Waktu berlalu dengan sangat lama. Aku tidak mendengar suara lain kecuali napasku sendiri. Sunyi. Aku tahu percuma untuk berteriak. Tidak ada yang bisa mendengar suaraku.
Aku kini hanya berharap ada guru yang menyadari ketidakhadiranku. Tapi sepertinya harapanku sia-sia.Akhirnya yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Jam sekolah usai. Matahari mulai redup. Aku bisa melihat dari semakin gelapnya bilik toilet. Dari cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi luar, aku bisa mengintip sinar matahari yang main condong ke barat.
Aku menangis ketakutan, membayangkan melewati malam seorang diri di toliet yang gelap gulita. Aku berada di titik putus asa terendah dalam hidup saat mendadak aku mendengar keributan di luar bilik."Periksa satu-satu," ujar suara yang akrab di telingaku. Suara Dokter Aldo.Semangatku langsung menyala. "Tolong! Tolong! Dokter Aldo, aku di sini.""Marla, kamu di mana?" tanya Dokter Aldo."Di sini. Toilet bilik yang paling ujung."Tidak perlu lama aku menunggu pintu toilet dibuka. Dokter Aldo yang jangkung berdiri di depanku dengan pakaian kerja yang acak-acakan. Wajahnya tampak lelah tapi lega. Di belakangnya berdiri Pak Umar, penjaga sekolah kami. Pria berpakaian sederhana itu menunjukan wajah bersalah yang kentara terlihat.Dokter Aldo menghampiriku yang berdiri gemetar. Dia kemudian mendekapku dengan sangat erat. Pelukan itu tidak sanggup kubalas sebab tubuhku terasa membeku."Ayo pulang," kata si Dokter.Aku mengangguk lemah.Sepanjang perjalanan pulang, dalam mobil Dokter Aldo, aku diam mematung. Aku ingin menangis agar merasa lega. Tapi air mataku rasanya sudah terkuras habis."Kalau kita sampai di rumah nanti, kamu jangan bicara apa pun. Nenek mungkin akan marah sebab merngira kamu keluyuran sepulang sekolah," kata Dokter Aldo."Jadi aku harus gimana?" tanyaku."Diam aja. Biar aku yang menjelaskkan semuanya. Kita mampir dulu untuk makan malam.""Tapi kita bakal lebih lama sampai di rumah.""Nggak apa. Toh, yang penting kamu baik-baik aja."Aku menoleh menatap dokter itu. Di antara sejuta kemalangan dalam hidupku, ternyata masih ada yang peduli.*****"Terkunci di toilet sekolah?" tanya Bu Asih sangsi.Di ruang keluarga aku merasa berada di ruang sidang dengan seorang dokter sebagai Kuasa Hukum yang membelaku. Sedangkan Bu Asih sebagai hakimnya. Aku yang terlalu lelah hanya bisa menatap keduanya dari kursi rotan di sudut ruang."Begitu kenyataannya, Nek," ujar Dokter Aldo. Dia berdiri tepat di sampingku."Kok bisa?""Pintu toiletnya rusak barangkali," jawab Dokter Aldo.Bu Asih menghela napas. "Kamu bikin repot cucuku," katanya sambil menatapku.Dokter Aldo meremas bahuku. "Jangan gitu, Nek. Marla memang jadi tanggung jawab kita begitu selama dia tinggal di sini. Nggak ada orang yang ingin seharian terkunci dalam toilet. Aku yakin, situasi ini juga nggak menyenangkan untuk Marla."Seakan malas untuk bicara denganku, Bu Asih lalu beranjak meninggalkan aku dan cucunya. Dengan langkah pelan dia masuk ke dalam kamarnya.Ketika aku dan Dokter Aldo hanya berdua, aku paksakan tubuhku untuk berdiri. "Dokter Aldo," ucapku pelan. "Kunci toilet itu nggak rusak. Aku diseret masuk oleh teman sekolahku yang naksir Gita. Katanya aku pantas mati.""Nggak ada orang yang pantas mati," ujar Dokter Aldo. "Tidurlah. Besok pagi kamu harus ke sekolah."Malam itu aku nyaris tidak bisa tidur. Bukan karena sakit atau ada sesuatu yang buruk. Melainkan karena Dokter Aldo berlarian dalam benakku. Senyumnya, caranya berjalan, dan pelukannya yang hangat semua kompak mengacau saraf otakku.Barangkali segelas susu dingin bisa menenangkan hatiiku. Dengan langkah berat karena lelah, aku keluar kamar. Semula aku mengira hanya aku saja yang belum tidur di rumah itu. Tapi ternyata Dokter Aldo juga belum tidur. Dia malah tampil rapi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung rapi.Jam dinding di atas pintu dapur menunjukkan pukul satu dini hari."Dokter mau ke mana?" Aku bertanya sambil berjalan mendekatinya."Ke rumah sakit. Ada pasien darurat rujukan bidan," jawabnya sambil memakai sepatu sneakers. "Aku kira kamu udah tidur.""Belum. Aku nggak bisa tidur," kataku. Kuperhatikan wajah pria itu lekat-lekat untuk mencari guratan lelah di raut wajah si Dokter. "Pulangnya jam berapa?""Mungkin subuh sebab aku menjadwalkan operasi sesar mendadak.""Aku tungguin ya.""Jangan. Kamu tidurlah," ujar Dokter Aldo. "Besok masih hari sekolah 'kan?""Apa Dokter memang biasa begini?"Pertanyaanku tidak dijawab. Dokter itu hanya tersenyum kecil. "Kenapa?""Ini hampir dini hari lho. Aku sering melihat di TV ada kejahatan di jalan raya kalau udah lewat tengah malam?""Kita 'kan nggak tahu kapan orang mau melahirkan. Lagian bukan hanya aku yang dipanggil mendadak ke rumah sakit malam ini. Semua yang terlibat dalam di ruang operasi harus secepatnya ke sana. Aku janji, besok pagi waktu kamu bangun aku udah pulang."Dengan hati bimbang, aku mengiyakan.Dokter Aldo tidak menghabiskan kopi buatannya. Cairan hitam pekat itu masih mengisi separuh ruang di dalam cangkir. Sepertinya dia terlalu buru-buru."Bye, Marla," ujar Dokter Aldo sambil mengacak-acak rambutku.Deg! Jantungku melompat tidak karuan. Aku terlalu kaget hingga tubuhku seakan membeku di tengah ruangan dapur tua. Tidak lama kemudian kudengar suara mobil Dokter Aldo yang semakin lama semakin menjauh.Aku menatap meja makan, tempat Dokter Aldo meletakkan cangkir kopinya. Aku tidak suka kopi. Tapi aku suka membayangkan bibir Dokter Aldo ada di gelas itu. Tanpa bisa aku kendalikan, wajahku mendadak terasa panas.Ya ampun! Baru kali ini aku merasa seperti apa rasanya jatuh cinta setengah mati.*****Dokter Aldo tidak menepati janjinya. Pagi hari saat aku bangun tidur, yang kulakukan pertama kali adalah bergegas ke dapur. Aku berharap akan menemukan sosoknya tengah duduk di balik meja makan, tersenyum dengan wajah lelah. Tapi sayangnya harapanku buyar. Rasa khawatir kuat mencengkram hatiku. Bagaimana bisa seseorang tidak pulang ke rumah semalaman hanya karena pekerjaannya? Aku pernah membaca di koran lama perihal seorang dokter yang meninggal dunia karena kelelahan. Setelah merasakan kesedihan ditinggal teman baik, aku tidak akan mau lagi menerima kabar buruk dari orang sebaik Dokter Aldo. "Mana Aldo?" tanya Bu Asih ketika aku sudah siap berangkat ke sekolah. Aku menjawab sambil mengikat tali sepatuku. "Dokter Aldo pergi ke rumah sakit sejak dini hari tadi, Bu." Setelah itu aku berpamitan sesopan mungkin. Kucium pinggung tangannya seraya berkata, "Saya ke sekolah, Bu."Wanita itu hanya melengos lalu berbalik badan, meninggalkan aku sendirian di teras. Tidak ingin terlambat tib
Di bawah tatapan penuh kebencian Weni dan Bima akhirnya aku bisa menyelesaikan semua jam pelajaran di sekolah hari itu. Jam demi jam kulewati dengan keteguhan hati untuk terlihat tegar dalam pandangan semua orang. Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, aku segera membereskan peralatan pribadiku. Lalu tanpa menunda waktu segera kutinggalkan ruang kelas. Sambil menenteng kantong plastik hitam berisi seragam kotor, aku berjalan menuju halte. Di halte itu terdapat beberapa murid lainnya yang sedang menunggu angkot. Aku mengenali mereka. Begitu pun mereka. Tapi alih-alih menyapa dan tersenyum, kami justru berdiri berjauhan dan menghindari kontak mata. Di halte, dalam keheningan yang aneh, aku mengamati satu per satu angkot yang datang. Murid-murid teman sekolahku datang dan pergi sesuai angkot tujuan mereka. Setelah sepuluh menit berdiri, aku mulai merasa lelah. Akhirnya kuputuskan untuk duduk. Namun sebuah suara klakson membuat aku mengurungkan niatku. Aku hampir tidak percaya dengan peng
"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag."Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?"Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu."Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini.""Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk."Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami penola
Dokter Aldo memintaku untuk menunggu di kafetaria sementara dia memeriksa beberapa orang pasiennya yang rawat inap. Kafetaria itu berada di bagian lain rumah sakit, terpisah dari gedung utama. Pengunjungnya hanya paramedis yang bekerja di sana. Dan tentu saja aku, satu-satunya orang yang memakai seragam putih abu abu.Keberadaanku ternyata cukup menarik perhatian. Beberapa orang perawat wanita melngamati dari meja berbeda."Siapa cewek itu?" tanya salah seorang perawat wanita berseragam warna lilac. "Kok anak SMA bisa nyasar di sini?""Kata Icha kasir, cewek itu tamunya Dokter Aldo." jawab temannya yang berseragam dengan warna yag sama."Tamu? Bukan pasien?""Pasien nggak makan di kafetaria ini 'kan?"Di meja berbdea, dua orang paramedis berseragam biru dengan terang-terangan mengometari penampilanku."Cantik sih. Tapi agak kuno ya," ujar seorang wanita di balik punggungku.Perkataan itu diiyakan oleh seorang wanita lain.Aku tidak acuh dengan semua bisik-bisik di sekitarku. Hidangan s
Aku hampir tidak percaya ketika melihat Dokter Aldo menungguku di gerbang sekolah keesokan harinya. Dan yang lebih tidak kusangka adalah dia datang menaiki motor matik hitam. "Motor siapa ini?" tanyaku saat kami berdekatan. "Motorku. Ada bidan yang menjual motornya. Jadi aku beli," jawab Dokter Aldo sambil senyum-senyum. "Ayo naik!" katanya sambil menyerahkan helm merah padaku.Aku menuruti perkataan dokter itu. Setelah memasang helm, aku naik ke jok motornya. Kupegang pinggang Dokter Aldo erat-erat ketika motor itu mulai meluncur menjauh dari gerbang sekolahku.Dokter Aldo mengendarai mototr itu tanpa kesulitan apa pun. Dengan lincah motor itu meliuk-liuk di jalan raya, lalu berhenti di sebuah restoran fast food. Aku tidak menolak ketika dia memesan dua burger ukuran besar lengkap dengan soda dan semangkok salad untuk makan siang kami. "Mobil Kak Aldo ke mana?" tanyaku lagi."Ada di parkiran rumah sakit. Kalau naik mobil pasti kita masih kena macet di sekitar terminal."Aku menguny
Menjelang sore, di bawah tatapan puas Bu Asih, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Ketika itu aku bahkan belum berganti pakaian sekolah. Aku hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku kemudian menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap pede dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau pena
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
Menjelang sore, di bawah tatapan puas Bu Asih, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Ketika itu aku bahkan belum berganti pakaian sekolah. Aku hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku kemudian menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap pede dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau pena
Aku hampir tidak percaya ketika melihat Dokter Aldo menungguku di gerbang sekolah keesokan harinya. Dan yang lebih tidak kusangka adalah dia datang menaiki motor matik hitam. "Motor siapa ini?" tanyaku saat kami berdekatan. "Motorku. Ada bidan yang menjual motornya. Jadi aku beli," jawab Dokter Aldo sambil senyum-senyum. "Ayo naik!" katanya sambil menyerahkan helm merah padaku.Aku menuruti perkataan dokter itu. Setelah memasang helm, aku naik ke jok motornya. Kupegang pinggang Dokter Aldo erat-erat ketika motor itu mulai meluncur menjauh dari gerbang sekolahku.Dokter Aldo mengendarai mototr itu tanpa kesulitan apa pun. Dengan lincah motor itu meliuk-liuk di jalan raya, lalu berhenti di sebuah restoran fast food. Aku tidak menolak ketika dia memesan dua burger ukuran besar lengkap dengan soda dan semangkok salad untuk makan siang kami. "Mobil Kak Aldo ke mana?" tanyaku lagi."Ada di parkiran rumah sakit. Kalau naik mobil pasti kita masih kena macet di sekitar terminal."Aku menguny
Dokter Aldo memintaku untuk menunggu di kafetaria sementara dia memeriksa beberapa orang pasiennya yang rawat inap. Kafetaria itu berada di bagian lain rumah sakit, terpisah dari gedung utama. Pengunjungnya hanya paramedis yang bekerja di sana. Dan tentu saja aku, satu-satunya orang yang memakai seragam putih abu abu.Keberadaanku ternyata cukup menarik perhatian. Beberapa orang perawat wanita melngamati dari meja berbeda."Siapa cewek itu?" tanya salah seorang perawat wanita berseragam warna lilac. "Kok anak SMA bisa nyasar di sini?""Kata Icha kasir, cewek itu tamunya Dokter Aldo." jawab temannya yang berseragam dengan warna yag sama."Tamu? Bukan pasien?""Pasien nggak makan di kafetaria ini 'kan?"Di meja berbdea, dua orang paramedis berseragam biru dengan terang-terangan mengometari penampilanku."Cantik sih. Tapi agak kuno ya," ujar seorang wanita di balik punggungku.Perkataan itu diiyakan oleh seorang wanita lain.Aku tidak acuh dengan semua bisik-bisik di sekitarku. Hidangan s
"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag."Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?"Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu."Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini.""Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk."Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami penola