Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 59: "Akarmu Adalah Senjatamu"

Share

Bab 59: "Akarmu Adalah Senjatamu"

Author: Oceania
last update Last Updated: 2025-02-27 21:56:42

Gunung Sangeang, 03.00 WITA

Sinta melayang di atas laut, tubuhnya berpendar seperti kunang-kura raksasa. Darah birunya telah berubah menjadi aliran partikel emas yang berputar membentuk lingkaran cahaya. Di depan mata armada alien yang mendekat, ia mengangkat tangan—gelombang suara frekuensi kosmik memancar dari jarinya.

"Kami bukan panen!" teriaknya dalam bahasa yang bukan milik Bumi.

Laser alien yang hendak menghujam daratan tiba-tiba berbelok, diserap oleh tubuhnya yang semakin transparan. Di bawah, Wa Ode dan Dr. Lee berlari membawa kantung pasir karang berpendar, wajah mereka tercermin di kulit Sinta yang kini seperti kaca.

Mereka tahu bahwa Sinta telah berubah menjadi entitas luar biasa, menjadi perisai terakhir Bumi melawan invasi alien. Gelombang suara frekuensi kosmik yang dikeluarkan oleh Sinta membuat para alien terdiam, seakan-akan terhipnotis oleh kekuatannya yang luar biasa. Dengan penuh keyakinan, Sinta berdiri di hadapan armada alien, siap melawan untuk melindungi plan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 60: "Badai Abadi dan Bayang Masa Lalu"

    Jakarta, 03.00 WIBLangit berwarna ungu elektrik, petir menyambar tanpa henti. Badai abadi hasil energi Sinta mengubah ibukota jadi kota hantu. Pesawat tak bisa mendarat, listrik padam bergiliran, dan warga mengungsi ke basement dengan masker oksigen. Di layar TV yang masih menyala, berita utama bertuliskan: "Kiamat Energi atau Revolusi Baru? Pharmara Tawarkan 'Cahaya Sinta' dengan Harga Fantastis!" Badai abadi yang melanda ibukota membuat kekacauan di seluruh kota. Warga panik dan mencoba mencari perlindungan di tempat-tempat yang aman. Namun, di tengah kekacauan, muncul tawaran menarik dari perusahaan Pharmara yang menawarkan "Cahaya Sinta" dengan harga fantastis. Apakah ini solusi dari badai abadi atau malah akan menimbulkan masalah baru bagi kota ini? Orang-orang pun dibuat bingung dengan pilihan yang harus mereka ambil di tengah keadaan yang genting ini.Banyak yang mempertanyakan keamanan dan keefektifan "Cahaya Sinta" yang ditawarkan oleh Pharmara. Beberapa orang skeptis dan me

    Last Updated : 2025-02-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 63: Simfoni Zikir dan Benih

    🌳 Hutan Lambusango – Pusar LeluhurHujan ionik merah menyapu kanopi Hutan Lambusango, memantulkan cahaya zikir La Ode Harimao dan istrinya yang bersinar seperti kunang-kunang quantum. Di tengah lingkaran batu megalitikum, pasangan itu duduk bersila—setiap tarikan napas mereka menyinkronkan detak jantung hutan dan alam semesta. Setiap detak jantung mereka menyegarkan kupu kupu di hutan Amazon serta hutan di taman nasional Virunga. Gelombang zikir itu menggetarkan semua isi hutan di seluruh dunia, getaran rendah yang disambut oleh margasatwa dengan suka cita. Getaran cinta seperti orang yang sedang merasakan orgasme. Seperti perasaan Lionel Messi yang mencetak gol di gawang Real Madrid pas pada cetakan ke 26 nya."Kangkilo bukan sekadar nilai," bisik La Ode kepada istrinya yang baru saja direkatkan jiwanya ke raga oleh energi zikir. "Ini algoritma alam yang menenun ruang-waktu." Maka, dengan penuh keheningan, La Ode dan istrinya meresapi kea

    Last Updated : 2025-02-28
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 61: Panen yang Tertunda

    Langit pecah dalam ledakan petir ungu. Wa Ode merangkak di antara puing menara batu purba, kulitnya teriris angin yang membawa kristal es sebesar kepalan tangan. Di sampingnya, pria bertato spiral dari suku Wemareta menarik lengan wanita itu, mendorongnya ke celah monolit yang memancarkan cahaya biru pucat."Mereka menyebut kita perusak," bisik pria itu, suaranya parau seperti gesekan batu. Tato di wajahnya berdenyut selaras dengan gemuruh di atas. "Tapi kitalah satu-satunya yang pernah selamat dari panen."Wa Ode Sandibua menatap ukiran alien di dinding menara—simbol-simbol Pleiades yang berputar dalam pola fraktal. "Apa yang kau sembunyikan, tua? Pharmara memburu kalian karena menara ini—" "Menara ini adalah kunci untuk membebaskan dunia dari penindasan Pharmara," jawab pria bertato itu sambil menatap tajam ke arah Wa Ode. Wanita itu merasakan getaran energi yang kuat dari dalam monolit, membuatnya tersentak. "Kau harus memahami bahwa kita adalah satu-satunya harapan bagi umat manusi

    Last Updated : 2025-03-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 62: Warisan yang Berdenyup

    Debu putih dari ledakan embrio masih menyelimuti langit ketika sekelompok manusia purba mendekati reruntuhan menara. Wa Ode Sandibula duduk di atas bongkahan logam Ratu Wakaaka yang masih berdenyut, jari-jarinya menelusuri retakan di permukaannya. Setiap detakan memancarkan gelombang frekuensi rendah yang membuat gigi gemeretak.“Ini bukan sekadar logam,” bisik Tala, insinyur muda dari suku tepi laut yang selamat. Dia mengangkat alat pengindeks energi buatan Pharmara—layarnya mendadak meledak. “Ia hidup. Dan sedang mencari sesuatu." Wa Ode Sandibula menatap alat pengindeks energi yang meledak dengan penuh keterkejutan. Dia merasakan getaran aneh dari logam Ratu Wakaaka di bawahnya semakin intens. Tala segera berusaha menenangkan situasi, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sementara itu, debu putih dari ledakan embrio terus menyelimuti langit, menciptakan aura misteri di sekeliling mereka. Semua orang merasa bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang jauh lebih besar da

    Last Updated : 2025-03-01
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 64: Gelombang Cinta dan Doa yang Menyatu

    Hutan Lambusango malam itu terasa berbeda. Udara yang biasanya dipenuhi gemerisik daun dan kicau burung kini sunyi sepi, seolah alam sedang menahan napas. Di tengah hutan, di bawah naungan pohon ulin raksasa yang telah berusia ratusan tahun, La Ode Harimao dan istrinya, Wa Ode Marinu, duduk bersila di atas tikar anyaman tangan. Di depan mereka, sebuah mangkuk tembaga berisi dupa yang membara mengeluarkan asap wangi yang meliuk-liuk ke langit. Asap itu membentuk pola-pola aneh, seperti tangan-tangan yang mencoba meraih sesuatu yang tak terlihat.La Ode Harimao dan Wa Ode Marinu menggenggam erat tangan satu sama lain, mata mereka terpejam dalam konsentrasi yang mendalam. Mereka tengah mengirimkan gelombang cinta dan doa kepada alam semesta, memohon perlindungan dan keberkahan bagi hutan Lambusango yang mereka jaga dengan penuh kasih sayang. Hati mereka penuh dengan rasa syukur dan rasa hormat kepada leluhur yang telah menjaga hutan ini selama berabad-abad. Sesekali, angin malam membawa

    Last Updated : 2025-03-06
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 65: Ancaman di Balik Keindahan

    Hutan Lambusango pagi itu terlihat begitu tenang. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan sinar matahari yang menembus dedaunan menciptakan pola cahaya yang menari-nari di tanah. Tapi ketenangan itu hanyalah ilusi. Di balik keindahannya, ada badai yang sedang mengumpul.Sinta duduk di beranda rumah kayu kecil milik keluarganya, secangkir teh hangat di tangannya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah petualangannya di dunia spiritual, tapi pikirannya tidak bisa beristirahat. Matanya menatap jauh ke arah hutan, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon. "Ini ancaman untuk kelestarian Hutan Lambusango," bisiknya pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Jun Ho, yang duduk di sampingnya, mengangguk perlahan. "Aku baru saja mendapat email dari ibuku di Seoul," katanya sambil membuka laptopnya. "Dia bertanya apakah sudah ada calon cucu untuknya."Sinta tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat menghilang. "Kita bahkan belum bisa melindungi hutan ini, Jun. Bagai

    Last Updated : 2025-03-07
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 66: Akar yang Terancam, Darah yang Mengalir

    Kabut pagi di Lembah Lapandewa terasa lebih dingin dari biasanya. Di balik lapisan udara lembap yang menyelimuti hutan dan padang rumput itu, suara gemuruh mesin penggali tanah telah berganti dengan riuh rendah suara manusia. Masyarakat adat berkumpul di tanah lapang, wajah-wajah mereka bercampur antara lega dan waspada. Setelah berbulan-bulan melakukan protes, blokir jalan, dan ritual-ritual adat untuk memanggil arwah leluhur, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di lembah itu akhirnya dicabut. Tapi kemenangan ini tidak datang tanpa harga.“Ini bukan akhir,” seru La Ode Harimao, tokoh adat yang wajahnya mulai dihiasi garis-garis kelelahan. Tangannya memegang erat tombak pusaka yang telah turun-temurun menjadi simbol perlawanan. “Mereka akan kembali dengan cara lain. Lihat!” Ia menunjuk ke arah jalan tanah di kejauhan, di mana beberapa truk hitam tanpa plat nomor terparkir. “Mata-mata sudah mulai beraksi.”Seorang perempuan muda melangkah maju, Wa Ode Rani, aktivis lingkungan yang wajahnya m

    Last Updated : 2025-03-07
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 65: Ancaman di Balik Keindahan

    Hutan Lambusango pagi itu terlihat begitu tenang. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan sinar matahari yang menembus dedaunan menciptakan pola cahaya yang menari-nari di tanah. Tapi ketenangan itu hanyalah ilusi. Di balik keindahannya, ada badai yang sedang mengumpul.Sinta duduk di beranda rumah kayu kecil milik keluarganya, secangkir teh hangat di tangannya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah petualangannya di dunia spiritual, tapi pikirannya tidak bisa beristirahat. Matanya menatap jauh ke arah hutan, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon. "Ini ancaman untuk kelestarian Hutan Lambusango," bisiknya pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Jun Ho, yang duduk di sampingnya, mengangguk perlahan. "Aku baru saja mendapat email dari ibuku di Seoul," katanya sambil membuka laptopnya. "Dia bertanya apakah sudah ada calon cucu untuknya."Sinta tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat menghilang. "Kita bahkan belum bisa melindungi hutan ini, Jun. Bagai

    Last Updated : 2025-03-08

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 135 – Pelajaran dari Yuanmingyuan dan Kebanggaan yang Terlahir Kembali

    Senja menyaput langit Jakarta dengan semburat jingga lembut kala Lintang melangkah turun dari pesawat. Di ujung pintu kedatangan, berdiri dua sosok yang paling ia rindukan—Sinta, ibunya, dengan senyum hangat yang meneduhkan; dan Jun Hoo, ayahnya, tegap namun lembut menatap putrinya dengan mata berbinar bangga. Tanpa kata, mereka berpelukan erat. Hanya deru mesin pesawat yang menjadi saksi, sementara hati mereka bergetar dalam kesunyian yang penuh makna.“Anakku…” suara Sinta bergetar, “selamat pulang.”“Ka…aku belajar begitu banyak, Bu, Pa,” ujar Lintang, menahan air mata haru. Ia merasakan setiap inci pelukan itu menghadirkan kekuatan baru dalam dirinya, selaras dengan kebijaksanaan yang dibawanya dari perjalanan panjang ke tanah peradaban.Mereka beranjak menuju mobil, menembus lalu lintas kota yang berdenyut. Sepanjang perjalanan, Lintang mulai bercerita, suaranya nyaris berbisik agar setiap kata dapat diresapi. Ia mengisahkan kunjungannya ke Yuanmingyuan—Old

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 134 – Melodi Desyhuang, Suara Damai di Negeri Terpecah

    Senja di Taiwan adalah suatu lukisan hidup yang memukau, di mana langit memerah bagai benang sutra yang diatur oleh tangan para dewa. Di sudut sebuah kafe kecil di Taipei, Lintang duduk menyendiri, mendengarkan lagu-lagu Desyhuang yang menggema lembut melalui headphone-nya. Nada-nada musik itu mengalir, bagaikan aliran sungai yang mengalir dari masa lalu, membawa pesan-pesan rahasia tentang cinta, pengorbanan, dan perjanjian yang telah ditorehkan di antara keberagaman budaya.Dalam sekejap, irama melankolis Desyhuang itu membangkitkan sebuah kerinduan mendalam dalam jiwa Lintang—sebuah rindu kepada tanah yang dahulu menyatu dalam harmoni, namun kini terpecah oleh dua kekuatan ekonomi besar yang saling bersaing. Ia terpaut antara bayang-bayang kekuatan China yang modern dan ambisi global yang sering kali mengabaikan kehalusan budaya, dan bayang-bayang masa depan yang ia impikan untuk pulau kecil yang mempesona ini. Lintang menyadari, bahwa Taiwan adalah tanah bag

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status