Mereka pun memakai kain penutup dada mereka lagi. "Ayo, ikut kami!" ajak Chantrea. Aku dan Tirtasari saling pandang. Lalu beranjak mengikuti si kembar itu untuk keluar kamar. Keduanya mengendap-endap dan sembunyi-sembunyi keluar rumah. Untung saja suasana telah sepi. Kami terus menyelinap di keheningan desa sehabis berpesta. Hanya terlihat beberapa orang yang berjaga di sudut-sudut desa dan lapangan. Menyalakan api unggun kecil sebagai penerangan. Kedua istri baruku dengan lincah mengajak kami mendekati rumah ayahnya. Seperti maling, kami mengitari rumah panggung itu, lalu mendapatkan tempat untuk mengintip dari luar dinding kayunya. Yah, kami diajak mengintip kamar Kong Kea. "Apa yang kita lakukan?" tanya Tirtasari berbisik. "Ssstt!" tegur Chantrea mengajak kami mengintip lewat sebuah lubang kecil."Kami sering mengintip lewat sini!" terang Chanthou pelan. Aku dan Tirtasari bergantian mengintip lewat lubang kecil itu. Terlihat Kong Kea sedang merebah santai di tikarnya. "Kal
"Mari mendekatlah!" perintahku pada Chantrea dan Chanthou. "Sana, jangan malu-malu!" dorong Tirtasari lembut, "Dia suami kalian sekarang!" "Kau juga kemari Tirtasari!" perintahku, "Aku juga?!" Chantrea dan Chanthou tertawa manis. "Kau bidadariku juga bukan?!" cecarku. "Dasar perayu!" balasnya melotot mesra. Tirtasari mendekat padaku dengan mengajak Chantrea dan Chanthou. Kurengkuh ketiganya dan kuelus pundak mereka. "Kalian bidadari tercantik yang pernah kulihat!" pujiku. "Bohong!" jawab Chantrea. "Tuh, mereka saja tahu kalau kau bohong!" imbuh Tirtasari, "Ha ha ha!" Aku tersenyum dan mencium pipi Tirtasari. Kulihat si kembar menatap kami tanpa berkedip. Kulihat dada mereka kembang kempis. Barangkali bergetar akan pengalaman pertama ini. Kuelus pundak mereka berdua. sangat halus dan mulus. Kucium pundah halus itu dan kuresapi rasanya. sangat wangi dan mulus. Mereka kulihat terpejam menikmatinya. Selanjunya kuelus pipi mereka. "Aku tidak bohong!" jawabku pada Chantrea dan
Tirtasari turut menjadi sumber keindahan malam. Ia menuntun kedua gadis kembar melayaniku dengan baik.Dan rupanya Chantrea dan Chanthou sendiri telah diajari teknik percintaan. Atau karena mereka sering mengintip kamar ayahnya?Pesona dan kehangatan mereka sungguh melenakan. Lain dari segenap wanita yang telah kunikmati selama ini.Kepuasan pun melandaku hingga berlimpah ruah. Tak terbayangkan keindahan semacam ini sebelumnya. Di tengah hutan jantung Asia Tenggara ini.Aku merebah dengan tiga wanita mengitariku setelah puas. Kepeluk dan kukecupi mesra kening mulus mereka. Chantrea dan Chanthou di sampingku. Sementara Tirtasari di belakang Chanthou.“Bagaimana cara keluar dari sini?” tanyaku mengusap kedua pundak istri kembarku.“Mau kemana?” tanya Chantrea.“Kami ingin melacak lagi orang yang kami curigai,” jawabku.“Tapi kita baru saja menikah!” balas Chanthou sedikit merengut manja.“Kami harus cepat,” jawabku, “Bahaya besar sedang mengintai.”“Yah, itu benar!” sahut Tirtasari, “Mu
"Ah, apa yang kau lakukan?" tanya Chantrea kutindih dan kugumuli. "Menikmati bidadari sebelum siang!" jawabku menciumi bibir, pipi dan menjalar ke lehernya. "Ah, suamiku!" desahnya pasrah dan memelukku erat. Chanthou tersenyum menggelengkan kepala di sampingnya. Melihat kakaknya menjadi korban keganasan gairah pagiku. "Dia memang begitu," terang Tirtasari, "Kalian harus terbiasa!" "Kalian sudah sering melakukannya?" balas Chanthou padanya. "Hmm yah," jawab Tirtasari agak bingung, "Kira-kira begitulah." Kucumbui dan kunikmati Chantrea. Sungguh wangi dan nikmat. Chanthou terus memperhatikan kakaknya kugumuli. Dadanya kuremas-remas dan kutarik kasar kain penutupnya. Ia pun tanggap dan melepaskanya sendiri. Begitu juga milik Chantrea. Kulepaskan semua penutup tubuhnya. Bidadari ini harus menjadi sarapanku. Tubuh mulusnya benar-benar membiusku dan menambah energi pagi. Saat kunikmati putri itu, tiba-tiba Bopha dan Botum masuk ke kamar. Mereka mungkin kaget, tapi kemudi
Setelah melewati ladang dan persawahan, kami pun sampai di desa terdekat. Desa yang cukup ramai. Kawanan gajah yang kami tumpangi lagi-lagi menarik perhatian dan membuat warga berkumpul. Mereka pun menyambut Chantrea dan Chanthou seperti menyambut anak mereka sendiri. Lagi-lagi akupun mereka perkenalkan sebagai suami si kembar itu. Ucapan selamat dan kesenangan melimpahi kami. "Benar-benar ganteng!" puji beberapa warga wanita. "Dia bukan dari desa ini, bukan juga orang hutan, dari manakah dia?" tanya yang lain. "Dari luar negeri!" jawab Chanthou. "Wah, hebat, Kalian bisa punya suami dari luar negeri. Sama seperti ayah kalian!" "Dia juga segagah dan seganteng ayah kalian!" puji yang lain, "Waktu masih muda dulu!" Chantrea dan Chanthou hanya tersenyum saja. "Yah, pantas saja bidadari tertarik padanya. Dan kini putri-putri bidadari tertarik pada lelaki ini!" "Hei, apa kau punya adik lelaki?" tanya seorang ibu mengelus daguku, "Putriku tak kalah cantik dengan Chantrea
"Ini juga anak gadisku," ungkap seorang ibu yang lain, "Empat belas tahun. Lebih muda dan lebih cantik. Juga pintar memasak dan memeras susu sapi." "Ha ha ha, kalian ini!" tegur sang paman dan istrinya geli. Kami pun menanggapi pesta dadakan itu. Kian banyak warga yang memperkenalkan anak-anak gadisnya padaku. "Kenapa kalian membawa semua anak kalian kemari?!" tanya sang paman. "Biar saja," jawab salah satu di antara mereka, "tidak bisa jadi istri Kong Kea, jadi istri menantunya juga tak mengapa!" "Yah, apalagi bersanding bersama Chantrea dan Chanthou!" imbuh yang lain. "Ha ha ha!" gelak paman dan yang lain. "Kau kian hari kian populer saja Kris!" bisik Tirtasari dengan bahasa negeri, "Bisa mengalahkan Kong Kea. Pilih tuh cewek-cewek mana yang mau kau ambil. Mumpung di sini! Ha ha!" "Kerjaan dulu, urusan kawin belakangan," jawabku tersenyum. Kuperiksa peralatan kami. Baterai lumayan cukup terisi. Kuperiksa lokasi orang yang kami buntuti. Orang itu terpantau bera
"Tidak, turun!" bentak salah seorang dari mereka. Kulihat seorang pemuda barangkali seumuran dengan Chantrea dan Chanthou. Aku pun turun dengan waspada dan menanyai maksud mereka, "Ada apa ini? Apa mau kalian?" Chantrea, Chanthou dan Tirtasari turut turun dan waspada. Si kembar menggenggam dua pedang mengimbangi para pencegat yang membawa tongkat, tombak dan sebagian pedang. "Jadi, ini suami baru kalian?!" tanya sang pencegat menyeringai, "Lumayan!" Lelaki muda itu memperhatikanku dengan seksama. Memandangi dari atas ke bawah seperti seorang pemangsa menaksir mangsanya. "Kami dengar pernikahan kalian!" cerocosnya berkeliling mengintimidasi, "Semalam! Tanpa mengundang warga desa kami!" Lelaki lain bersama para pencegat pun turut mengawasi dan memperhatikanku dengan pandangan mencibir dan meremehkan. "Tapi apa dia bisa mengalahkan kalian?!" bentak sang lelaki pada Chantrea dan Chanthou, "Itu syarat untuk menjadi suami kalian bukan?!" "Bukan urusanmu," jawab Chantrea, "pe
Kami lanjutkan perjalanan seusai mengatasi para pencegat itu. Kami kendarai sedan tua pemberian paman istri-istriku ini menuju ke kota yang lebih besar. "Astaga, ternyata masih ada juga rebutan wanita dengan cara ini di sini," keluh Tirtasari. "Yah, cara-cara lama masih bertahan di sini!" dukungku. "Beginilah cara hidup nenek moyang kami yang masih bertahan sampai sekarang," sahut Chantrea. "Tak heran kalian berlatih bela diri sedemikian rupa!" puji Tirtasari pada si kembar, "Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak bisa bela diri?! Apa semua wanita harus belajar bela diri di sini?" "Mereka harus selalu dijaga oleh ayah, suami, saudara lelaki dan warga desa lainnya," jawab Chantrea, "Tapi kami memilih untuk bisa melintas diri sendiri!" "Kalian hebat, cocok jadi anak Kong Kea!" puji Tirtasari lagi. Perjalanan masih melewati persawahan, desa-desa dan kadang hutan-hutan kecil. Kami harus ekstra waspada. Berjaga-jaga jika muncul pencegat lagi. Baik warga lokal yang berebuta
"Belum," jawab para pegawai, "Kami coba lacak dari beberapa kamera cctv yang dapat kita akses! Tapi butuh waktu lama!" "Teruskan!" perintah Dina. "Kami menemukan sesuatu," ungkap salah seorang petugas IT yang memeriksa laptop, "Lihat!" Kami bergegas menuju ke meja pegawai ahli IT yang memeriksa laptop. Terlihat progam di layar laptop seperti yang kami dapati kemarin. Hanya saja sekarang tertulis; Elistrik, Buaya Budiman, Manusia Elang serta para superhero perusahaan yang lain "Nama mereka dicentang," ungkap Tirtasari, "Mungkin menunjukkan korban yang berhasil mereka culik!" "Astaga!" kesah Dina. "Apa maksud semua ini?!* tanya High Quality Man, "Target mereka berubah?! Semula para superhero yang lain tidak ada dalam daftar!" "Entahlah," jawabku, "Apakah sebelumnya hanya mengecoh kita?! Atau memang menyesuaikan dengan apa yang ada?!" "Mereka sengaja memancing kita keluar?!" tanya High Quality Man. "Barangkali?" jawabku. "Kami dapati sesuatu," ungkap pegawai IT yang lain, "Mere
Kalau saja Tirtasari terlambat atau kurang dalam menyemburkan air, barangkali monster itu bisa membakarku. Sebenarnya ini tindakan yang cukup nekat. Menyerap api ke dalam diri sendiri! Namun untungnya aku dapat mempercayai istriku. Barangkali ini yang dinamakan ikatan setelah pernikahan?! Sang monster perlahan terus memudar seiring hisapanku dan semburan air Tirtasari. Ia berusaha berontak dan marah. Namun tetap tak berdaya dalam jebakan kami. Dengan wajah penuh amarah, ia lalu berusaha menghujam dan menyerangku dengan ganas. Untung saja Tirtasari mampu melihatnya dan menyemburkan air padanya lebih deras sebelum mengenai diriku. Splasshh, splasshh, splasshh! Tubuh api itu kian mengecil dan akhirnya musnah ditelan air. Aku dan Tirtasari mampu bernafas lega. Masyarakat pun berteriak-teriak senang. Mereka mengelukan kami yang telah menyelamatkan mereka. Para superhero yang terkalahkan sebelumnya segera kembali ke kantor. Beberapa warga memberi mereka pakaian karena kostum
Di sekitaran minimarket, para superhero terus berupaya melawan musuh berbadan besar dan kekar itu. Namun mereka terus kewalahan. Dihajar habis-habisan dan tersungkur lemah. "Ia akan membunuh mereka!* ungkap Buaya Budiman. Dan di area kerusuhan, para superhero kian kewalahan menghadapi para perusuh yang beringas dan bersenjatakan anaka macam. Mereka kini tersungkur hendak dikeroyok. "Kita harus membantu!" desakku. "Aku juga harus turun!" sahut Tirtasari, "Memadamkan monster api itu!" "Jangan Kris!" cegah Dina, "Tirtasari!" "Mereka bisa mati!" sahutku, "Kita tak punya pilihan lain!" "Yah, kota terancam!" imbuh Tirtasari, "Tidak ada lagi yang bisa melawan monster itu!" Dina memandang pada Bos. Dan sang manajer menghela nafas berat. "Baiklah," jawabnya, "Berhati-hatilah! Jika terdesak langsung mundur! Utamakan keselamatan kalian! Dan kalau bisa, selamatkan teman-teman di sana!" "Baik Bos!" jawabku dan Tirtasari bersamaan. "Kami ikut!" pinta Buaya Budiman dan yang lain
Yah, orang-orang senang karena kebakaran yang melanda rumah dan lingkungan mereka mereda. Tapi mereka cukup kesal dengan bau dan entitas air sungai yang kotor dan jorok. Bahkan beberapa tumpukan sampah menimpa mereka. "Uh, siapa yang buang popok bayi ke sungai?!" keluh salah seorang warga yang tertimpa bungkusan popok bayi kotor. "Juga sampah-sampah ini?!" timpal yang lain karena terkena terpaan sampah, "Dasar! Orang-orang parah, membuang sampah di sungai!" "Kita kan juga sering begitu!" balas warga yang lain. "Ah! Iya, betul juga!" "Hei, siapa yang buang bangkai ke sungai?!" gerutu warga lain kesal karena terkena bungkusan jorok, "Bangkai apa ini?! Tikus?! Menjijikkan!" Sementara itu, superhero angin terus berusaha menyemburkan air pada sang monster. Kebakaran cukup mereda dan menyisakan titik-titik api kecil saja. Ia sekarang lebih banyak menyerang sang monster dengan semburan air sungai. Namun moster itu ternyata cukup cerdas. Ia menyeberang sungai dengan nyalanya yang mela
Yah, monster itu menyerang helikopter yang ditumpangi paparazi. Terlihat di layar, semburan api yang mengerikan menerpa mereka. Lalu suara terbakar dan teriakan-teriakan. "Ia membakar kami!" pekik sang wartawan, "Ia membakar kita!" "Sial!" umpat Dina dan teman-teman. Terlihat dari layar lain, helikopter itu terbakar dan berputar-putar tak karuan. Sepertinya rekaman live dari seorang netizen. "Lihat itu!" teriakan orang-orang di bawah, "Awas!" Pesawat itu hendak jatuh menerpa kerumunan orang di bawah. Mereka pun panik dan berusaha menyelamatkan diri. Superhero angin segera meluncur ke bawah. Ia gunakan kekuatan angin untuk mengangkat helikopter itu ke atas dan menghindari terjatuh menimpa orang-orang. "Wuuu!" pekik orang-orang tertegun. Dengan kekuatan angin pula, sang superhero menghembuskan api di helikopter agar padam. Sang wartawan, kameraman dan pilot melompat ke bawah. Mereka pun diselamatkan dengan energi angin sang superhero. Mendarat di jalan dengan selamat.
Dari layar terlihat beberapa perusuh nampak aneh. Tubuh mereka kecil, layaknya orang pedesaan. Menenteng berbagai senjata. Mulai dari senjata tajam hingga tongkat kayu. "Siapa kalian?!" tanya para superhero, "Sengaja membikin rusuh?! Pulanglah! Kalian tak nampak seorang demonstran!" Mereka seolah tak mau mendengar dan terus merangsek maju sambil menyiapkan senjata. Para superhero nampak waspada. "Mereka sepertinya penyusup!" ungkap beberapa polisi yang mendekat pada superhero, "Bukan bagian dari para demonstran!" "Inilah yang ditakutkan dari aksi demontrasi!" susul polisi yang lain, "Hadirnya para penyusup dan provokator?" "Mundur kalian!" bentak para polisi, "Atau kami tindak keras!" Para penyerang tak menggubris peringatan itu dan terus maju. "Biar kami hadapi!" terang para superhero bersiap. Mereka lalu saling bertarung. Para penyerang nampak ganas dan mengarahkan senjata mereka secara membabi-buta. Para superhero pun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka untu
Terlihat dari video live, para superhero bantuan mulai datang. Ada dua superhero yang hendak membantu melawan monster api. Video dari para superhero bantuan pun dapat terlihat di layar. Mereka beterbangan dan meloncat-loncat dari gedung ke gedung untuk mengatasi musuh. "Bagaimana kita akan mengatasi ini?!" tanya superhero yang datang. "Entahlah, kucoba meniupnya dengan energi yang angin milikku," jawab superhero angin, "Tapi malah tambah besar!" Kebakaran pun kian melanda di sana-sini. Beberapa gedung dan bangunan terbakar. Begitu juga dengan beberapa orang yang malang. Beberapa kendaraan, baik mobil ataupun sepeda motor juga tak lepas dari kobaran api. Para pengendaranya terlihat kocar-kacir dan sebagian terbakar. "Lihat, ada yang terjebak dalam mobil!" pekik beberapa orang di bawah. Sebagian merekamnya secara live. "Ada anak-anak di dalam!" seru yang lain, "Sepertinya satu keluarga!" "Mereka akan terbakar habis!" "Superhero," panggil Dina pada para superhero yang me
"Mohon bantuan!" pekik Manusia Elang lewat radio komunikasi. "Ada apa?!" balas Dina dari kantor. "Ada musuh yang kuat! Ia muncul dari perampokan di minimarket dan menyerangku!" "Identifikasi penyerang!" balas Dina, "Kenapa video tak muncul dari kostummu?!" "Perangkat video mungkin rusak karena perkelahian! Dia sangat kuat dan bertubuh besar! Berbaju serba hitam!" Kami saling pandang di kantor. "Kerbau Merah?!" gumam Dina padaku. "Barangkali!" jawabku. "Kami butuh bantuan!" pekik superhero lain yang menangani kebakaran. "Apa yang terjadi?!" tanya Dina. "Musuh yang kuat!" balasnya, "Berkekuatan api!" Kami kembali saling pandang dan cemas. "Ia muncul dari api kebakaran!" lanjut sang pelapor, "Sangat kuat dan besar!" "Perangkat videomu rusak?!" tanya Dina. "Entahlah! Mungkin terbakar karena panas!" "Kita harus bantu mereka!" usulku pada Dina dan yang lain. "Jangan Kris!" cegah Dina, "Kalian offline! Biar dibantu superhero lain!" "Stok superhero kita makin m
"Semoga semua dapat kita atasi," imbuhku untuk menenangkan mereka. Kunikmati ketiga istriku dalam eksotika pemandangan kota. Chantrea dan Chanthou makin ketagihan dinikmati dalam suasana yang jauh berbeda dari pedesaannya ini. Hari berikutnya berjalan seperti sebelumnya. Kami terus waspada dan bersiaga di kantor. Hal yang cukup menjemukan bagi teman-teman yang terpaksa offline. "Jadi kapan mereka akan menyerang?!" keluh Buaya Budiman, "Nampaknya kita bosan menunggu! Apa benar mereka akan menyerang?" "Apa benar informasi yang kau dapat, Kris?!" imbuh High Quality Man. "Entahlah," jawabku, "tapi sepertinya kita harus tetap waspada!" "Jangan-jangan mereka merubah rencana?!" kesah Buaya Budiman. "Kita tak tahu apa-apa," sahut Elistrik nampak lebih santai. "Mungkin perlu kita lihat lagi laptop itu!" desak Buaya Budiman. "Kenapa?" tanya Elistrik. "Lihat saja! Barangkali ada petunjuk lain." Kami pun mengamati lagi laptop itu yang sebelumnya disimpan Tirtasari. Tak ada ya