang serendah itu, Maka jangan harap aku bisa tinggal diam." Naomi mengeratkan gigi-giginya, emosi kembali menguas
Naomi mengusap lembut jemari yang mulai keriput itu. "Sudah, Ma. Lebih baik Mama istirahat sekarang, biar Naomi yang menyelesaikan masalah ini sekarang," bisik Naomi pelan. "Tak apa, Na. Biarkan Mama menuntaskan kekesalan Mama pada Raihan selama ini." Mama Maya berucap lembut pada Naomi. "Cukup saat kau selingkuh untuk pertama kalinya Mama langsung drop, apa kali ini kau berniat membuat Mama tertimpa hal serupa?" Mama Maya menatap nanar pada wajah yang tertunduk di hadapannya. "Mama tak pernah mendidikmu untuk abai terhadap istrimu. Mama juga tidak pernah mengajarimu untuk memandang remeh ikatan pernikahan. Lantas apa yang kau lakukan? Kau melakukan semuanya. Kau menyia-nyiakan perempuan yang dulu kau perjuangkan demi restu orang tuanya. Mama anggap pantas Naomi tidak menghargaimu, karena kau pun tidak bisa menghargai kerja kerasmu sendiri." Mama Maya berusaha mengontrol emosinya. Ia tak ingin ulah Raihan untuk kedua kalinya membuat semuanya seburuk dulu. Hati Raihan kembali terc
Naomi mengangguk pasti. "Tak ada lagi alasanku untuk tetap tinggal. Mama sudah mengetahui semuanya dan beliau baik-baik saja. Aku tahu Mama keberatan, tapi aku juga tak ingin mengorbankan kebahagiaanku demi senyum Mama. Itu hanya akan membuat Raihan memandang rendah terhadapku." Naomi tersenyum getir. "Apa Raihan menerima gitu aja kepergianmu, Na?" kejar Nabila. "Entahlah, yang pasti aku sama sekali tak berniat untuk kembali dengan alasan apa pun dan dengan sebab apa pun.""Bagus, Na, Kau berhak bahagia. Laki-laki kalau sudah selingkuh, susah banget buat nyadarinnya. Tepat banget kalo ditinggalin.""Ish, kayak udah pengalaman aja," kekeh Naomi. "Sering liat seliweran di sosial media, Na. laki selingkuh, pas ketahuan sujud-sujud di kaki istri sah, dimaafin, kumat lagi." Nabila mencibir. "Udah, ah, Bil. Raihan adalah masa lalu, dan aku sama sekali tak tertarik untuk membahasnya lagi. Sekarang aku hanya ingin fokus ngerawat Ayah dengan tangan sendiri." Naomi merasakan hatinya berdes
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp