Dokter Aldo tidak menepati janjinya.
Pagi hari saat aku bangun tidur, yang kulakukan pertama kali adalah bergegas ke dapur. Aku berharap akan menemukan sosoknya tengah duduk di balik meja makan, tersenyum dengan wajah lelah. Sayangnya harapanku buyar. Rasa khawatir mencengkram kuat hatiku. Bagaimana bisa seseorang tidak pulang ke rumah semalaman hanya karena pekerjaannya? "Mana Aldo?" tanya Bu Asih ketika aku sudah siap berangkat ke sekolah. "Dokter Aldo pergi ke rumah sakit sejak dini hari tadi, Bu." jawabku. Kemudian aku berpamitan sesopan mungkin. Kucium punggung tangannya seraya berkata, "Saya ke sekolah, Bu." Bu Asih hanya melengos lalu berbalik badan, meninggalkan aku sendirian di teras. Aku mulai terbiasa dengan sikap Bu Asih yang makin tidak bersahabat. Dan aku bisa memahami bagaimana perasaannya. Dia pasti mengira aku menggoda cucu kesayangannya. Sepanjang perjalanan ke sekolah aku berharap berpapasan dengan mobil Dokter Aldo. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Setajam apa pun mataku berusaha mencari yang melintas hanya mobil-mobil lain yang serupa. Saat angkot yang kunaiki berhenti di depan gerbang sekolah, aku baru menyadari tidak ada yang bisa kulakukan untuk memastikan Dokter Aldo baik-baik saja. "Woi!" teriak Weni padaku dengan suara kencang. Di dekat pos satpam dia bercekak pinggang, menatapku dengan garang. "Masih hidup lo?" Aku tersentak kaget mendengar suaranya yang melengking. Dia berjalan dengan tenang, menghampiriku yang berdiri membeku. "Iya. Kenapa? Lo pikir gue bakal mati hanya gara-gara terkunci di toilet?" tanyaku pura-pura berani. "Gue nggak selemah itu." Weni melotot. "Lu emang psikopat. Kalau gue, pasti langsung ke psikiater untuk minta obat anti depresi setelah membunuh teman baik sendiri." Mendengar ucapan Weni, aku langsung membela diri. "Dari dulu gue udah bilang, bukan gue yang membunuh Gita. Gue justru yang membawanya ke rumah sakit. Nah, kalau lo? Apa yang lo lakukan ketika Gita dalam kondisi kritis? Jangan dijawab deh. Biar gue tebak. Lo pasti sedang nongkrong cantik di kafe." BRAK! Tanpa kusangka, Weni punya keberanian menyerangku secara fisik. Dia menerjang tubuhku, Kami bergulingan di lantai. Dia menjambak rambutku yang panjangnya hanya sebahu. Aku berusaha melepaskan cengkraman jemarinya sambil memberontak ke segala arah. Suara jeritan ketakutan terdengar dari murid-murid yang menyaksikan perkelahian pagi itu. Di tengah serangan yang membabi buta itu, pipiku tiba-tiba terasa perih. Sepertinya Weni berhasil mencakar wajahku. "Aaaawwww...." aku menjerit histeris. Sakit sekali! Weni tersenyum sesudah membuat goresan tipis di wajahku. Begitu Weni berdiri, tiba-tiba muncul Bima di balik punggungnya. Bima tidak menatapku lama-lama. Dia langsung menyerangku dengan menyiramkan air got di atas kepalaku. "Iiiiiihhhhh...." semua orang di sekitarku berteriak jijik. "Bau!" kata salah satu dari mereka. "Lo pulang aja gih!" teriak temanku yang lain. Tubuhku gemetar hebat. Aku ingin menangis tapi aku tahan. Jangan sampai aku terlihat lemah. Bel masuk berdering nyaring. Semua murid meninggalkanku. Begitu juga aku. Tapi aku tidak masuk ke dalam kelas. Melainkan berjalan menuju gerbang sekolah. Pulang. Aku terpaksa pulang agar tidak menganggu konsentrasi teman-temanku yang lain. Tapi sayang, Bu Ayu, guru Bahasa Inggris, melihatku menunggu angkot di halte. Sepertinya dia hari itu datang terlambat sehingga kami bisa bertemu. "Kamu mau ke mana, Marla?" tanya Bu Ayu. "Pulang, Bu. Saya bau," jawabku. "Jangan pulang dulu. Kenapa seragam kamu kotor begitu?" "Ada kecelakaan kecil, Bu," dalihku setengah berdusta. "Kamu nggak boleh pulang. Di sekolah ada seragam cadangan. Setahu saya, Pak Yoga -guru olah raga punya sabun dan sampo di sekolah. Dia biasa mandi sebelum pulang. Dia pasti mau meminjamkan peralatan mandi miiliknya." Aku mengangguk lesu. "Ayo masuk!" Aku tidak punya pilihan lain. Kuikuti langkah Bu Ayu hingga ke ruang guru. Aku bersyukur, guru-guru tidak menghakimiku. Tanpa banyak tanya, Pak Yoga menyuruhku untuk memakai kamar mandi guru untuk membersihkan tubuh. Selesai mandi, Bu Ayu menghampiriku. "Berikan ke guru yang sedang mengajar di kelasmu," katanya. "Kamu nggak boleh membaca apa yang saya tulis di kertas itu. Langsung serahkan aja ke guru kelas." Aku mengangguk. Sesampainya di kelas, aku langsung memberikan kertas dari Bu Ayu pada Pak Iwan yang sedang menjelaskan sejarah fine dining. Tanpa banyak tanya, aku diminta untuk duduk di bangkuku. Aku tahu Weni menatap heran padaku. Lalu tatapan itu berubah menjadi tatapan kebencian. Ketika jam istirahat tiba, aku dipanggil ke kantor Kepala Sekolah. Perasaanku langsung tidak enak. Aku tahu, masalahku pasti akan dibahas dengan serius. Melihat latar belakang keluarga Weni dan Bima yang punya pengaruh di kota kecil kami, aku pasti akan dipojokkan. Begitu sampai di kantor Kepala Sekolah, ada ibunya Weni dan ayahnya Bima sedang duduk si sofa. Sepertinya kasus yang menimpaku tadi pagi membuat guru-guru melakukan penyelidikan kilat. Baru beberapa detik aku duduk di sofa, Weni dan Bima muncul. Mereka yang tadinya dengan penuh keberanian menyerangku mendadak seperti anak ayam yang bersembunyi di balilk sayap induknya. "Mana orang tuamu?" tanya ayah Bima. Dia menatapku lekat-lekat. "Panggil sini! Jangan hanya kami yang disuruh datang." Aku membalas tatapan ayah Bima dengan berani. "Saya anak yatim piatu. Saya nggak seperti Bima dan Weni yang melibatkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah," ujarku mantap. "Lihat! Dia memang kurang ajar!" ujar ibunya Weni sambil mengarahkan telunjuknya padaku. "Weni nggak mungkin berbuat sesuatu tanpa alasan. Apa kamu menganggunya lebih dulu?" Aku misuh-misuh dalam hati. "Memang dia yang memulai duluan, Mi," kata Weni mengadu. Wah! Memang ngajak ribut nih. ****Di bawah tatapan penuh kebencian Weni dan Bima akhirnya aku bisa menyelesaikan semua jam pelajaran di sekolah hari itu. Jam demi jam kulewati dengan keteguhan hati untuk terlihat tegar dalam pandangan semua orang. Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, aku segera membereskan peralatan pribadiku. Lalu tanpa menunda waktu segera kutinggalkan ruang kelas. Sambil menenteng kantong plastik hitam berisi seragam kotor, aku berjalan menuju halte. Di halte itu terdapat beberapa murid lainnya yang sedang menunggu angkot. Aku mengenali mereka. Begitu pun mereka. Tapi alih-alih menyapa dan tersenyum, kami justru berdiri berjauhan dan menghindari kontak mata. Di halte, dalam keheningan yang aneh, aku mengamati satu per satu angkot yang datang. Murid-murid teman sekolahku datang dan pergi sesuai angkot tujuan mereka. Setelah sepuluh menit berdiri, aku mulai merasa lelah. Akhirnya kuputuskan untuk duduk. Namun sebuah suara klakson membuat aku mengurungkan niatku. Aku hampir tidak percaya dengan p
"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag. "Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?" Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu." Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini." "Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk." Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami
Dokter Aldo memintaku untuk menunggu di kafetaria sementara dia berkeliling untuk visite pasien. Kafetaria itu berada di bagian lain rumah sakit, terpisah dari gedung utama. Pengunjungnya hanya paramedis yang bekerja di sana. Dan tentu saja aku, satu-satunya orang yang memakai seragam putih abu abu. Keberadaanku ternyata cukup menarik perhatian. Beberapa orang perawat wanita melngamati dari meja berbeda. "Siapa cewek itu?" tanya salah seorang perawat wanita berseragam warna lilac. "Kok anak SMA bisa nyasar di sini?" "Kata Icha kasir, cewek itu tamunya Dokter Aldo." jawab temannya yang berseragam dengan warna yag sama. "Tamu? Bukan pasien?" "Pasien nggak makan di kafetaria ini 'kan?" Di meja berbeda, dua orang paramedis berseragam biru dengan terang-terangan mengometari penampilanku. "Cantik sih. Tapi agak kuno ya," ujar seorang wanita di balik punggungku. Perkataan itu diiyakan oleh seorang wanita lain. Aku tidak acuh dengan semua bisik-bisik di sekitarku. Hidangan set lunch y
Aku hampir tidak percaya ketika melihat Dokter Aldo menungguku di gerbang sekolah keesokan harinya. Dan yang lebih tidak kusangka adalah dia datang menaiki motor matik hitam. "Motor siapa ini?" tanyaku saat kami berdekatan. "Motorku. Ada bidan yang menjual motornya. Jadi aku beli," jawab Dokter Aldo sambil senyum-senyum. "Ayo naik!" katanya sambil menyerahkan helm merah padaku. Aku menuruti perkataannya. Setelah memasang helm, aku naik ke jok motornya. Kupegang pinggang Dokter Aldo erat-erat ketika motor itu mulai meluncur menjauh dari gerbang sekolahku. Dokter Aldo mengendarai mototr itu tanpa kesulitan apa pun. Dengan lincah motor itu meliuk-liuk di jalan raya, lalu berhenti di sebuah restoran fast food. Aku tidak menolak ketika dia memesan dua burger ukuran besar lengkap dengan soda dan semangkok salad untuk makan siang kami. "Mobil Kak Aldo ke mana?" tanyaku lagi. "Ada di parkiran rumah sakit. Kalau naik mobil pasti kita masih kena macet di sekitar terminal." Aku mengunya
Menjelang sore, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Aku bahkan belum berganti pakaian sekolah dan hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku, menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap cetar dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau penampilanmu kayak gitu," kata Mama. Aku bergemin
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
Menjelang sore, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Aku bahkan belum berganti pakaian sekolah dan hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku, menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap cetar dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau penampilanmu kayak gitu," kata Mama. Aku bergemin
Aku hampir tidak percaya ketika melihat Dokter Aldo menungguku di gerbang sekolah keesokan harinya. Dan yang lebih tidak kusangka adalah dia datang menaiki motor matik hitam. "Motor siapa ini?" tanyaku saat kami berdekatan. "Motorku. Ada bidan yang menjual motornya. Jadi aku beli," jawab Dokter Aldo sambil senyum-senyum. "Ayo naik!" katanya sambil menyerahkan helm merah padaku. Aku menuruti perkataannya. Setelah memasang helm, aku naik ke jok motornya. Kupegang pinggang Dokter Aldo erat-erat ketika motor itu mulai meluncur menjauh dari gerbang sekolahku. Dokter Aldo mengendarai mototr itu tanpa kesulitan apa pun. Dengan lincah motor itu meliuk-liuk di jalan raya, lalu berhenti di sebuah restoran fast food. Aku tidak menolak ketika dia memesan dua burger ukuran besar lengkap dengan soda dan semangkok salad untuk makan siang kami. "Mobil Kak Aldo ke mana?" tanyaku lagi. "Ada di parkiran rumah sakit. Kalau naik mobil pasti kita masih kena macet di sekitar terminal." Aku mengunya
Dokter Aldo memintaku untuk menunggu di kafetaria sementara dia berkeliling untuk visite pasien. Kafetaria itu berada di bagian lain rumah sakit, terpisah dari gedung utama. Pengunjungnya hanya paramedis yang bekerja di sana. Dan tentu saja aku, satu-satunya orang yang memakai seragam putih abu abu. Keberadaanku ternyata cukup menarik perhatian. Beberapa orang perawat wanita melngamati dari meja berbeda. "Siapa cewek itu?" tanya salah seorang perawat wanita berseragam warna lilac. "Kok anak SMA bisa nyasar di sini?" "Kata Icha kasir, cewek itu tamunya Dokter Aldo." jawab temannya yang berseragam dengan warna yag sama. "Tamu? Bukan pasien?" "Pasien nggak makan di kafetaria ini 'kan?" Di meja berbeda, dua orang paramedis berseragam biru dengan terang-terangan mengometari penampilanku. "Cantik sih. Tapi agak kuno ya," ujar seorang wanita di balik punggungku. Perkataan itu diiyakan oleh seorang wanita lain. Aku tidak acuh dengan semua bisik-bisik di sekitarku. Hidangan set lunch y
"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag. "Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?" Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu." Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini." "Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk." Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami