Tanpa menunggu lama, Rio meraih ponsel itu. Menggenggamnya erat. Seolah berniat melumat benda keras itu dalam genggamannya. Kepalang basah. Itulah yang dirasakan Inez. Wajah getir perempuan itu kini berubah datar. "Berikan ponsel itu padaku," ucap Inez dengan tangan terulur. "Katakan pola ponsel ini jika tak ingin nasibnya hanya sebatas ini,“ancam Rio dengan tatapan bak belati menghunus. Inez bergeming. Sama saja dengan bunuh diri jika ia memberikan pola ponselnya pada Rio. Di dalam ponsel itu bertebaran bukti-bukti yang mampu membuat laki-laki itu bertambah murka. "Cepat katakan!" Kali ini suara Rio serupa bentakan. Tak tersisa lagi rasa malu suaranya akan didengar para tetangga. Inez menghindar tatapan Rio. Detik ini posisinya serba salah. Maju kena, mundur lebih lagi. Tak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah pada apa yang akan Rio lakukan pada ponselnya. Toh, dirinya tak akan rugi jika Rio segera mentalaknya malam ini juga. Namun, Rio-lah yang akan rugi banyak. "Sudah kuka
"Jemput aku sekarang," ucapnya dengan deru napas memburu. Setelahnya ponsel kembali dimatikan. Dengan malas Rafa bangkit. Duduk di sisi tempat tidur. "Ayo, cepetan!" seru Inez sambil menggeret koper dengan buru-buru. Di bahu kirinya tersampir tas kecil berwarna abu muda. Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah ke luar. Tangan kanannya menarik paksa lengan sang anak. Entah akan ke mana perempuan itu di tengah malam kelam seperti sekarang ini. Inez segera ke luar. Menutup pintu utama tanpa menguncinya. Ia tak tahu dan tak mau tahu apa yang terjadi dengan Rio di lantai atas. Yang terpenting baginya saat ini adalah, pergi sejauh mungkin dari tempat ini untuk menghindari kemarahan Rio. "Kita akan ke mana, Ma?" tanya Rafa dengan kantuk yang mulai sirna. Kini berganti wajah penasaran. "Kita pergi," jawab Inez singkat. "Pergi ke mana?" tanyanya dengan polos."Udah, jangan banyak nanya. Nanti juga tau sendiri," jawab Inez ketus. Keduanya berjalan hingga ke ujung gang. Inez hanya beran
"Mana janjinya kalian akan membayar lunas dalam waktu sebulan saja? Ini sudah lebih dari sebulan. Segera lunasi atau rumah ini akan aku sita," ucap laki-laki dengan rambut plontos itu tegas. "Hah! Ini apa-apaan?" tanya Rio dengan mata membelalak. Alex tak menjawab. Ia memberi isyarat melalui gerakan kecil pada telunjuknya pada salah satu anak buahnya. Laki-laki berwajah sangar dengan rambut sebahu, yang sedari tadi berdiri di sebelah kanan Alex, kini mengulurkan sebuah map berwarna maroon yang sejak tadi di tangannya pada Rio."A—apa ini?" tanya Rio sambil mengedar pandangan ke arah tiga orang itu secara bergantian. Tangannya bergetar menerima map dari laki-laki itu. "Buka saja. Harusnya kalian sudah melunasinya sejak 3 hari lalu," ucap Alex dengan suara khas barithon. Laki-laki kaya yang dikenal sebagai rentenir dengan banyak anak buah itu hanya menampakkan wajah datar tanpa sedikitpun iba. Rio kembali tersentak. Keringat dingin mulai membanjiri dahinya. Jantungnya berdegub cepa
Hana mengerutkan dahi. Mulai merasa ada sesuatu yang tak biasa dalam pembicaraan kali ini. Namun, ia memilih diam. Membiarkan Hakim menuntaskan kalimatnya. "Begini, Na … setelah sekian bulan kita kembali dipertemukan dalam status yang sama, aku berniat mengenalmu lebih dari teman, Na," ucap Hakim tanpa melihat lawan bicaranya. Ia terlalu canggung untuk sekedar menoleh pada perempuan di sampingnya itu. Hana cukup terkejut dengan pengakuan Hakim barusan. Namun, cepat ia menguasai diri. "Sekali lagi, maaf jika kau tak nyaman dengan hal ini." Sambung Hakim dengan tatapan luruh ke ujung sepatu pantofel miliknya. Hening. Bermenit kemudian keduanya terdiam. Hakim menunggu jawaban Hana, sedangkan Hana tak tahu harus menjawab apa. Pengakuan Hakim mampu membuat lidahnya seketika kelu. Perlahan Hakim melirik pada Hana. Degub jantung yang sejak tadi tak beraturan, kini bertambah kencang. Dalam diam Hana mampu membuat laki-laki itu tersihir. Tanpa sepatah kata penunjuk rasa, Hana mampu mampu
Hakim menarik napas lega. Dari kalimat Hana barusan ia dapat menyimpulkan jika sebenarnya Hana tak menolaknya. Dan itu mampu membuat hatinya kembali berdesir. "Apa itu artinya aku punya kesempatan, Na?" tanya Hakim dengan penuh harap. "Aku tak janji. Hatiku seutuhnya bukan milikku. Jika Abang bersedia, tunggu hingga aku siap. Tapi, jangan pernah menganggap ini sebagai kesepakatan. Jika menemukan perempuan lain yang pantas sebelum aku bersedia, maka pergilah. Anggap aku tak pernah memiliki rasa pada Abang." Hana berucap lirih. "Aku akan menunggu waktu itu tiba semampuku, Na. Aku hanya mampu berharap, aku mampu melakukannya, agar hari itu segera tiba."Jauh di relung sana Hakim berharap, agar niat baiknya segera menemukan titik terang. *Siang beranjak petang. Sejak pagi tadi Rio sibuk mencari keberadaan Inez. Menyusuri kota kecil tempat tinggal mereka. Mengunjungi setiap pusat perbelanjaan, hingga ke tempat-tempat wisata. Rio lebih mirip orang linglung hari ini. Entah berapa ratu
Gegas ia berjalan kembali ke mobil. Memutar gagang setir menuju rumah Hana. Entah bagaimana ia akan menyampaikan semuanya pada Hana. Yang terpenting sekarang adalah, raganya segera bertemu Hana. Mobil meraung ketika pedal gas diinjak dengan kuat. Laki-laki itu seperti kesetanan menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan Rio sibuk mencari kalimat untuk mengutarakan maksudnya pada Hana. Sempat muncul keraguan dalam hati. Uang 400 juta bukanlah uang yang sedikit, terlebih bagi Hana yang single parent. Namun, segera ia tepis karena tak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa. Hidup sebatang kara di tanah orang membuat Rio kian merasa sendiri setelah berpisah dari Hana. Ia sama sekali tak memiliki teman baik. Inez yang ia perjuangkan malah membuat hidupnya kian hancur. Kurang dari 15 menit Rio sampai di rumah Hana. Rumah yang akhirnya terpaksa Rio ilhlaskan karena ancaman mantan ayah mertuanya. Gegas Rio turun. Menyebrang jalan menuju rumah Hana. Ia abaikan pandangan beberapa orang
Rio duduk membeku di kursinya. Perasaan begitu canggung menyelimuti hati laki-laki itu. Semenit saja ditinggal Hana di sini membuat jantungnya berdegub kencang. Khawatir sang empunya rumah tiba-tiba datang dengan wajah sangar.Kedua jemarinya bertaut. Meremas, seolah saling menguatkan. Hening. Ruang tamu berukuran besar itu tak menimbulkan suara, selain detik jarum jam yang terus berjalan menjemput menit. Suara riuh rendah serta dentingan sendok dan garpu menghantam piring, terdengar samar dari rumah sebelah. Kurang dari lima menit Hana kembali. Ia duduk persis di kursi semula. Tangannya menggenggam sebuah amplop coklat. Sedetik kemudian Hana meletakkan amplop itu di atas meja. Mendorongnya mendekat ke arah Rio. "Ini uang yang tempo hari kau berikan untuk nafkah anak-anak. Silakan ambil kembali jika memang kau membutuhkannya," ucap Hana dengan maksud merendahkan. Perempuan itu bukanlah tipe yang suka mencari musuh. Namun, sikap Rio membuatnya tak mampu lagi untuk membendung ben
Rio bangkit. Percuma saja ia menunggu di sini karena bantuan tak akan pernah ada, tapi kepalanya bertambah nyeri. "Ingat, ya. Aku akan melakukan hal serupa jika kalian memohon meminta bantuanku nantinya!" seru Rio dengan murka. Ia ke luar dengan wajah memerah. Membanting keras pintu mobil miliknya. Tak ia pedulikan mata para pelanggan Hana yang menatap aneh ke arah mobilnya. Meraih ponsel yang ada di saku celananya. Satu-satunya yang masih tersisa adalah rumah yang ia bangun di kota yang sama dengan ibunya.Menyiapkan telinga untuk mendengar ocehan sang mama. Lama ia menatap nama kontak pada layar ponsel yang menyala dengan keputusasaan. Belum sempat ia menekan tombol hijau untuk menelepon sang Mama. Ponsel Rio berdering. Nampak nama Rudi rekan sekantornya sebagai penelpon. Gegas Rio menggeser tombol dial agar panggilan segera tersambung. "Ada apa, Rud?" tanya Rio tanpa basa-basi. "Kamu disuruh Pak Bambang menghadapnya sekarang juga, Yo," ucap suara dari seberang sana. Rio ter
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent