Rio bangkit. Percuma saja ia menunggu di sini karena bantuan tak akan pernah ada, tapi kepalanya bertambah nyeri. "Ingat, ya. Aku akan melakukan hal serupa jika kalian memohon meminta bantuanku nantinya!" seru Rio dengan murka. Ia ke luar dengan wajah memerah. Membanting keras pintu mobil miliknya. Tak ia pedulikan mata para pelanggan Hana yang menatap aneh ke arah mobilnya. Meraih ponsel yang ada di saku celananya. Satu-satunya yang masih tersisa adalah rumah yang ia bangun di kota yang sama dengan ibunya.Menyiapkan telinga untuk mendengar ocehan sang mama. Lama ia menatap nama kontak pada layar ponsel yang menyala dengan keputusasaan. Belum sempat ia menekan tombol hijau untuk menelepon sang Mama. Ponsel Rio berdering. Nampak nama Rudi rekan sekantornya sebagai penelpon. Gegas Rio menggeser tombol dial agar panggilan segera tersambung. "Ada apa, Rud?" tanya Rio tanpa basa-basi. "Kamu disuruh Pak Bambang menghadapnya sekarang juga, Yo," ucap suara dari seberang sana. Rio ter
Tanpa berpikir lebih lama lagi ia berjalan setengah berlari menuju mobil. Menginjak tuas gas cukup keras untuk segera sampai di kantor. Bambang adalah manager HRD di perusahaan tempat Rio bekerja. Membayangkan laki-laki yang terkenal dingin dengan wajah sangar itu mampu membuat Rio bergidik ngeri. Sepanjang jalan kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sesampainya di kantor. Mungkin dirinya akan diturunkan menjadi staf biasa. Atau kemungkinan terburuknya akan dipecat secara tidak hormat dari kantor. Jika itu terjadi artinya semua yang ia banggakan selama ini akan segera lenyap. Pekerjaan yang ia rintis selama bertahun-tahun akan sirna tak berbekas. Tangan kirinya mengusap wajah kasar. Keringat dingin membasahi dahi serta jemarinya. Dua puluh menit berselang mobil Rio terparkir di depan kantor. Ia bergegas turun dan berjalan cepat memasuki gedung bertingkat itu. Tak ia hiraukan beberapa pasang mata yang menatap aneh ke arahnya. Yang terpenting sekar
Hening beberapa saat. Hanya helaan napas panjang keluar dari bibir Diana yang terdengar menderu. "Ibu rasa Rio tengah menikmati penyesalan atas ulahnya terhadapmu. Sekarang dia baru tahu kalau perempuan yang ia puja-puja dulu jauh lebih buruk darimu. Dengar-dengar dia juga memintamu untuk kembali," ucap Diana hati-hati. "Ya, Bu. Tapi Hana menolaknya," jawab Hana jujur. Ia tak ingin Diana menyimpan tanya dalam hal itu. Terlebih ibu dan ayahnya-lah yang selama ini begitu peduli, hingga ia merasa tak pantas merahasiakannya dari keduanya. "Selama kau masih sendiri, Ibu rasa Rio akan terus datang dengan berbagai alasan, terutama anak," keluh Diana. "Maksud Ibu?" tanya Hana seolah tak paham. Ia sedikit tak nyaman dengan kalimat sang ibu barusan. Kembali helaan napas panjang terdengar. Diana berusaha mengurai sesak di dada. Setiap mendapati Rio berusaha mendekati Hana, kekhawatirannya kembali muncul. "Selama kau masih sendiri, Rio akan terus berusaha kembali. Terlebih istri barunya yan
Telepon sejak beberapa menit lalu telah ditutup. Namun, Hana masih juga mematung di belakang kemudi dengan wajah syok-nya. Tangannya sedikit bergetar seiring jantung yang kini berdegub cepat. Setelah dirasa lebih Baik, Hana memacu mobilnya perlahan ke arah sekolah Abi. Dari kejauhan nampak anak laki-laki itu sudah duduk di halte, persis depan sekolah. Tubuh jangkung anak kelas 1 SMP itu kini berjalan mendekat ketika mobil sang mama berhenti beberapa meter darinya. Ya, postur tubuh Abi cukup tinggi untuk anak seusianya. Bahkan ia lebih tinggi dari Hana. Tinggi badannya bahkan hampir setara dengan Rio yang memiliki tinggi badan 167 sentimeter. "Maaf, ya, Bang. Mama agak telat," ucap Hana kala anak sulungnya itu duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa, Ma," jawab Abi seraya melepas tas yang sedari tadi berada dalam gendongannya. Kita langsung ke rumah sakit, ya, Bang," ucap Hana. "Mau ngapain, Ma?" tanya Abi dengan alis bertaut. "Kakek keserempet motor, Nak. Atau Abang mau Mama anter
"Boleh milih, Om?" tanya Abi sambil nyengir. "Boleh, Bi. Enjoy, aja, Bi. Nggak perlu kaku," ucap Hakim sambil menepuk pundak remaja tanggung itu. Ia tengah berusaha membuat anak laki-laki itu nyaman bersamanya. "Bakso yang di sana itu, Om," ucap Abi pelan, seolah takut ada yang mendengar. Telunjuknya terangkat, mengarah ke gerobak bakso di seberang jalan. "Udah pernah makan di sana?" tanya Hakim memastikan. Abi menggeleng. "Kalau Om ajak makan bakso di tempat langganan Om, mau?" tanya Hakim lagi. Kali ini Abi mengangguk. Lagi pula tak ada alasan untuk tidak mempercayai Hakim, sedang ia tahu jika keluarganya pun sudah sangat kenal Hakim. "Ya, sudah, yuk," ajak Hakim sambil melangkah menujuk mobilnya yang terparkir di sebah kanan mereka. Mobil dengan tampilan mewah itu terparkir di ujung dekat gerbang. "Yuk, masuk."Hakim berusaha seramah mungkin. Hakim mulai paham bagaimana karakter anak-anak Hana yang kesemuaannya terbilang pendiam. Mobil Hakim keluar gerbang rumah sakit. Me
Rumah sepi laksana kuburan dirasakan Rio. Tak ada riuh suara anak-anak di dalamnya. Namun, tidak dengan rumah Hana. Di sini, suara riuh rendah anak-anak Hana tengah belajar mengaji terdengar sejak selesai magrib tadi. Mulai dua bulan terakhir Hana memanggil guru ngaji untuk mengajarkan anak-anaknya, karena kesibukannya yang bertambah. Hana sendiri baru saja usai melaksanakan shalat magrib. Bersiap-siap akan kembali ke rumah sakit untuk menemani sang ibu menginap sebentar lagi. Fitri, kakak perempuannya sibuk dengan bayi kecilnya. 15 tahun menikah Fitri baru dikaruniai seorang anak perempuan, hingga satu bulan lalu mengadopsi bayi laki-laki yang baru berusia 2 bulan. Sedangkan Firdaus, abang tertuanya sedang berada di luar kota. Hingga Hana lah yang berperan memenuhi apa-apa yang dibutuhkan ibu dan ayah mereka sekarang. "Mama jadi ke rumah sakit?" tanya Ira yang tiba-tiba menyembul di balik pintu. Hana menoleh. Senyum lembut mengembang di bibirnya. "Ira sama Bik May, ya, ada Kak M
"Eh, Tante Hana," ucap Shanum sambil tersenyum hangat. Hana diterpa rasa canggung. Untung saja sang ayah tengah tertidur di ranjangnya. Husni tertidur setelah meminum obat pereda nyeri sore tadi. Terdapat balutan perban cukup besar di bagian kaki, tangan dan bagian pelipisnya. "Nenek di mana?" tanya Hana dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. "Nenek tadi shalat magrib dulu. Tante duduk dulu," tawar Shanum sambil bangkit dari duduknya. Ia kemudian naik ke pangkuan sang ayah. "Shanum udah lama sampai?" tanya Hana demi mengurai perasaan tak biasa yang semakin pekat terasa. Hana meletakkan barang bawaannya di atas lemari pasien. Lalu duduk tepat di samping Hakim. "Sekitar lima bela menit lalu, Tante. Eh, kenapa Ira sama Ica nggak ikut? Kan bisa main bareng," celetuk Shanum. Tangannya merangkul lengan sang ayah. "Ira sama Ica ngaji, jadi nggak bisa ikut," jawab Hana dengan senyum manis. Shanum terdiam sejenak."Pa, kalau Shanum ngaji sama-sama Ira boleh nggak?" tanya Shanum tib
Hana berusaha menguasai diri. Sesaat kemudian ia tersenyum tipis."Shanum mau panggil 'mama' juga?" tanya Hana lembut. Ia tengah duduk berhadapan dengan Shanum di lantai beralaskan karpet. Shanum menganggup pelan. "Boleh. Mulai sekarang silakan panggi mama," ucap Hana dengan senyum lembut. Terlalu jahat rasanya bila ia sampai melarang Shanum memanggilnya dengan panggilan demikian. Panggilan yang sama sekali tak merugikan baginya, sebaliknya menambah sayangnya pada anak piatu itu. Tanpa Hana kira sebelumnya, tiba-tiba Shanum memeluknya erat. Membuat Hana dan Diana saling bertatapan, lalu saling melempar senyum canggung. Sedang Hakim kini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. *Pagi mulai beranjak meninggi. Bau asap knalpon kendaraan beroda menghiasi sepanjang jalan yang Hana lalui. Sesekali debu berterbangan bersama dedaunan kering tanaman penyejuk yang ditanam di pinggir jalan karena tiupan angin. Hana tengah mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Siang ini sang ayah su
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent