Home / Fantasi / KERUMUNAN ADALAH NERAKA / BAB 34 PENCARIAN DI TENGAH KESEPIAN

Share

BAB 34 PENCARIAN DI TENGAH KESEPIAN

Author: ANOMOV
last update Last Updated: 2025-04-02 01:46:19

Malam merayap pelan di Kampung Tujuh, menyelimuti jalanan desa dengan kesunyian yang tidak biasa. Warung-warung tutup lebih awal, suara tawa para wisatawan yang biasanya menghangatkan sepanjang hari kini lenyap. Papan pengumuman bertuliskan "TEMPAT WISATA DITUTUP SEMENTARA - COVID-19" terpasang di pintu masuk jalur pendakian Gunung Api Purba.

Di balai desa, suasana panas. Para pedagang dan pemilik warung berkumpul, wajah mereka menyiratkan keputusasaan. Sumber penghidupan mereka telah terhenti seketika.

"Bu Ros, kami harus bagaimana? Kami menggantungkan hidup dari wisatawan!" seru Pak Samin, pemilik warung kopi di jalur pendakian.

"Kami paham situasi ini sulit," jawab Bu Ros, kepala desa, berusaha tetap tenang. "Tapi kita harus mengikuti aturan dari pemerintah. Pandemi ini bukan main-main."

"Lalu kami mau makan apa?!" seorang ibu penjual suvenir menimpali. "Sudah dua bulan sepi, sekarang ditutup total! Kami butuh solusi!"

Dari sudut ruangan, Mudra mengamati. Matanya tajam membaca dina
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 35 PESAN DARI GUNUNG API PURBA

    Langit di atas Kampung Tujuh dipenuhi awan tipis yang bergerak perlahan, seolah mengikuti tarian takdir yang tidak terlihat. Di kejauhan, siluet Gunung Api Purba berdiri megah, menandakan bahwa tanah ini telah menyimpan sejarah dan misteri jauh sebelum manusia pertama kali menapakkan kaki di sana. Malam sebelumnya, Ki Rajendra telah membalik kartu berikutnya—Wheel of the Year—sebuah simbol perubahan, siklus kehidupan, dan kejutan yang datang tanpa peringatan."Gunung ini menyimpan lebih dari sekadar legenda," kata Ki Rajendra dengan suara berat. "Di dalamnya, ada keseimbangan antara yang lama dan yang baru, antara kehancuran dan penciptaan. Roda takdir tidak pernah berhenti berputar, dan kita semua adalah bagiannya."Mudra, Sari, dan Vanua mengamati jalan setapak yang mengarah ke puncak gunung. Sejak pandemi, gunung ini ditutup dari para wisatawan, tetapi bagi mereka bertiga, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pelarangan administratif. Seolah-olah gunung ini sendiri menanti orang-ora

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 36 KEADILAN DI TANAH COKELAT

    Langit Kampung Tujuh tampak muram, seolah memahami bahwa ketegangan yang menggelayuti desa semakin memuncak. Gunung Api Purba menjulang di kejauhan, menyimpan lebih dari sekadar tanah subur—ia menyimpan sejarah, legenda, dan kini menjadi pusat pertentangan yang membara.Sejak dahulu, tanah vulkanik Gunung Api Purba menghasilkan cokelat terbaik, dengan cita rasa khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Para petani di Kampung Tujuh telah merawat kebun kakao ini selama bertahun-tahun, menjaga warisan nenek moyang mereka dengan penuh dedikasi. Namun, kini masa depan mereka terancam.Kelompok pengusaha besar, yang dipimpin oleh seorang pria bernama Surya Darma, telah datang membawa janji investasi besar. Mereka ingin membangun pabrik cokelat skala industri, menjanjikan kesejahteraan bagi desa. Tapi harga yang harus dibayar terlalu tinggi—hak kepemilikan tanah harus dialihkan kepada perusahaan mereka.Di balai desa, penduduk berkumpul dalam kerumunan yang gaduh. Sebagian mendukung investas

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 37 PEMBALIKAN TAKDIR

    Kabut menyelimuti Kampung Tujuh pagi itu, lebih pekat dari biasanya, seolah alam sendiri enggan menunjukkan jalan. Para petani cokelat berkumpul di balai desa, masih dibayangi peristiwa semalam ketika para penjaga gaib gunung mengusir Surya Darma dan orang-orangnya. Namun, meskipun ancaman eksploitasi tanah mereka berhasil ditolak, ketegangan belum sepenuhnya mereda."Kita menang semalam, tapi sampai kapan?" tanya salah seorang petani."Benar. Jika mereka kembali dengan kekuatan hukum, apa yang bisa kita lakukan?" tambah yang lain.Sari, Mudra, dan Vanua saling berpandangan. Mereka tahu, kemenangan mereka bukanlah akhir, melainkan awal dari ujian baru. Ketika semua orang terdiam, Ki Rajendra melangkah maju, mengeluarkan satu kartu Tarot dan membaliknya perlahan di atas meja kayu.Kartu itu memperlihatkan seorang pria tergantung terbalik di pohon, dengan ekspresi tenang dan lingkaran cahaya di kepalanya."The Hanged Man. Lelaki yang digantung terbalik.""Apa artinya, Ki?" tanya Vanua d

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 38 GAMELAN DAN BAYANGAN KEMATIAN

    Bulan pucat menggantung di langit, mengintip di antara celah-celah awan yang bergerak malas. Angin dingin menyapu tanah, membawa bisikan dari masa lalu. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, penduduk desa bersiap untuk sebuah perhelatan istimewa—pementasan seni gamelan yang telah lama mereka rindukan. Namun, di balik denting saron dan gong yang akan segera bergema, ketegangan mengintai di setiap sudut.Balai desa yang biasanya menjadi tempat pertemuan kini disulap menjadi panggung sederhana. Kursi-kursi diatur berjarak, masker wajib dikenakan, dan hanya sedikit warga yang diizinkan menonton langsung. Sebagian besar penduduk harus puas menyaksikan acara ini melalui siaran langsung dari layar kecil di rumah mereka.“Kita harus tetap menjalankan tradisi, tetapi dengan cara yang lebih aman,” ujar Sari sambil memastikan semua alat musik telah disterilkan.Mudra mengangguk, tetapi matanya memandang ke kejauhan. “Aku tahu ini penting, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 39 PENJAGA HARMONI

    Malam di Kampung Tujuh masih diselimuti suasana mistis setelah pertunjukan gamelan yang penuh keheningan. Namun, perubahan belum berakhir. Seperti pesan kartu tarot Temperance, keseimbangan harus dicapai. Desa ini telah melalui banyak ujian: pandemi, kelangkaan bahan pokok, konflik di antara warganya sendiri. Kini, tantangan baru hadir dalam bentuk modernisasi yang mengancam akar budaya mereka.Pagi itu, warga desa berkumpul di balai desa untuk membahas langkah selanjutnya. Sejak pandemi melandai, beberapa investor dari kota mulai melirik Kampung Tujuh sebagai destinasi wisata budaya. Salah satu daya tarik utama yang mereka incar adalah pementasan gamelan, tetapi dengan sentuhan modern: tata panggung yang lebih megah, sistem suara canggih, bahkan kemungkinan menggabungkan musik tradisional dengan teknologi digital.Namun, tidak semua warga setuju dengan ide ini.“Ini kesempatan besar bagi desa kita!” kata Raka, pemuda yang selama ini bersemangat mempromosikan Kampung Tujuh sebagai des

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 40 MALAM PENGHAKIMAN

    Udara yang lembab membawa bisikan keresahan, menyusup ke rumah-rumah warga. Masalah yang selama ini ditutup-tutupi kini meledak di hadapan mereka—usaha simpan pinjam BUM Desa Kampung Tujuh mengalami kemacetan. Banyak warga yang kesulitan membayar pinjaman mereka, terutama setelah pandemi menghancurkan sumber penghasilan utama desa.Pagi itu, balai desa penuh sesak. Wajah-wajah cemas menghiasi ruangan. Para pedagang kecil, petani, hingga pengelola warung kopi berkumpul, saling berbisik tentang masa depan yang tak pasti."Saya sudah berusaha, tapi jualan saya menurun drastis," ujar Pak Ruban, seorang penjual hasil bumi."Kami para perajin cokelat gunung juga mengalami penurunan pesanan," sahut Bu Ranti. "Padahal, kami mengandalkan hasil penjualan untuk membayar cicilan."Di sisi lain ruangan, para pengurus BUM Desa, termasuk Raka dan Pak Wirya, berusaha meredakan situasi. "Kami sedang mencari solusi terbaik," kata Raka. "Tapi kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa jika banyak pinjaman

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 41 MENARA YANG RUNTUH

    Perjalanan mereka akhirnya tiba di Desa Gayam terasa berat. Langit gelap menggantung rendah di atas hutan yang mereka lalui, angin bertiup dingin membawa firasat buruk. Mudra berjalan di depan, sementara Vanua, Sari dan Ki Rajendra mengikutinya dalam diam. Jalanan setapak di Desa Gayam yang biasanya mudah dilewati kini terasa lebih sulit, seolah alam pun menolak kehadiran mereka.“Kalian merasa ada yang aneh?” bisik Vanua, matanya menyapu pepohonan yang meranggas.“Angin ini...,” jawab Sari pelan. “Terasa seperti membawa suara.”Mereka berhenti sejenak, mendengarkan lebih saksama. Dari kejauhan, samar-samar terdengar bunyi gemuruh—seperti suara bangunan yang runtuh.Ki Rajendra menghela napas dalam. “Sepertinya kita sudah terlambat.”Saat mereka mencapai gerbang Desa Gayam, yang mereka lihat bukanlah desa yang mereka kenal. Rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh kini porak-poranda. Pusat desa, yang dulu ramai dengan pedagang dan warga, kini dipenuhi puing-puing dan abu. Di tengah reruntu

    Last Updated : 2025-04-02
  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 42-43 MATA AIR PURBA, PERSIMPANGAN BAYANGAN

    Fajar menyingsing di Desa Gayam, menyapu puing-puing menara yang telah runtuh dengan cahaya keemasan. Namun, meskipun tanda-tanda kehancuran masih tampak, desa ini perlahan mulai berbenah. Kepala Desa dan beberapa warga berkumpul di bekas lokasi menara, membahas masa depan desa mereka.Ki Rajendra menatap tanah yang kini kosong, lalu berkata, "Desa ini memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga daripada menara itu."Mudra mengernyit. "Apa maksud Ki Rajendra?"Kepala Desa menghela napas, lalu menunjuk ke arah mata air seukuran lapangan sepak bola yang berada di tengah desa. "Di bawah tanah Desa Gayam, terdapat ribuan debit air purba yang telah bertahan selama ribuan tahun. Sumber kehidupan ini telah lama menjadi rahasia yang dijaga oleh para tetua."Vanua memandangi sumur itu dengan kagum. "Jadi, air di sini bukan sekadar sumber bagi warga, tapi juga bagian dari keseimbangan alam yang lebih besar?"Kepala Desa mengangguk. "Itulah sebabnya kami selalu berhati-hati dalam mengelola air ini

    Last Updated : 2025-04-02

Latest chapter

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   54 (TAMAT) EPILOG JUM'AT LEGI

    Seratus purnama berlalu. Malam Jum’at Legi. Senja merayap di Desa Gayam, menyelimuti hamparan sawah dengan kabut tipis. Ki Rajendra, Mudra, Vanua dan Sari tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, seolah dipanggil oleh bisikan angin yang tak terlihat.Ki Rajendra, berdiri di depan gerbang rumah, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Tempat ini... seolah memanggilku," gumamnya, lebih pada diri sendiri.Mudra, dengan kotak kayu di tangannya, datang dengan langkah ragu. "Aku tidak tahu mengapa aku di sini," katanya pada Ki Rajendra, alisnya berkerut. "Tapi ada dorongan kuat yang menarikku."Vanua, dengan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tampak gelisah. "Aku mendapat pesan aneh, sebuah undangan yang tidak jelas," katanya sambil melirik jam tangannya. "Aku harus segera pergi, tapi... sesuatu menahanku."Sari, dengan gaun putihnya yang lusuh dan bunga layu di tangan, tiba dengan tatapan kosong. "Aku hanya mengikuti jalan ini," katanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada a

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 53 KERUMUNAN SERATUS MILYAR

    Setelah pertemuan terakhir dengan Victor dan para pemegang kekuasaan lainnya, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra merasa ada sedikit angin segar. Keputusan dari kelompok pedagang kecil untuk bersatu dan mendukung mereka bukan hanya sebuah kemenengan kecil, tetapi juga sebuah tanda bahwa harapan masih ada di tengah dunia bisnis yang gelap dan penuh perlawanan ini.Ini baru permulaan. Kerumunan yang mereka hadapi jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan. Setiap langkah mereka akan dipantau dengan cermat oleh para pesaing besar yang berusaha mengendalikan pasar ini.“Ini bukan hanya tentang produk kita,” kata Sari, menatap layar laptop yang menunjukkan grafik distribusi dan proyeksi pasar. “Ini adalah tentang menciptakan ruang baru di pasar yang sudah padat. Tentang memberi kesempatan bagi mereka yang selama ini terabaikan.”Vanua yang masih terombang-ambing antara harapan dan keraguan, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tapi bagaimana kita bis

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 52 DUKUNGAN DARI KERUMUNAN PEDAGANG KECIL

    Malam itu, mereka berkumpul di sebuah warung kopi sederhana. Seorang pedagang kopi, Pak Anton, yang sudah lama berjuang melawan kekuatan besar, berbicara dengan mereka tentang perjuangannya. “Kalian mungkin tidak tahu apa yang kalian hadapi. Para pemilik perusahaan besar ini mengendalikan semuanya—dari pasokan hingga distribusi. Mereka bisa menghilangkan kita hanya dengan satu pergerakan. Jika kalian tidak siap, kalian akan menjadi bagian dari kerumunan yang tak terhindarkan itu.”Mudra menghela napas. “Kami tahu persis tantangan yang ada. Tapi kita harus tetap berpegang pada prinsip kita. Jika kita bisa membangun jaringan distribusi berbasis komunitas, kita bisa menawarkan alternatif yang lebih adil.”Ki Rajendra mengangguk. “Keberanian bukan hanya tentang melawan, tetapi tentang memilih jalan yang benar meski ada kerumunan yang menghalangi kita. Ini adalah saatnya untuk melihat lebih jauh dari kerumunan ini, untuk menemukan jalan keluar yang kita butuhkan.”Mereka menghabiskan malam

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 51 MEMBAWA API PERTUMBUHAN

    Sinar pagi merayap perlahan melalui celah-celah jendela besar di hotel pusat bisnis Surabaya. Suasana di dalam ruangan konferensi terasa tegang, dengan udara yang berat dan penuh ketidakpastian. Di meja panjang yang dikelilingi oleh eksekutif-eksekutif besar, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra berdiri, mempersiapkan diri untuk presentasi yang bisa menentukan masa depan mereka. Di luar sana, kerumunan pasar Surabaya mulai bergerak, menciptakan dunia yang penuh dengan peluang dan ancaman.Mereka berada di titik yang lebih jauh dari sekadar kompetisi pasar. Keputusan yang akan diambil di sini bukan hanya tentang air minum kemasan, tetapi juga tentang apakah mereka dapat menembus jaringan kekuasaan besar yang telah lama berakar.Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dengan dasi merah, memasuki ruangan dengan langkah percaya diri. Namanya Victor, CEO dari perusahaan air minum multinasional yang sudah mendominasi pasar di Surabaya dan sekitarnya. Dengan pandangan yang tajam, di

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 50 MENYULUT API PERTARUNGAN

    Surabaya, kota yang tak pernah tidur, kini menjadi medan pertempuran yang lebih kompleks dan lebih sulit dipahami. Semakin mereka menyelami dunia pasar yang dipenuhi kerumunan yang keras dan penuh persaingan, semakin mereka merasa semakin jauh dari akar mereka. Namun di sisi lain, mereka juga mulai merasakan api yang membara di dalam diri mereka. Api yang menyala di dalam diri mereka adalah hasrat, semangat, dan tekad untuk meraih sesuatu yang lebih besar."Ini bukan hanya tentang air," kata Mudra dengan suara penuh tekad, menyeringai. "Ini adalah tentang perubahan, untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis. Kami datang untuk membangun sistem distribusi yang berbasis komunitas, dan bukan hanya sekadar keuntungan."Namun, semakin mereka melangkah lebih dalam, semakin terasa bahwa ini bukan hanya sebuah persaingan bisnis. Mereka merasakan adanya kekuatan yang lebih besar, yang terhubung pada sistem yang mengikat mereka dalam kerumunan yang sama.Di malam hari yang penuh k

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 49 KONSPIRASI DI BALIK BAYANGAN

    Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Ki Rajendra menatap mereka dengan tatapan serius, dan tanpa berkata-kata langsung membuka kartu tarot yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan mereka. “Apa yang kita hadapi bukan sekadar masalah bisnis. Kita berada di persimpangan jalan yang penuh kabut dan bayangan. Seperti kartu The Moon, kita harus mencari kebenaran dalam kegelapan.”Mudra merenung, melihat ke luar jendela yang memantulkan cahaya redup dari matahari yang terbenam. “Bayangan... Begitu banyak yang tersembunyi di balik setiap keputusan. Kita hanya bisa melihat bagian luar dari masalah ini, tetapi ada kekuatan besar yang menggerakkan semuanya di balik layar.”Sari, yang semakin paham akan peran mereka, menambahkan, “Kita harus menggali lebih dalam. Menyelesaikan masalah ini tidak hanya soal mengalahkan kompetisi, tetapi mengungkap siapa yang sebenarnya menarik tali di balik semua ini.”Vanua, yang sebelumnya lebih memilih menghinda

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 47-48 KERUMUNAN YANG TAK TERDUGA, SURABAYA PUSARAN BARU

    Sore itu, mereka diundang ke sebuah acara diskusi ekonomi di salah satu kampus ternama di Depok. Topiknya adalah tantangan dan peluang bagi bisnis berbasis komunitas. Awalnya, mereka hanya berniat menjadi pendengar, tetapi suasana berubah ketika seorang panelis mencemooh usaha desa sebagai sesuatu yang “tidak relevan di dunia modern.”“Model seperti ini hanya bisa bertahan di desa. Kota besar punya dinamika yang berbeda,” kata panelis itu dengan nada meremehkan.Sari spontan berdiri. “Dengan segala hormat, kota besar pun bergantung pada desa-desa seperti kami. Jika pasokan makanan, air, dan sumber daya lain dari desa terhenti, kota ini akan lumpuh.”Ruangan menjadi hening. Ki Rajendra tersenyum tipis, melihat bagaimana murid-muridnya mulai mengambil inisiatif dalam menghadapi tantangan sosial.“Apa yang kami bawa bukan sekadar produk desa,” lanjut Mudra. “Kami membawa sistem baru yang bisa memberikan keseimbangan antara kota dan desa. Jika Depok bersedia bekerja sama dengan kami, kita

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 46 PINTU KOTA DEPOK

    Pagi itu, suasana Desa Gayam dipenuhi dengan kehangatan perpisahan. Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra bersiap untuk perjalanan panjang mereka ke kota Depok. Mudra mengemban amanat dari Pak Banyu agar membuka jalan distribusi air kemasan dari Desa Gayam. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa—mereka akan menghadapi bentuk kerumunan baru yang berbeda dari yang mereka temui di desa. Kota besar adalah dunia yang penuh dengan dinamika sosial yang lebih kompleks, tantangan yang lebih tajam, dan godaan yang lebih besar.“Di sana nanti, kalian akan melihat bagaimana ‘kerumunan adalah neraka’ dalam bentuk yang lebih ekstrem,” ujar Ki Rajendra sebelum mereka berangkat. “Namun, ingatlah bahwa setiap kerumunan memiliki celah untuk dipahami dan dikendalikan.”Dengan semangat yang bercampur dengan sedikit kegelisahan, mereka meninggalkan Desa Gayam dan memasuki perjalanan menuju dunia baru.Sesampainya di Depok, mereka segera menyadari bahwa kota ini bukan sekadar lebih besar—ia juga lebih

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAB 45 KARMA DAN TAKDIR DESA GAYAM

    Desa Gayam kini resmi memiliki perusahaan air minum kemasan sendiri. Setelah melalui berbagai pertimbangan, musyawarah desa memutuskan untuk menunjuk seorang CEO yang akan memimpin perusahaan ini. Sosok yang dipilih adalah Pak Banyu, seorang mantan pengusaha sukses yang memilih kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun berkarier di kota besar.Di balai desa, seluruh warga berkumpul untuk menyaksikan peresmian tersebut. Ki Rajendra, yang selalu membawa dek tarotnya, menarik satu kartu sebelum acara dimulai. Kartu Karma.“Karma adalah hukum sebab akibat,” ujar Ki Rajendra. “Apa yang kita lakukan hari ini akan membentuk masa depan desa ini. Pak Banyu, Anda telah diberi kepercayaan, dan keputusan yang Anda buat akan menjadi takdir bagi Desa Gayam.”Pak Banyu mengangguk hormat. “Saya menerima tanggung jawab ini dengan sepenuh hati. Tapi ini bukan hanya tugas saya seorang, ini adalah usaha kita bersama. Saya ingin membangun perusahaan ini dengan prinsip keadilan, kesejahteraan, d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status