“Mang, aku bungkus aja, ya?” “Eits! Jangan!” Pak Kaze melarang Mamang sate mendekat ke meja Nami yang sekarang menjadi mejanya juga. “Saya cuma mau ditemenin makan, Nami. Bukan mau gangguin kamu.”“Bapak di kantor boleh gangguin saya dan saya diam. Tapi sekarang di luar jam kerja dan bukan di kantor. Jadi bapak jangan macam-macam sama saya.” Nami berusaha untuk tidak mengeluarkan suara senyalak mungkin agar tidak menyebabkan keributan. “Nggak, kok, Nami. Saya cuma mau semacam.” Pak Kaze senyum-senyum tidak jelas dan itu sangat mengganggu di mata Nami. “Ini tentang perpanjangan kontrak kerja kamu. Gimana? Sudah kamu pertimbangkan? Saya serius ingin kamu jadi asisten saya. Kemampuan kamu sangat disayangkan hanya bekerja di kubikel kecil bersama karyawan-karyawan kurang becus itu, Nami. Saya bicara begini bukan karena saya suka sama kamu. Saya menilai kamu cukup objektif selama ini menilai kinerjamu yang bagus.”Memang Nami akui, Pak Kaze sekarang terkesan seperti atasan yang bijak
Samudra tidak bisa tidak mengetahui jumlah saldo rekening Nami, karena itu otomatis terpampang nyata. Samudra cukup khawatir menerima pesan cicilan Nami yang jatuh tempo. Kira-kira, jalan apa yang akan ditempuh Nami?(“Mas, abaikan aja dulu kalau orang pegadaian nge-chat. Saya cari solusi dulu. Maaf, Mas.”)Samudra jadi iba membaca balasan Nami. Ada dorongan dalam diri Samudra agar melakukan sesuatu. Disaat Samudra turut menimbang-nimbang segala keputusan yang mungkin bisa ia ambil. Ponsel Nami kembali menerima notifikasi pesan. Samudra kira itu dari Nami sendiri. Ternyata itu dari orang yang berpotensi akan membuat Samudra jadi sakit kepala. (“Nami, ibu minta duit delapan juta. Sekarang.”)Samudra yang tahu seberapa pusing Nami sekarang memikirkan cicilan yang entah apa latar belakangnya, sehingga sampai menempuh hal demikian pun ikut terpacu untuk membantu. Kali ini, Samudra tidak akan menolong Nami dengan mengirimkan sejumlah uang ke rekening mamanya Nami.(“Nggak ada, Ma. Uang N
“Selamat datang ke New City kembali, Samudra.”“Bisa beri tanggapannya untuk fashion week di Milan?”“Samudra, lihat sini! Ayo, senyum!”“Kamu ngadain give away cincin atas alasan apa?”“Apa benar kamu punya pacar dan ditolak lamarannya?”Kerumunan wartawan dan blits kamera mengepung Samudra dari segala sisi. Bodyguard dan Rajasa sibuk menghalangi wartawan dan orang-orang yang tak berkepentingan untuk mendekat. Samudra mengembangkan senyum dan membungkuk kepada semua orang yang menyambutnya di bandara. Tanpa menjawab satu pun pertanyaan yang diajukan wartawan, Samudra melangkah cepat layaknya orang yang tergesa-gesa. Samudra masuk ke mobil dan langsung menutup jendela dengan tirai. Ia bersandar dan melepas kacamata hitamnya. Sekilas memijat kening akibat sedikit jetlag yang melanda, Samudra mendengarkan Rajasa yang memaparkan jadwalnya.“Kamu pulang dulu dan istirahat. Sore ini, temui keluarga kamu. Malamnya, kamu ada wawancara. Besok pagi ada pemotretan. Pak Reno barusan ngasih tau
Harusnya malam itu adalah malam yang mendebarkan untuk Nami yang akan bertemu dengan Samudra. Namun yang terjadi pada Nami adalah perasaan campur aduk bak gado-gado. Nami masih sedikit marah dan kecewa akibat Samudra yang dinilainya berani ikut campur urusan pribadinya mengenai mamanya. Belum lagi saat dirinya mengetahui tentang Samudra yang ternyata telah mengirimkan uang kepada mamanya. Darimana Nami tahu? Mamanya datang ke rumah bersama suaminya yang tak berguna. Minta makan dan merampok isi kulkas Nami. Untung saja keduanya tidak menginap. Seperti biasa, mamanya Nami mengomel panjang lebar dulu. Topiknya malam tadi adalah tentang Nami yang katanya susah dihubungi selama satu minggu dan Nami dituduh sombong, karena berani-beraninya memberi nasehat.“Kamu udah pacaran sama bos kamu itu?”Begitu pertanyaan sang mama malam tadi yang habis membentak-bentak dirinya, malah menanyakan tentang Pak Kaze. Darimana mamanya Nami tahu tentang Pak Kaze? Tentu saja karena Nami bercerita. Waja
“Dihabiskan makannya, Nona.”Nami mengangguk-ngangguk dengan sebelah tangan menutupi mulutnya yang sedang mengunyah. Nami memandangi semua menu yang tersaji di meja. Bagaimana caranya menghabiskannya, sementara hanya mereka berdua yang makan? Kecuali jika perutnya dan Samudra adalah perut karet. Andai Nami makan sendirian, pasti Nami tidak segan untuk minta bungkus. Namun untuk situasi sekarang, Nami malu meminta bungkus. Apalagi yang memesan adalah Samudra. Nami jadi kepikiran. Ia yakin bila cuma berdua yang makan, pasti tidak akan habis. Mubazir sisanya. Apa pihak café akan membuangnya? Sangat disayangkan ketika Nami mengingat di luar sana dan di belahan bumi lain, banyak penduduk yang kelaparan. Disaat Nami melamun memikirkan nasib makanan sisa. Samudra tanpa aba-aba meletakkan udang yang sudah dikupas kulitnya. Nami yang menerima perlakuan itu, sontak mengerjap.“Mas Dirga, nggak usah dikupasin. Saya bisa ngupas sendiri, kok.”Nami takut baper dan berakhir jatuh cinta nanti kal
“Iya, Mas. Saya mau, tapi jangan gini. Nanti saya baper dan ngayal kalau mas beneran melamar saya.”Cengiran lebar Samudra menular ke Nami.“Oke. Besok pagi saya umumkan kalau nona pemenangnya.”“Gitu doang? Kalau Mellifluous nanya syarat penilaiannya, gimana?”“Bilang aja kocok arisan.”Jawaban Samudra, nyaris membuat Nami tersedak. Samudra meraih air putih yang dikemas dalam botol kaca dan memberikannya pada Nami. Nami menenggaknya beberapa teguk. “Maaf, kalau jawaban saya mengejutkan nona.”Nami terkekeh singkat. Ada-ada saja memang idolanya. Ketika dirinya merasa yang tadi itu lucu. Samudra malah terlihat biasa saja dan terus menjejalkan makanan ke mulutnya. Ah, Samudra tetaplah Samudra. Tidak ada kepalsuan yang ditampilkannya. Nami kira, Samudra akan lebih jaim selama makan. Kalau demikian, bisa jadi tidak akan ada menu yang dibawa pulang. Rupanya Samudra makannya banyak. Nami yang melihat itu pun, tak mau kalah. Ia bantu menghabiskan dengan semangat. Lagipula cukup riweh kala
“Maaf, bikin mukanya tegang, Mas. Pasti mas shock banget abis dengar sekilas info tadi.”Samudra sedang mencerna apa yang barusan Nami katakan. “Mas, jangan dipikirin. Mantan pacar saya memang ada yang hombreng. Pacaran sama saya cuma kepengen menutupi penyimpangan seksualnya aja.”Nami cengengesan bercampur kesal kalau ingat. Bukan karena tak bisaa move on, tapi Nami kesal akibat didustai seperti itu. Mana sebelumnya si mantan sudah ada pembicaraan ke pelaminan. Untung saja Tuhan segera membuka tabir, bagaimana aslinya si mantan di belakangnya. Nami tidak terbayang sama sekali kalau sungguh menikah dengan si mantan. Nami sudah bisa menebak bagaimana alur rumah tangganya. Suaminya tidak akan pernah menyentuhnya. Lalu Nami akan overthinking dan bersedih hati mengira dirinya jelek. Kemudian mencurigai pasangannya selingkuh, bertengkar, bercerai. Astaga, menderitanya! Untung Nami masih disayang Tuhan. “Saya benci dengan orang yang berbohong seperti itu.” Samudra menyalakan mesin mob
Entah mimpi apa Nami bisa mandi bola di usia kepala tiga bersama dengan idolanya. Nami tercengang memperhatikan Samudra yang melompat ke sana dan ke sini dengan begitu berisik. Mengeluarkan suara-suara khas anak kecil yang asyik bermain. “Nona! Ayo, sini!” Belum sempat Nami menjawab. Tangannya sudah ditarik paksa oleh Samudra. Mengakibatkan Nami kehilangan keseimbangan dan berujung pada terpeleset dan masuk ke area mandi bola bersama Samudra. Samudra tertawa kencang melihat Nami yang membeku beberapa detik. Nami berkedip saat satu buah bola ungu muda memantul di dahinya. Tawa Samudra masih berderai dan Nami akhirnya membalas dengan melemparkan dua buah bola ke arah Samudra. Samudra menghindar dan berlari. Sayangnya, berlari di arena mandi bola itu sulit. Jadilah keduanya tertawa sampai napas nyaris habis rasanya. “Jahil banget ternyata seorang Samudra Dirgantara.”“Memangnya Nona Nami mengira saya ini bagaimana?”Nami harus jujur sepertinya jika ia seperti berkomunikasi dengan bap