Di bawah tatapan penuh kebencian Weni dan Bima akhirnya aku bisa menyelesaikan semua jam pelajaran di sekolah hari itu. Jam demi jam kulewati dengan keteguhan hati untuk terlihat tegar dalam pandangan semua orang. Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, aku segera membereskan peralatan pribadiku. Lalu tanpa menunda waktu segera kutinggalkan ruang kelas.
Sambil menenteng kantong plastik hitam berisi seragam kotor, aku berjalan menuju halte. Di halte itu terdapat beberapa murid lainnya yang sedang menunggu angkot. Aku mengenali mereka. Begitu pun mereka. Tapi alih-alih menyapa dan tersenyum, kami justru berdiri berjauhan dan menghindari kontak mata.Di halte, dalam keheningan yang aneh, aku mengamati satu per satu angkot yang datang. Murid-murid teman sekolahku datang dan pergi sesuai angkot tujuan mereka. Setelah sepuluh menit berdiri, aku mulai merasa lelah. Akhirnya kuputuskan untuk duduk. Namun sebuah suara klakson membuat aku mengurungkan niatku.Aku hampir tidak percaya dengan pengelihatanku. Ada mobil Dokter Aldo berhenti tepat di depan halte. Kaca kiri bagian depan mobil itu diturunkan hingga aku bisa melihat wajah pengemudinya. Siapa lagi kalau bukan si Dokter yang kutunggu sejak pagi."Ayo naik!" kata Dokter Aldo.Aku tersenyum lalu bergegas mengikuti perkataannya. Penderitaanku seakan musnah seiring dengan kemunculannya di halte bis, berbaur dengan penjual soto mie dan angkot yang ngetem."Dokter Aldo kok bisa datang ke sini?" tanyaku begitu aku duduk di sampingnya.“Kebetulan lewat aja,” jawabnya singkat.Mobil Dokter Aldo mulai bergerak perlahan menjauhi halte. Aku mengamati lalu lintas di sekitarku. Beberapa angkot berjalan selambat siput. Klakson berkali-kali dibunyikan oleh beberapa pengendara kendaraan pribadi yang terpaksa mengekori angkot itu."Aku mengalami pagi yang buruk," kataku membuka keheningan."Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Dokter Aldo tanpa menoleh."Karena Dokter Aldo ingkar janji. Katanya kalau aku bangun tidur Dokter akan ada di dapur. Nyatanya nggak ada," protesku."Maaf," kata Dokter Aldo singkat. Hening menyelimuti kami. "Kadang sesuatu nggak berjalan sesuai rencana."Aku mengangguk tanda setuju. "Betul sekali. Kenapa sih, Dokter nggak bisa pulang subuh?" tanyaku."Kondisi pasiennya gawat. Lebih gawat dari perkiraanku."Aku diam menunggu dia bicara lebih banyak. Tapi yang kudengar hanya suara helaan napasnya. Aku langsung menangkap sesuatu telah terjadi. "Jadi selanjutnya gimana?" tanyaku kemudian.Dokter Aldo menggeleng lemah. "Ibu dan bayinya nggak bertahan. Bayinya terlilit tali pusar sementara ibunya mengalami perdarahan. Dua kondisi itu semestinya bisa ditangani kalau mereka nggak terlambat dibawa ke rumah sakit.""Tapi Dokter 'kan sudah berusaha sekuat tenaga.""Kadang menyampaikan berita duka cita juga jadi masalah tersendiri. Sering kali keluarga pasien malah emosi dan menuduh paramedis sebagai pihak yang nggak becus melakukan tugasnya.""I fell you," bisikku."Really?" tanya Dokter Aldo sambil menoleh."Iya. Aku juga merasakan itu lho. Padahal aku hanya anak SMK biasa yang berusaha menolong temannya. Tapi sayang gagal. Akhirnya malah aku sekarang dicap sebagai pembunuh.""Maksudmu masalah medis pada almarhumah Gita ya?""Benar," ujarku lalu membuka ikatan kantong plastik yang kuletakkan di lantai mobil. "Lihat nih. Ini seragamku tadi pagi."Kening dokter itu berkerut tanda tidak suka. "Bau banget! Cepat tutup lagi."Aku segera mengikat kembali kantong itu. "Iyalah. Bau pastinya. Itu 'kan kotor karena disiram air got. Temanku yang melakukan itu.""Kenapa?""Karena dia menganggap aku yang membunuh Gita. Aku yang menyebabkan Gita meninggal dunia. Aku udah susah payah menjelaskan pada teman-teman sekolahku bahwa semua nggak semudah yang mereka kira. Tapi tetap aja aku dianggap sebagai si jahat. Sampai hari ini nggak ada satu pun teman yang mau bicara dengan aku.""Sepertinya kita sama-sama mengalami hari yang buruk.""Iya.""Ayo kita jalan-jalan ke Sentul. Kita cari restoran yang enak.""Ayo!" sambutku penuh semangat. "Tapi kenapa ke Sentul? Apa nggak kejauhan?""Aku pingin mencari suasana lain. Kamu mau?""Mau, kalau dibayarin."Dokter Aldo tertawa.Mobil itu semakin melaju menuju jalan tol Jagorawi. Lagu pop dari Armada band mengiringi perjalanan kami. Beberapa lagu membuat kami menyanyi bersama. Beberapa lagu lagi membuat kami terdiam merenungi liriknya. Hingga kemudian kami tiba di sebuah kafe dengan view gunung Pancar.Hari itu suasana di kafe itu tidak terlalu ramai. Aku membiarkan Dokter Aldo memilihkan hidangan untukku."Apa aja pasti enak," kataku.Aku mengamati sekelilingku. Tidak semua meja terisi. Kalau pun ada meja yang terisi semua terlihat seperti mahasiswa dan profesional muda. Kami adalah pasangan yang anomali di tempat itu -seorang cewek berseragam SMA duduk berhadapan dengan pria dewasa yang memakai pakaian kerja. Beberapa pasang mata melirik dengan rasa ingin tahu.Jangan-jangan mereka mengira aku adalah sugar baby."Apa rencanamu besok?" tanya Dokter Aldo."Maksudnya?""Setelah kejadian hari ini, apa yang akan kamu lakukan besok di sekolah.""Nggak ada. Aku akan tetap sekolah seperti biasa.""Nggak takut?""Takut. Tapi aku nggak punya piihan lain.""Setelah ini kita ke toko ponsel ya. Aku ingin membelikan kamu HP."Mataku melotot heran. "Buat apa?""Kalau ada kejadian seperti tadi di sekolah, kamu bisa menelpon aku secepatnya. Aku akan langsung ke sekolahmu."Mataku menatap Dokter Aldo dengan perasaan haru. Dia seperti bisa membaca kekhawatiranku. Air mataku perlahan menetes."Terima kasih," kataku pelan.Dokter Aldo tersenyum. Ujung jarinya menyapu bulir air mataku yang mengalir di pipi.****Hari menjelang malam ketika mobil Dokter Aldo masuk di halaman. Dari kejauhan aku melihat pintu ruang tamu terbuka. Dan ada Bu Asih berdiri di ujung teras.Ternyata Bu Asih menunggu kepulangan kami. Sejuta pertanyaan berkelebat di otaknya. Dia menunggu kepulanganku dan Dokter Aldo untuk dua alasan yang berbeda. Aku yakin dia menunggu kepulangan cucunya dengan hati cemas. Sementara aku terlambat pulang karena dikira terlibat tawuran."Marla," kata Dokter Aldo sebelum turun dari mobil. "Aku nggak suka kamu panggil dengan sebutan Dokter Aldo atau Dokter. Aku merasa sedang bicara dengan rekan kerjaku. Bukan dengan anak SMA yang numpang tinggal di rumahku.” “Kalau dipanggil Kak Aldo boleh ‘kan?” tanyaku."Nah, begitu lebih baik."Aku menatap paper bag di pangkuanku. Lalu aku menoleh pada Dokter Aldo seraya berkata, "Kak Aldo.""Ya, Marla," jawabnya."Terima kasih untuk hari ini.""No, aku justru yang berterima kasih karena kamu membuat aku nggak merasa sendiri. I mean, kamu tahu rasanya dipojokkan setelah perjuangan berat menyematkan nyawa seseorang," ucap Dokter Aldo sambil menatapku. "Ayo turun," ajakanya.Bu Asih tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat melihat aku turun dari mobil Dokter Aldo. Keningnya berkerut dengan ekspresi tidak suka yang tergambar jelas di wajahnya."Kok kamu bisa nebeng mobil cucuku?" tanya Bu Asih."Saya nggak nebeng, Bu," jawabku.Dokter Aldo berjalan menghampiri kami. "Aku yang menjemputnya pulang sekolah, Nek," jawabnya seakan ingin mengambil alih situasi."Apa? Kenapa?" tanya Bu Asih terkejut."Sebab ada janji yang mesti aku tepati," jawab Dokter Aldo lagi.Mata Bu Asih lalu mengarah pada paper bag yang ada ditanganku. Paper bag itu berlambang merk sebuah ponsel Android. "Apa itu?" tanya Bu Asih."Ponsel, Bu," jawabku."Dari mana kamu punya uang untuk membeli ponsel?""Aku yang membelikannya, Nek.” Dokter Aldo mengambil alih jawabanku.PLAK!Sebuah tamparan keras melayang di pipiku. Perih sekali."Nek!" Dokter Aldo menjerit kaget. Secara spontan dia menarik tubuhku hingga berada di balik punggungnya."Keluar kamu dari rumah ini!" teriak Bu Asih sambil berusaha untuk menarik tanganku. Tapi Dokter Aldo menepis tangan neneknya dengan keras.Tubuhku gemetaran mendengar ucapan itu. "Salah saya apa, Bu?" tanyaku.Rekasi Dokter Aldo yang jelas-jelas melindungiku, membuat kemarahan Bu Asih memuncak. "Kamu sudah menggoda cucuku. Iya 'kan? Rayuan apa yang kamu ucapkan pada Aldo?"Aku mengusap pipiku. "Saya nggak seperti yang Ibu katakan," ujarku."Kalau nggak dirayu, mana mungkin kamu dibelikan ponsel," kata Bu Asih dengan wajah garang."Ponsel itu aku yang beri. Marla nggak meminta," sanggah Dokter Aldo dengan suara tegas."Kamu masih terlalu polos, Aldo. Hanya karena dia masih SMA bukan berarti dia masih lugu. Kamu sendiri yang bilang, teman baiknya adalah pasienmu." Bu Asih lalu memincingkan matanya. "Kamu, Marla. Malam ini juga kamu harus keluar dari rumah ini. Aku nggak peduli kamu bakal tidur di mana."*****"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag."Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?"Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu."Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini.""Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk."Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami penola
Dokter Aldo memintaku untuk menunggu di kafetaria sementara dia memeriksa beberapa orang pasiennya yang rawat inap. Kafetaria itu berada di bagian lain rumah sakit, terpisah dari gedung utama. Pengunjungnya hanya paramedis yang bekerja di sana. Dan tentu saja aku, satu-satunya orang yang memakai seragam putih abu abu.Keberadaanku ternyata cukup menarik perhatian. Beberapa orang perawat wanita melngamati dari meja berbeda."Siapa cewek itu?" tanya salah seorang perawat wanita berseragam warna lilac. "Kok anak SMA bisa nyasar di sini?""Kata Icha kasir, cewek itu tamunya Dokter Aldo." jawab temannya yang berseragam dengan warna yag sama."Tamu? Bukan pasien?""Pasien nggak makan di kafetaria ini 'kan?"Di meja berbdea, dua orang paramedis berseragam biru dengan terang-terangan mengometari penampilanku."Cantik sih. Tapi agak kuno ya," ujar seorang wanita di balik punggungku.Perkataan itu diiyakan oleh seorang wanita lain.Aku tidak acuh dengan semua bisik-bisik di sekitarku. Hidangan s
Aku hampir tidak percaya ketika melihat Dokter Aldo menungguku di gerbang sekolah keesokan harinya. Dan yang lebih tidak kusangka adalah dia datang menaiki motor matik hitam. "Motor siapa ini?" tanyaku saat kami berdekatan. "Motorku. Ada bidan yang menjual motornya. Jadi aku beli," jawab Dokter Aldo sambil senyum-senyum. "Ayo naik!" katanya sambil menyerahkan helm merah padaku.Aku menuruti perkataan dokter itu. Setelah memasang helm, aku naik ke jok motornya. Kupegang pinggang Dokter Aldo erat-erat ketika motor itu mulai meluncur menjauh dari gerbang sekolahku.Dokter Aldo mengendarai mototr itu tanpa kesulitan apa pun. Dengan lincah motor itu meliuk-liuk di jalan raya, lalu berhenti di sebuah restoran fast food. Aku tidak menolak ketika dia memesan dua burger ukuran besar lengkap dengan soda dan semangkok salad untuk makan siang kami. "Mobil Kak Aldo ke mana?" tanyaku lagi."Ada di parkiran rumah sakit. Kalau naik mobil pasti kita masih kena macet di sekitar terminal."Aku menguny
Menjelang sore, di bawah tatapan puas Bu Asih, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Ketika itu aku bahkan belum berganti pakaian sekolah. Aku hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku kemudian menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap pede dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau pena
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dokter Aldo tidak ada di apartemen saat aku bangun keesokan harinya. Dari secarik kertas notes yang ditempel di pintu kulkas, aku diberi tahu bahwa dia sedang berenang dan akan kembali satu jam lagi. Tentu saja aku tidak bisa menunggunya. Aku harus bergegas bersiap ke sekolah.Setelah membuat sarapan seadanya, aku segera ke kamar mandi. Air hangat yang mengucur dari shower terasa menyegarkan tubuhku. Membayangkan situasi sekolah membuat hatiku senang. Teman sekolahku memang ada yang berengsek. Tapi tetap saja aku suka dengan suasana dan kesibukan di sekolah. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk membalas tulisan Dokter Aldo. Aku mengambil secarik notes dan buru-buru menulis di atasnya.Dear Kak Aldo.Aku pamit ke sekolah ya. Maaf aku nggak bisa menunggu Kak Aldo kembali dari kolam renang. Aku sudah membuat pangsit kuah untuk sarapan Kak Aldo. See you soon.Kertas notes itu lalu aku tempelkan di atas mangkok keramik yang ditutup rapat. Sesaat sebelum pergi aku menyempatkan diri un
Dinginnya udara subuh membuatku terjaga. Situasi IGD sedikit ramai dari dugaanku. Ternyata subuh itu terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas. Meskipun bukan kecelakaan fatal, tapi cukup membuat kehebohan. Barangkali suara mereka tadi yang menembus alam bawah sadarku. Seorang pria berumur empat puluhan mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Dia berusaha membuka pembicaraan. Tapi rasa lapar dan haus membuatku enggan menanggapinya. Hingga kemudian dia pun akhirnya pergi. Saat hari makin terang, aku berdiri lalu menggerakan kakiku yang kesemutan. Pergantian shift petugas rumah sakit dimulai tepat jam tujuh pagi. Beberapa petugas shift pagi melirikku tajam. Barangkali mereka bertanya-tanya mengapa aku yang tampak sehat wal afiat berada di IGD. Aku menundukkan wajah dalam-dalam sambil berdiri bersandar di pilar selasar drop off area. Hingga kemudian terdenngar sebuag suara yang tidak asing di telingaku."Marla,' panggil seseorang dari balik punggungku.Aku menoleh dan tersentak kaget m
"Pakai ini," kata Mama ketika aku sedang bersiap-siap di kamar. Dia membentangkan sehelai mini dress hijau zambrud di hadapanku.Aku tersenyum geli melihat gaun ketat yang disodorkannya. Pakaian itu sepertinya kekecilan untuk ukuran badanku. "Nggak ah," kataku. "Pakai!" perintah Mama kali ini dalam suara yang tegas. Aku tersentak. "Ma, aku nggak biasa pakai baju seperti ini."Ibuku melotot garang mendengar bantahanku. "Mama nggak mau kamu tampil seperti sekarung beras di hadapan teman bisnis Mama.""Aku mau memakai pakaian yang nyaman." Aku mencoba terus menolak. "Nanti kamu juga terbiasa dengan baju seperti ini.""Mungkin nanti. Tapi nggak sekarang."Kesabaran ibuku habis. Dia menjejalkan pakaian itu ke tanganku. "Cepat pakai ini!" bentaknya. "Setengah jam lagi kita mesti berangkat."Aku kehabisan kata. Dengan berat hati kupakai gaun hijau itu. Risih dan aneh. Itulah hal kurasakan saat kain itu lekat membungkus kulitku. "Jangan pakai sepatu sneakers," kata ibuku ketika aku tengah
Ucapan ibuku berhasil menyingkirkan kesadaranku selama beberapa detik. Sesaat dunia terasa hening. Yang kudengar hanya suara ibuku yang tertawa kecil sambil menatap wajahku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bu Asih sampai menghadiahi Mama uang yang jumlahnya sangat besar hanya untuk membawaku keluar dari rumah itu.Bu Asih pasti sangat kangen pada Dokter Aldo. Sehingga dia 'mengusirku' dari rumahnya agar cucu tercintanya kembali pulang.Aku tidak pernah pilih-pilih soal makanan. Makanan apa pun aku terima dengan penuh rasa syukur. Teman-temanku bilang aku rakus, tapi buatku itu semua adalah wujud rasa terima kasih atas pemberian Tuhan. Sayangnya malam itu aku tidak mampu menikmati apa yang terhidang di depanku. Pacel lele yang disajikan oleh pemilik lapak terasa hambar sebab otak dan lidahku menolak bekerja sama."Kenapa?" tanya Mama saat melihat bulir air mataku menetes. "Kok kamu mendadak nangis begitu?"Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang aku r
Menjelang sore, di bawah tatapan puas Bu Asih, aku mengikuti ibuku berjalan menuju halte. Ketika itu aku bahkan belum berganti pakaian sekolah. Aku hanya sempat melepaskan sepatu sekolahku kemudian menggantinya dengan sandal jepit. Sementara ibuku tetap pede dalam balutan pakaian ketat dan celana panjang bermotif loreng macan. Aku sudah berjanji dalam diriku untuk tidak menilai orang lain dari apa yang dia pakai atau berdasarkan seleranya. Karena aku tidak mengeluarkan komentar apa pun mengenai penampilan ibuku yang mirip personil Trio Macan. Tapi sepertinya kami punya pemikiran yang berbeda. Ibuku sepanjang jalan tidak berhenti mengomentari selera pakaianku. Dalam angkot yang melaju menuju pinggiran kota Bogor, ibuku tidak ragu mengucapkan kalimat setengah menghina. Dan dia melakukan itu di hadapan para penumpang angkot yang duduk di sekitar kami. Aku bahkan yakin, sopir angkot juga bisa mendengar kata-kata yang diucapkan ibuku. "Kamu tuh ya, nggak bakal bisa dapat pacar kalau pena
Aku hampir tidak percaya ketika melihat Dokter Aldo menungguku di gerbang sekolah keesokan harinya. Dan yang lebih tidak kusangka adalah dia datang menaiki motor matik hitam. "Motor siapa ini?" tanyaku saat kami berdekatan. "Motorku. Ada bidan yang menjual motornya. Jadi aku beli," jawab Dokter Aldo sambil senyum-senyum. "Ayo naik!" katanya sambil menyerahkan helm merah padaku.Aku menuruti perkataan dokter itu. Setelah memasang helm, aku naik ke jok motornya. Kupegang pinggang Dokter Aldo erat-erat ketika motor itu mulai meluncur menjauh dari gerbang sekolahku.Dokter Aldo mengendarai mototr itu tanpa kesulitan apa pun. Dengan lincah motor itu meliuk-liuk di jalan raya, lalu berhenti di sebuah restoran fast food. Aku tidak menolak ketika dia memesan dua burger ukuran besar lengkap dengan soda dan semangkok salad untuk makan siang kami. "Mobil Kak Aldo ke mana?" tanyaku lagi."Ada di parkiran rumah sakit. Kalau naik mobil pasti kita masih kena macet di sekitar terminal."Aku menguny
Dokter Aldo memintaku untuk menunggu di kafetaria sementara dia memeriksa beberapa orang pasiennya yang rawat inap. Kafetaria itu berada di bagian lain rumah sakit, terpisah dari gedung utama. Pengunjungnya hanya paramedis yang bekerja di sana. Dan tentu saja aku, satu-satunya orang yang memakai seragam putih abu abu.Keberadaanku ternyata cukup menarik perhatian. Beberapa orang perawat wanita melngamati dari meja berbeda."Siapa cewek itu?" tanya salah seorang perawat wanita berseragam warna lilac. "Kok anak SMA bisa nyasar di sini?""Kata Icha kasir, cewek itu tamunya Dokter Aldo." jawab temannya yang berseragam dengan warna yag sama."Tamu? Bukan pasien?""Pasien nggak makan di kafetaria ini 'kan?"Di meja berbdea, dua orang paramedis berseragam biru dengan terang-terangan mengometari penampilanku."Cantik sih. Tapi agak kuno ya," ujar seorang wanita di balik punggungku.Perkataan itu diiyakan oleh seorang wanita lain.Aku tidak acuh dengan semua bisik-bisik di sekitarku. Hidangan s
"Biar aku yang bicara dengan Nenek," ujar Dokter Aldo setelah berhasil menyusulku ke kamar. "Jangan. Nggak perlu kok. Aku bisa mencari tempat kost," tolakku sambil memasukkan pakaian ke dalam travel bag."Kamu punya uang untuk membayar kamar kost?"Pertanyaan itu menghujam tepat di hatiku. Dia benar. Aku tidak punya uang yang cukup untuk membayar kamar kost. Dokter Aldo menarik bahuku. Kami kini berdiri berhadapan. "Dengarkan aku baik-baik, Marla. Kamu nggak boleh meninggalkan rumah ini. Kamu berada dalam pengawasan yayasan panti asuhan dan Dinas Sosial. Kalau kamu pergi, pasti ada sanksi untuk Nenek sebab gagal menjagamu."Aku menatap wajahnya pria itu. Dia tidak seganteng aktor Korea, tapi dia punya sepasang mata teduh. "Tapi Bu Asih nggak mengharapkan aku ada di sini.""Bukan gitu. Dia hanya sedang emosi sebentar. Aku yakin, dia akan berubah pikiran jika aku bujuk."Aku menundukkan wajahku menatap ubin hitam keabuan yang menjadi tempatku berpijak. "Aku sudah biasa mengalami penola